Bahasa Melayu Riau: Sebuah Tinjauan Sosiolinguistik

Oleh : Prof. Dr. T. Amin Ridwan

Tulisan ini menjelaskan tentang tatanan awal bahasa Melayu Riau, yang merupakan bagian dari khazanah budaya bangsa Indonesia. Bahasa Melayu Riau mempunyai sejumlah dialek dan subdialek, sehingga bahasa tersebut bukan bahasa yang sederhana dan sepele. Penulis mencoba membandingkan bahasa Melayu Riau dengan bahasa Melayu Sumatera Timur (tempat asal penulis), seperti pemakaian kata dalam sistem kekerabatan (ulung dari sulung, ngah dari tengah, dan seterusnya). Bahasa daerah mempunyai ciri khas nilai-nilai kehidupan masyarakat penuturnya.

1. Pendahuluan
Bahasa memainkan peran yang sangat penting dan menentukan dalam kehidupan manusia. Oleh karena kaitannya yang erat, manusia hampir-hampir tidak menyadari peran dan kedudukan hakiki dari bahasa karena bahasa dirasakan hadir dan berfungsi seperti kaki, tangan, atau napas dalam tubuh manusia. Kenyataannya, untuk menarik garis umum tentang bentuk, unsur, maupun ciri yang terdapat pada satu atau beberapa bahasa bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Bloomfield (1961: 20) menyatakan bahwa satu-satunya generalisasi bermanfaat yang dapat ditarik ialah generalisasi induktif.

Ciri-ciri yang dikategorikan universal kemungkinan tidak terdapat pada suatu bahasa tertentu. Ciri-ciri seperti distingsi antara bentuk kata “mirip sebagai kata kerja” dengan “mirip sebagai kata benda” merupakan bagian yang terpisahkan dalam susunan jenis kata pada sebagian bahasa dan karenanya bersifat universal. Akan tetapi, ciri umum ini tidak selamanya terdapat pada sebagian bahasa lainnya. Ciri kebahasaan sangat bermanfaat untuk membuat catatan maupun deskripsi. Apabila telah terkumpul sebagian besar data mengenai seperangkat bahasa, sebaiknya dilaksanakan orientasi kembali pada pokok permasalahan kebahasaan yang tercakup, misalnya problem gramatikal dalam arti luas, sehingga analisisnya akan mampu memperlihatkan dan menjelaskan korespondensi maupun divergensi. Dengan begitu analisis kebahasaan dapat mempunyai sifat induktif, bukan spekulatif.

Kajian mengenai suatu bahasa yang sering terasa agak sukar adalah pada langkah linguistik awal. Suatu pendekatan ilmiah terhadap bahasa maupun masalah-masalah kebahasaan kini telah terbukti merupakan alat yang ampuh dan sangat berguna. Linguistik sebagai ilmu bukan hanya merupakan pengetahuan semata, tetapi telah menempuh sejarah perkembangan yang cukup panjang. Linguistik dalam sejarah awalnya telah tumbuh dengan tujuan kemanfaatan praktis. Dalam perkembangan selanjutnya, peran linguistik dewasa ini sudah semakin meningkat karena telah membantu, dibantu, dan mempunyai ikatan yang erat dengan hampir semua disiplin atau ilmu pengetahuan. Hal ini tercermin dengan adanya cabang linguistik, seperti antropolinguistik, etnolinguistik, sosiolinguistik, linguistik komputer, linguistikmatematik, dan lain sebagainya.

Kesusastraan juga telah membutuhkan linguistik sebagai alat analisis. Dengan konsep-konsep yang terdapat dalam linguistik, analisis kesusastraan tidak lagi terbatas pada pembicaraan mengenai bentuk, latar belakang, apresiasi atau karakter dalam hasil maupun bentuk kesusastraan, tetapi sudah semakin luas dan mendalam. Variasi bahasa yang demikian luas ada yang bersifat sistematik, berupa variasi internal (yang merupakan variasi dalam sistem bahasa itu sendiri) dan variasi eksternal (sesuatu yang berhubungan dengan luar), serta variasi lain yang terdapat dalam bahasa itu sendiri. Variasi ini dapat berdasar geografis, dengan hasilnya sebuah dialek, sosiologis dengan hasilnya sosiolek, fungsional dengan hasilnya fungsiolek, kronologis dengan hasilnya kronolek, dan berdasarkan diakronis/temporal dengan hasilnya tempolek.

Batasan mengenai kebudayaan yang sudah banyak dibicarakan, dituliskan, dan dibaca, menyatakan bahwa bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Bahasa juga sering disebut sebagai faktor dominan dari kebudayaan, sehingga harus benar-benar dipahami. Pembicaraan mengenai hidup-mati atau maju-mundurnya suatu bahasa banyak berkaitan langsung dengan masalah-masalah kebudayaan. Manusia dalam kehidupannya memerlukan komunikasi. Kejadian-kejadian dalam komunikasi perlu dianalisis secara tepat. Dalam hubungan ini, bahasa sebagai alat terpenting dalam komunikasi sesama manusia mencakup berbagai masalah, seperti fonetik, ortografik, telepon, dan gelombang di layar televisi. Kita harus ingat bahwa, apabila seseorang berbicara, maka ia menggunakan simbol vokal yang arbitrer untuk mengungkapkan sesuatu yang mungkin akan terjadi atau yang telah terjadi.

Dalam konteks komunikasi, kehidupan manusia dapat dilihat sebagai suatu spektrum yang luas dari kejadian-kejadian komunikasi. Pemahaman suatu pesan (kode) yang dikirimkan banyak bergantung pada perbedaan waktu. Tinjauan psikologis dari individu dalam kedudukan sosial atau kultural memperlihatkan kegunaan perhitungan efisiensi waktu. Misalnya, seorang suami pulang ke rumah dari kantor. Oleh karena terlalu penat bekerja di kantor dan penuh dengan masalah berat, ia hanya mampu mengatakan pada sang istri tercinta tidak lebih dari sepotong kata, “Hai”. Perkataan tunggal dan pendek itu seharusnya tidak boleh hanya diinterpretasikan oleh sang istri sebagai tanda bahwa sang suami telah kembali lagi di rumah. Perkataan itu harus ditafsirkan lebih jauh lagi, seperti permintaan untuk menyediakan makanan, permintaan untuk menyediakan secangkir kopi manis, dan sebagainya.

Fakta komunikasi dapat mempunyai efek dalam jangka waktu tertentu yang berhubungan erat dengan keragu-raguan, kejelasan, maupun ketepatan yang sering terdapat dalam hubungan cross-culture. Pembicaraan mengenai cross-culture dalam konteks kebahasaan juga harus turut memperhitungkan struktur dialektalisasi (divergent structure) maupun struktur dedialektalisasi (convergent structure).

Dari sekian ragam kajian bahasa dan linguistik, kajian sosiolinguistik merupakan bidang yang cukup rumit dan mempunyai banyak kaitan. Kajian sosiolinguistik mencakup berbagai masalah, seperti bahasa dalam konteks sosial dan kebudayaan, hubungan faktor-faktor bahasa dengan situasi dan faktor-faktor sosial budaya, serta fungsi-fungsi sosial penggunaan bahasa dalam masyarakat. Apabila kajian ini diperluas, maka juga akan mencakup ragam, gaya, dan variasi bahasa (Nababan, 1984: 3–4, 15–23).

Membahas bahasa Melayu Riau bukanlah suatu hal yang sederhana dan sepele, karena bahasa sendiri tidaklah sesederhana seperti dugaan sementara kalangan. Bahasa mempunyai seperangkat perbedaan yang disebabkan oleh adanya sejumlah dialek dan subdialek. Bahasa yang terdapat di pesisir Sumatera Utara (dahulu dikenal sebagai Sumatera Timur) berbeda dengan bahasa yang terdapat di daerah Melayu Riau. Kendati mempunyai banyak persamaan dasar historis, namun pergeseran waktu, perbedaan tempat, pengaruh lingkungan masing-masing, maupun faktor-faktor lainnya menyebabkan bahasa Melayu Riau dan bahasa Melayu Sumatera Timur memiliki perbedaan-perbedaan yang tak terelakkan. Atas dasar pertimbangan tersebut dan keterbatasan waktu, tulisan ini baru menyajikan pada taraf dini tatanan awal bahasa Melayu Riau, sebagai bagian dari budaya bangsa Indonesia dan khazanahnya.

2. Bahasa Dan Kebudayaan
Gumperz dan Hymes (1972) menyatakan:
Hubungan-hubungan antara berbagai kategori secara kebudayaan dan bahasa merupakan suatu masalah. Suatu bahasa tertentu berfungsi sebagai metabahasa, yakni suatu cara berkomunikasi secara kebudayaan yang mencakup banyak hal, tetapi bukan tentang kebudayaan itu sendiri. Dengan demikian, pertanyaannya adalah sejauh mana dan dengan cara bagaimana suatu bahasa merupakan indeks dari suatu kebudayaan. Sejauh mana serta dengan cara bagaimana bahasa tersebut seharusnya diperhatikan dan dibina.

Alat yang paling penting dan sering dipergunakan oleh manusia dalam berkomunikasi adalah bahasa. Hal ini bukan berarti bahwa alat-alat lain tidak dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk berkomunikasi. Manusia dapat menggunakan siulan, tepukan, lambaian, isyarat, dan lain sebagainya untuk berkomunikasi. Namun, komunikasi jenis terakhir tidaklah begitu lengkap dan sempurna untuk memenuhi segala keperluan dan tujuan komunikasi yang dilakukan manusia. Alat komunikasi yang terpenting ini bukan merupakan suatu fenomena yang asal jadi saja. Sebaliknya, fenomena itu harus dipelajari dan dikuasai untuk memenuhi dan mengisi keperluan sehari-hari. Mempelajari dan atau menguasai suatu bahasa tidaklah identik dengan menguasai tata bahasanya saja, tetapi lebih kompleks dari itu. Proses menguasai keterampilan berbahasa tersebut turut melibatkan soal-soal “luar bahasa”.

Kebudayaan suatu masyarakat berkait erat dengan bahasa yang digunakan oleh para penutur. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa di dalam suatu bahasa akan terjalin dan terpapar suatu organisasi fenomena perilaku (patterns of behavior), kebendaan, ide (kepercayaan dan pengetahuan), serta sentimen (sikap dan norma) masyarakat. Kenyataan ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa bahasa lebih merupakan satu communion, perhubungan di antara pribadi dan nilai-nilai sosiobudaya. Setiap kelompok manusia mempunyai kebudayaan berupa cara hidup yang diamalkan dan diwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Suatu konsep atau cara hidup dalam suatu masyarakat dapat didukung oleh kata atau bahasa.

Hubungan yang terjalin erat antara bahasa dengan kebudayaan tercermin antara lain pada kata-kata yang digunakan oleh suatu masyarakat dalam sistem kekerabatan. Hubungan kekerabatan yang penting ditandai oleh suatu susunan perbendaharaan kata untuk menyatakannya. Sebagai contoh, dalam masyarakat Inggris terdapat kata-kata kekerabatan seperti son, daughter, brother, sister, mother, dan father. Dalam susunan bahasa Melayu, sistem kekerabatan juga membedakan derajat dalam susunan kekeluargaan yang ditandai dengan kata sulung (tertua), ngah (tengah), bungsu atau cik (termuda). Kata-kata semacam ini dapat atau sering ditambahkan pada kata lain, seperti nenek, sehingga terdapat susunan nek lung, nek ngah, nek cik, dan sebagainya.

Bahasa juga dapat menggambarkan pandangan atau sikap masyarakat. Misalnya, masyarakat penutur bahasa Inggris memulai pidato dengan ladies and gentlemen dan masyarakat penutur bahasa Indonesia memulai pidato dengan kata-kata, bapak-bapak dan atau ibu-ibu. Menurut pandangan sekilas, hal ini mungkin menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai perbedaan nilai terhadap wanita jika dibandingkan dengan masyarakat berbahasa Inggris. Dalam bahasa Indonesia, susunan kata-kata ini tidak selalu atau selamanya paralel dengan aturan atau kebijaksanaan yang sama, misalnya hak dan kewajiban dalam negara. Susunan kata jenis jantan ditambah betina seperti bapak-bapak dan ibu-ibu mempunyai susunan terbalik, seperti dalam kata ibu bapa. Namun, kembali lagi tampil dalam bentuk yang sama dalam kata suami istri, dan tidak pernah menjadi istri suami.

Perbedaan letak susunan kata, seperti jenis kata jantan selalu ditempatkan di depan jenis kata betina hampir selalu paralel dengan situasi kebudayaan. Ketika duduk di pelaminan misalnya laki-laki selamanya berada di sebelah kanan, sedangkan wanita berada di sebelah kirinya. Dalam suasana nasi hadapan (acara makan bersama pada hari bersanding), pengantin wanita menyulangkan (menyuapi) pengantin lelaki. Berarti lelaki lebih dahulu merasakan yang lezat bestari, baru diikuti wanita. Dalam berjalan beriringan dirasakan “kurang beradat” jika wanita berjalan di sebelah kanan lelaki.

Kata-kata ataupun konsep yang didukung oleh suatu kata tidak selamanya kekal dan abadi. Ada kata yang hilang atau lenyap dari perbendaharaan suatu bahasa. Keadaan ini berlaku apabila kebudayaan masyarakat itu berubah ataupun berkembang, sehingga beberapa kata yang terdapat di dalam bahasa itu tidak lagi dapat berfungsi untuk memenuhi tuntutan perkembangan masyarakat. Dalam masyarakat penutur bahasa Melayu, terutama dalam menyambut tamu yang dihormati, tadinya makanan atau minuman yang sering dihidangkan berupa kekaras, lempeng torak, lenggenang, tumpur janda, dadih (susu lembu yang dimasamkan, sejenis yogurt), dan lainnya. Mungkin karena hampir tidak ada lagi orang yang terampil membuat makanan lezat bestari seperti di atas, maka kata-kata tersebut mulai hilang dari daftar perbendaharaan kata. Kasus yang sama juga berlaku pada kata untuk minuman lezat, dadih, yang mungkin dalam alam yang serba modern sekarang ini tidak ada lagi lembu atau sapi yang rela susunya diasamkan atau dijadikan asam, yang berakibat penurunan kualitas dan kuantitas. Sejalan dengan hal itu, kata-kata seperti abam (asbak), celina (cabai), dan isit (garam) mulai hilang dari penggunaan sehari-hari.

Kasus semacam ini tidak berarti bahwa setiap perubahan atau perkembangan kebudayaan suatu bangsa menyebabkan sirnanya semua daftar kata yang mendukung konsep yang sudah tidak ada lagi. Dalam keadaan tertentu, kata-kata itu dikekalkan, hanya konsep yang didukungnya disesuaikan dengan kebutuhan kebudayaan. Dalam masyarakat Melayu misalnya, terdapat kata-kata lama yang telah mengalami perubahan konsep sesuai dengan perkembangan kebudayaan Melayu. Pemakaian kata-kata yang dulu dipakai dalam pemerintahan seperti patik, ayapan (makan), santap (makan), gering (sakit untuk raja atau keluarga raja), beradut (tidur untuk raja atau keluarga raja), dan sebagainya sangat tinggi. Pemakaiannya harus sejalan dengan hak, kewajiban, adat-istiadat, dan hukum yang berlaku pada waktu itu. Dalam situasi dan kondisi sekarang, frekuensi pemakaiannya menurun, dan hanya ada atau terdengar pada kelompok-kelompok tertentu. Dengan tidak bermaksud membangkitkan feodalisme dalam kehidupan bernegara Republik Indonesia, kata-kata tersebut perlu dicatat dan diteliti. Penggunaannya mungkin harus diubah dan disesuaikan dengan keadaan zaman. Misalnya, dalam situasi hubungan antara yang muda terhadap yang lebih tua, dengan yang dituakan, atau dengan yang dihormati.

Sebagai perbandingan, tampaknya perlu dibicarakan penutur bahasa Jawa. Jenis kelamin kadangkala menyebabkan lahirnya perbedaan istilah, seperti kata nenek untuk jenis betina dan kata kakek untuk jenis jantan. Dalam bahasa Melayu istana, kata atok dipergunakan untuk nenek maupun kakek. Dalam uraian sebelumnya juga telah dikatakan bahwa dalam susunan bahasa dapat dilakukan penambahan untuk kata kekerabatan penanda usia, sehingga kemudian terdapat kata tok lung (atok sulung), tok ngah (atok tengah), dan tok cu (atok bungsu). Penyebutan nama seseorang sering dianggap tabu dan kurang sopan, namun dapat ditambahkan sesudah kata kekerabatan seperti Tok Mat (Atok Amat), Tok Min (Atok Amin atau Aminah). Bentuk lain juga terlihat jika berkait dengan tempat tinggal atau asal yang dapat menjelaskan identitas, sehingga terdapat Tok Baru (atok dari Pekanbaru), Tok Pinang (atok dari Tanjungpinang), dan sebagainya.

Pendapat yang mengatakan adanya pengaruh bahasa terhadap kebudayaan atau sebaliknya antara lain terungkap dalam pantangan terhadap sesuatu yang dianggap terlarang, berbahaya, atau tabu. Contohnya adalah pantangan untuk menyebut harimau, terutama jika berada di pinggir atau di dalam rimba. Penyebutannya kemudian ditukar dengan kata nenek atau datu. Pada sebagian penutur bahasa Melayu, ada pantangan atau rasa kurang terhormat apabila seorang istri menyebut nama suami dengan kata dia. Hal ini sangat terkait dengan posisi manusia yang dipengaruhi oleh masyarakat dan lingkungan sekitarnya dalam proses komunikasi untuk menyampaikan sesuatu.

Sesuatu yang ingin disampaikan harus berbentuk benda atau sebagai suatu unit yang berbentuk kata atau beberapa kata. Berdasarkan pendapat ini, kata memainkan peran penting, yang dapat diklasifikasikan secara umum, morfologis, dan tipologis. Sehubungan dengan itu dalam bahasa Melayu baik di Riau maupun Sumatera Timur terdapat seperangkat kata yang dapat ditambahkan untuk menunjukkan urutan kekerabatan, yaitu ulung (sulung) yang menunjukkan urutan tertua, ngah (tengah) yang menunjukkan urutan kedua, alang yang menunjukkan urutan ketiga, uda (muda) yang menunjukkan urutan keempat, uteh yang menunjukkan urutan kelima, andak yang menunjukkan urutan keenam, anjang (panjang) yang menunjukkan urutan ketujuh, itam yang menunjukkan urutan kedelapan, dan ucu (bungsu) yang menunjukkan urutan kesembilan. Dari contoh ini, berdasarkan kata-kata yang tersedia, jumlah anak yang ideal dalam masyarakat Melayu (barangkali di Sumatera Timur) adalah sembilan orang, (bukan dua orang seperti menurut program Keluarga Berencana).

Sebagai tambahan, penulis ambilkan contoh dari Kotamadya Medan. Bagi yang sempat mengenal seseorang bernama Tengku Putih, setelah mengenal Tengku Putih barangkali merasa heran karena yang menyandang nama tersebut tidak berkulit putih. Keheranan tersebut akan terjawab jika kita mengetahui bahwa pemakaian nama tersebut bukan disebabkan oleh warna kulitnya, tetapi menurut urutan dalam susunan keluarga. Uteh atau putih adalah untuk menunjukkan urutan ke lima dalam keluarga. Mereka yang telah agak lama berdomisili di Medan dan bergaul dengan masyarakat Melayu mungkin sempat mengenal seseorang yang bernama Datuk Hitam (Itam). Barangkali yang menyandang nama tersebut merupakan anak kedelapan (itam) dalam susunan keluarga, dan dikukuhkan pula penamaannya dengan warna kulit yang digemarinya, gelap pekat. Selain itu, kemungkinan pula pada anak kedelapan, sang ibu sudah kurang perhatiannya, sehingga anak tersebut dibiarkan bermain di bawah terik matahari hingga kulitnya terbakar hangus.

Kekayaan suatu bahasa juga dapat tercermin dari simbolisasinya. Penggunaan simbol-simbol untuk memperkaya perbendaharaan kata bisa berakibat positif, bisa pula negatif atau menyinggung perasaan. Satu hal yang nyata adalah bahwa kebiasaan ini memperlihatkan hidupnya suatu bahasa, seperti beberapa contoh yang dapat diingat pada masyarakat penutur bahasa Melayu, khususnya masyarakat Melayu di Medan dan kemungkinan pula di Riau. Beberapa contoh dapat dikemukakan sebagai berikut.

Kemungkinan adanya anak-anak yang sebelumnya berwajah cantik menyebabkan adanya kesepakatan untuk menamakan anak yang lahir secara prematur dengan Tengku Cantik. Setelah dewasa anak tersebut ternyata menjadi malu karena mempunyai wajah yang tidak cantik. Sebaliknya penamaan seseorang sebagai Kak Buruk agak relevan dan beralasan, karena yang bersangkutan walau tidak terlalu cantik, namun juga tidak dapat digolongkan ke dalam kelompok berwajah menakutkan.

Sejarah hubungan internasional yang pernah terjadi antara Kerajaan Melayu Raya berpengaruh pada kata atau istilah yang terdapat dalam bahasa Melayu. Hubungan dengan Cina antara lain menghasilkan kata-kata dua karam (keadaan yang sangat ribut) dan dua buta (sepasang suami istri yang telah bercerai talak tiga, jandanya harus kawin dulu dengan orang lain, bercerai, kemudian dapat rujuk kembali, namun pasangan baru itu akhirnya tidak mau bercerai dan menjadi kekal), buluh cina (nama sejenis bambu yang kecil ramping berwarna kekuning-kuningan), gunting cina (sejenis model pakaian), dan sebagainya.

Hubungan dengan India (Keling) juga meninggalkan pengaruh, seperti Kampung Keling (dalam sejarahnya diperuntukkan bagi pendatang yang kulitnya berwarna khas), janji keling (suatu janji yang tidak pernah ditepati, baik waktu maupun isinya), kerak keling (sejenis kue, atau sejenis rantai yang biasa dipergunakan sebagai alat dalam berkelahi), keling bangking (warna kulit yang hitam pekat), gerantang keling (gertak sambal), dan sebagainya.

Beberapa uraian di atas membawa kita pada pendapat, antara lain bahwa:

a)

Bahasa juga mengalami proses evolusi yang di dalamnya terdapat tantangan kemajuan teknologi sebagai ukuran kemajuan bahasa. Bangsa yang maju akan terlihat pada bahasanya yang maju. Sebaliknya, bangsa yang terbelakang memperlihatkan gejala bahasa yang tidak maju.

b)

Penentuan suatu struktur bahasa sering menyebabkan terjadinya penggabungan antara aktivitas ekstrinsik dan intrinsik. Dalam usaha peningkatan dan penyempurnaan bahasa, keadaan struktur di luar bahasa sering berperan dalam membantu penyempurnaan bahasa itu sendiri.

c)

Pencatatan keadaan suatu bahasa dalam penentuan klasifikasinya dapat diteliti dari kekayaan kosakata yang dimiliki, jumlah dan tingkat frekuensi kognisi, terdapatnya sistematika kata, dan terdapatnya sejumlah kata yang berhubungan dengan konsep abstrak.

d)

Bahasa yang maju adalah bahasa yang mempunyai seperangkat konsep, kosakata, dan lambang untuk bagianbagian atau hal-hal yang abstrak.

e)

Dalam pengembangan bahasa diperlukan beberapa catatan yang turut menentukan, yang dapat dikategorikan dan diklasifikasikan sebagai unsur historis-komparatif, kodabilitas frasa (phrase-codability), peminjaman unsur bahasa baru atau penciptaan kata-kata baru melalui prinsip onomatope, dan lain sebagainya.

3. Sikap Bahasa
Penulis berasumsi bahwa terdapat kecenderungan kemiripan maupun kebiasaan sikap berbahasa antara penutur bahasa Melayu Riau dan penutur bahasa Melayu di pesisir Sumatera Utara (dalam sejarah dikenal sebagai Melayu Sumatera Timur, de oostkusten). Kalau terdapat perbedaan dalam masing-masing kelompok, kasus ini hampir dapat dikatakan karena adanya kesamaan, yaitu disebabkan perbedaan variasi bahasa daerah, individu, sosial, kurun waktu, faktor eksternal, faktor internal, dan lain sebagainya.

Kecenderungan persamaan tersebut terlihat antara lain pada

)

Kecenderungan mempergunakan ungkapan, pantun, seloka, dan “kata-kata bersayap”.

b)

Kesantunan dalam penggunaan dan pemilihan kata atau suatu sikap bahasa yang mencerminkan sifat dan tingkahlaku.

c)

Dasar adat-istiadat yang sama, yang berpolakan adat sebenar adat, adat yang diadatkan, dan adat yang teradat.

d)

Islam dan ajarannya yang merupakan tiang utama dan mercu suar penyuluh arah, sikap, serta pola hidup yang banyak berpengaruh dalam penyediaan kata dan istilah.

Kerangka teori yang diungkapkan mengenai variasi bahasa dan ragam bahasa didasarkan pada hal yang dikemukakan oleh Nababan (1984: 13–15, 22–23). Secara teoretis, rasanya tidak sukar untuk memberikan klasifikasi dan contoh secara terpisah dan tersendiri antara aspek-aspek maupun bagian-bagian yang terdapat dalam fungsi dan variasi bahasa, serta kelompok ragam bahasa. Namun dalam kenyataannya, contoh-contoh yang sempat terkumpul memperlihatkan kaitan atau berada dalam subkelompok lebih dari satu. Hal ini mungkin disebabkan oleh kasus filogenetik (hubungan antara bahasa dan kebudayaan yang saling berkaitan erat atau tidak dapat dilepas dan berdiri sendiri) dengan masalah ontogenetik (proses pemahaman dan penghayatan kebudayaan melalui bahasa).

4. Bahasa Melayu Riau Ungkapan Situasi Dan Fungsi
Kajian suatu bahasa dari sudut sosiolinguistik mencakup masalah-masalah utama, seperti bahasa dan kebudayaan, hubungan bahasa dengan konteks sosial, hubungan bahasa dengan situasi dan faktor-faktor sosial budaya, serta kajian fungsi sosial dan penggunaan bahasa dalam masyarakat. Secara teoretis, masalah-masalah utama tersebut menghendaki secara lengkap adanya faktor-faktor atau topik-topik seperti repertoar bahasa, masyarakat bahasa, fungsi dan profil masyarakat bahasa, etnografi berbahasa, perencanaan bahasa, interaksi sosial, dan lain sebagainya.

Kata atau ungkapan bahasa Melayu Riau dalam hubungannya dengan konteks sosial budaya lahir dan ada disebabkan oleh keperluan yang berhubungan dengan nilai budaya, nilai agama dan keyakinan, nilai hukum dan kekuasaan, nilai teori dan ilmu pengetahuan, nilai ekonomi dan perdagangan, sikap manusia atau kelompok manusia, orientasi ke depan, serta kemajuan dan perubahan. Keadaan ini menghasilkan ungkapan dan untaian pantun yang mengungkapkan beberapa hal, seperti contoh berikut.

a) Sikap dan budi dalam masyarakat. Hal ini terungkap dalam:

Pisang emas bawa berlayar
Pisang lidi di atas peti
Hutang emas boleh dibayar
Hutang budi dibawa mati

b) Fatwa adat dan kebijaksanaan. Hal ini terungkap dalam:

Ibarat menghela rambut dalam tepung
Rambut tidak putus tepung tidak berserak

c) Sifat kesatria dalam membela kebenaran, hak, dan kewajiban. Hal ini terungkap dalam:

Jangan takut tanah akan merah
Esa hilang, dua terbilang
Sebelum ajal berpantang mati
Asal di atas kebenaran
Biar putus kepala dipancung
Setapak pun berpantang mundur

dan lain sebagainya.

Faktor-faktor situasi menyebabkan hadirnya ungkapan yang antara lain berhubungan dengan.

a) Daerah kesatuan adat (lokatif), seperti Tiga Kabung Air, yang dalam sejarahnya mencakup Sungai Kampar, Sungai Rokan, dan Sungai Tapung (Siak Hulu).

b) Aspek sosial, yang mengarahkan agar kegiatan masyarakat jangan sampai merusak adat dan kebijaksanaan dasar. Dengan kata lain, mencegah timbulnya akibat negatif, seperti terungkap dalam:

Hati tungau sama dicacah
Besar kayu besar bahannya
Kecil kayu kecil bahannya
Besar jangan melanda
Cerdik jangan menipu

c) Proteksi, seperti terungkap dalam:

Jalan jangan dialih orang lain
Cupak jangan dialih orang penggaleh

d) Ekonomi pemanfaatan bersama, seperti terungkap dalam:

Kalau hilang rugi bersama
Kalau untung laba bersama
Ringan sama dijinjing
Berat sama dipikul

dan lain sebagainya.

Fungsi-fungsi sosial dan penggunaan bahasa dalam masyarakat penutur bahasa Melayu Riau mencakup beberapa aspek kebahasaan, seperti:

a) Instruksional, untuk pembinaan sikap hidup kemanusiaan, persatuan dan kesatuan, mufakat, keadilan sosial, dan lain-lain.

Kasus kebahasaan ini misalnya terlihat dalam bidang “kemanusiaan”, seperti berikut:

Hidup jelang menjelang
Sakit jenguk menjenguk

Dalam bidang “persatuan dan kesatuan”, seperti berikut:

Yang salah tegur menegur,
Yang rendah angkat mengangkat,
Yang tinggi junjung menjunjung

Dalam bidang “mufakat”, seperti berikut:

Bulat air oleh pembuluh,
Bulat kata oleh mufakat,
Lah beriya bertimbal balik

Dalam bidang “keadilan sosial”, seperti berikut:

Tiba di mata tidak dipicingkan
Tiba di perut tidak dikempiskan

b) Sebab-akibat, dalam arti akibat sebagai hasil usaha dan sikap, seperti terungkap dalam “Kaya iman dibawa mati”.

c) Gabungan deklaratif dan imperatif, seperti terungkap dalam:

Raja adil, raja disembah
Raja zalim, raja disanggah

dan lain sebagainya.

Kajian berdasarkan fungsinya atau tingkat formalitas menemukan empat jenis gaya bahasa (style), yaitu ragam beku (frozen style), ragam resmi (formal style), ragam usaha (consultative style), dan ragam akrab (intimate style) seperti yang dijabarkan oleh Nababan (1984: 22–23). Ragam beku dan ragam resmi dalam bahasa Melayu Riau adalah sebagai berikut.

a. Ragam Beku
Ragam beku ialah jenis ragam bahasa yang paling resmi digunakan dalam situasi khidmat dan upacara-upacara resmi. Ragam jenis ini juga mempunyai bentuk-bentuk tertentu seperti undang-undang, peraturan, dan lain sebagainya. Tata-laksana adat-istiadat dalam perkawinan masyarakat penutur bahasa Melayu Riau mempunyai berbagai bentuk. Bentuk-bentuk tata-laksana perkawinan ditandai dengan seperangkat istilah, seperti kawin pinangan, kawin ganti tiko, kawin balam duo sarenggek, kawin jando berhias, dan kawin berambik. Kebiasaan dan tradisi adat perkawinan mempunyai seperangkat upacara, baik pada masa sebelum, menjelang, sedang, dan setelah upacara resmi berlangsung. Upacara-upacara tersebut ditandai dengan sederetan kata maupun istilah, seperti marisik meminang, mengantar belanja, menggantung, mengucap, tepung tawo, berinai, berendam, berkatam, bersanding, dan malam menyembah.

Dalam pelaksanaan adat-istiadat, hukum, dan perkawinan lahirlah sejumlah pedoman dalam bentuk susunan untaian kata, seperti “sekali air bah, sekali tepian beralih”. Selain itu, untaian kata juga terdapat dalam petuah-petuah seperti dalam Gurindam Dua Belas yang dapat dikutip sebagai berikut.

Jika hendak mengenal orang yang berbangsa lihat kepada budi dan bahasa
Jika hendak mengenal orang yang mulia lihatlah pada kelakuan dia

(Pasal Kelima)
Betul hati kepada raja tanda jadi sembarang kerja
Hukum adil kepada rakyat tanda raja beroleh inayat

(Pasal Kedua belas)
Contoh lain dari ragam beku ialah ketentuan hukum seperti yang terdapat dalam Andiko 44[1]. Pemerintahan Kerajaan Melayu menggariskan ketentuan mengenai ulau-ulau, “ularan-ularan”, yang mengandung fatwa politis seperti tercermin dalam

Palu-palu ular Ular dipalu tidak mati
Ibarat menghela rambut dalam tepung Rambut tidak putus Tepung tidak berserak

Penentuan dan pembagian waktu mempunyai istilah tersendiri dalam bahasa Melayu Riau, seperti yang umum diketahui dalam contoh senja dan malam. lstilah-istilah yang dimaksud antara lain ialah sebelum terbang lalat (subuh), matahari naik (sebelum jam 09.00 pagi), matahari sepenggalahan (09.00–12.00), matahari tergelincir (sesudah jam 12.00).

b. Ragam Resmi
Ragam resmi ialah ragam bahasa yang sering dipakai dalam pidato-pidato resmi, rapat dinas, atau sambutan resmi pimpinan suatu lembaga. Dalam konteks republik, panggilan terhadap kepala pemerintahan, baik pada tingkat pusat maupun daerah biasanya menggunakan kata ataupun istilah yang seragam untuk seluruh wilayah tanah air. Panggilan dalam lingkungan terbatas keluarga dan daerah masih banyak mempergunakan kata maupun istilah lama. Sejarah Kerajaan Melayu sendiri meninggalkan kata dan istilah mengenai lembaga, pemimpin, dan pejabat pemerintahan seperti raja/sultan, tumenggung, batin, kesultanan, dewan kerajaan, kerapatan tinggi, kadhi, kepala imam, datuk, dan sebagainya.

Sesuai dengan kebiasaan dalam masyarakat penutur bahasa Melayu, baik dalam ragam resmi, santai, maupun akrab, terasa ada kelengkapan dan keindahan pada ungkapan, kata bersayap, dan bidal. Beberapa contohnya antara lain:

Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing
(Menunjukkan sopan-santun)
Ibarat aur dengan tebing
Ibarat kuku dengan isi

atau
Sembarang dua sisi dan satu mata uang
(Adat pergaulan)
Berkata hendaklah di bawah-bawah,
mandi hendaklah di hilir-hilir

Musuh jangan dicari, bersua jangan dielak
Mulut kamu harimau kamu

Selain membicarakan pekerjaan atau bidang usaha yang akan dikerjakan melalui kata dan istilah yang berkaitan langsung, masyarakat penutur bahasa Melayu juga sering memulai atau menghakimi pembicaraan inti dengan pembicaraan santai dan rasa keakraban. Pesan dan petuah jarang terlupakan, sehingga terjadi penggabungan antara ragam usaha, santai, dan akrab.

Pesan atau petuah yang selalu terdengar antara lain adalah:

“Selangkah maju tiga langkah mundur; genggam biar jadi arang tak dilepas walau terasa hangat; yang semak buang ke rimba, yang keruh buang ke laut”, dan lain sebagainya.

Ragam tidak akan lengkap dalam kajian suatu bahasa karena baru sampai taraf kajian fungsiolek. Perbedaanperbedaan yang mungkin terdapat dalam kelompok-kelompok kecil perlu dikaji. Hal ini menyangkut masalah seperti dialek, sosiolek, dan lainnya. Langkah ini perlu dilakukan dalam usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Melayu Riau.

5. Variasi Bahasa
Bahasa mempunyai dua aspek dasar, yaitu bentuk dan makna. Bentuk dianalisis dan dideskripsikan dari aspek bunyi, tulisan, maupun struktur, sedangkan makna dianalisis dan dideskripsikan dari sudut pandang leksikal, fungsional, dan struktural. Penutur bahasa Melayu Riau mendiami daerah Riau, dan bahasa yang digunakan berakar pada bahasa yang terdapat dan digunakan sejak zaman Kerajaan Melayu (Imperium Melayu) dengan berbagai variasi dan ragam bahasa yang secara teoretis dikenal sebagai dialek (variasi berdasarkan batas geografis), sosiolek (variasi berdasarkan latar belakang sosial dan pendidikan), fungsiolek, kronolek, dan lainnya. Keseluruhan variasi tidak mungkin dikemukakan dalam tulisan ini, karena luasnya dialek yang terdapat dalam bahasa Melayu Riau. Contoh-contoh yang dikemukakan di sini adalah sebagai bukti dan ilustrasi mengenai adanya variasi bahasa Melayu Riau, sebagai suatu dukungan untuk kajian sosiolinguistik.

Variasi atau perbedaan yang ada berupa perbedaan bunyi beberapa fonem seperti beberapa contoh berikut ini.

a) Fonem /a/—/a/— /o/

Variasi 1

Variasi 2

Variasi 3

/ lada /

/ lada /

/ lado /

/ saya /

/ saya /

/ sayo /

/ dunia /

/ dunia /

/ dunio /

b) Perubahan bunyi pada dialek Bengkalis, antara lain

- /ar/ / tawar/ / ajar/ / mamar/
— /o/
— / tawo/
— / ajo/
— / mamo/
- / ur/ / malur/ / kundur/ / bujur/
— / uo/
— / maluo/
— / kunduo/
— / bujuo/
- / ir/ — / ei/ / kikir/ — / kikei/ / pasir/ — / pasei/ / mahir/ — / mahei/

Apabila diambil perbedaan antara dialek Serasan dan dialek Kampar, maka terdapat beberapa aspek kontrastif sebagai berikut. a) Bidang fonologi Contoh: Dialek Serasan Dialek Kampar / a/ (ada) (ado)

b) Proses Morfo-fonemik Dalam dialek Serasan terdapat bentuk (meN-) dan (peN–), sedangkan dalam dialek Kampar terdapat (maN-) dan (paN-). Dalam dialek Serasan, apabila (meN-) dilekatkan pada kata dasar berfonem awal / b/ atau /p/, N berubah menjadi /m/, sedangkan /p/ luluh, seperti (meN-) + buat = membuat, (meN-) + pikir = memikir.

Dalam dialek Kampar, apabila (maN-) dilekatkan pada kata dasar berfonem awal /b/ atau /p/, maka N menjadi /m/

sedangkan /p/ luluh, seperti (maN-) + bai = mambai ‘memberi‘, (maN-) + pangku = mamangku ‘memangku‘. Perbedaan antara dialek Serasan dan dialek Kampar terlihat pula dalam aspek proses kata dasar, perulangan, kata kerja, kata sifat, kata benda, dan jenis kata lainnya. Perbedaan juga terdapat dalam masalah sintaksis dan komponen-komponen yang terdapat di dalamnya.

6. Pantun, Ungkapan, Dan Lain-Lain
Seperti disampaikan sebelumnya, penutur bahasa Melayu Riau banyak menggunakan pantun, seloka, bidal atau “kata-kata bersayap” dalam bentuk bahasa lisan dan tulisan. Bentuk tersebut digunakan dalam jenis-jenis yang terdapat dalam variasi maupun ragam bahasa secara bersamaan dan tidak dapat dipisahkan secara jelas. Gaya bahasa seperti ini digunakan dengan tujuan, arah, sasaran, dan harapan yang secara garis besar digambarkan sebagai berikut.

a) Melankolik, pasrah, eternal, seperti:

Pulau Pandan jauh di tengah
Gunung Daik bercabang tiga
Hancur badan dikandung tanah
Budi baik terkenang juga

b) Pesimistis, seperti:

Orang teluk pergi menjala
Dapatkan ikan dua tiga
Alangkah buruk untung saya
Tidur bertilam air mata

c) Patuh, beradat, konsultatif, seperti:

Minta wasiat kepada yang tua
Minta petuah kepada yang alim
Minta akal kepada yang adil
Minta adil kepada hulubalang
Minta daulat kepada raja
Minta suara kepada enggang
Minta kuat kepada gajah

d) Persaudaraan, tidak konfrontatif, seperti:

Yang kesat diampelas
Yang berbongkol ditarah
Yang keruh dijernihkan
Yang kusut diuraikan

e) Berketuhanan, seperti:

Adat berwaris kepada Nabi
Adat berkhalifah kepada Adam
Adat berinduk ke ulama
Adat tersurat dalam kertas
Adat tersirat dalam sunnah
Adat dikungkung Kitabullah
ltulah adat tahan banding
Itulah adat yang lasak

f) Instruktif, seperti:

Tidak boleh berbicara cabul
Tidak boleh tekebur

g) Edukatif, seperti:

Pantang membuka aib orang
merobek baju di badan
menepuk air di dulang
yang salah tegur menegur
yang rendah angkat mengangkat
yang tinggi junjung menjunjung
yang lupa diingatkan
yang bengkok diluruskan yang tidur dijagakan

h) Keakraban dan kerukunan, seperti:

Lapang sama bergelar
Sempit sama berhimpit
Lebih beri memberi
Kurang isi mengisi

i) dan lain sebagainya.

Selain itu juga terdapat ungkapan-ungkapan yang menyatakan sindiran yang sekaligus memberikan peringatan dan bernada edukatif, misalnya “Seperti ilmu padi, makin tua (berisi) makin merunduk”, “tak emas bungkal di tanah”, “tong kosong nyaring bunyinya”, dan sebagainya. Pantun dalam senandung Melayu juga dapat bermotifkan sindiran, misalnya:

Ayam hutan terbang ke hutan
Turun ke tanah mencari makan
Hendak memikat burung di hutan
Burung di sangkar mati tak makan

Bahasa Melayu Riau yang diuraikan secara singkat dan sederhana, baik dalam bentuk dan contoh yang terdapat dalam bahasa biasa (plain language) maupun dalam bentuk ungkapan, pantun, bidal, dan sebagainya, menggambarkan sikap dan sifat penuturnya, di antaranya adalah:

a) Ketaatan pada adat, hukum, dan ketentuan yang berlandaskan kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa beserta seluruh ajaran dan perintahNya.

b) Sikap dan sifat yang suka mengalah, menghindari kegaduhan, dan lebih banyak bertolak angsur. Hal ini ditandai dengan harga diri, sadar, dan tahu diri. Keadaan ini dapat menumbuhkan sikap positif, yaitu tertib, sopan, dan patuh pada aturan. Namun, dari segi kebahasaan dapat memunculkan segi negatif, umpamanya dalam menghadapi tantangan lebih menahan diri dan tidak mengucapkan sesuatu sehingga perasaan menjadi tertekan, daripada menjawab dengan kata-kata yang dikhawatirkan akan menyinggung perasaan orang lain.

7. Penutup
Bahasa adalah alat penting yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Antara bahasa dan kebudayaan terdapat satu pertalian yang sangat erat. Sebagai hipotesis dapat disimpulkan bahwa antara bahasa, kebudayaan, dan pemikiran terdapat hubungan timbal balik. Ungkapan yang menyebutkan “Bahasa menunjukkan bangsa” sesungguhnya berarti bahwa budi bahasa yang halus adalah pertanda orang baik, demikian pula dengan perangai serta tutur kata yang senonoh. Dengan kata lain, bahasa dapat mencerminkan tingkah-laku dan budi pekerti seseorang. Orang yang tutur katanya lemah lembut dan sopan-santun tentu tingkah-laku dan pribadinya baik. Sebaliknya, orang yang bicaranya kasar dan tanpa sopan-santun dapat menggambarkan pribadi yang kasar atau kurang beradab. Orang yang bertutur kata selalu tak tentu arah dan berubah-ubah menunjukkan sifat yang berubah-ubah dan kurang dapat dipercaya.

Sudah menjadi ciri umum bahwa setiap bahasa, walaupun serumpun dan seasal, tidak akan pernah atau mungkin seragam benar, walaupun bahasa itu mempunyai satu kesatuan (unity), karena bahasa mempunyai berbagai variasi dan ragam. Fungsi utama bahasa di dalam masyarakat manusia adalah sebagai alat interaksi sosial, sehingga bahasa tidak mungkin dapat dipisahkan dari kegiatan, aksi, tindakan, dan kerja manusia di dalam segala segi kehidupan dan penghidupannya. Bahasa tidak dapat dipisahkan dari kehidupan budaya manusia, karena antara bahasa dan budaya terdapat hubungan timbal-balik. Bahasa merupakan salah satu hasil budaya manusia, sedangkan budaya manusia juga banyak dipengaruhi oleh bahasa.

Berbicara mengenai konsep atau ide tentu melibatkan masalah pemikiran suatu konsep, ide, atau gagasan. Benar tidaknya suatu pemikiran tidak menjadi soal dalam melahirkan suatu konsep atau gagasan, meskipun harus diakui bahwa suatu konsep yang baik dan matang tentu memerlukan pemikiran yang lebih lama dan mendalam. Sebaliknya, konsep yang lahir dari hasil pemikiran yang serba dangkal tentu tidak akan sempurna dan karenanya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Pertanyaan yang mungkin timbul ialah, “Apakah setiap orang akan mampu melahirkan suatu pikiran, konsep, atau gagasan dalam bentuk bahasa yang baik dan sempurna?” Pengalaman hidup kita barangkali sudah cukup mampu membuktikan suatu jawaban yang bernada tidak. Walau bahasa sudah merupakan bagian dari kebudayaan manusia, namun untuk menggunakannya dengan baik dan sempurna, baik dalam bentuk lisan apalagi tulisan, tetap diperlukan latihan, pembinaan keterampilan, dan habitualisasi (pembiasaan).

Berpikir dan menggunakan bahasa yang baik dan sempurna menghendaki perwujudan pemikiran yang saling berkaitan erat. Keterampilan berbahasa dalam melahirkan pemikiran memerlukan latihan dan habitualisasi. Setiap orang yang waras dan sempurna akalnya tentu dapat berpikir, namun untuk dapat memikirkan sesuatu dengan baik diperlukan latihan dan habitualisasi. Untuk melahirkan suatu konsep diperlukan jalinan antara kemampuan berpikir dan kemampuan berbahasa. Walaupun pada bentuk lahiriahnya sederhana, namun pada dasarnya kedua kemampuan itu cukup kompleks. Semakin tinggi tingkat potensi kebahasaan seseorang, akan semakin tinggi pula tingkat pemahaman atau penyampaian wujud ide atau konsep seseorang. Dengan memahami struktur bahasa, seseorang akan mampu melakukan negosiasi, perintah, pertanyaan, pengarahan (directive), percakapan, pengutaraan emosi (expressions of emotions), dan sebagainya. Daya produktivitas dan kreativitas yang terdapat pada manusia menyebabkannya memiliki suatu sistem komunikasi dua arah dan terbuka, sehingga memungkinkan untuk memahami atau menyampaikan satu atau semua ide dan konsep.

Bahasa Melayu Riau merupakan bagian dari khazanah budaya nasional. Pemeliharaan, pengembangan, dan peningkatannya merupakan salah satu tugas nasional. Politik bahasa nasional adalah kebijakan nasional resmi mengenai keseluruhan masalah bahasa yang terdapat di Indonesia. Kebijakan ini sudah sewajarnya berisikan ketentuanketentuan mengenai fungsi dan kedudukan bahasa Melayu Riau sebagai bagian dari bahasa Nusantara. Kebijakan tersebut harus mampu memberikan dasar pegangan dan pengarahan yang diperlukan dalam pengembangan pengajaran bahasa. Sebagai salah satu kebijakan nasional, bahasa Melayu Riau harus mampu berperan dalam penentuan skala prioritas dalam perencanaan dan pelaksanaan program penelitian dan pengembangan bahasa di Indonesia.

Kebijakan pembinaan dan pengembangan bahasa-bahasa daerah, termasuk bahasa Melayu Riau, harus diawali dengan penekanan mengenai apa yang dimaksud dengan pembinaan dan pengembangan. Pembinaan ialah kebijakan yang mencakup pemeliharaan, penyelamatan, dan pengolahan, termasuk usaha-usaha pemberian bimbingan, pengarahan, penelitian, penggalian, pencatatan, dan peningkatan mutu. Usaha dan kebijakan ini sesungguhnya saling berkait satu sama lain dan berada dalam satu rangkaian usaha yang dilaksanakan secara seimbang dan berkesinambungan. Setelah proses ini dilakukan, maka langkah lanjutan yang diperlukan adalah pengembangan.

Pengembangan memiliki dua pengertian, yaitu: pengembangan dalam arti pengolahan berdasarkan unsur-unsur tradisional dan kemungkinan adanya beberapa modifikasi tanpa menghapus nilai-nilai tradisional yang terdapat di daerah “asal”; dan penyebarluasan dengan tujuan agar dapat dinikmati dan diserap oleh lingkungan masyarakat yang lebih luas. Pengembangan dalam pengertian yang pertama sangat erat kaitannya dengan masalah-masalah yang menyangkut soal mutu, yang dalam bahasa Inggris sering disebut development, sedangkan pengembangan dalam pengertian kedua dalam bahasa Inggris sering disebut dissemination.

Bahasa daerah dapat diasumsikan berasal dari daerah asal eksistensi atau dikenal, hidup, dipergunakan, dan dimiliki sebelumnya. Dalam bahasa-bahasa daerah tercermin ciri-ciri tertentu yang khas dari daerah yang bersangkutan yang melatarbelakanginya. Selain sebagai alat komunikasi, fungsi bahasa daerah berkaitan dengan kepentingan masyarakat, bahkan sering merupakan bagian esensial dari berbagai bentuk upacara adat yang semuanya mempunyai harapan dan tujuan untuk memperoleh keselamatan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Hampir sama dengan nilai-nilai tradisional lainnya, bahasa daerah melahirkan pola-pola yang merupakan kosakata pola-pola dan nilai-nilai tradisional.

Mengingat bahwa fungsi bahasa daerah pada awalnya adalah disajikan dan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat daerah dan menjadi bagian dari berbagai kepentingan adat di daerah tersebut, maka dapat dikatakan bahwa bahasa daerah pada awal sejarahnya merupakan milik masyarakat daerah yang mengungkapkan tata kehidupan masyarakat daerah tertentu. Perubahan zaman menyebabkan alam pikiran dan pandangan hidup manusia mengalami perkembangan secara berkesinambungan. Bahasa daerah dengan kekhasannya masing-masing mengungkapkan alam pikiran dari kehidupan daerah yang bersangkutan. Wujud eksistensinya dapat dilihat pada bentuk, corak, dan ragam bahasa daerah yang terdapat di seluruh wilayah Indonesia.

Nilai-nilai dan kekayaan bahasa Melayu Riau perlu dipelihara dan diselamatkan. Namun, usaha pembinaan bahasa daerah ini, dalam beberapa hal harus selektif, karena usaha pembinaan harus berkait dengan usaha pengembangan untuk masa yang akan datang. Oleh karenanya, baik usaha pembinaan maupun usaha pengembangan harus disejajarkan dengan alam pikiran pandangan hidup dan tingkat kehidupan masyarakat Indonesia.

Usaha ini menghendaki adanya penelitian, pencatatan, dan pendokumentasian bahasa-bahasa daerah mengingat kondisinya yang mengarah pada kepunahan. Pembinaan bahasa-bahasa daerah merupakan langkah yang mutlak diperlukan, di samping untuk menjaga kesinambungan bahasa-bahasa daerah tersebut dan menghindari kepunahan. Usaha dan upaya tersebut diharapkan dapat: 1) melestarikan dan mengembangkan bahasa Melayu Riau dari kemungkinan terjerumusnya ke dalam arus penetrasi budaya dari luar; 2) menciptakan keseimbangan antara nilainilai yang terdapat pada bahasa daerah dengan nilai-nilai dari luar lingkungan itu sendiri-sendiri, khususnya dari luar Indonesia; 3) memanfaatkan nilai-nilai dari luar lingkungan Indonesia untuk meningkatkan dan menyempurnakan usaha pengembangan, khususnya segi-segi teknologi dan penataan struktural; 4) mempertahankan kemurnian baha-sa-bahasa daerah dalam bentuk dan corak yang dekat dengan kebudayaan yang belum mendapat pengaruh dan/atau bercampur dengan unsur-unsur dari luar lingkungannya; 5) memodernisasi berbagai bentuk dan corak bahasa daerah agar mampu memenuhi tuntutan zaman, ekspresi, dan inovasi individual, atau tuntutan dari modernisasi dalam masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

Pendapat yang menyatakan bahwa bahasa mempunyai kaitan erat dengan pemikiran dan kebudayaan sudah merupakan kesepakatan para filsuf, psikolog, budayawan, dan ahli bahasa. Namun, pendapat tersebut masih terbagi dalam dua aliran. Aliran pertama berpendapat dan berpegang teguh pada suatu pendirian bahwa bahasa mempunyai hubungan kausalitas dengan pemikiran dan kebudayaan. Pendapat ini sejalan dengan hipotesis yang mengatakan bahwa terdapat hubungan kausalitas antara bahasa, pemikiran, dan kebudayaan. Aliran kedua berpendapat bahwa walaupun ada hubungan antara bahasa, pemikiran, dan kebudayaan, namun masing-masing bersifat otonom sehingga terjadi hubungan yang bersifat kontroversial. Walau terdapat perbedaan pada dua kelompok pemikiran tersebut, namun ada satu kesepakatan dalam bentuk satu asumsi, bahkan mungkin hipotesis, bahwa sebenarnya tidak ada bahasa yang “primitif”.

Ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan, semua bahasa di dunia bermanfaat sehingga diperlukan pencatatan, pengembangan, pemeliharaan, dan penyempurnaannya. Dengan berlandaskan pada pendapat ini, kita sepakat bahwa bahasa Melayu Riau perlu mendapat perhatian yang terarah, baik dari segi pemanfaatan, teoretis, keindahan, maupun kekayaannya.

Daftar Pustaka
Balai Pustaka. 1978. Pantun Melayu. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Bloomfield, L. 1961. Language. New York: Holt, Reinhart and Winston.

Collins, B. E. 1970. Social Psychology. London: Addison Wesley.

Gumpers, J. and D. Hymes. T.t. Directions in Sociolinguistics: The Ethnography of Communication. New York: Holt, Reinhart Winston.

Hasan, K. dkk. 1981—1982. Struktur Bahasa Melayu Riau dalam Cerita Rakyat. Pekanbaru: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Riau, Depdikbud.

Nababan, P. W. J. 1984. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Suwardi dkk. 1985. Kumpulan Makalah. Pekanbaru: Pertemuan Kebudayaan Melayu.

Prof. Dr. T. Amin Ridwan, adalah guru besar Universitas Sumatera Utara dan Kepala Pusat Kajian Bahasa Universitas Sumatera Utara. Lahir di Medan, Sumatera Utara, pada tanggal 23 April 1935. Me­namatkan pendidikan di Alge­meene Lagere School (ALS) Medan tahun 1951; Middelbare School (MS) Medan tahun 1954; dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Medan tahun 1957. Tahun 1960 menyelesikan studi Sarjana Muda Pendidikan pada Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, FKIP-USU, Medan. Tahun 1963 menyelesaikan Sarjana Pendidikan pada Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Universitas Sumatera Utara, Medan. Tahun 1970 lulus dari program Post-Graduate Diploma (First Class), English Language Institute (ELI) Victoria University, Wellington, New Zealand. Tahun 1976 meraih gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) di bidang linguistik dari Monash University, Melbourne, Australia.

Penulis aktif mengajar di berbagai universitas luar dan dalam negeri seperti Tutor Victoria University, Wellington, New Zealand (1970); Senior Tutor Depart­ment of Malay and Indo­ne­sian Studies, Monash University, Melbourne, Australia (1973–1974); Lecturer Department of Malay and Indonesian Studies, Monash University, Melbourne, Australia (1974–1975); Visiting Professor, Department of Phonetics and Linguistics UCLA, Los Angeles, USA (1981); Visiting Professor San Diego State Univer­sity California, USA (1983); Dosen Luar Biasa IAIN Sumatera Utara (1976-1978); Dosen Luar Biasa ABA Harapan, Medan (1976–1978); Dosen Luar Biasa Fakultas Sastra, Universitas Islam, Medan (1977); Dosen Luar Biasa Universitas Methodis Indo­nesia, Medan (1978).

Penulis juga aktif di berbagai organisasi sosial budaya, antara lain sebagai Ketua Ikatan Sarjana Linguistik Indonesia (ISLI), Medan (1976-1980); Komi­sa­ris Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) untuk Medan (1980-1982); Ketua Umum Pengurus Harian Yayasan Panca Karya, Sumatera Utara (1984); anggota Pengurus Harian Yayasan Bhakti Negara, Pangkalan Brandan (1985); Anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Provinsi Sumatera Utara. Jabatan yang pernah diembannya antara lain Dekan Fakultas Sastra, Universitas Sumatera (1978 dan 1981-1985); Ketua Pusat Kajian Bahasa, USU (1979); Editor/Penilai Pu­sat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Jakarta (1982); Ketua Lembaga Kesenian USU (1983).

Beberapa karya ilmiah yang telah ditulis antara lain Constras­tive Study Bet­ween Bahasa Indonesia and Australia English Phonetics and Orthography (1976); Catatan Tentang Bahasa dan Glotto Functemes (1977); Analisis Kontrastif dalam Pengajaran Bahasa (1979); Linguistik Kontrastif (1980); Pemeliharaan Seni Budaya Sumatera Utara, Khazanah Budaya Bangsa (1980); Language and Culture, Seminar fur Indonesische Sprache (1981); Sikap Bahasa Terhadap Khazanah Budaya Bangsa (1981); Introcuction to Linguistics (1982); The Nations of Graphemes, Nuncemes, and Nuncemes Bases (1982); Introductions to Phonetics (1982); Language Skill Orien­tation Program (1983); Tinjauan Mengenai Komunikasi Lisan Bahasa (1983); Bahasa dan Kebudayaan Melayu (1984); Bahasa Press di Sumatera Utara (1985); Film dan Pembinaan Generasi Muda (1985), dan sebagainya.
__________

Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau, Indonesia.