A. Pendahuluan
Kerajaan Sriwijaya dahulu dikenal sebagai kerajaan maritime yang kokoh. Dalam perkembangannya, kerajaan ini telah tumbuh, meluas dan terintegrasi secara bervariasi (integrasi dalam heterogenitas). Untuk itu, artikel ini menjelaskan tentang nilai integrasi sosial apa yang ada pada kerajaan Sriwijaya? Apa implikasi dari nilai-nilai integrasi sosial terhadap Indonesia?
B. Kerajaan Sriwijaya dan Nilai-nilai Integritas Sosial
Gabried Ferrand mengatakan bahwa kerajaan Sriwijaya berdiri sejak 392 M. opini tersebut berdasarkan sumber orang Cina yang mengklaim bahwa Negara She-Yeh (Cho-Ye) berarti Jaya atau Wijaya atau Sriwijaya. Kemudian, I-Tsing menyebut Sriwijaya sebagai Shih-Li-Fo-Shih. Dalam bahasa Arab, yang berbeda dengan sumber orang Cina, Sriwijaya disebut sebagai Syarbazah. Kerajaan Sriwijaya dahulu merupakan kerejaan besar di Nusantara disamping kerajaan Majapahit dan kerajaan Mataram. Kekuatan regional kerajaan Sriwijaya menyebar dari sebagian besar pulau Jawa dan Sumatera hingga ke Peninsula Malaya, yang dikenal sebagai Swarnadwipa. Kerajaan Sriwijaya dikenal oeh masyarakat dunia (Stannia, 1998: 1-27).
Kerajaan Sriwijaya, dikenal sebagai kerejaan maritime, pusat aktifitas perdagangan internasional, pusat aktifitas pendidikan dan penyebaran keagamaan (Budhisme), dan sebagai pusat pertemuan berbagai bangsa (tempat bercampur). Sebagai kerajaan maritime, Sriwijaya memiliki pasukan yang kuat. Teknologi pembuatan perkapalan dan navigasi yang maju, bahkan lebih daripada Cina, seperti yang dikatakan oleh Piere Yves Manguin (Stannia, 1998:1):
“Sriwijaya menggunakan perahu-perahu besar pada rute transportasi perdagangan di laut di Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan. Beratnya sekitar 250 s.d. 1.000 ton dan panjangnya 60 meter. Perahu-perahu tersebut mampu mengangkut sekitar 1.000 orang, belum termasuk barang.”
Sebagai pusat perdagangan, kerajaan Sriwijaya melakukan hubungan dagang dengan Negara-negara asing, seperti Mainland, Cina (Tiongkok), Timur Tengah, Persia, India, dan Negara-negara Barat. Jacobb Cornellis of van Leur mencatat komoditas ekspor kerajaan Sriwijaya ke Negara-negara tersebut, contoh, ke Negara-negara Arab, seperti kayu Gaharu, Kamper, kayu sandal, timah, gading, kayu eboni, bubuk gergaji, bunga pala, dan kemenyan/dupa. Sedangkan, ke Cina, mengekspor gading, air putih, kemenyan/dupa, buah-buahan, gula putih, cincin Kristal, kaca, kamper, batu karang, baju katun, tanduk badak, parfum, bumbu masak, dan obat-obatan (Stannia, 1998:26).
Kerajaan Sriwijaya juga dikenal sebagai pusat penelitian dan pendidikan agama. Menurut Tarmizi Taher (1997:35-40), informasi tentang socio-sejarah dapat dilihat di dalam catatan perjalanan I-Tsing (seorang pengembara dan pelajar Cina yang mempelajari masyarakat) datang ke Palembang pada 671 M setelah berlayar selama 20 hari dari Kanton. I-Tsing tinggal di Sriwijaya selama 6 bulan untuk belajar bahasa Sansekerta sebelum meninggalkan India. Di India, dia tinggal selama 10 tahun untuk memperoleh pengetahuan di Nalanda, dan kembali lagi ke Sriwijaya untuk tinggal selama 4 tahun.
Selama di Sriwijaya, I-Tsing sukses mengalihbahasakan teks Budisme dalam bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. Kemudian, dia pulang untuk sementara ke Kanton, dan kembali lagi ke Sriwijaya dengan beberapa temannya untuk menulis kembali buku. Menurut I-Tsing Sriwijaya pada saat itu merupakan pusat Budisme, sehingga baginya, Sriwijaya merupakan tempat yang ideal untuk memperoleh pengetahuan sebelum memasuki sekolah Nalanda di India. Peneliti terkenal yang bernama Fa Hsien, seorang figur agama Budha yang mencoba untuk mengumpulkan skrip-skrip Budhisme, pada awal dekade abad ke 5.
Disamping itu, setelah satu setengah abad, ada juga sebuah catatan peneliti bernama Wang Ming yang melakukan penelitian terhadap Budhisme di kerajaan Sriwijaya sekitar 675 M. Slamet Mulyana (2006:131) juga menulis bahwa pada November, 671 M, I-Tsing meninggalkan Kanton untuk bersama-sama dengan pelayar kea rah selatan. Setelah hamper 20 hari berlayar, perahu sampai di pelabuhan Sriwijaya dan tersisa 6 bulan untuk belajar Sabdavidya, struktur Sansekerta. Kerajaan Sriwijaya juga dikenal sebagai pusat pertemuan antar bangsa. Burhannudin Dava (200:1) menyatakan tentang pertemuan (hubungan) antar suku, melalui transaksi perdagangan internasional. Berlainan dengan hal tersebut, hubungan antara Nusantara dengan Cina Daratan (Tiongkok) tidak diketahui pada saat telah dimulainya. Sebuah informasi yang dapat dipercaya sebelum keberadaan kerajaan Majapahit dan Sriwijaya, pulau Jawa sering dikunjungi oleh para pelayar dari berbagai asal dari Cina (tiongkok) sejak abad dahulu. Catatan sejarah tentang pelayaran samudera dilakukan oleh Chien Han Shue pada periode Dinasti Han (202 SM – 220 M), memberitahukan bahwa sejak abad tersebut telah berhubungan dengan Cina Daratan (Tiongkok) dengan tujuan investigasi, persahabatan dan perdagangan.
Usman Effendy (200:1), menyatakan bahwa sejarah pengembaraan pendeta dan pelajar Cina, I-Tsing, yang berakhir di pelabuhan Sribusa pada 671 M telah mencatat keberadaan orang-orang Arab dan Persia disana. Sejarah pengembaraan Chau Ju-Kua juga memberitahukan tentang keberadaan “koloni Arab” di pantai barat Sumatra, seperti di Barus (Tapanuli tengah). Sumber dari Tiongkok sangat penting tapi ada sebuah kesulitan dalam mengidentifikasi nama-nama seperti yang dikenal dalam sejarah Nusantara kita.
Hal ini menggambarkan bahwa kerajaan Sriwijaya dapat dikatakan sebagai “starting points” dari hubungan Nusantara dengan yang lain. Sebagai kerajaan terbesar di Nusantara pada saat itu, Sriwijaya telah menjadi kerajaan terkuat dalam hal pasukan dan teknologi pembuatan perahu, pusat aktifitas perdagangan Internasional, pusat aktifitas keagamaan, dan sebagai pusat pertemuan antar bangsa yang bertujuan untuk membuat sebuag kerajaan yang terintegrasi. Bahkan, telah ada komunitas Islam Cina yang merupakan “starting-points” dalam menyebarkan agama Islam ke berbagai wilayah terpencil di Nusantara.
Keberadaan komunitas Islam Cina di Sriwijaya adalah sebuah hal yang logis. Hal ini karena Islam pada kenyataannya bukanlah sebuah agama baru bagi masyarakat Cia Daratan (Tiongkok). Di Cina Daratan atau Cung–Guo (Tiongkok), Islam dipercaya telah menyebar sejak 1 Hijriyah (abad ke 7), dibawa pertama kali oleh sahabat Rasullullah (Nabi Muhammad SAW) yang bernama Sa’ad Ibnu Lubaid. Diluar dari kesulitan mengidentifikasi Sa’ad, hubungan antara dunia Islam, contoh bangsa Arab dengan Tiongkok telah secara berulang dilakukan. Selama kurang lebih 90 tahun pada periode Dinasti Ummayah, tidak kurang dari 17 duta besar Muslim telah dating ke Tiongkok, kemudian dilanjutkan juga oleh 18 duta besar yang didelegasikan dari pimpinan Dinasti Abbasiyah pada periode 750-798 M.
Keberadaan hubungan antara dunia Islam dengan Cina Daratan atau Cung-Guo (Tiongkok) telah mendorong pertumbuhan Islam, ada cukup banyak komunitas Muslim sejak pertengahan abad ke 8 di pulau Hainan dan Zhung-Ciu. Di jalur pulau ada juga perluasan komunitas dan koloni Muslim yang cukup besar di daerah Asia Tengah yang meliputi Uighurs dan suku Hui di wilayah Xian Jiang (Turkistan Timur). Mereka sampai sekarang merupakan komunitas Muslim terbesar di Republik Cina (RRC), khususnya Beijing ada sekitar 300.000 muslim (Usman Effendy, 2000:1). Total orang muslim Cina di Cina sekarang diperkirakan antara 60 a.d. 100 juta orang, sebuah jumlah yang melebihi penganut Kristen disana (Budisetyagraha, 200:3).
Burhanudin Daya (2001:1) menyatakan hubungan yang terjadi pada saat itu adalah antara keluarga Wang Ming dari Dinasty Han dengan penguasa Aceh, Huantse dan mereka yang berhenti di Jawa menjalin persahabatan dengan penguasa Jawa, Yehtiao, pada 132 (M). Data historis oleh Hamka disebut catatan Cina menjadi salah satu rujukan untuk data historis yang diharapkan untuk menggali informasi tentang Nusantara di abad dahulu.
Sejumlah pengembara yang mempunyai identitas Islam, seperti Jendral Chen Ho (Zhen He) atau dikenal sebagai Haji Sam Po Kong yang melakukan perjalanan laut sekitar 1405-1433 M. Zhen He oleh peneliti sementara dianggap sebagai keturunan ke 37 dari Nabi Muhammad SAW telah meninggalkan warisan Mushola, yang dikenal sebagai Klenteng Sam Po Kong di daerah Gunung Batu (Semarang, Jawa Tengah, Indonesia). Disamping Zheng He, ada juga beberapa pengembara, pelayar, dan perkampungan Cina Islam tapi tidak beruntungnya sejarah mereka sulit untuk dicari secara akurat. Contoh, Haji Mah Hwang dan Haji Feh Tsin, anggota pelayar Tiongkok yang sering bersembahyang di mesjid Semarang; Haji Boh Tak Keng dari Cgampa; Haji Gan Eng Cu di Tuban; Jin Bun yang disebut Raden Fatah (Demak); dan Tung Ka Lo yang dipanggil sebagai Sultan Trenggana (Usman Effendy, 2001:1).
H.J. de Graaf dan Th.G.Th.Pigeaud dalam Bambang M. Pranowo (1998:90) dituliskan bahwa pada saat Diniasti Ming (1386-1645 M) ada beberapa suku Cina Islam dari Yunan yang menggunakan Mazhab Hanafi dalam pemerintahannya. Pasukan Tiongkok di bawah kepemimpinan Haji Sam Pobo (Cheng Ho) menguasai territorial perairan dan pantai Nan Yang (Asia Tenggara). Pada 1407 M, pasukan Cina merebut Kukang (Palembang) yang pada waktu itu dikuasai oleh Cina non Muslim. Disana, mereka membentuk komunitas Cina Islam pertama di Sambas-Kalimantan Barat, Peninsula Malaka, Jawa seperti di Ancol (Jakarta) dan Cangki (Mojokerto).
Selama masa kerajaan Sriwijaya, diketahui juga ada komunitas Cina Islam di Bangka. M.F.S. Heidhues (1992:178) menulis bahwa pada 1823 M di Bangka, pernah ada sekitar 4.000 Cina Islam yang bekerja sebagai pekerja tambang (termasuk sejumlah kecil wanita dan anak-anak). Jumlah mereka semuanya sekitar 9.000 orang, dan dari jumlah tersebut ada sekitar 754 klan (28 diantara mereka adalah Muslim). Benar adanya bahwa sejak pembukaan tambang timah di tahun 1709 M, ada banyak orang Cina Daratan yang bermigrasi ke Bangka untuk bekerja sebagai penambang timah. Karena pada umumnya mereka tidak membawa istri-istri dan anak-anak mereka, banyak dari mereka menikah dengan wanita pribumi dari daerah setempat yang pada umumnya memeluk Islam.
Untuk berbagai alasan tersebut, Kerajaan Sriwijaya yang mempunyai latar belakang kepercayaan Budhisme, memiliki “Nilai Integritas” yang mana sangat berarti, yang kemudian menghormati perbedaan agama dan budaya untuk berdampingan demi kepentingan umum “kedamaian”. Kepentingan umum merupakan yang terpenting dalam perdagangan internasional multi-latera; pendalaman dan pendidikan keagamaan (Budhisme), langkah utama dalam perkembangan Islam di Nusantara. Kerajaan Sriwijaya menguasai nilai-nilai lokal “nilai-nilai integritas sosial” melalui proses alamiah. Darwis Hidayat (2001:1) menyatakan bahwa dalam perjalanan sejarah, Budhisme dari Negara terdahulunya yaitu India sukses untuk menyebarkan ke berbagai tempat terpencil di dunia, pada kenyataannya tidak membuat oposisi, perselisihan, ataupun perang yang disebabkan oleh perbedaan agama, sekte, dan juga kebudayaan. Di Nusantara, Budhisme telah mengalami sebuah masa gemilang ketika masa Sriwijaya, Syailendra dan Majapahit.
Nilai-nilai integrasi sosial Sriwijaya mengalami perubahan drastis, ketika bangsa Eropa mulai datang ke Nusantara pada abad ke 15. Pada tahun 1854 M contohnya, bangsa Belanda menyatakan bahwa bangsa pribumi merupakan kelas pekerja (inlender) setelah bangsa Eropa sebagai kelas pertama dan bangsa timur dan (bangsa Cina, Arab, dan India) sebagai kelas dua. Klasifikasi oleh Belanda dipercaya sebagai penyebab utama munculnya keretakan hubungan antara bangsa Cina dengan pribumi yang telah tebentuk sebelum itu, bersamaan dengan keberadaan kerajaan Sriwijaya. Bentuk tindakan diskriminasi, dikatakan oleh Bambang M. Pranowo (1998:85-96), bangsa Belanda yang telah ada di Indonesia sejak kira-kira 365 tahun, membuat system sosial, politik, hokum, pendidikan, dan ekonomi yang diskriminasi, yang kemudian menjadi menyulitkan proses penguatan persatuan bagsa. Tujuan bangsa Belanda dating ke Indonesia adalah untuk mengeksploitasi bangsa pribumi melalui politik devide et impera.
Sebagai akibat dari tindakan repressive, eksploitatif dan diskriminatif oleh Belanda, beberapa orang Cina yang dulunya memiliki hubungan baik dengan pribumi mulai merasakan perubahan berbeda dari bangsa pribumi karena mereka telah mendapat status sosial yang berbeda. Hal ini sangat buruk, orang pribumi memandang orang Cina sebagai yang memiliki status sosial yang baik, ekonomi, hokum dan politik yang lebih baik, walaupun pada kenyataannya tidak selalu begitu. Kondisi ini menjadi semakin jauh dengan menumbuhkan benih kecemburuan orang pribumi terhadap orang Cina. Fakta sejarah sosial tentang dua penguasa yang berbeda masa di Nusantara ini, Sriwijaya dan Belanda, menunjukkan sebuah kondisi yang kontras satu sama lain. Nilai-nilai integrasi pada masa pendudukan Belanda pada dasarnya merupakan tindakan represif dan diskriminatif. Nilai integrasi sosial yang dimunculkan pada masa Sriwijaya haruslah ditunjukkan dalam usaha untuk menguatkan dalam mengembalikan keutuhan tingkatan sosial dan keutuhan Negara Indonesia dalam 10 tahun terakhir (sejak 1998 – 2008) hampir mengalami fluktuasi.
C. Indonesia Sekarang
Hal ini merupakan keinginan Sang Pencipta bahwa Indonesia ditakdirkan sebagai masyarakat yang plural. J.S. Furnival (1980:86-103) menyatakan bahwa sebagai sebuah tipe masyarakat tropis dimana mereka mengatur dan mereka dijajah untuk memiliki suku yang berbeda. Orang Belanda sebagai sebuah kelompok minor, jumlahnya secara progresif meningkat pada akhir abad ke 19, pada saat yang sama sebagai penguasa terhadap mayoritas pribumi. Secara keseluruhan, dinyatakan oleh J. Nasikun (1995:287-302), masyarakat Indonesia pada masa pendudukan Belanda merupakan masyarakat yang berkembang dalam sistem kasta tanpa hubungan religious. Orang Belanda, Cina dan Pribumi, melalui agama, budaya, bahasa, cara berpikir, dan gaya hidup, sebagai tanda untuk tidak memposisikan kepentingan bersama.
Sebagai sebuah masyarakat plural, bangsa Indonesia sangat sensitive untuk munculnya konflik sosial dan ancaman disintegrasi bangsa. Henk Schulte Nordhholt dan Hanneman Samuel (2004: 1-2) menyatakan:
“Setelah beberapa decade kekuasaan pemerintahan terpusat, berusaha untuk memperkenalkan perubahan politik dan ekonomi terlihat sebagai malapetaka, dalam menghadapi sabotase birokrasi, kekuasaan politik yang korup, oportunisme jangka pendek, dan ketiadaan pembagian visi di masa mendatang. Dalam hal munculnya ledakan pembangkangan etnik dan agama di berbagai wilayah di Nusantara, pergerakan penentangan wilayah, ketidakmampuan untuk korupsi, rasa pesimis cenderung mengklasifikasikan Indonesia dalam kategori “Negara yang morat-marit”. Pendek kata, prediksi selanjutnya adalah disintegrasi yang memungkinkan menuju perpecahan bangsa.”
Hal yang senada disampaikan Syafuan Rozy (2003: 121-122) bahwa konflik sosial terjadi dikarenakan oleh kondisi yang buruk dalam struktur sosial yang menyebabkan orang mudah untuk marah satu sama lain. Franz Magnis Susesno (2003: 121) mengatakan bahwa setidaknya ada empat factor tambahan dalam konflik sosial di Indonesia. Pertama, konfli budaya berhubungan dengan konflik primordialisme berdasarkan agama, ras, etnik, dan daerah. Kedua, berhubungan dengan perasaan kebencian dan dendam yang terakumulasi. Orang-orang dengan mudah terprovokasi oleh yang lainnyadan mereka cenderung memposisikan sikap ekslusif berdasarkan aga,a dan kelompok etnik. Ketiga, sistem politik era yang baru memposisikan kekuatan militer yang cenderung untuk menyelesaikan masalah dengan pendekatan yang tidak demokratis.
Pasurdi Suparlan (2003:79) juga mengatakan bahwa beberapa masyarakat plural, Indonesia di masa mendatang menjadi sensitive oleh konflik-konflik sosial yang tidak terukur yang mengancam integrasi sosial. Potensi integrasi sosial dibuat dari kompetisi dari individu dan kelompok dalam bentuk “sumber sosial” menggunakan ke-etnikan untuk menguatkan kekuatan. Mempengaruhi satu sama lain akan memanipulasi ke-etnikan sebagai sebuah jalan untuk mengumpulkan kekuatan berdasarkan solidaritas dan kelompok, kemudian menggunakan ke-etnikan dalam konflik untuk memperoleh kekuasaan tertentu, pada struktur kekuasaan sosial local, seperti politik dan ke-etnikan sebagai potensi yang dapat menghancurkan struktur sosial dan tingkat komunitas.
Untuk itu, realitas sosial kehidupan bangsa sekarang ini telah menguatkan hubungan dengan realitas sejarah sosial sebelumnya. Analisa ini, dari aspek pengetahuan sosial terlihat seperti mengarahkan kita untuk pentingnya pengetahuan dan pemahaman tentang masalah kebangsaan sekarang ini secara komprehensif dan mencegah dari analisa parsial dan subjektif yang hanya akan mengaburkan masalah substantive. Oleh karena itu, studi ini membutuhkan keberadaan proses dialektika antara nilai-nilai local atau integrasi nilai-nilai sosial kerajaan Sriwijaya dengan realitas sosial yang berjalan saat ini.
Walaupun, bangsa Indonesia telah mencapai kemerdekaan sejak 63 tahun yang lalu, pada umumnya, sosial, budaya, ekonomi, jurang politik dan pendidikan masih terjadi. Terlebih, ada seseorang yang mengklaim bahwa jurang ekonomi dan sosial identik dengan tindakan dominan dari orang-orang Cina dalam bidang ekonomi. Tentu saja, pandangan dan klaim dengan cara tersebut dapat mengaburkan penguatan integrasi sosial dan integrasi bangsa. Kasus kerusuhan sosial yang berdasarkan nuansa ke-etnikan dan agama pada Mei 1998 berhubungan dengan jurang sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Lingkungan sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, dan perkembangan kebijakan politik terhadap semua partai di masyarakat yang multikultural di Indonesia.
Dalam sepuluh tahun terakhir (1997-2007), menunjukkan intensitas dan pelebaran konflik sosial di masyarakat benar-benar terjadi. Konflik sosial dapat berupa horizontal dan konflik vertical. Konflik sosisal horizontal adalah konflik yang terjadi diantara anggota masyarakat, seperti tawuran antar kampong, etnik, dan para pemeluk agama. Nuansa konflik ke-etnikan dan agama terjadi seperti di Pontianak, Poso, Ketapang, Kupang, Sambas, dan Ambon-Maluku. Potensi konflik memiliki nuansa kesukuan, agama, ras, dan status sosial (SARA) tidak dapat dilihat ke dalam konsekuensi karena seperti halnya “api dalam sekam” yang suatu saat dapat membara lebih dasyat lagi. Konflik sosial yang bernuansa vertical, disebut konflik antara masyarakat dengan pemerintah. Antara konfli horizontal dan certikal dapat dihubungkan dan dipicu satu sama lain.
Kebanyakan daerah di Indonesia memiliki separatism, dalam dimensi konflik vertical seperti kasus di Aceh, Papua, dan Maluku, memiliki muatan “sumber daya alam”. Dari indicator keberadaan level propinsu, jumlah keseluruhan dari angka investasi asing memiliki korelasi positif dengan potensi dengan keberadaan konflik sosial. Permintaan kemerdekaan dari sebagian orang di propinsi merupakan bentuk kekecewaan terhadap pemerintah dalam perkembangan hasil manajemen sumber daya yang ada. Hal ini merupakan sebuah ancaman disintegrasi sosial dan disintegrasi bangsa memberikan legitimasi untuk memotivasi perjuangan separatism. Bagaimanapun, berbagai konflik sosial dan agama di Indonesia hampir diluar masalah idiologi keagamaan, tapi lebih disebabkan oleh aspek-aspek lainnya, seperti ketidakadilan distribusi hasil alam.
Ketika Negara kita mengalami berbagai masalah konflik sosial yang membahayakan untuk terciptanya disintegrasi sosial dan bangsa, peran nilai-nilai local, nilai-nilai integrasi kerajaan Sriwijaya sangat positif dalam membangun ulang dan menguatkan integrasi sosial dan nasional nanti. Oleh karena itu, tingkatan ancaman disintegrasi bangsa seperti dinyatakan oleh sejumlah peneliti sosial diharapkan dapat diminimalisir. Walaupun bangsa yang plural, hal ini sangat beresiko untuk munculnya konflik sosial, hal ini tidak berarti tidak dapat diminimalisir.Louwis A. Coser (1985:47-48), konflik merupakan disfungsi bagi sebuah kelompok. Konflik sebagai sebuah proses merupakan mekanisme yang dibentuk oleh kelompok-kelompok dan batasannya. Konflik dapat menyatukan semua anggota kelompok melalui inagurasi ulang terhadap identitas kelompok. Kemungkinan konflik sebagai sumber dari pembuaran kelompok diejawantahkan dalam bentuk perasaan stress, isu tentang konflik, cara untuk bagaimana menangani stress, dan pentingnya tipe struktur dimana bahwa konflik meluas.
D. Implikasi Taksiran Integritas Sriwijaya
Kemajuan Sriwijaya pada realitasnya paling sedikit telah ditentukan oleh kemajuan teknologi maritime, pendidikan dan pendalaman agama (etika/ moral), perdagangan dunia (ekonomi), dan dukungan serta birokrasi masyarakat yang kokoh, yang dalam artikel ini disebut sebagai “nilai-nilai integrasi sosial” di Sriwijaya. Implikasi penting dari nilai-nilai integrasi Sriwijaya, disebutkan:
Pertama, sebagai kerajaan maritime yang kuat, kerajaan Sriwijaya telah memfokuskan pada potensi samudra sebagai sumber kehidupan dan kelangsungan kerajaan. Kebanyakan wilayah kerajaan memiliki beckground wilayah perairan, sehingga teknologi kelautan/ perkapalan menjadi prioritas utama. Wilayah perairan tidak hanya dilihat sebagai sebuah sumber ekonomi dan transportasi tapi juga sebagai pertahanan keamanan kerajaan. Perhatian pada pengembangan wilayah perairan harusnya menjadi prioritas bagi Negara kepulauan seperti Indonesia yang riskan terhadap ancaman keamanan wilayah, pembajakan, dan pencurian ikan, dsb.
Kedua, pengembangan pendidikan, pengetahuan, dan penelitian pada Budhisme. Kerajaan Sriwijaya dulunya merupakan kerajaan Budhisme memiliki ikatan emosial yang kuat dengan Tiongkok, karena orang Cina yang datang ke Sriwijaya pada umumnya memeluk Budhisme. Keberadaan kerajaan Budhisme telah mendorong I-Tsing untuk memperdalam pengetahuan agama Budhisme melalui penelitian sebelum melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi ke Nalanda, India. Inclusifisme dan toleransi beragama sangat terlihat jelas pada masa Sriwijaya. Sebagai atapnya yaitu Budhisme dan yang lainnya ada komunitas Islam Cina, yang dikembangkan oleh orang-orang Islam Cina yang datang ke Tiongkok. Hal ini telah menunjukkan bahwa masalah keagamaan, etika, dan moralitas menjadi elemen penting bagi sebuah kerajaan.
Ketiga, aktifitas ekonomi dan perdagangan di kerajaan Sriwijaya pada masa itu telah berskala Internasional. Perdagangan menjadi prioritas utama bagi kerajaan. Hubungan kerajaan tidak hanya dengan gugus kepulauan nusantara tapi juga dengan berbagai Negara luar seperti Cina, Arab, dan Persia.
Yang terakhir bahwa kerajaan Sriwijaya telah mengaplikasikan “wilayah otonomi” yang walaupun secara formal Sriwijaya di bawah sayap Cina daratan, mereka masih menikmati otonomi yang luas. Oleh karena itu, masa ini dapat dibilang sebagai hubungan intensive antara nusantara dengan bangsa Cina, seperti yang ditulis oleh Taher (1997:40). Tidak ada maslah perbedaan minoritas dan mayoritas, tapi rasa saling menghargai antar sesame membutuhkan (simbiosis mutualisme) seperti yang dicontohkan oleh Sriwijaya dengan Cina Daratan yang focus pada nilai-nilai demokrasi, keadilan, potensi dan pluralitas.
Aplikasi otonomi wilayah di Indonesia pada arti yang sesungguhnya diharapkan untuk mampu mengurangi intensitas berbagai potensi konflik sosial. Kelemahan dalam implementasi otonomi wilayah (2001-2008) diharapkan untuk diperbaiki sebagai usaha untuk penghargaan dan kepentingan reformasi 1998, sebagai sebuah usaha untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat.
Hal ini merupakan beberapa nilai-nilai integrasi sosial yang dimiliki oleh kerajaan Sriwijaya yang diharapkan mampu menjadi inspirasi dalam melengkapi pengembangan Indonesia yang lebih baik nantinya.
(Teks Alih Bahasa dari Hasil Seminar Internasional Tentang Sriwijaya di Palembang 2008) Alih Bahasa oleh : Tim Wacana Nusantara