Kampung Naga Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya


Oleh : Drs. Suwardi Alamsyah P.

A. Pendahuluan
Gelombang serba teknologi dalam kehidupan dunia sekarang, disadari atau tidak. Dipuja secara berlebihan dan menyebabkan kita tak sempat lagi menoleh pada unsur-unsur kebudayaan daerah, khususnya yang bersifat tradisional. Hal ini mungkin saja terjadi karena kebudayaan daerah sering dianggap tidak kontekstual lagi dengan kondisi kekinian.

Merebaknya tatanan nilai budaya global membawa pengaruh cukup signifikan terhadap tatanan nilai budaya lokal. Dengan tidak disadari, Jawa Barat memiliki peluang, dimana aset atau warisan budaya kurang mendapat perhatian kita, padahal sebenarnya aset atau warisan budaya itu dapat dipelihara, diperkenalkan, dan dimanfaatkan untuk dan oleh masyarakat pada umumnya.

Di samping fungsinya sebagai sarana sosialisasi dan pengokoh norma, dari segi tampilannya sebagai kampung adat, maka Kampung Naga tampaknya bisa bermanfaat sebagai aset budaya.

Pada akhirnya, semua ini berpulang kepada manusia sebagai penyandang atau pelaku kebudayaan, apakah akan membuat kebudayaan daerah yang merupakan puncak-puncak kebudayaan nasional itu dihargai atau sebaliknya ditinggalkan. Oleh karena itulah merevitalisasi nilai lama yang positif dan relevan agar tetap hidup di tengah-tengah masyarakat global, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dalam hal ini Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Traisional berkepentingan untuk mengadakan kegiatan perekaman dan pendokumentasian salah satu kampung adat. Hasil perekaman tersebut ditayangkan di hadapan para siswa-siswi SLTA secara bergilir di wilayah kerja Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional yang salah satunya kita kita saksikan sekarng ini. Diharap dengan penayangan film dokumenter budaya ini bisa dipetik nilai-nilai yang ada di balik objek penayangan film Kampung Naga dimaksud.

B. Mengenal Kehidupan Masyarakat Kampung Naga
Kampung Naga, satu dari sekian kampung-kampung adat yang ada di Jawa Barat. Kampung Naga terletak tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan daerah Garut dengan Tasikmalaya. Kampung ini berada pada suatu lembah yang subur, dilalui oleh sebuah sungai bernama Sungai Ciwulan yang bermata air di Gunung Cikuray di daerah Garut.

Secara administratif, Kampung Naga berada di wilayah Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya. Dari Tasikmalaya ke Kampung Naga sekira berjarak 30 kilometer. Untuk mencapai kampung tersebut dari arah jalan raya Garut – Tasikmalaya, harus menuruni anak tangga hingga Sungai Ciwulan dengan kemiringan tanah 45 derajat.

Penduduk Kampung Naga adalah penganut agama Islam yang taat, di samping masih memegang teguh adat istiadat yang secara turun temurun berasal dari nenek moyang mereka. Karena areal Kampung Naga terbatas, sehingga tidak memungkinkan lagi mendirikan rumah baru, maka banyak penduduk yang termasuk adat sa-Naga bertempat tinggal di luar Kampung Naga maupun di luar Desa Neglasari. Bahkan ada di antara mereka yang bertempat tinggal di kota Garut, Tasikmalaya, Bandung dan Cirebon. Mereka ini pun masih taat menjalankan adat istiadat warisan nenek moyang mereka yang berpusat di dalam Kampung Naga. Semisal, pada saat diselenggarakan adat dan upacara adat sa-Naga yang dipusatkan di Kampung Naga, mereka memerlukan datang ke Kampung Naga untuk melaksanakannya bersama-sama.

Nenek moyang orang Kampung Naga (sa-Naga) yang menurunkan keturunan dan adat istiadat Naga adalah Eyang Singaparana. Makamnya berada di wilayah hutan di sebelah barat Kampung Naga. Makam Eyang Singaparana dianggap makam keramat yang selalu diziarahi pada saat akan diadakan atau dilakukan penyelenggaraan upacara-upacara adat atau yang lainnya, baik oleh warga masyarakat Kampung Naga yang berada di sana maupun orang-orang keturunan yang termasuk ke dalam adat sa-Naga.

Sebagai rasa hormat kepada nenek moyangnya, maka orang-orang Naga selalu patuh menjalankan dan memelihara adat istiadat dan kebiasaan yang berasal dari nenek moyang mereka, semisal sistem religi dan upacara, sistem mata pencaharian, sistem pengetahuan, sistem peralatan hidup/teknologi, sistem organisasi kemasyarakatan, kesenian, dan bahasa. Mereka tetap kukuh dalam memegang teguh falsafah hidup yang diwariskan nenek moyangnya dari generasi ke generasi berikutnya, dengan tetap mempertahankan eksistensi mereka yang khas. Kebiasaan yang dianggap bukan berasal dari nenek moyangnya dianggap tabu untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

Kekhasan dari Kampung adat Naga selain yang di sebutkan di atas ialah arsitektur bangunannya yang membedakan arsitektur bangunan pada umumnya. Mulai dari letak, bentuk, arah rumah, bahan-bahan pembuat rumah, pola perkampungan, sampai kepada perilaku kehidupan sehari-hari ditaati sebagai ketentuan yang digariskan leluhur. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dianggap sebagai pelanggaran adat yang dapat membahayakan bukan saja bagi si pelanggar, tetapi juga bagi seluruh isi Kampung Naga dan bagi orang-orang sa-Naga.

Selain bentuk, arah dan letak rumah disesuaikan dengan keaadaan lingkungan, maka pola perkampungan disesuaikan dengan keadaan tanah yang ada. Kampung Naga terletak pada suatu areal tanah yang tidak sama ketinggiannya. Karena keadaan tanah yang demikian itu maka rumah-rumah di Kampung Naga didirikan pada ketinggian tanah yang berbeda-beda. Karena itu tampaknya rumah itu tersusun bertingkat-tingkat dari bagian tanah yang paling tinggi hingga bagian tanah yang paling rendah. Deretan rumah yang satu lebih rendah dari deretan rumah yang lain, dibatasi oleh sengked-sengked batu yang disusun sedemikian rupa, sehingga tanah-tanah yang lebih tinggi tidak mudah longsor. Deretan rumah yang demikian menambah keindahan bila dilihat dari tempat yang lebih tinggi.

Sekeliling kampung dipagari dengan pagar bambu atau pagar hidup, sehingga batas-batas kampung tampak jelas sekali. Dilihat dari pola atau bentuknya, Kampung Naga berpola mengelompok dengan tanah lapang atau tanah kosong di bagian tengah yang dipergunakan untuk arena bermain anak-anak diwaktu senggang sehabis bersekolah dan membantu pekerjaan orang tua mereka. Sedangkan dibagian muka kampung terdapat kolam. Seluruh rumah dan bangunan-bangunan yang ada atapnya memanjang arah barat ke timur, pintu memasuki kampung terletak di sebelah timur, menghadap ke sungai Ciwulan. Di bagian sebelah barat lapang terdapat bangunan masjid dan pancuran, sejajar dengan masjid terdapat bangunan yang dianggap suci yang dinamakan Bumi Ageung, sebuah bangunan rumah tempat menyimpan barang-barang pusaka serta rumah kuncen (Kepala Adat). Selain itu, terdapat bangunan tempat menyimpan hasil pertanian berupa padi yang disebut leuit.

Dalam pelaksanaan kehidupan sehari-hari di Kampung Naga dapat dilihat dua unsur kepemimpinan yang satu sama lain bekerjasama mengatur keharmonisan hidup masyarakat Kampung Naga khususnya dan masyarakat Desa Neglasari pada umumnya, sehingga kedua macam kepemimpinan masyarakat tersebut dapat berjalan harmonis sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Ketua adat dalam hal ini kuncen, dalam beberapa hal tunduk kepada ketua RK dan ketua RT terutama dalam hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari yaitu yang berhubungan dengan sistem pemerintahan desa. Sedangkan ketua RK dan ketua RT juga tunduk kepada ketua adatnya di dalam kehidupan yang berhubungan dengan adat istiadat dan kehidupan kerohanian masyarakat.

Selanjutnya dalam hal berkesenian, masyarakat Kampung Naga masih memiliki dan masih memiliki jenis kesenian yang dianggap warisan nenek moyang, sehingga harus dipertahankan kelestariannya sejajar dengan adat kebiasaan yang diwariskan secara turun-temurun. Jenis-jenis kesenian tersebut adalah terbangan, angklung, dan beluk. Kesenian ini selain merupakan alat hiburan bagi masyarakat Kampung Naga juga dipergunakan untuk mengiringi upacara-upacara adat, seperti upacara sasih, upacara berziarah ke kubur keramat nenek moyang dan upacara yang berhubungan dengan bulan-bulan suci atau agung dalam Islam, misalnya bulan Muharram, Maulud, hari Raya Idulfitri, dan sebagainya. Penggunaan bahasa, secara umum masyarakat Kampung Naga masih menggunakan bahasa Sunda sebagai alat komunikasi dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya, di samping mereka juga mampu berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia.

Photo : http://lh6.ggpht.com

Drs Suwardi Alamsyah P. adalah Tenaga Peneliti Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata

Sumber :
Makalah disampaikan pada Kegiatan Penayangan Film dan Diskusi Nilai Budaya yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung bekerjasama dengan Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Pelaksanaan kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 21 Juli 2007 di Gedung Pemda Provinsi Lampung Lt 1 Ruang Abung Bandar Lampung.