Budaya Indonesia dan Cerita Rakyat Melayu Riau

Oleh : Prof. Dr. James Danandjaya, MA.

Penulis mengemukakan bahwa tradisi yang berkaitan dengan penyebaran sastra rakyat dalam bentuk dongeng dan cerita rakyat mulai menghilang dari kehidupan orang Riau. Tradisi itu telah digantikan oleh tradisi lain yang belum diketahui corak dan implikasinya bagi kehidupan orang Melayu dan nilai-nilai budayanya. Padahal dongeng dan cerita rakyat mempunyai nilai edukatif untuk melestarikan dan mengembangkan nilai-nila budaya Melayu.

1. Pendahuluan
Selama ini kita tahu bahwa ketunggalan budaya seluruh sukubangsa di Nusantara dapat dicari pada kesamaan kosakata dasar (basic vocabulary) bahasa-bahasa mereka. Ternyata, ketunggalan tersebut tidak terbatas pada unsur bahasa saja. Pada unsur-unsur budaya lainnya juga dapat dicari ketunggalannya. Dalam makalah ini penulis ingin membuktikannya melalui penelitian cerita rakyat Nusantara, khususnya dari sukubangsa Melayu Riau.

2. Teori-Teori Terjadinya Persamaan Cerita Rakyat Di Indonesia
Bagi para ahli folklor adanya persamaan pada kesatuan-kesatuan cerita (tale types) atau unsur-unsur kesatuan cerita (tale motifs) dari cerita-cerita rakyat berbagai sukubangsa di Nusantara adalah hal yang sudah lama diketahui dan bukan suatu hal yang aneh. Namun yang menjadi masalah adalah mengapa hal tersebut dapat terjadi. Kita bertanya, “Mengapa tipe cerita (tale type) Cinderella terdapat di mana-mana di dunia ini? Di Indonesia misalnya, versinya adalah Bawang Putih dan Bawang Merah, Ande-ande Lumut (di Jawa), dan lain-lain. Atau mengapa motif cerita (tale motif) Anak Tiri Dijahati Ibu Tiri dan Ibu Tiri yang Kejam terdapat dalam banyak kesatuan cerita (plot) dalam ceritacerita rakyat di seluruh dunia, termasuk juga di Indonesia?”

Untuk menjelaskan masalah ini timbul berbagai teori. Secara garis besar teori-teori tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yakni teori-teori monogenesis (satu asal) dan teori-teori poligenesis (banyak asal). Teori yang tergolong monogenesis menganggap bahwa terjadinya persamaan disebabkan oleh penyebaran atau difusi dari suatu kesatuan cerita (plot) atau motif cerita dari satu tempat ke tempat-tempat lain. Teori ini pun menganggap bahwa suatu tipe atau suatu motif hanya diciptakan satu kali pada masa tertentu. Sebaliknya, teori-teori yang tergolong poligenesis menganggap bahwa terjadinya persamaan disebabkan oleh penemuan sendiri-sendiri (independent invention) atau sejajar (paralel invention).

Jadi, para penganut teori monogenesis menganggap bahwa suatu tipe cerita rakyat atau motif cerita rakyat hanya diciptakan satu kali di suatu tempat tertentu oleh suatu kolektif tertentu, kemudian ciptaan tersebut tersebar ke berbagai tempat di permukaan bumi; sedangkan para penganut teori poligenesis berpendapat bahwa suatu tipe cerita rakyat atau motif cerita rakyat dapat diciptakan oleh siapa saja tanpa mendapat pengaruh dari orang lain. Hal ini dapat terjadi karena setiap orang mempunyai watak/sifat pembawaan manusia (human nature) yang sama, sehingga apa yang diciptakan oleh satu orang juga dapat diciptakan oleh orang lain.

Teori yang tergolong monogenesis antara lain teori Grimm bersaudara, teori Mitologi Matahari Max Muller, dan teori Indianist Theodore Benffy. Ahli dongeng Jerman, Jacob dan Wilhelm Grimm yang hidup dalam abad ke-19 mengakui adanya dua kemungkinan itu, namun lebih menekankan difusi (monogenesis) sebagai penyebab adanya kesejajaran. Pendapat dua bersaudara itu dianut oleh kebanyakan ahli folklor di dunia.

Teori Grimm bersaudara mengatakan bahwa dongeng yang telah mereka kumpulkan di Jerman sebenarnya adalah mite yang sudah rusak (broken down myths), yang berasal dari rumpun Indo-Eropa kuno. Kelemahan teori Grimm terletak pada istilah Indo-Eropa, karena Indo-Eropa adalah nama bahasa yang masih bersifat patokan (hipotesis), sehingga eksistensi kolektif dari kebudayaan yang menggunakan nama itu masih harus dibuktikan (Brunvand, 1986: 83–84).

Teori yang juga tergolong monogenesis adalah teori Mitologi Matahari (Solar Mythology) Max Muller. Max Muller adalah seorang ahli filsafat yang menjadi guru besar di Universitas Oxford, Inggris. Teorinya dibuat berdasarkan bukti dari hasil penelitian ilmu linguistik perbandingan. Ketika bahasa Sanskerta telah dianggap sebagai kunci keluarga bahasa Indo-Eropa, Muller membandingkan nama-nama dewa dari beberapa mitologi Eropa dengan nama-nama gejala alam dalam bahasa Sanskerta. Dari penelitian itu disimpulkan bahwa semua nama dewa utama Eropa melambangkan fenomena matahari. Oleh karena itu, teori Muller dikenal dengan Mitologi Matahari atau philological school. Teori Mitologi Matahari menganggap bahwa mite sesungguhnya adalah kisah pengulangan kejadian pagi dan malam. Menurut Muller, dongeng Eropa berasal dari mite, karena mengandung perlambangan yang sama, yakni terjadinya pagi dan malam (Brunvand, 1968: 84). Pengikut Muller kemudian menciptakan teori Mitologi Bulan (Lunar Mythology).

Sudah tentu teori ini mendapat tantangan hebat dari ahli-ahli folklor lainnya pada masa itu, karena dianggap terlalu ekstrim. Penentang paling gigih adalah antropolog Inggris bernama Andrew Lang (mengenai Lang dan teorinya akan diuraikan pada teori poligenesis).

Teori Mitologi Matahari pernah diterapkan pada cerita rakyat Indonesia oleh seorang filolog India bernama H. B. Sarkar, yang menganggap bahwa legenda Panji sebenarnya melambangkan peredaran matahari yang selalu mengejar istrinya (bulan) yang berkali-kali meninggalkannya. Teori Mitologi Matahari bersifat monogenesis, karena para penganutnya menganggap bahwa semua mite di dunia berasal dari India. Pendapat bahwa semua mite di permukaan bumi berasal dari India segera mengingatkan kita pada teori yang disebut Indianist Theory, yang mengembalikan semua dongeng Eropa ke negara asalnya, India. Pemimpin dan penggerak aliran ini adalah Theodore Benfey.

Menurut Stith Thompson, Benfey bukanlah orang pertama yang mengemukakan Indianist Theory, karena pada tahun 1938 Loiseleur Deslong Champs telah mengemukakan bahwa sumber dongeng-dongeng Eropa harus dicari di India (1938). Namun, Benfey merupakan orang pertama yang memperhatikan saran itu dan mengembangkannya menjadi sebuah teori. Dalam beberapa karangan sebelumnya ia telah mencoba mengemukakan ide itu, namun baru dalam pengantar kata bukunya yang berjudul Pantschatantra: Funf Bucher Indischer Fablen, Marchen, und Erzahlunger (1859) ide itu dinyatakan dengan sangat jelas dan mendalam. Azas pendiriannya sedemikian penting bagi ilmu pengetahuan dua generasi kemudian, sehingga dirasakan perlu untuk menerjemahkan seluruh kalimat pengantar kata buku itu dari bahasa Jerman ke dalam bahasa Inggris (Thompson, 1967: 376).

Teori-teori yang termasuk dalam golongan poligenesis antara lain adalah teori Survival atau peninggalan, yang dapat hidup terus dalam kebudayaan, dan teori English Anthropologists. Teori English Anthropologist ini dapat menyanggah teori Solar Mythology Max Muller dan pengikutnya yang dianggap terlalu fantastis dan ngawur. Anggota English Anthropologist adalah para ahli antropologi Inggris yang menganut paham evolusi kebudayaan. Mereka menggunakan teori Evolusi biologi Charles Darwin sebagai dasar untuk melihat perkembangan kebudayaan. Menurut mereka, kebudayaan adalah seperti halnya tanaman dan hewan, yang berkembang secara bertingkat, yaitu dari yang bersifat rendah sampai ke yang bersifat tinggi. Kebudayaan orang primitif dan para petani pedesaan adalah kebudayaan yang masih mempertahankan unsur-unsur kebudayaan dari stadium biadabnya (savage). Unsur-unsur tersebut masih tetap hidup (survive) hingga masa peradaban modern ini.

Menurut paham evolusi kebudayaan, setiap kebudayaan mempunyai kemampuan untuk berkembang dari tingkat lebih rendah ke tingkat lebih tinggi. Keadaannya dapat disamakan dengan kemampuan sebuah lembaga biji yang dapat berkembang menjadi pohon besar. Menurut Andrew Lang, jika seorang ahli folklor menjumpai adat kebiasaan atau cerita rakyat yang tidak sesuai dengan taraf kemajuan kebudayaan suatu folk, maka ia harus mencoba mencarinya di negara tempat adat itu masih dipraktikkan orang karena masih sesuai dengan keadaan taraf perkembangan kebudayaannya. Dengan cara ini dapat diketahui bahwa unsur kebudayaan yang tidak sesuai lagi dengan suatu zaman merupakan survival masa silam peradaban modern, yakni sewaktu peradaban tersebut masih dalam taraf perkembangan awal.

Teori Survival kebudayaan Andrew Lang dapat dimasukkan ke dalam golongan teori poligenesis, karena mempunyai paham yang menganggap bahwa setiap kebudayaan di dunia ini mempunyai kemampuan untuk berevolusi. Oleh karena itu, masing-masing folk mempunyai kemampuan untuk melahirkan unsur-unsur kebudayaan yang sama dalam setiap taraf evolusi yang sama. Jadi, jika sampai ada motif cerita rakyat yang sama dalam beberapa negara, maka hal itu karena masing-masing negara mempunyai kemampuan untuk menciptakannya, baik sendiri maupun sejajar (independent or paralel invention).

Teori lain yang juga tergolong dalam golongan poligenesis adalah teori Psikoanalisa Sigmund Freud, Carl Yung, dan lain-lain. Menurut aliran ini, persamaan mite di berbagai tempat bukan disebabkan oleh difusi (penyebaran), melainkan disebabkan oleh penemuan-penemuan yang berdiri sendiri. Menurut Carl Yung, mite-mite itu dapat mirip satu sama lain karena adanya kesadaran bersama yang terpendam (collective unconscious) pada setiap umat manusia yang diwariskan secara biologis. Unconscious adalah keseluruhan pikiran, dorongan hati (impulse), keinginan (desire), perasaan, dan sebagainya yang tidak disadari oleh individu, namun sangat mempengaruhi tingkah-lakunya (Webster New World Dictionary, 1959: 15–84), sedangkan collective unconscious atau racial unconscious adalah bagian kesadaran terpendam dalam pribadi-pribadi yang diwariskan secara biologis dan dimiliki bersama oleh umat manusia (English and English, 1959: 570). Kesadaran bersama yang terpendam tersebut antara lain berupa keinginan seks, keinginan untuk kembali ke dalam rahim, dan keinginan untuk melahirkan kembali.

Keinginan seks kemudian berwujud mimpi ular bagi seorang wanita dan mimpi tas bagi seorang pria (Fromm, 1951: 68–69). Keinginan untuk kembali ke dalam rahim dilambangkan dalam mimpi dengan memasuki sebuah gua, dan keinginan untuk dilahirkan kembali dilambangkan dalam mimpi banjir bandang, dan sebagainya (Roheim, 1947). Berhubung semua manusia mempunyai collective unconscious yang berupa mimpi-mimpi bertema universal, maka tidak aneh jika banyak persamaan di dalam mite-mite dari berbagai bangsa. Menurut para ahli psikoanalisa, hal tersebut karena mite berasal dari mimpi, yang selanjutnya merupakan proyeksi keinginan individu sebagai anggota umat manusia.

Setelah mengetahui teori-teori di atas, kita dapat melihat apakah persamaan cerita rakyat di Nusantara seperti Riau dan daerah-daerah lainnya dapat dijelaskan dengan teori-teori tersebut. Selanjutnya kita dapat membuktikan bahwa melalui penelitian cerita rakyat, kebhinekatunggalikaan Indonesia bukan sekadar omong kosong, tetapi dapat dibuktikan kebenarannya.

3. Cerita Rakyat Melayu Riau Dan Cerita Rakyat Sukubangsa Di Nusantara
Cerita rakyat di sini berasal dari buku terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah yang berjudul Cerita Rakyat Daerah Riau (1982). Cerita-cerita rakyat yang berasal dari Riau Kepulauan adalah Nasib Anak Kuntilanak, Batu Belah Batu Bertangkup, dan Batu Bertabir, sedangkan cerita rakyat yang berasal dari Riau Daratan adalah Anak yang Membalas Guna. Semua cerita tersebut tergolong dalam folklor orang Melayu Riau, karena langsung dipetik oleh para peneliti dari tutur kata para informan.

a. Cerita Nasib Anak Kuntilanak
Saaran adalah seorang bujangan pencari rotan. Pada suatu hari, ia bertemu dengan putri kuntilanak yang sangat cantik, tetapi tawanya membangkitkan bulu roma (Depdikbud, 1982: 6–14). Berkat keberaniannya, ia dapat menaklukkan hantu tersebut dengan cara menusukkan alat-alat penangkal hantu, seperti buah kemiri timbul payung dan paku ke dalam lubang kuduk hantu. Sejak itu hantu tersebut berubah menjadi manusia biasa dan menjadi istri Saaran. Perkawinan itu membuahkan seorang putri dan seorang putra. Dengan perkawinan itu ekonomi Saaran menjadi baik.

Suatu ketika Saaran pergi berlayar ke Pulau Jawa. Putrinya yang bernama Saimah sudah tumbuh menjadi remaja tanggung. Saimah terus merongrong bundanya agar mau menceritakan penyebab di kuduknya tertancap sebatang paku. Si Bunda pada mulanya menolak, karena jika rahasia tersebut dibuka akan membawa bencana bagi keluarga mereka. Namun karena terus-menerus didesak, si Bunda pun menceritakannya. Saat bundanya tidur, Saimah mencabut paku pada kuduk bundanya, sehingga bencana pun terjadi. Bundanya kemudian berubah kembali menjadi kuntilanak dan terpaksa harus meninggalkan dunia manusia, setelah menyusui putranya yang masih bayi untuk terakhir kalinya.

Cerita rakyat ini mengingatkan kita pada dongeng yang mengandung motif No. D361.1 Swan Maiden yang terdapat di seluruh dunia dan juga di beberapa daerah di Nusantara, seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Joko Tarub), di Jawa Barat (Desa Pasir Kujang), di Bali (Raja Pala), dan lain-lain (Danandjaya, 1984: 105-108). Yang perlu ditambahkan di sini adalah bahwa cerita-cerita dengan motif No. D361.1 ini juga terdapat di India, Spanyol, Jerman, Prancis, Arab, Persia, Polinesia, Melanesia, Australia, dan pada orang Eskimo (Thompson, 1966: 34).

Terjadinya persamaan cerita dari berbagai tempat di Nusantara maupun di seluruh dunia selain disebabkan oleh difusi (monogenesis), juga dapat disebabkan oleh penemuan sejajar (poligenesis), dan karena dipengaruhi oleh kesadaran bersama yang terpendam (collective unconscious). Menurut Teori Freudian, cerita rakyat bermotifkan Swan Maiden ini adalah proyeksi dari laki-laki kesepian yang bermimpi ingin memperistri makhluk gaib secantik dewi.

Analisis berdasarkan teori Freudian ini masuk akal, namun keterangan dari penganut teori Difusi juga tidak dapat diabaikan begitu saja, karena kebudayaan berbagai sukubangsa di Nusantara sudah lama mendapat pengaruh dari dalam dan luar negeri. Walaupun demikian bukan berarti mereka adalah penerima pasif, karena mereka selalu mengolah unsur-unsur kebudayaan yang diterima dari luar sebelum dijadikan miliknya sendiri dengan tujuan untuk menghilangkan sifat keasingannya. Proses akulturasi ini disebut adaptation (Redfield et. al., 1936: 152), dan hasilnya oleh Carl W. Von Sydow disebut oiko type atau versi khusus suatu tipe cerita sebagai akibat penyesuaian setempat (Odker, 1965: 220).

b. Cerita Batu Belah Batu Batangkup
Zaman dahulu, di kampung Batu Belah (Depdikbud, 1982: 21–25) tinggal seorang janda nelayan dengan dua orang anaknya, seorang putri yang berumur 14 tahun dan seorang putra yang baru berumur 1, 5 tahun. Pada suatu hari, si Janda berhasil memperoleh telur ikan temakul yang sangat digemarinya. Namun putrinya yang juga gemar makanan ini menjadi pais saat memasak telur itu dan dengan tidak sadar telah memakannya sampai habis tanpa menyisakan untuk bundanya. Si Janda menjadi sangat kecewa dan menuduh putrinya sudah tidak menyayanginya lagi. Si Janda segera menuju ke Batu Belah yang dapat menelan orang yang sudah bosan hidup. Keputusannya sudah bulat, sehingga si Janda hanya berhenti sejenak untuk menyusui putranya yang masih kecil, kemudian meneruskan niatnya agar ditelan Batu Belah. Perbuatan nekat itu mengakibatkan kedua anaknya menjadi yatim piatu.

Legenda ini sangat menarik, karena terdapat di berbagai tempat di Indonesia, seperti di Tanah Gayo dengan judul Atu Belah dan juga di Ambon dengan judul Batu Bedaung (Danandjaya, 1984: 64-66). Legenda ini merupakan proyeksi seorang wanita yang sedang mengalami kesukaran dan kekecewaan besar di dalam hidupnya, kemudian beranganangan untuk kembali ke dalam rahim ibunya yang dianggap sebagai suatu tempat yang aman sejahtera. Rahim ibunya muncul dalam mimpinya sebagai gua, batu belah, atau batu bedaung. Setelah mimpinya diceritakan kepada orang lain yang mempunyai masalah yang sama, mimpi itu kemudian berkembang dan menjadi sangat populer di beberapa tempat seperti di Riau, Gayo, Ambon, dan lain-lain.

Menurut teori Freudian, kepopuleran legenda ini di kalangan rakyat di berbagai daerah di Nusantara disebabkan karena di daerah-daerah tersebut banyak wanita yang mengalami kepahitan hidup berumah tangga. Jadi, persamaan cerita di berbagai tempat di Nusantara dapat diterangkan dengan teori poligenesis maupun monogenesis. Pertama, diterangkan dengan teori Freudian; kedua, dengan teori Difusi (penyebaran). Teori poligenesis dapat menerangkan penyebab kesamaan cerita dari dua tempat yang berjauhan, seperti Riau dan Pulau Ambon. Menurut teori tersebut, cerita di dua tempat itu dapat sama karena kepahitan hidup seorang wanita dapat terjadi di mana-mana, sedangkan teori monogenesis lebih cocok untuk menerangkan persamaan cerita yang berasal dari tempat yang berdekatan atau walaupun jauh, namun ada hubungannya, seperti daerah Riau dan daerah Gayo.

c. Cerita Batu Bertabir
Zaman dahulu, di Kampung Selemut tinggal seorang janda bernama Mak Mencol. Ia mempunyai seorang putra yang bernama Bujang Pakok. Kebunnya sering diganggu babi, sehingga kehidupannya sulit. Setelah dewasa, Bujang Pakok minta izin kepada bundanya untuk merantau mencari rezeki. Dengan berat hati, ia diizinkan oleh bundanya. Karena nasib baik, Bujang Pakok diangkat anak oleh kepala kampung, kemudian diambil menantu oleh seorang datuk kaya raya. Hal ini terjadi setelah ia berhasil menaklukkan seekor kerbau gila yang hendak mengganggu putri sang Datuk yang sedang mandi di sungai.

Mendengar putranya menjadi kaya raya, Mak Mencol diantar kawan sepermain putranya pergi ke kediaman putranya. Namun Bujang Pakok tidak mau mengakuinya lagi sebagai bundanya, karena ia malu mempunyai seorang bunda yang miskin. Dengan kejam ia menyuruh pembantunya untuk mengusir bunda kandungnya. Dalam kekecewaan besar, Mak Mencol pun mengutuk anaknya sambil membuka baju dan menimang-nimang buah dadanya. “Jika engkau bukan anak kandungku, maka selamatlah engkau, namun jika engkau adalah anak kandungku yang pernah dibesarkan oleh air susuku, maka engkau akan berubah menjadi batu karena telah mendurhakai ibu kandungmu.”

Berhubung Bujang Pakok memang putra kandung Mak Mencol, maka ia terkena kutuk bundanya dan berubah menjadi batu bersama dengan segala perlengkapan perkawinan serta balai tempat upacara perkawinannya. Batu bertabir tersebut kini masih dapat dilihat di Tanjung Datuk, Pulau Bunguran bagian utara.

Mendengar cerita ini orang akan teringat pada cerita Malim Kundang Anak Durhaka dari Padang, Minangkabau, Sumatera Barat, karena keduanya mengandung beberapa motif cerita yang sama, seperti “anak yang kaya di rantau dan durhaka dengan tidak mau mengakui ibu kandungnya” dan “putra durhaka dikutuk ibu kandungnya sehingga berubah menjadi batu”. Persamaan cerita dari Riau dan Minangkabau tentu dapat dijelaskan dengan kedua teori di atas, namun mengingat adanya hubungan yang sangat erat antara sukubangsa Riau dan Minangkabau, maka kami cenderung menganggap teori monogenesis lebih cocok untuk menganalisis kasus ini.

d. Cerita Anak yang Membalas Guna
Negeri Antah Berantah diperintah oleh raja yang sangat adil dan budiman bernama Raja Sulaiman (Depdikbud, 1982: 37–43). la termasyur karena sifat-sifatnya itu. Suatu hari, datanglah seorang hulubalang dengan membawa seorang bayi dan dua orang perempuan yang mukanya bengkak-bengkak dan pakaiannya koyak-koyak karena memperebutkan sang bayi.

Wanita pertama bernama Patik Fatimah dan yang kedua bernama Patik Soleha. Keduanya berani bersumpah bahwa mereka adalah ibu kandung bayi tersebut dan menuduh yang lain sebagai pencurinya. Dalam keadaan yang sulit ini raja lalu berkata, “Nah, kalau demikian pastilah bayi ini kepunyaan kalian berdua.” Bayi itu lalu diletakkannya di atas meja dan raja segera menghunus pedangnya dan berbuat seolah-olah hendak membelah bayi sambil berkata, “Tak ada jalan lain yang seadil-adilnya, melainkan membelah.” Melihat itu Fatimah menjerit dan memohon agar bayi jangan dibelah, melainkan diserahkan saja kepada Soleha. Soleha menyeringai dan menganjurkan kepada raja agar melaksanakan keputusan yang menurut hematnya sangat adil. Melihat reaksi kedua wanita ini, Raja Sulaiman tahu ibu kandung si bayi sesungguhnya, kemudian menyerahkan bayi itu kepada Fatimah dan menghukum Soleha.

Setelah kejadian itu Fatimah membawa putranya pulang. Fatimah ternyata seorang janda yang suaminya meninggal empat bulan sebelum bayinya lahir. Untuk merayakan keselamatan anaknya, maka ia pun mengadakan kenduri. Dalam kenduri tersebut bayinya diramal akan menjadi orang kaya dan ternama di desanya. Oleh kyai yang meramalnya, si bayi diberi nama Abdul Rahim agar ia dapat menyayangi semua warga desanya, khususnya ibunya.

Setelah dewasa, ia merantau dan berhasil, kemudian ia pun kembali ke desanya untuk membaktikan diri kepada ibu dan orang desanya. Ia kemudian mendirikan sebuah madrasah dan panti asuhan bagi anak yatim di desanya.

Cerita ini dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama dipinjam dari riwayat Nabi Sulaiman yang berasal dari tradisi agama-agama besar, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam. Menurut cerita, Nabi Sulaiman adalah orang yang sangat bijaksana dan mampu mengerti bahasa binatang. Itulah sebabnya dalam dongeng sang Kancil ia seringkali disebut-sebut. Bagian kedua membuktikan bahwa orang Melayu Riau tidak begitu saja mengambil alih suatu bentuk folklor dari luar, melainkan berusaha mengembangkannya dengan menambah cerita. Bagian kedua cerita tersebut mengingatkan kita pada cerita Malim Kundang dengan motif yang berbeda, yakni motif cerita anak yang tahu membalas budi.

Sebagai penutup analisis dapat dikatakan bahwa persamaan cerita Melayu Riau dengan cerita di daerah lain disebabkan oleh difusi (monogenesis), yakni mendapat pengaruh dari luar, namun kemudian dikembangkan lebih lanjut.

4. Penutup
Dari pembahasan yang masih bersifat sementara ini dapat disimpulkan sebagai berikut.
Ketunggalan kebudayaan-kebudayaan di Indonesia tidak hanya dapat dilihat dari segi bahasa, tetapi dapat dibuktikan dari segi folklor atau cerita rakyat. Adanya persamaan motif cerita rakyat orang Melayu Riau dengan motif ceritacerita rakyat suku-sukubangsa di Nusantara yang lain dapat diterangkan dengan teori Difusi (monogenesis) atau penemuan sejajar (poligenesis) yang disebabkan oleh collective unconscious yang sama. Orang Melayu Riau tidak hanya mengambil alih suatu motif cerita dari luar, melainkan juga telah berusaha mengembangkannya lebih lanjut atau mengadaptasikannya dengan keadaan setempat.

Pandangan dalam makalah ini masih merupakan penjajakan awal. Untuk meneliti penyebab adanya persamaan motif cerita-cerita di Nusantara harus digunakan pendekatan holistik, di antaranya harus mempelajari sejarah hubungan suku-sukubangsa bersangkutan dan sebagainya.

Daftar Pustaka
Benfey, T. 1859. Pantschatantra: Funf Bucher Indischer Fablen, Marchen, und Erzahlunger. Dua jilid Leipzig.

Bodker, L. 1965. International Dictionary of Regional European Ethnology and Folklor. Volume II Folk Literature (Germanic) Copenhagen, Rosenkilde, and Bagger.

Brunvand, J. H. 1968. The Study of American Folklore: An Introduction. New York: W. W. Norton.

Danandjaya, J. 1984. Folklor Indonesia: llmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti Press.

Deslongchamps, L. 1838. Essay sur Les Fables Indiennes. Paris.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982. Cerita Rakyat Daerah Riau. Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

English, H. B. dan A. C. English. 1959. A Comprehensive Dictionary of Psychological and Psychoanalytical Terms: A Guide to Usage. New York, Longmans Green.

Fromm, E. 1951. The Forgotten Language, An Introduction to the Understanding of Dreams Fairy Tales and Myths. New York: Rinehart.

Redfield, R. et.al. 1936. “Memorandum of the Study of Acculturation”. American Anthropologist 38: 149–152.

Roheim, G. 1947. “Dream Analysis and Field Work in Anthropology”. Psychoanalysis and the Social Sciences. Vol. 1: 87–130.

Thompson, S. 1966. “Motif-Index of Folk Literature” dalam Ley & Enlarged edition 6. Vols Bloomington & London: Indiana University Press.

––––––––––. 1967. The Folktale. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Webster’s New World Dictionary. 1959. Webster’s New World Dictionary of the American Language. College Edition. Cleveland: The World Publishing.

Prof. Dr. James Danandjaya, MA., adalah guru besar tetap FISIP Universitas Indonesia yang lahir di Jakarta pada tanggal 13 April 1934. Pendidikannya adalah Sarjana Sastra dalam bidang Antropologi dari Universitas Indonesia (1963); M.A. dalam Ilmu Folklor dari University of California di Berkeley, USA (1971); Doktor dalam llmu Antropologi Psikologi dari Universitas Indonesia (1977); pendidikan tanpa gelar dalam Ilmu Antropologi Psikiatri diperoleh dari University of California di San Francisco, USA (1980–1982).

Dia aktif mengikuti seminar, melakukan penelitian ilmiah dan penelitian lapangan, serta menulis berbagai artikel dan karya ilmiah, baik berupa buku maupun makalah dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Karyanya antara lain An Annotated Bibliography of Javanese Folklore (1972); Kebudayaan Petani Desa Trunyan (1980); Folklor Indonesia (1984); Pantomim Suci Betara Berutuk dari Trunyan, Bali (1986); Upacara-upacara Lingkaran Hidup di Trunyan, Bali (1986). Lebih dari sebelas karangan yang merupakan bab-bab dari buku yang berisi kum­pulan tulisan telah diterbitkan, baik di dalam mau­pun di luar negeri; dan tiga belas artikel yang diterbitkan di berbagai majalah ilmiah di dalam maupun di luar negeri.

Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau, Indonesia.