Oleh : Riyanto Rabbah
Pada tanggal 5-8 Februari lalu, saya jalan-jalan ke
Banjar, tempat komunitas dusun, telah terkenal di Bali dan fungsinya tidak lenyap waktu Orde Baru pun. Di Lombok, Banjar dianggap sebagai tempat pesta perkawinan, pemakaman, dan sunatan. Kelompoknya Pak Yamin sedang berusaha menempatkan Banjar sebagai tempat pergaulan dan saling belajar antara anggota komunitas sekaligus pusat informasi untuk komunitas. Untuk meningkatkan akses informasi oleh masyarakat, Pak Yamin dkk mencoba menerapkan perpustakaan kecil dan fasilitas internet.
Berikut ini adalah artikel Bali Post pada 24 Januari 2004 mengenai Banjar di Lombok.
Banjar di Lombok; Tak Cuma Untuk “Mate” dan “Merariq”
Banjar di Lombok sudah mucul sejak ratusan tahun yang lalu. Namun, ketika UU No.5/1974 dan UU No.5/1979 tentang Pemerintahan Desa diberlakukan, hampir seluruh kreativitas lokal yang mewarnai kebhinekaan “dimatikan” dan terlibas oleh uniformitas konsep desa ala Jakarta. Kini, seiring era keterbukaan, akar tradisional yang sarat spirit kebersamaan itu tumbuh lagi. Ternyata, fungsinya pun makin melebar tidak saja sebagai banjar merariq dan banjar mate.
Dalam tradisi masyarakat Sasak, dikenal istilah repoq atau wilayah pemukiman terkecil yang terdiri atas beberapa keluarga yang terikat secara genealogis. Latar belakang terbentuknya repoq di antaranya karena dorongan keinginan seseorang untuk lebih mendekatkan diri dengan sarana produksi yang mereka miliki seperti sawah, ladang atau kebun. Lokasi repoq seringkali jauh dari pemukiman asal, bahkan cenderung terpencil. Namun, dalam kaitan hubungan sosial kemasyarakatan, penghuni repoq masih terikat dengan komunitas asal. Ketika jumlah keluarga yang menghuni wilayah repoq kian bertambah mencapai puluhan orang -- hingga terlalu besar untuk sebuah repoq. Inilah awal mula kelahiran yang oleh masyarakat Sasak disebut sebagai gubuk.
Dalam wilayah komunitas ini kemudian tersusun perangkat sosial yang menata norma, etika, keorganisasian dan kepemimpinan, yang memunculkan istilah krama gubuk -- sebuah pola kepemimpinan kolektif yang biasa dipilih secara demokratis. Dalam tataran gubuk inilah institusi sosial pedesaan masyarakat hidup dengan nama banjar.
Budayawan M.Yamin mengemukakan konsep banjar dalam komunitas Sasak merupakan bentuk persekutuan komunitas kecil dan terbatas yang di dalamnya berlangsung beberapa kegiatan sosial kemasyarakatan. "Sebagai sebuah persekutuan, maka sebuah banjar pada awalnya memiliki anggota yang keanggotaannya ditentukan berdasarkan semua warga yang ada dalam lingkup wilayah sebuah gubuk dan yang secara genealogis satu keturunan," papar Yamin. Kegiatan banjar dalam komunitas Sasak lebih mengarah pada aktivitas yang terkait dengan siklus kehidupan -- perkawinan dan kematian. "Fokus kegiatan banjar yang hanya terbatas seperti inilah yang melahirkan terminologi banjar merariq (banjar perkawinan) dan banjar mate (banjar kematian)," tukasnya.
Sebagai sebuah persekutuan, di dalam banjar terdapat hal menarik yang membuat setiap anggotanya secara spontan dan bersama-sama membangun solidaritas sosial dan kebersamaan. Masalah yang dihadapi seorang anggota, misalnya, menjadi masalah semua anggota banjar. Karena itulah, muncul kebersamaan lain, tidak hanya dalam penanganan masalah perkawinan dan kematian, melainkan meluas dalam bidang kesehatan, lingkungan hidup, kesejahteraan, gender dan pendidikan.
Pendidikan dan “Bawaran”
Upaya mengintrodusir makna kebersamaan dalam menghadapi tantangan yang lebih bernilai investasi dan strategis menjadi wacara banjar di
Pemusungan Bentek, Kecamatan Gangga, Lombok Barat, Kamardi, mengatakan di kawasan masyarakat adat Lombok Utara, upaya ke arah itu sudah lama dilakukan. Anggota banjar melakukan iuran dan memelihara ternak sapi. Hasilnya, menjadi beasiswa anak-anak untuk bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi, baik SMA maupun perguruan tinggi. "Dalam soal beasiswa ini, tidak dibatasi bagi anak yang cerdas, melainkan berorientasi bagi masyarakat banjar yang kurang mampu," kata Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara ini.
Ia mencontohkan langkah yang dilakukan Banjar Tekatan, Desa Jenggala. Dengan jumlah anggota banjar yang mencapai ratusan warga, hampir segala kesulitan warga bisa teratasi akibat adanya spirit kebersamaan. Karena itu, menurut Kamardi, banjar sebetulnya menjadi sebuah jawaban kebersamaan bagi warga masyarakat -- terlebih bagi warga pedesaan yang dibelit berbagai kesulitan. "Tanpa diminta, jika ada warga yang melakukan gawe tertentu, warga banjar sudah berdatangan dengan sendirinya," jelas Kamardi.
Di Bentek sendiri terdapat 17 banjar yang justru sangat berperan dalam membangun kesejahteraan bersama. Hal serupa pun dilakukan di Banjar Banjaransari, Gubuk Mujur, Desa Montongbetok, Kecamatan Montonggaging, Kabupaten Lombok Timur, dan Banjar Temolan, Gubuk Grumpung, Desa Sepit, Kecamatan Ketuak, Lombok Timur. Khususnya di Lombok Timur, kedua banjar itu belum dilengkapi balai banjar. Untuk berkumpul, kata Yamin, setiap warga menjadi tuan rumah secara bergiliran. Nilai positifnya justru warga yang tidak pernah atau jarang ke rumah tetangganya, setiap bulan bisa saling mengunjungi. Namun, tentu saja dengan adanya balai banjar lebih memungkinkan pergerakan banjar lebih meluas lagi.
Keberadaan banjar di
Selain itu, kata Yamin, banjar di Lombok berfungsi sebagai pelestari warisan budaya. Misalnya menjadi pengelola berbagai jenis kesenian tradisional seperti gendang beleq, rebana lima, nembang (membaca lontar), kepembayunan, dan lain-lain. Bahkan, karena fungsi pelestari budaya ini Banjar Banjaransari telah meraih penghargaan dari Gubernur NTB 17 Desember 2002 dalam kapasitasnya sebagai institusi pelestari seni budaya tradisional.
Sumber : http://daengkm.blogspot.com
Photo : http://unilily.files.wordpress.com