Oleh: A Kohar Ibrahim
“TOUTES les cultures sont liées les unes aux autres ; nulle n`est unique et pure, toutes sont hybrides, hétérogènes, extraordinairement différenciées et non monolithiques.”
Demikian tulis Edward Saïd, dalam makalahnya berjudul : “Culture et Impérialisme”. In Le Grand Soir Info 1.07.2007. Bahwa : “Semua Kebudayaan adalah saling berhubungan satu sama lain ; tak satupun yang unik dan murni, semua dalam ragam-macam, bercampur-bauran, memiliki ciri keragaman yang luarbiasa dan non-monolitis.”
Benar memang benar dengan mudah saya membenarkan pendapat Edward Said tersebut. Baik dari pengetahuan yang saya peroleh secara tak langsung, maupun yang secara langsung berupa pengalaman hidup sendiri, saya membenarkan kebenarannya yang hakiki. Sebagaimana juga saya membenarkan opini intelektual lainnya, yakni Mahmoud Darwich, berkenaan dengan “Warisan Peradaban Umat Manusia.” Yakni, bahwa warisan peradaban umat manusia adalah satu : diperkaya dalam suatu proses yang panjang.
Opini itu saya jadikan salah satu sitiran andalan ketika menyusun makalah Sekitar Tempuling (Telaah Buku Kumpulan Sajak Tempuling Rida K Liamsi, Yayasan Sagang, Pekanbaru 2004). Juga manakala kami – saya dan Lisya Anggraini menyusun makalah yang kemudian pun dijadikan buku berjudul Kepri Pulau Cinta Kasih (Yayasan Titik Cahaya Elka, Batam, 2006).
Tanpa pemahaman akan kesepahaman yang serupa baik seperti yang diungkapkan Edward Said maupun Mahmoud Darwich itu, maka sulitlah kiranya saya bisa menyusun berkas-berkas naskah esai seperti yang tersunting menjadi kedua buku tersebut di atas. Karena pemahaman itu sarat akan gerak dinamika hidup dan kehidupan budaya ummat manusia sejak zaman awal muawalnya hingga zaman kekinian.
Dengan itu pun, bisalah memudahkan pemahaman baik berawal dari yang lokal, yang nasional, yang regional sampai yang internasional atau global. Baik berawal dari satu segi atau bagian Ke segi-segi atau bagian-nagian kehidupan lainnya hingga menyeluruh keseluruhan. Maupun dengan cara-gaya kebalikannya : dari yang umum, yang universal, ke yang khusus atau ke bagian atau bagian-bagiannya. Begitulah, kongkretnya, ketika berhadapan pada perihal sekaligus persoalan Budaya Melayu di Kepulauan Riau (Kepri). Terpikirlah antara lain : apa dan dari mana datangnya? Apakah muncul begitu saja dari dasar laut ala Tsunami ataukah jatuh dari langit ?
Tapi ternyata tidak berasal muasal secara mendadak sontak baik dari dasar laut pun bukan dari langit. Melainkan kelompok penduduk yang datang dari Asia Selatan ke Nusantara, bersama kebudayaannya sekalian, dalam masa gelombang perpindahan penduduk sekitar 2500 SM. Sejak itu, dapat diperkirakan, akan ragam macam penduduk asal kawasan lainnya yang juga berdatangan mendiami pulau dan kepulauan Nusantara lainnya. Juga dengan bawaan budayanya masing-masing – dalam mana termasuk salah satu elemen penting, jika bukan yang essensil, yakni bahasanya masing-masing pula. Dengan demikian, semenjak terjadinya gelombang perpindahan penduduk 2500 SM hingga Abad Ke-21 M atau zaman modern ini, perkembangan peradaban manusia di kawasan Nusantara ini menjadi begitu luarbiasa. Selaras dinamika inter-relasi, inter-komunikasi, baik secara osmosia, silang-selang-seling maupun taut-bertautan hidup kehidupan di berbagai bidang adanya.
Sumber : Batam Pos