Oleh: Aprinus Salam
A. Pengantar
Identitas dan nasionalitas merupakan faktor penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Faktor yang menyebabkannya penting karena identitas dan nasionalitas secara teoretis merupakan unsur utama dalam menyangga keberlangsungan kehidupan berbangsa. Pernyataan itu berangkat dari satu pengandaian teoretis bahwa "kecintaan" dan perasaan "memiliki" seseorang kepada masyarakat dan bangsanya, bergantung pada bagaimana seseorang mendefinisikan dan mengidentifikasi dirinya, suatu konsep identitas yang sepenuhnya imajiner, terhadap lingkungan sosialnya. "Rumusan" seseorang dalam mendefinisikan dan mengidentifikasi diri tersebut, memberi implikasi langsung bagaimana seseorang mempraktikkan dirinya dalam kehidupan sosial, politik, atau dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Itulah sebabnya, suatu kajian tentang identifikasi terhadap identitas seseorang/masyarakat dirasakan sangat penting. Kajian itu, diharapkan pula meliputi proses-proses konsolidasi apa saja yang menyebabkan seseorang merasa memiliki atau tidak memiliki identitas, wacana-wacana apa saja yang dimanfaatkan sebagai sarana pembentuk identitas, dan di atas semua itu, bagaimana keterkaitannya dengan nasionalitas. Pembicaraan ini secara khusus mengkaji persoalan identitas dan nasionalitas dalam beberapa karya sastra (novel)
Untuk sekedar memberi gambaran akan pentingnya masalah ini, paling tidak telah ada beberapa kajian yang telah menguraikan masalah nasionalitas. Keith Foulcher (1991) pernah menganalisis masalah nasionalisme dalam sastra Pujangga Baru (1933-1941). Foulcher memfokuskan kajiannya pada usaha perjuangan mencari bentuk nasionalisme yang ideal pada masa-masa tersebut yang direpresentasikan dalam karya-karya Pujangga Baru. Ahmad Sahal (1994) membicarakan nasionalisme sebagai satu sikap perlawanan terhadap narasi nasionalisme yang lebih mapan (kolonial). Kajian Sahal difokuskan terhadap karya Toer, yaitu Rumah Kaca. Hilmar Farid (1994) juga pernah menulis masalah nasionalisme dalam sastra
Dalam permasalahan di atas, Bhabha mengatakan bahwa acuan tentang identitas personal pada dasarnya tidak jelas, untuk mengatakan tidak ada. Sejauh yang terjadi, seseorang dalam mempersepsi identitas dirinya merupakan konstruksi sosial, misalnya institusi-institusi sosial-politik tertentu, seperti agama, etnisitas, bahasa, ras, kelas-kelas kepentingan, bahkan nation, yang oleh Timothy Brennan tidak lebih semacam kelas kepentingan yang lebih canggih (1994), ataupun kelompok kepentingan lainnya. Konstruksi sosial tersebut sangat mungkin saling bertentangan sehingga tidak jarang seseorang mengalami ambiguitas disebabkan mengalami proses institusionalisasi yang berjalan secara paralel dan/atau bersamaan. Itulah sebabnya, tidak jarang seseorang berada dalam posisi serba perbatasan, peniruan yang serba tanggung atau mimikri dalam konsep Bhaba (1994), atau dalam kejadian lain seseorang memiliki multiidentitas. Dalam masyarakat posmodern, wacana multiidentitas tersebut menyebabkan seseorang membangun sekat-sekat imajiner, untuk mempertahankan identitas dirinya, secara individual. Sekat-sekat imajiner individual tersebut memberikan hubungan yang problematik dengan nasionalisme.
B. Dari "Rumah" ke Identitas
Nasionalitas, etnisitas, ideologi, mungkin ada referensinya, tetapi identitas personal tidak. Bagaimana identitas personal diperoleh?
Sejumlah tokoh utama dalam novel-novel Balai Pustaka memperlihatkan bahwa, dalam prosesnya, ia menjadi orang asing (foreigners) di rumahnya sendiri. Tokoh utama dalam Siti Nurbaya (SN), Salah Asuhan (SA), Samsul Bahri atau Hanafi, menjadi tidak betah dan kurang cocok di lingkungan dan adat istiadat setempat (asalnya). Memang, yang perlu diperhatikan adalah perasaan tidak kerasan itu setelah sebagian dari tokoh-tokoh dalam cerita itu mengenal/ke luar dari desanya, dan di kemudian hari, melihat dan mencoba memposisikan kembali dirinya di rumah dan kampungnya. Berikut dikutipkan tiga hal perihal Hanafi dalam SA.
.... Hanafi menyumpahi dirinya, karena ia dilahirkan sebagai Bumiputra! (h. 53.)
.... Bukanlah ia seketika sudah memuliakan bangsanya dan meninggikan derajat Bumiputra, tetapi ia tak suka memberi kepada siapapun juga di luar kaum bangsa itu, buat menghinakannya dengan tidak memberi alasan (h. 57)
.... "Anak itu lama di rantau orang, disangkanya mudah saja ia mengubah adat kita." (h. 71).
Pertanyaannya, di mana Hanafi?
Proses apa yang menyebabkan seseorang tergusur dari rumahnya, dari dalam dirinya sendiri atau dari luar, atau dari luar kemudian menjadi dalam dirinya sendiri. Seseorang menjadi orang luar ketika ia tidak diterima oleh wacana dominan tentang konsep rumah dalam suatu tempat tertentu. Proses-proses yang menyebabkan seorang menjadi orang dalam dan orang luar, adalah proses-proses konsolidasi yang dilakukan oleh institusi-institusi tertentu (kelas atau kelompok-kelompok kepentingan), berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai tertentu, ataupun pengetahuan tertentu, atau bahkan seperti partai-partai atau lembaga-lembaga tertentu, sehingga seseorang menjadi tersubjeksi oleh proses konsolidasi tersebut (Untuk keterangan ini lihat konsep Althusser dalam Fairclough, 1992: 30-33, 86-95; Storey, 1993: 110-113; Belsey, 1980: 56-62). Dengan demikian, definisi tentang menjadi orang luar atau orang dalam itu selalu berubah, serba bergantung kepada sudut pandang posisi tempat orang luar dan atau orang dalam.
Dalam hal di atas, terjadi proses tawar-menawar, apakah ia harus kembali menjadi orang dalam, atau tetap di luar. Tawar-menawar itu demikian keras dan mungkin sulit dipertemukan. Jika Hanafi orang luar sesuatu, tentu seharusnya ia orang dalam sesuatu yang lain. Sementara itu, ternyata ia juga tidak/belum diterima menjadi orang dalam-nya orang luar itu. Di sinilah problematika-nya, Hanafi berada dalam serba perbatasan, ia menjadi sesuatu yang ambivalen. Ia tidak/ belum masuk ke satu inside tertentu. Sebagai contoh, dikutipkan teks berikut dalam SN.
... Seorang dari anak muda ini, ialah seorang anak laki-laki, yang umur- nya kira-kira 18 tahun. Pakaiannya baju jas tutup putih dan celana pendekhitam, ..... . Topinya topi rumput putih, yang biasa dipakai bangsa Belanda. ... (h. 9).
... Jika dipandang dari jauh, tentulah akan disangka, anak muda ini seorang anak Belanda, yang hendak pulang dari sekolah. Tetapijika dilihat daridekat, nyatalah ia bukan bangsa Eropa; karena kulitnya kuning sebagai kulit langsat, rambut dan mata nya hitam sebagai dawat. ...(h. 9).
.... Teman anak muda ini, ialah seorang anak perempuan yang umurnya kira-kira 15 tahun. Pakaian gadis ini pun sebagai pakaian anak Belanda. ... (h. 9).
.... Menurut bangun tubuh, warna kulit dan perhiasan gadis ini, nyatalah ia bangsa anak negeri di
Akan tetapi, jika berangkat dari kemungkinan ideologi pengarang, tampaknya Moeis berpihak pada inside adat-istiadat dan kampung halamannya. Mungkin pembaca juga "digiring" untuk tidak menyukai orang seperti Hanafi. Seseorang yang pandangan dan
Sutan Takdir Alisjahbana (STA) yang mencoba melihat situasi di atas berpihak pada orang luarnya SN, dengan representasi Tuti dan Yusuf, sebagai pilihan rumah psikologis dan rasionalnya (bahkan di masa depan), seperti diceritakannya secara panjang lebar dalam Layar Terkembang (LT). STA tampaknya tidak berangkat atas nama agama, tetapi lebih atas nama rasionalisme (tentu karena ia berkenalan dan berkat konstruksi "pendidikan modernnya"). Diceritakan dalam novel itu, Tuti yang progresif, rasional, emansipatif, efektif, sesuatu yang berlawanan dengan sifat-sifat Maria. Melihat LT yang rasional kebarat-baratan (dari sudut pandang yang menolaknya), Belenggu menjadi lebih menarik. Karena, siapa yang menjadi orang luar (asing) (Tini?) atau siapa menjadi orang dalam (Yah?) menjadi tidak jelas batas-batasnya. Dalam banyak hal Tono memiliki kenangan dan impian terhadap kemungkinan pilihannya kepada Yah, sesuatu yang dianggap lebih dan atau atas nama tradisi (-onalisme). Akan tetapi, karena Yah (tradisionalisme) juga belum dapat didefinisikan secara cukup jelas, maka tidak heran jika akhir cerita mengambang.
Ciri-ciri wacana yang mengangkat batas-batas itu, sesungguhnya belum bergeser jauh hingga ke novel-novel 1970-an. Cerpen Umar Kayam, Seribu Kunang-Kunang di Manhattan menawarkan ilustrasi yang penting. Di ketinggian sebuah hotel di
Dengan semangat yang berbeda, NH. Dini dalam Pada Sebuah Kapal (1973), menggambarkan tokoh-tokohnya sebagai orang yang selalu merindukan tanah air, membanggakan dirinya sebagai orang Indonesia (Jawa), walaupun dalam praktik kesehariannya, Sri, tokoh novel itu, tidak dapat sepenuhnya disebut sebagai orang Indonesia Jawa. Hal tersebut tampak dari cara Sri melihat bangsa dan budaya (Jawa), dan bagaimana ia hidup seperti orang Eropa (Prancis).
Wacana yang diusung oleh novel-novel di atas adalah pengakuan terhadap keberpihakan sebagai proses konsolidatif bahwa batas-batas terhadap rumah, tentang mana orang luar dan orang dalam, dan sebagai akibatnya, tertanggalnya identitas lama, tetapi belum terpasangniya bya identitas baru, cukup jelas. Rumah yang dibayangkan itu bukan semata-mata dalam pengertian kongkret, tetapi karena situasi dan kondisi, seperti peranan teknologi dan kapital masih cukup rendah, maka seseorang memiliki keleluasaan dan kepastian untuk memilih sesuatu sebagai acuan identitasnya, dengan kemungkinan tidak berhasil. Wacana yang berkembang adalah kalau tidak menjadi orang dalam berarti orang dalamnya orang luar, walaupun kenyataannya Hanafi tidak masuk menjadi orang dalam mana pun. Sementara itu, rasionalisme Tuti masih ilihat dengan penuh perlawanan. Paling tidak ada kontradiksi-kontradiksi di dalam dirinya yang belum sepenuhnya dapat didamaikan. Di lain pihak, kegagapan Belenggu terjadi karena konsolidasi atas nama tradisi tidak bisa dipilih begitu saja. Anggaplah pilihan itu tradisi(onalisme) Jawa, tetapi apakah Jawa dapat mewakili sesuatu yang kelak disebut bangsa
Di taman ini, saya adalah seekor burung. Terbang beribu-ribu mil dari sebuah negeri yang tak mengenal musim, bermigrasi mencari semi, tempat harum rumput bisa tercium, juga pohon-pohon, yang tak pernah kita tahu namanya, atau umurnya (Jambu Air, draft: 1).
Seorang gelandangan yang berbaring di bangku menggeliat dalam selimut yang berdebu. Kita tidak tahu siapa dia, apa warna kulitnya. Tapi kita tahu, dia menikmati tidur. Saya sedang berbahagia, begitu saya akan menjawab jika dia bangun dan bertanya apa saja.
... Saya sedang menunggu Sihar di tempat ini. Di tempat yang tak seorang pun tahu, kecuali gembel itu....( Jambu Air, draft: 2)
Dalam novel itu, memang ada upaya ingin mempertahankan rumah, agar kembali menjadi lebih kongkret, sebagai "respons" terhadap perdebatan polemik kebudayaan seperti berujung pada Belenggu. Kenyataannya, rumah yang dulu pernah dibayangkan dan dimiliki tergusur oleh kekuatan modal dan teknologi. Pada gilirannya, ada kesan dalam novel Saman, Jambu Air (Utami), tidak lagi mempedulikan di mana dan apa itu rumah. Ia bisa di mana saja, tanpa mengenal batas-batas geografis dan fisik, bahkan tanpa identitas. Hal itu mendapatkan wadahnya secara lebih memadai dalam Supernova dengan tokoh yang sama sekali tidak dikenal "pribadinya" kecuali nama dan alamat e-mail.
Tida kada meja yang mampu mengikatku. Dunia virtual adalah kantorku. Semua yang dirumah ini akan kujual habis kecuali laptop. Dialah satu-satunya instrumen jaring laba-labaku," ujar Diva ringan. "Sekolah ini tidak akan mengenal hirarki guru-murid. Pada akhirnya kita saling membagi pengetahuan dari pengalaman hidup masing-masing. Dan biarkanlah jaringan kita berevolusi ke bentuk apapun itu nanti..." (
Sejenak mereka menikmati hawa euforia, sampai tiba-tiba sesuatu menggelitik pikiran Dimas.
"Mungkin. Kenapa tidak?"
"Andai kita berdua juga bagian dari cerita yang kita buat sendiri. Kira-kira apa peran kita?" (
Kapitalisasi dan teknologisasi (globalisasi) yang cepat merembes dan melakukan intervensi ke rumah-rumah, meluluhkan batas-batas. Orang dengan terpaksa atau tidak, dikondisikan untuk tidak memiliki batas-batas rumah secara definitif. Tempat-tempat diproduksi dengan demikian cepat, menjadi apakah itu tempat umum, atau tempat-tempat yang "disucikan". Dengan demikian, pengertian rumah pun ada atau tidak ada menjadi serba bergantung, menjadi demikian hierarkis, tergantung kepentingan modal/kapital yang didukung perangkat teknologisnya. Karena tidak ada lagi tempat yang bisa menjadi rumah, orang-orang hidup dengan tidak mengenal batas-batas dalam pengertian pertamanya (dalam pengertian novel BP). Oleh sebab batasan itu tidak jelas, padahal penting untuk identifikasi, seseorang menjadi orang tak dikenal secara personal (strangers).
Untunglah, berdasarkan kesadarannya manusia adalah sesuatu yang menuntut dirinya beridentitas. Dalam kerabunan batas-batas itu, kembali ia membuat sekat-sekat imajiner, agar ia tetap merasa memiliki rumah. Sangat mungkin sekat-sekat yang dibangun itu berdasarkan sekat-sekat kebangsaan, bahasa, ras, agama, suku, atau bahkan komunitas- komunitas/ institusi-institusi tertentu yang lebih kecil. Akan tetapi, dalam situasi kapitasilasi dan teknologisasi yang menyebakan publikasi tempat-tempat, sekat-sekat itu tampaknya tidak cukup memadai. Yang terjadi kemudian adalah orang membangun sekat-sekat pribadi dalam ruang publik, sebagai akibat intervensi publikasi terhadap tempat-tempat. Artinya, yang terjadi adalah proses individuasi di satu pihak, dan proses publikasi (pemassaan) di pihak lain. Proses ini adalah terjadinya proses "penggenahan" yang sangat berlawanan. Di satu pihak seseorang baru merasa memiliki personalitas berdasarkan sekat-sekat imajinernya, di lain pihak seseorang justru semakin merasa tidak memiliki identitas, personalitas, karena menjadi bagian dari
Batas antara batas individu dan publik yang tidak jelas itu dibangun berdasarkan proses konsolidasi berlapis dan sangat mungkin beragam. Perbedaan lapis dan ragam tersebut yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam cara seseorang membangun ruang individu karena setiap individu akan membuat sekat-sekat berdasarkan berbagai lapis-lapis konsolidatif yang menjadi bagian dari pengalaman hidupnya dan seberapa jauh seseorang tersebut menempatkan dirinya dalam inside tertentu, atau tidak sama sekali. Demikian pula sebaliknya, akan terjadi perbedaan dalam cara menempatkan tempat-tempat milik publik. Beberapa konflik dengan kekerasan, seperti penjarahan atas nama
Dalam konteks inilah, Saman dan Supernova justru ingin membebaskan kemungkinan terhadap proses-proses pemilihan. Jika novel sebelum 1970-an mewacanakan batas-batas antara inside dan outside, novel generasi Utami dan
Menggarisbawahi beberapa hal di atas, bagaimana karya sastra merepresentasikan tentang rumah adalah sesuatu yang penting bagi kemungkinan-kemungkinan seseorang merasa mencintai, merindukan, sesuatu yang dia rasa miliknya. Telah terjadi pergeseran konsep (definisi) tentang rumah antara dulu dan sekarang. Juga memperlihatkan bahwa gagasan atau definisi tentang rumah berubah sesuai dengan waktu dan tempat, antara dulu dan sekarang (Lihat Sarup, 1996: 3; atau bandingkan dengan Bhaba, 1997: 445-455).
Yang pasti, pada tahun 1990-an dan setelahnya, gagasan tentang rumah demikian mencair. Seseorang tiba-tiba bisa di mana saja kapan saja. Karena perubahan tempat dan ruang-ruang terjadi demikian cepat, seseorang, terpaksa atau tidak, menjadi tidak memiliki dan berada di luar rumah. Mungkin karena itu pula, secara bawah sadar seseorang justru semakin berupaya keras untuk membangun batas-batas. Karena ruang (rumah) privat dan publik menjadi campur aduk, sekarang bahkan seseorang bisa membuat batas-batas untuk ruang (rumah) privatnya, secara imajineri, di ruang publik, seperti dilakukan tokoh-tokoh Saman dan Supernova. Tampaknya, mungkin, karya sastra tidak dapat diharapkan untuk "mendefinisikan" konsep rumah, dan itu memang bukan tugasnya.
Sementara itu, rumah dalam karya sastra modern awal (1920-an bahkan hingga 1970-an), lebih definitif batas-batasnya. Rumah yang dibayangkan adalah rumah konkret dan relatif statis. Waktu itu, gerakan modal (di Indonesia belum tinggi) dan teknologi masih lumayan sederhana, penduduk juga belum terlalu padat, maka ruang dirasakan masih cukup besar. Seseorang memiliki kesempatan yang luas untuk menentukan secara definitif yang dibayangkannya sebagai rumah. Memang, sudah ada perubahan, tetapi tampaknya desakan perubahan masih belum mampu mengatasi yang telah mapan.
Pada periode 1940-an hingga 1950-an, muncul kesadaran baru. Ini mungkin karena proses pendidikan modern semakin memperlihatkan konstruk dan hasilnya. Akan tetapi, karena belum masak betul, bayangan tentang rumah lebih sebagai gagasan psikologis, tidak begitu kongkrit seperti tampak dalam Belenggu. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, gagasan tentang rumah kembali mengkongkret, tetapi tidak lebih sebagai bayangan-bayangan sekilas terhadap masa lalu. Tokoh-tokoh yang melintas batas, selalu mengenang sesuatu yang menjadi pengalaman hidupnya di desanya, yang begitu akrab dan tak terlupakan, tetapi sesungguhnya ia sendiri mungkin seperti orang asing yang seolah berusaha menemukan dan menikmati kembali apa yang ditemukan sebagai orang modern.
Di samping itu, novel-novel sebelum 1970-an cenderung sebagai upaya konsolidatif terhadap kemungkinan-kemungkinan bagaimana agar tetap merasa dan sekaligus berpihak kepada orang dalam. Perasaan memiliki rumah dan beridentitas masih bisa dirasakan. Akan tetapi, di balik itu, tentu saja memperlihatkan bahwa manusia dalam karya sastra itu secara tidak disadarinya merupakan manusia yang tersubjeksi, mungkin oleh konsep nation yang dimobilisasi oleh negara, mungkin karena masih cukup rendahnya intervensi kapital dan teknologi, khususnya bagi orang Indonesia.
Hal yang menarik dari pengalaman Marno adalah ketika berada di ketinggian
Sejauh ini, memang jarang ditemukan bahwa tokoh-tokoh dalam karya sastra
Menilik kemungkinan representasi rumah dan manusia
Wacana dan makna yang diangkat generasi Utami dan
Sastra Saman dan Supernova menolak proses-proses konsolidasi, tentu dengan "membangun konsolidasi tandingan" dengan cara-cara "subversif". Apakah dari kesadaran itu kita justru mencoba kembali merumuskan identitas, mulai dari rumah hingga kebangsaan dengan kriteria yang lebih definitif yang mampu mengakomodasi lapis-lapis identitas? Tugas sastrawan adalah membuat novel yang bagus. Kadang-kadang kita perlu percaya bahwa tokoh-tokoh dalam karya sastra (
C. Catatan Akhir
Sekedar catatan akhir, ada kemungkinan sastra kita sekarang tidak memberi perhatian pada batas imajiner kebangsaan sebagai hal penting. Sastra kita sekarang justru berpihak kepada kemanusiaan, dia tidak berpihak pada bangsa
Daftar Pustaka
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1962. Layar Terkembang.
Belsey, Chaterine. 1980. Critical Practice.
Bhaba, Homi K. 1997. "The World and the Home". Dalam Anne McClintock, Aamir Mufti, dan Ella Shohat (eds.). Dangerous Liaisons, Gender, Nation, and Postcolonial Perspectives.
Brennan, Timothy. 1994. "The National Long ing for Form". Dalam Homi K. Bhabha. Nation and Narration.
Fairclough, Norman. 1992. Discourse and Social Change.
Farid, Hilmar. 1994. "Menemukan Bangsa, Mencipta Bahasa: Bahasa, Politik, dan Nasionalisme
Faruk. 1994. "Ke Dataran Kesempurnaanmu". “Nasionalisme dalam Sastra Pujangga Baru". Dalam Kalam. Edisi 3,
Foulcher, Keith. 1991. Pujangga Baru: Kesusastraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942.
Gellner, Ernest, 1983. Nations and Nationalism. Itacha:
Kayam, Umar. 1995. Sri Sumarah.
Lubis, Mochtar. 1977. Maut dan Cinta.
Moeis, Abdul. 1999. Salah Asuhan.
Pane, Armijn. 1981. Belenggu.
Rusli, Marah. 1999. Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai.
Sahal, Ahmad. 1994. "Terjerat dalam Rumah Kaca: Masih Meyakinkankah Nasionalisme" . Dalam Kalam. Edisi 3,
Sarup, Madan. 1996. Identity, Culture, and The Postmodern World.
Siregar, Merari. 1999. Azab dan Sengsara.
Storey, John. 1993. An Introductory Guide to Cultural Theory and Popular Culture.
_______. Saman. (Draft).
__________
Aprinus Salam adalah Staf Pengajar Jurusan Sastra
Tulisan ini merupakan Hasil penelitian dengan Dana Masyarakat Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2002. Telah dimuat dalam Humaniora (Jurnal Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yagyakarta), Volume XV No.1/2003.