Cilokak, Musik Tradisi yang Menyiasati Zaman

Cilokak merupakan salah satu jenis musik tradisional khas suku sasak di Lombak Timur. Musik ini mulai diperkenalkan kira-kira tahun 1948 oleh seorang seniman pencipta asal Lingkuqiaki desa Bungtiang Kecamatan Sakra bernama Mamiq Srinatih (alm).

Nama Cilokak diambil dari salah satu nama/judul lagu yang digemari mereka pada saat itu. Arti Cilokak dari kata seloka lebih mendekati kenyataan karena syair-syair yang dibawakan merupakan seloka.

Musik Cilokak adalah permainan seperangkat alat musik tradisional seperti mandolin, biola, gendang, suling, jidur, kempul, dan rincik untuk mengiringi lantunan lagu-lagu daerah berupa lagu kayaq, yaitu jenis lagu daerah Lombok yang berisi nasihat-nasihat/petuah-petuah berbentuk pantun. Sentuhan lagu-lagu dan irama musik cilokak yang memiliki kekhasan tersendiri ini sangat digemari oleh masyarakat suku Sasak. Sekarang musik cilokak sudah berkembang di berbagai tempat di Pulau Lombok dan sampai sekarang masih eksis dan tetap digemari oleh masyarakat sasak.

Musik cilokak berirama gambus memang tak lepas dari gendang dan mandolin. Cuma, karena tuntutan zaman, instrumen lain pun dimasukkan. Sebutlah, bas, biola, kecrek, dan ketipung.

Musik cilokak nyaris sama dengan jenis musik tradisi lainnya di negeri ini, yang bersiasat untuk tetap tabah menghadapi gencetan musik modern seperti dangdut, pop, dan seterusnya yang bisa dijumpai di mana saja, di rumah, di tempat hajatan, angkutan umum, gedung bioskop.

Ya, seperti gamelan di Jawa yang bersiasat dan kemudian melahirkan campursari, seperti di Cirebon yang menyulap tarling menjadi dangdut koplo, dan seterusnya.

Demikian pula dengan cilokak. Kendati penyanyinya memakai dandanan kebaya dan kain, gendang dan mandolin, tapi di panggung, goyangan penyanyi cilokak tak mau kalah dengan goyang penyanyi dangdut. Yang menengarai bahwa ini masih cilokak dan juga masih di Lombok Timur adalah, notasi lagu-lagu yang dibawakan masih terasa benar ke-melayuan-nya serta sesekali sang penyanyi dengan gerakan kecil masih menggetarkan jari-jarinya mirip penari Bali.

Penyanyi pertama yang saya lupa namanya silam, diganti penyanyi berikutnya bernama Ismiatun yang membawakan lagu Lalang Gunung. Usianya yangt masih remaja barangkali, yang membuat goyangan Ismiatun lebih sopan dibanding penyanyi pertama. Bahkan goyang pinggul Ismiatun tetap mengacu pada goyang penari pendet dari Bali yang berestetika itu.

Munculnya penyanyi ketiga bernama Nurhasanah yang berduet dengan pemain mandolin dan membawakan lagu Empatpuluh, mengingatkan saya pada lagu-lagu Melayu yang ada di daratan Riau. Inilah mungkin format cilokak sebenarnya. Berirama melayu, berpantun, dan tak mengumbar goyang.

Nurhasanah yang sudah separoh baya itu pun cuma melenggang-lenggangkan kedua tangannya mengikuti bunyi gendang. Ah, power suara Nurhasanah juga boleh diandalkan. Ya, suara Nur nyaring dan bertenaga dengan artikulasi yang prima.

Sumber : www.kompas.co.id