Oleh : Stanov Purnawibowo
Abstract
Abstract
Trade activities in Kota Cina and Pulau Kompei in east coast Sumatera, have a growth approximately 13th — 16th Centuries. The comparison of archaeological records between Kota Cina and Pulau Kompei may give a few conclution about growth and disappeared an anchorages.
Kata kunci: keramik, koin, maritim, perdagangan
I. Pendahuluan
Pesisir pantai timur Sumatera secara geografis sangat strategis dan terbuka terhadap kontak dan interaksi dengan dunia luar. Berada tepat menghadap langsung ke Selat Malaka yang menjadi jalur lalu lintas perdagangan internasional, menjadikan beberapa tempat di sekitar pesisir pantai timur Sumatra pernah menjadi bandar dagang yang cukup ramai pada masanya. Keterbukaan lokasi bandar-bandar dagang tersebut, memengaruhi karakteristik masyarakat bahari bersifat lebih terbuka, baik dalam adaptasinya dengan segala sesuatu yang baru maupun keterbukaannya dalam menerima aspek-aspek kebudayaan baru yang sebelumnya tidak mereka miliki serta memiliki orientasi kehidupan ekonominya dari perdagangan (Ambary, 2000: 12).
Selat Malaka menjadi jalur perdagangan yang ramai sejak permulaan abad pertama, yang sering disebut sebagai jalur sutera kedua. Berada pada jalur penghubung yang menghubungkan antara daerah luar bagian barat dengan wilayah kepulauan Nusantara sebagai daerah penghasil rempah-rempah dan hasil bumi lainnya yang pada masa itu sangat laku di dalam dunia perdagangan internasional.
Beberapa bandar perdagangan serta aktivitas maritim yang ada di sepanjang pesisir timur pantai Sumatera mulai dari wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam hingga wilayah Provinsi Lampung mengalami fase tumbuh berkembang dan mundur, digantikan perannya oleh bandar perdagangan lain yang lebih menguntungkan serta adanya jaminan keamanan dari penguasa wilayah bandar perdagangan baru tersebut. Beberapa tempat di pesisir timur pantai Sumatera yang masuk dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara menyisakan jejak aktivitas maritim dan perdagangan melalui tinggalan arkeologis, antara lain situs Pulau Kompei dan Kota Cina. Pengkajian dan penelitian terhadap kedua situs tersebut telah banyak dilakukan antara lain oleh Milner (1978), McKinnon dan Sinar (1981), Ambary (1984), serta Manguin (1989).
Keberadaan dua situs tersebut mungkin masih jauh dari upaya menggeneralisir aspek kehidupan maritim dan perdagangan masa lalu di wilayah pesisir pantai timur Sumatera. Tetapi melalui deskripsi serta penjelasan singkat, dengan mengambil sampel dua situs perdagangan di wilayah Provinsi Sumatera Utara, dapat dijadikan data tambahan bagi kajian arkeologi maritim dan perdagangan yang telah ada sebelumnya. Secara bertahap, jejak aktivitas perdagangan dan aktivitas maritim masa lalu di kedua situs tersebut dapat ditelusuri melalui temuan data arkeologis yang diindikasikan sebagai bukti adanya kontak dagang dengan daerah luar. Temuan tersebut adalah berupa fragmen keramik asing serta mata uang logam asing.
Permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini berkenaan dengan temuan artefaktual berupa fragmen keramik dan koin Cina dari situs Kota Cina dan Pulau Kompei yang diindikasikan sebagai jejak aktivitas maritim dan perdagangan. Adapun perbandingan yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui: jenis artefak, keramik dan koin yang ditemukan di situs tersebut serta masa tumbuh kembang dan mundurnya kedua situs tersebut. Bagaimanapun, dapat dikenali bahwa keramik asing khususnya dari Cina merupakan bukti kuat adanya pertukaran barang dari daerah produksi ke daerah pemasaran, sedangkan koin merupakan bukti adanya proses tukar menukar dengan menggunakan alat pembayaran yang sah dan diakui oleh para pelaku dagang di tempat dan masa itu.
II. Kota Cina
Kota Cina merupakan salah satu situs maritm yang potensial di pesisir timur Sumatera. Secara administratif terletak di Kelurahan Paya Pasir, Kecamatan Medan Marelan, Medan, Provinsi Sumatera Utara. Secara astronomis Kota Cina terletak pada 3° 43′ LU dan 98° 38′ BT yang berada di daerah aliran dua sungai besar yang bermuara di Selat Malaka dengan luas wilayah situs 25 Ha (McKinnon,1978:1–5). Dua sungai tersebut adalah Sungai Deli dan Sungai Belawan yang berhulu dari daerah pegunungan Bukit Barisan dan bermuara di pesisir timur Pulau Sumatera.
Letak Kota Cina yang strategis, sebelum langsung menuju laut lepas merupakan tempat yang cocok untuk berlabuh dan singgah para pedagang. Dalam sejarah perdagangan dunia, dicatat bahwa Selat Malaka merupakan wilayah perairan yang paling ramai dalam kurun waktu awal hingga sekarang. Selat Malaka merupakan jalur perdagangan laut yang ramai dan sering disebut sebagai Jalur Sutera Laut atau Jalur Sutera Kedua. Adapun komoditas yang diperdagangkan berasal dari berbagai wilayah di Nusantara, Cina, Eropa, India dan Timur Tengah.
Beberapa temuan artefaktual yang ditemukan di lokasi situs Kota Cina antara lain fragmen keramik Cina, arca dari bahan batu dan logam dengan ciri Cola style dari India Selatan, struktur bangunan bata (diduga candi), koin logam dengan lubang persegi di bagian tengahnya, fragmen gerabah, fragmen kaca, manik-manik serta sisa papan perahu yang ditemukan di situs Kota Cina dapat diindikasikan sebagai sisa aktivitas kemaritiman masa lalu di Kota Cina dan di pesisir timur Pulau Sumatera umumnya (Koestoro, dkk.,2004:31).
Jumlah sampel yang diambil adalah 3027 fragmen keramik berbagai jenis. Jenis pertama adalah keramik Chingpai yang merupakan jenis keramik, identik dengan bentuk wadah yang ukurannya relatif kecil dan tipis. Bahan dasarnya menggunakan stoneware dengan glasir warna putih/bening yang dihasilkan dari mineral silika (Si) yang terkadang mengalami efek samping dari pembakaran pada suhu yang tinggi, berupa retakan halus pada permukaan wadah yang sering disebut pecah seribu. Keramik Chingpai menjadi komoditas perdagangan setelah masa keemasan keramik celadon, keramik Chingpai diproduksi pada masa Dinasti Sung hingga Dinasti Yuan yang berkisar antara abad ke-12 hingga akhir abad ke-14 (Ambary,1984:69).
Jenis berikutnya adalah Celadon (green-glazed wares), yaitu jenis keramik yang memiliki ciri-ciri umum berwarna hijau dengan bahan dasar utama stoneware. Warna hijau dihasilkan dari bahan utama mineral tembaga (Cu). Motif hias dengan teknik gores dan oles yang terdapat di bawah lapisan glasir (underglaze ornament) dengan motif hias flora ataupun fauna, biasanya pada bagian dasarnya tidak semuanya terglasir, hal ini disebabkan oleh proses pemberian glasir pada wadah yang ditumpuk. Keramik celadon yang ditemukan di situs Kota Cina berasal dari daerah Provinsi Chekiang di Cina, terutama dari kiln (tungku pembuatan keramik) di Lung Chuan.
Selanjutnya adalah Te Hua wares, salah satu jenis keramik yang hampir mirip dengan keramik Chingpai/white glaze wares namun berbeda pada tingkat kekasaran perekat bahan serta kurang baiknya proses pembentukan akhir. Keramik jenis ini banyak diproduksi pada masa Dinasti Yuan sekitar abad ke-14 (Ambary,1984:69). Jenis lain adalah Coarse stone wares, yakni jenis keramik yang masih kasar dalam proses pembentukannya sehingga butiran-butiran (biscuit) pada bahan dasar yang berupa stoneware masih nampak, yang memberikan kesan kasar pada bagian badan wadah. Jenis keramik ini biasanya disebut wadah air raksa/mercury jar.
Objek arkeologi lain yang ada di situs ini adalah dua arca Buddha yang terbuat dari bahan batu granit.
Arca Buddha pertama dikenali sebagai Buddha Amithaba dengan sikap tangannya dhyanamudra, arca Buddha berikutnya juga dikenali sebagai Buddha Amitabha juga dengan sikap tangan dhyanamudra dengan Usnisa (sebuah lidah api yang muncul dari puncak kepala), pada bagian tangan dan kaki lapisan kainnya dilipat tebal sehingga menyerupai gelang. Kedua arca Buddha tersebut memiliki gaya khas India Selatan (cola style) yang berasal dari abad ke-12–13 Masehi (McKinnon,1993/1994:59–60). Selain itu ditemukan juga arca bersifat Hindu yang diduga merupakan arca Dewa Wisnu dan Dewi Laksmi tanpa bagian kepala. Temuan lain adalah lingga dan yoni, sekarang disimpan sebagai koleksi di Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara. Selain temuan arca, McKinnon (1978:68) dalam penelitiannya menemukan beberapa struktur bangunan dari batu bata, fragmen kaca, fragmen gerabah, dan kepingan koin Cina yang berasal dari abad ke-11 — 13 serta manik-manik. Banyak koin ditemukan tetapi hanya beberapa yang dapat diidentifikasi, antara lain yang berasal dari masa Dinasti Tang abad ke-8 — 10, Dinasti Sung selatan abad ke-12–13, sebagian dari masa Dinasti Sung utara abad ke-11–12 (Milner,1978:28).
Arca Buddha pertama dikenali sebagai Buddha Amithaba dengan sikap tangannya dhyanamudra, arca Buddha berikutnya juga dikenali sebagai Buddha Amitabha juga dengan sikap tangan dhyanamudra dengan Usnisa (sebuah lidah api yang muncul dari puncak kepala), pada bagian tangan dan kaki lapisan kainnya dilipat tebal sehingga menyerupai gelang. Kedua arca Buddha tersebut memiliki gaya khas India Selatan (cola style) yang berasal dari abad ke-12–13 Masehi (McKinnon,1993/1994:59–60). Selain itu ditemukan juga arca bersifat Hindu yang diduga merupakan arca Dewa Wisnu dan Dewi Laksmi tanpa bagian kepala. Temuan lain adalah lingga dan yoni, sekarang disimpan sebagai koleksi di Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara. Selain temuan arca, McKinnon (1978:68) dalam penelitiannya menemukan beberapa struktur bangunan dari batu bata, fragmen kaca, fragmen gerabah, dan kepingan koin Cina yang berasal dari abad ke-11 — 13 serta manik-manik. Banyak koin ditemukan tetapi hanya beberapa yang dapat diidentifikasi, antara lain yang berasal dari masa Dinasti Tang abad ke-8 — 10, Dinasti Sung selatan abad ke-12–13, sebagian dari masa Dinasti Sung utara abad ke-11–12 (Milner,1978:28).
Temuan lain berupa sisa moda transportasi air yang diteliti oleh Manguin (1989) meliputi beberapa keping papan kayu perahu, memungkinkan pengenalan akan keberadaan perahu dagang dari berbagai ukuran. Berdasarkan hasil analisis C14 (carbon dating), perahu-perahu tersebut diketahui dibuat pada abad XII–XIII (Manguin,1989:217). Keberadaan temuan 17 keping papan perahu dengan berbagai macam ukuran dan bentuk, berasal dari jenis perahu yang berfungsi sebagai perahu dagang (trading ships) (Manguin,1989:205–208), menguatkan indikasi Kota Cina sebagai lokasi aktivitas perdagangan dan maritim masa lalu.
III. Pulau Kompei
Pulau Kompei secara geografis terletak di sekitar Teluk Aru, lokasinya terpisah dari daratan Pulau Sumatra oleh Sungai Serangjaya. Posisi pulau yang berada di pesisir timur pantai Sumatra ini menghadap langsung ke Selat Malaka. Bentang lahan pulau berupa daerah berrawa yang banyak ditumbuhi mangrove (Rhizophora Sp.). Secara astronomis Pulau Kompei terletak pada 4º 12′ LU dan 98º 15′ BT. Pulau Kompei secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatra Utara (McKinnon,1981:51).
Dalam sumber sejarah, daerah Teluk Aru pada awal abad ke-16 berada di bawah kekuasaan Aceh, kemudian pada kurun waktu antara tahun 1795 hingga tahun 1811 dikuasai oleh Siak (Schader,1918:2 dalam McKinnon,1981:52). Pada abad ke-19 daerah Teluk Aru masuk dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Langkat yang meliputi lima daerah administratif subdistrik, yaitu Pulau Kompei, Besitang, Lepan, Babalan dan Pulau Sembilan (McKinnon,1981:52).
Beberapa fakta arkeologi yang ditemukan pada kegiatan survei permukaan di situs Pulau Kompei antara lain fragmen keramik Cina, gemstone, fragmen kaca, pecahan wadah yang terbuat dari tanah, manik-manik (glass beads of cornelian) dari India Selatan, koin asing (Cina), pecahan bata merah, dua pecahan batu granit serta beberapa patung kecil terbuat dari perunggu. Pada beberapa tempat terdapat lapisan cangkang kerang tipis dari jenis yang oleh orang setempat dinamakan seteng (Placuna Sp.) (McKinnon,1981:56, Sinar,tt:7).
Temuan fragmen keramik di situs Pulau Kompei terdiri dari beberapa bentuk wadah dalam berbagai ukuran. Sebuah mangkuk stoneware utuh serta 95 pecahan fragmen keramik diduga dari berbagai macam wadah dengan bentuk dan ukuran yang beragam. Beberapa di antaranya merupakan jenis keramik Chingpai glazed porcelain, green-glazed Lungchuan (celadon) ware, greyish-yellow glazed porcelain, clear-glazed stoneware bowl dengan warna slip putih, white glazed stoneware bowl. Beberapa temuan bata mirip dengan temuan di situs Kota Cina. Ditemukan pula sebanyak 36 keping koin logam yang telah mengalami korosi, koin tersebut terdiri atas 5 koin dari masa Dinasti Tang abad ke- 8–10; 27 koin dari masa Dinasti Sung Utara abad ke- 11–12; 3 koin tidak teridentifikasi, serta satu buah koin Hindia Belanda dengan angka tahun 1907 (McKinnon,1981:73). Disamping itu ada pula temuan mata uang yang berasal dari zaman Dinasti Ming (Sinar,tt:7).
Keberadaan keramik asing, terutama berasal dari daratan Cina dapat diidentifikasi untuk mendapatkan umur relatifnya. Keramik Chingpai merupakan jenis keramik yang identik dengan bentuk wadah yang relatif kecil ukurannya dan tipis. Bahan dasarnya menggunakan stoneware dengan glasir warna putih/bening yang dihasilkan dari mineral silika (Si) yang terkadang mengalami efek samping dari pembakaran pada suhu yang tinggi, berupa retakan halus pada permukaan wadah yang sering disebut pecah seribu. Keramik Chingpai diproduksi pada masa Dinasti Sung hingga Dinasti Yuan berkisar antara abad ke-12 hingga akhir abad ke-14. Kemudian jenis keramik Lungchuan green-glazed ware (celadon), yaitu jenis keramik yang memiliki ciri-ciri umum berwarna hijau berbahan dasar utama stoneware dengan pembakaran pada suhu 900˚C–1200˚C. Warna hijau dihasilkan dari bahan utama mineral tembaga (Cu). Diproduksi massal untuk kebutuhan perdagangan dan ekspor Cina masa Dinasti Sung abad ke-11–12 Masehi (Ambary,1984:66). Walaupun demikian ada beberapa kiln Lungchuan sudah berproduksi pada akhir masa Dinasti Tang abad ke-10. Keramik jenis grayish-yellow glazed porcelain, clear-glazed stoneware dengan warna slip putih, white glazed stoneware merupakan karakteristik yang dimiliki keramik masa Dinasti Tang dari abad ke-9–10 dengan ciri ornamen hiasan sederhana, warna underglazed serta teknologi glasirnya yang masih kasar.
IV. Kota Cina dan Pulau Kompei dalam perbandingan
Dari uraian di atas kita dapat melihat perbandingan atas jenis temuan fragmen keramik dan koin, serta ragam jenis temuan fragmen keramik dan koin yang ditemukan di kedua situs tersebut. Perbandingan tersebut ditujukan untuk melihat ragam jenis temuan, asal serta periode dinasti dari artefak di situs Kota Cina dan Pulau Kompei. Hal tersebut dapat memberi sedikit penjelasan tentang rentang waktu aktivitas perdagangan yang ada di kedua situs tersebut.
No. | Jenis, asal dan periode | Kota Cina | Pulau Kompei | ||
Ada | Tidak | Ada | Tidak | ||
1. | Lungchuan (celadon), Cina abad X — XII M | v | - | v | - |
2. | Chingpai, Cina abad XII — XIII M | v | - | v | - |
3. | Te Hua wares, Cina abad XIV M | v | - | - | v |
4. | Coarse stone wares, Cina abad XIII — XIV M | v | - | - | v |
5. | Grayish-yellow glazed porcelain, Cina abad IX — X M | - | v | v | - |
6. | Clear glazed porcelain, Cina abad IX — X M | - | v | v | - |
7. | White glazed porcelain, Cina abad IX — X M | - | v | v | - |
Tabel perbandingan keramik: jenis, asal dan periode
Dari tabel di atas dapat dilihat, data jenis keramik yang ditemukan di kedua situs memiliki persamaan dan perbedaan jenis serta asalnya. Temuan keramik di situs Kota Cina berasal dari rentang masa abad ke-10 hingga abad ke-14. Sedangkan temuan keramik di situs Pulau Kompei berasal dari rentang masa abad ke-9 hingga abad ke-13. Berdasarkan tabel di atas secara kuantitas jenis keramik yang ditemukan di situs Pulau Kompei lebih banyak serta berasal dari masa yang lebih tua bila dibandingkan dengan temuan keramik di situs Kota Cina.
No. | Asal dan periode | Kota Cina | Pulau Kompei | ||
Ada | Tidak | Ada | Tidak | ||
1. | Dinasti Tang abad VIII — X M. | v | - | v | - |
2. | Dinasti Sung Utara X — XII M. | v | - | v | - |
3. | Dinasti Sung Selatan XII — XIII M. | v | - | - | - |
4. | Dinasti Ming XIV — XVII M. | - | v | v | - |
Tabel perbandingan koin: asal dan periode
Perbandingan ragam koin Cina menunjukkan lebih banyak dari situs Kota Cina dibandingkan dengan temuan dari Pulau Kompei. Asal serta jenis koin Cina yang ditemukan di situs Kota Cina berasal dari masa Dinasti Tang abad ke-8 hingga masa Dinasti Sung Selatan abad ke-13. Sedangkan temuan di situs Pulau Kompei berasal dari masa Dinasti Tang abad ke-8 hingga masa Dinasti Sung Utara abad ke-12 serta temuan koin dari masa Dinasti Ming sekitar abad ke-14–17. Dari data tersebut didapat gambaran variabel data yang relatif sama di antara kedua situs tersebut. Perbedaan terletak pada beberapa jenis temuan koin yang berasal dari masa Dinasti Sung Selatan abad ke- 12–13 yang tidak ditemukan di situs Pulau Kompei dan koin dari masa Dinasti Ming abad ke- 14–17 yang tidak ditemukan di situs Kota Cina.
Perbedaan ragam temuan memberikan sedikit penjelasan kondisional kedua situs tersebut. Penjelasan sementara berdasarkan data pembanding di atas, situs Pulau Kompei pernah menjadi tempat perdagangan pada masa yang lebih awal dibandingkan dengan situs Kota Cina yaitu sekitar rentang waktu abad ke- 9–13. Lalu pada rentang masa abad ke- 12–13 mengalami sebuah kekosongan peran sebagai sebuah bandar dan muncul kembali pada rentang masa abad ke- 14–17 dengan indikasi ditemukannya koin dari masa Dinasti Ming. Situs Kota Cina pernah menjadi tempat perdagangan pada rentang masa antara abad ke- 10–14. Hal tersebut memberikan sedikit gambaran awal babakan masa relatif pemakaian kedua situs tersebut yang ditinjau berdasarkan temuan jenis keramik dan koin Cina.
V. Penutup
Jumlah temuan masing-masing variabel pembanding masih lebih banyak ditemukan dari situs Kota Cina dibandingkan dengan yang berasal dari situs Pulau Kompei. Adapun upaya perbandingan yang telah dilakukan memang belum dapat memastikan bahwa situs Pulau Kompei lebih awal menjadi sebuah tempat perdagangan sekitar abad ke-9 hingga ke-13, lalu mengalami masa penurunan aktivitas pada rentang masa abad ke-14. Justru pada masa itu Kota Cina masih menjadi tempat perdagangan yang ramai. Setelah abad ke-14 barulah Kota Cina tampak mengalami kemunduran dan sebaliknya Pulau Kompei muncul kembali sebagai tempat aktivitas perdagangan pada awal abad ke-15 hingga abad ke-17. Berdasarkan perbandingan yang telah dilakukan indikasi untuk merujuk hal tersebut telah ada. Tentunya masih dibutuhkan upaya lebih lanjut untuk mendapatkan generalisasi yang kuat tentang hal tersebut di atas.
Kepustakaan
Ambary, H. Muarif. 1984. "Further Notes on Classification Of Ceramics from The Excavation of Kota Cina", dalam Studies on Ceramics. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hal. 63–72.
————— . 2000. "Peranan Beberapa Bandar Utama di Sumatera Abad Ke- 7–16 M dalam Jalur Perdagangan Internasional", dalam Proceedings Internasional Symposium For Japanese Ceramics of Archaeological Sites in South-East Asia: The Maritim Relationship on 17th Century. Jakarta: Pusat Arkeologi dan The Japan Foundation, hal. 12–23.
Koestoro, Lucas Partanda dkk. 2004. Sekilas Balai Arkeologi Medan dalam Pengembangan dan Pemasyarakatan Ilmu Serta Pengembangan Kebudayaan. Medan: Balai Arkeologi Medan.
Manguin, P. Y. 1989. "The Trading Ships of Insular South-East Asia", dalam PIA V. Jakarta: IAAI, hal. 200–219.
Milner, A. C., dkk. 1978. "A Note on Aru and Kota Cina". Indonesia, October, 26.
McKinnon, E. E. dan T. Luckman Sinar. 1981. "A Note on Pulau Kompei in Aru Bay, Northeastern Sumatera", dalam Indonesia Vol.32. Southeast Asia Programme, Cornell University, hal. 49–73.
————— .1993/1994. "Arca-Arca Tamil di Kota Cina", dalam Saraswati Esai-esai Arkeologi 2, KALPATARU Majalah Arkeologi No. 10. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal. 53–79.
Sinar, T. Luckman. tt. Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur. Medan: tp.
Wangheng, Chen. 2001. Chinese Bronzes. Singapore: Asiapac Books LTD.