Bahasa Melayu : Jejak Sejarah


Oleh : Dr. Ayatrohaedi

Tulisan ini menjelaskan bahwa berdasarkan jejak sejarah bahasa Idonesia berasal dari bahasa Melayu Polinesia dan sekarang serumpun dengan bahasa Austronesia. Bahasa-bahasa tersebut kemudian disebut sebagai bahasa Nusantara. Bahasa Melayu sudah berperan sebagai bahasa tulis sejak penghujung abad ke-7. Dalam perkembangannya, bahasa Melayu Riau kemudian menjadi bahasa Indonesia.

1. Pendahuluan
Penelitian J. L. A. Brandes (1884) mengenai bahasa-bahasa Melayu Polinesia Barat membuktikan bahwa di masa lampau bahasa-bahasa tersebut berasal dari satu induk. Bersama dengan bahasa-bahasa Melayu Polinesia Timur, bahasa Melayu Polinesia Barat masuk dalam rumpun bahasa Melayu Polinesia. Saat ini, istilah tersebut dikenal sebagai rumpun bahasa Austronesia. Bahasa-bahasa sukubangsa di Indonesia, termasuk bahasa Melayu, dalam khazanah kebahasaan umumnya disebut bahasa-bahasa Nusantara.

Penelitian itu kemudian diikuti oleh penelitian Renward Brandstetter yang sejak tahun 1887 sampai 1915 menerbitkan tidak kurang dari lima karya (masing-masing pada tahun 1887, 1893, 1911, 1912, dan 1915). Penelitian ini selanjutnya diikuti dengan munculnya penelitian Isidore Dyen (1953) dan Bernd Nothofer (1975). Orang Indonesia sendiri belum banyak melakukan penelitian semacam itu. Harimurti Kridalaksana (1964) merupakan salah satu dari sedikit peneliti Indonesia yang meneliti tentang pengelompokan delapan bahasa Austronesia Barat. Jos Daniel Parera (1965) juga melakukan penelitian tentang pengelompokan bahasa-bahasa di Sulawesi.

Dari hasil penelitian mereka terlihat bahwa untuk mencapai atau memperoleh hasil yang umumnya disebut sebagai “bahasa purba” itu, mereka harus melakukan perbandingan atas beberapa unsur bahasa yang masih hidup saat pene­litian dilakukan. Dengan demikian dapat dipahami jika “bahasa purba” merupakan bahasa yang hampir dipastikan tidak pernah dipergunakan. “Bahasa purba” pada kenyataannya lebih sesuai jika disebut “bahasa duga”, yaitu bahasa yang wujudnya pada masa lampau diduga memang demikian. Hasil semacam ini memang paling mungkin muncul da-lam penelitian para widyabasawan (linguis).

Dari penelitian itu dapat dilihat bahwa walaupun mereka mungkin tahu, namun umumnya mereka mengabaikan bentuk-bentuk bahasa tulis yang secara nyata dipergunakan pada masa lampau. Meskipun usaha penggalian ke arah itu pernah dilakukan, namun bentuk nyata itu umumnya terbatas pada bentuk bahasa yang dipergunakan dalam naskah-naskah kuno. Dengan demikian, kalaupun ada, usaha menelusuri bentuk nyata bahasa Melayu misalnya, bertumpu kepada temuan naskah-naskah Melayu yang umumnya berasal dari abad ke-16 dan sesudahnya. Bentuk nyata dari masa sebelumnya hingga saat ini belum banyak tersentuh.

Sebenarnya, penelitian bentuk nyata bahasa di masa lampau juga dilakukan oleh kelompok peneliti lain. Akan tetapi, karena mereka bukan widyabasawan, bentuk bahasa itu tidak dikaji dari segi kebahasaan. Mereka mempergunakan bukti-bukti masa lampau itu justru untuk ilmu lain, terutama sejarah dan widyapurba (arkeologi). Bentuk bahasa itu dipergunakan semata-mata sebagai data sejarah atau data widyapurba yang dianggap sangat penting untuk menelusuri sejarah masyarakat di masa lampau. Di antara widyapurbawan yang secara khusus menekuni tulisan­tulisan itu ialah para widyalekawan (ahli epigrafi), yaitu mereka yang memang menekuni prasasti dan segala seluk­beluknya, kecuali dari segi widyabasa.

2. Jejak Sejarah : Prasasti
Hubungan antara Cina dan Nusantara sudah berlangsung sejak awal Masehi. Bukti ini antara lain berupa temuan keramik Cina yang berasal dari masa Dinasti Han (200 SM–200 M), dan dinasti-dinasti berikutnya. Hubungan itu tampaknya tidak pernah putus, setidaknya demikian yang dapat diikuti dan disimpulkan dari kumpulan berita Cina yang disunting oleh W. P. Groeneveldt (1880). Dalam masalah bahasa, yang menarik dari berita Cina awal itu adalah disebutnya sebuah bahasa yang dipergunakan di “daerah selatan”, yaitu bahasa Kwunlun. Menurut penafsiran R. Ng. Purbacaraka (1952), yang dimaksud dengan bahasa Kwunlun ialah bahasa pribumi yang sudah bercampur dengan bahasa Sanskerta. Jika pendapat ini benar, berarti pada masa itu bahasa pribumi di Indonesia sudah terkena pengaruh bahasa asing, terutama bahasa Sanskerta. Asumsi ini masuk akal mengingat hubungan antara Nusantara dengan India pun sudah mulai berlangsung sejak masa awal Masehi. Hal ini telah terbukti dengan penemuan arca Budha perunggu dari Sempaga, Sulawesi Selatan (Bosch, 1933).

Mengingat bukti tertua bahasa Melayu yang diperoleh berasal dari tahun 683 Masehi, muncul pertanyaan, apakah tidak mungkin jika yang dimaksud dengan bahasa Kwunlun dalam berita Cina itu adalah bahasa Melayu? Pertanyaan ini mengingatkan pada kedudukan bahasa Melayu sebagai basantara (lingua franca) yang jejak-jejaknya justru ditampilkan melalui penelitian Brandes dan tokoh lain yang telah disebutkan. Walau bukti tertua bahasa Melayu berasal dari tahun 683, secara umum dapat dikatakan bahwa orang Melayu pada masa awal tidak terlalu suka mencatat. Hingga sekarang, seluruh prasasti berbahasa Melayu yang telah ditemukan dan berasal dari suatu kurun waktu yang sangat panjang (683–1500), jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah prasasti berbahasa Jawa (bahkan juga bahasa Bali) yang bukti tertuanya berasal dari masa yang lebih kemudian. ltulah sebabnya barangkali mengapa penelitian mengenai prasasti berbahasa Melayu pun jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan penelitian terhadap prasasti berbahasa Jawa. Kita dapat menyebut Warren D. Barnes (1911), C. O. Blagden (1913, 1924), C. Bodern Kloss (1921), FDK Bosch (1941), T. F. Carey (1933), J. G. de Casparis (1950, 1956), G. Coedes (1930, 1933), C. Ferrand (1932), H. Kern (1873, 1913), R. A. Kern (1931), N. J. Krom (1912, 1920, 1938), Hugh Low (1880), Mayor H. S. Paterson (1924), R. Ng. Purbacaraka (1952), Phs. van Ronkel (1924), F. M. Schnitger (1935), P. V. van Stein-Callenfels (1927), dan J. W. J. Wellan (1934) sebagai beberapa peneliti yang dapat kita jadikan contoh.

Berkait dengan prasasti-prasasti berbahasa Melayu yang ditemukan di masa paling akhir (setelah 1960), jasa M. Bukhari tidak mungkin dilupakan. Ia termasuk widyalekawan yang menggarap temuan-temuan terakhir itu. Tulisan Bukhari mengenai prasasti berbahasa Melayu itu dimulai dengan tulisan mengenai prasasti Sojomerto (1964), Palas Pasemah (1979), dan Manjusnigerha (1980). Di samping itu, Bukhari juga sudah banyak mengalihaksarakan prasasti berbahasa Melayu, tetapi penggarapan lebih lanjut belum sempat dilakukan.

3. Jejak Sejarah : Naskah
Selain berupa prasasti, jejak bahasa Melayu juga berupa naskah, yang umumnya berasal dari abad ke-16 hingga abad ke-18 atau bahkan lebih akhir. Naskah-naskah tersebut kebanyakan berupa naskah karya sastra “sejarah” dan kamus (sekurang-kurangnya daftar kata). Penelitian dan penulisan yang pernah dilakukan terhadap jejak bahasa Melayu jenis ini antara lain oleh Alessandro Bausani (1960), C. O. Blagden (1930, 1931), C. C. Brown (1952), FSA Clerc (1870–1876), A. Cohen Stuart (1864), P. van der Crab (1878), Johan Doorenbos (1933), G. W. J. Drewes (1955), E. Dulaurier (1845), J. Edel (1938), E. D. Edwards dan C. O. Blagden (1930–1932), P. Leopoldo de Eguilas Yanguas (1886), C. A. Gibson-Hil (1953), J. Gonda (1938, 1940), J. R. P. F. Gonggrijp (1876), Fredericu Gueyner (1677), David Haex (1631), J. Heurnius (1650), A.H. Hil (1955), Wr. van Hoevell (1843), Frederick de Houtman (1603), M. Leydekker (1731–1733), John Leyden (1821), W. Linehan (1949), J. Ch. Lorrerus (1688), G. E. Marnison (1951), Th. Marshall (± 1680), R. Mee (1929), C. A. Mees (1935), Raja Ali Haji (1857), A. Reland (1708), J. Roman (1674), Phs. van Ronkel (1896a, 1896b, 1901, 1902, 1908, 1919, 1920, 1928, 1929, 1935), C. C. F. M. le Roux (1939), G. E. Rumphius (1741–1750), A. C. Ruyl (1612), W. G. Shellabear (1898, 1917), A. Spalding (1614), W. F. Stutterheim (1936), A. Teeuw (1959), F. Valentijn (1726), Vocabulaerr (1601), G. H. Werndly (1736, 1737), R. J. Wilkinson (1931), C. Wiltens dan S. Danckaerts (1923), dan R. O. Winstedt (1938). Pada masa lebih akhir, muncul sejumlah kajian mengenai naskah berbahasa Melayu, antara lain oleh Sulastin Sutrisno (1975), A. Ikram (1978), S. W. R. Mulyadi (1979), dan Ibrahim Alfian (1981).

4. Jejak Sejarah : Sejarah
Dari uraian di atas tampak bahwa bahasa Melayu sudah berperan sebagai bahasa tulis sekurang-kurangnya menjelang akhir abad ke-7. Hal itu berarti bahwa sebagai bahasa lisan, bahasa Melayu tentu sudah lebih lama lagi dipergunakan. Sehubungan dengan hal ini, perbandingan hasil penelitian widyabasa yang sampai pada kesimpulan mengenai “nenek moyang yang tunggal” dari bahasa-bahasa di Nusantara barangkali dapat lebih dipertegas. Artinya, besar kemungkinan bahwa “nenek moyang yang tunggal” itu adalah bahasa duga atau bahasa purba yang menurunkan bahasa-bahasa Melayu.

Hingga tahun 683, bahasa Melayu boleh dikatakan sepenuhnya masih merupakan bahasa lisan. Anggapan ini tentu akan berubah jika dalam waktu dekat dapat ditemukan bukti pemakaian bahasa Melayu tulis yang lebih awal dibanding tahun tersebut. Babak kedua sejarah bahasa Melayu berlangsung antara tahun 683–1500, yaitu ketika ba­hasa Melayu memperoleh pengaruh yang sangat wisesa (dominan) dari bahasa Sanskerta. Dalam berita Cina, bahasa tersebut dianggap sebagai bahasa Kwunlun. Pada masa tersebut, orang Melayu masih lebih suka berbahasa lisan. Ini dibuktikan oleh langkanya bukti tertulis berupa prasasti dan naskah yang berasal dari kurun waktu itu.

Tahap berikutnya ialah masa pengaruh Arab atau Islam. Pada masa ini, bahasa Melayu memperoleh pengaruh yang cukup wisesa dari bahasa Arab dan kebudayaan Islam. Saat itu banyak bermunculan naskah-naskah berbahasa Melayu yang memperlihatkan besarnya pengaruh Arab. Di bidang sejarah, pengaruh itu masih tampak bekasnya dalam berbagai naskah bahasa Melayu yang berbau sejarah. Naskah-naskah itu menyebut dirinya sebagai sejarah, hikayat, silsilah, asal-usul, atau kisah. Mengingat kata-kata tersebut merupakan kata-kata Arab dan juga hampir setiap naskah dimulai dengan ungkapan bahasa Arab, maka semua itu mengesankan bahwa pada masa tersebut pengaruh Arab dan Islam sangat besar terhadap kehidupan dan budaya masyarakat Melayu, termasuk bahasanya.

Tahap berikutnya ialah masa bahasa Melayu yang mulai terkena pengaruh bahasa Eropa, terutama bahasa Belanda dan kemudian bahasa Inggris. Bahkan cukup menarik untuk diungkapkan bahwa bahasa Melayu tidak hanya terpengaruh oleh bahasa Eropa. Bahasa Melayu ternyata sanggup mempengaruhi bahasa-bahasa asing. Menurut catatan sejarah, selain dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta, Tamil, Telugu, Arab, Cina, Portugis, Belanda, Inggris, Prancis, dan Spanyol, bahasa Melayu juga meninggalkan jejak dalam bahasa-bahasa Campa, Siam, Arab, Cina, Belanda, Prancis, Afrika, Portugis, dan Inggris (Teeuw dan Emanuels 1961: 38–42). Dengan demikian dalam proses budaya yang terjadi, bahasa Melayu saling mempengaruhi dengan bahasa lain yang pernah atau masih bersentuhan dengan budaya Melayu. Dalam karya A. Teeuw tersebut memang dapat dijumpai sejumlah daftar pustaka yang memperlihatkan adanya pengaruh bahasa Melayu terhadap bahasa-bahasa asing tersebut.

Perkembangan berikutnya ialah masa “perpisahan” bahasa Melayu karena tuntutan sejarah. Bahasa Melayu berkembang di Semenanjung Malaya, Singapura, dan sejumlah daerah lain. Di Indonesia sendiri, bahasa Melayu kemudian “naik pangkat” menjadi bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. Dengan demikian dari segi sejarah sebenarnya terlihat bahwa kurang benar anggapan yang mengatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu-Riau. Sebenarnya, bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, yang sudah sekian lama berperan sebagai basantara di seluruh Nusantara. Peran bahasa Melayu sebagai basantara itu antara lain terbukti dari dipergunakannya bahasa tersebut dalam perjanjian-perjanjian dagang dan politik antarpenguasa “negara” Indonesia atau di antara mereka dengan pihak asing (Spanyol, Inggris, Belanda, dan Portugis).

5. Catatan Akhir
Sebagai penutup perlu disampaikan bahwa sumber utama untuk menyusun makalah singkat ini ialah karya A. Teeuw (dengan bantuan H. W. Emanuels) yang terbit tahun 1961 dan karya Hasan Djafar mengenai bibliografi arkeologi Indonesia antara tahun 1950–1975 (1981). Dengan demikian, sudah pada tempatnya jika dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada keduanya yang telah menyediakan embaran (informasi) yang sangat lengkap sehingga memudahkan penyusunan makalah ini.

Daftar Pustaka
Anonim. 1655. Kort Bericht van de Maleysche Letterkunst t‘Amsterdam.

Barnes, W. D. 1911a. “An Old Royal Cemetery at Pekan in Pahang”. JSBRAS, 60: 35-36.

––––––––––. 1911b. “An Old Tombstone in Pahang (With Two Plates)”. JSBRAS, 60: 37-39.

Bausani, A. 1960. “The First Italian-Malay Vocabulary by Antonio Pigafetta”. East and West, New Series 11: 229-248.

Blagden, C. O. 1913a. “The Kota Kapur (West Bangka) Inscription”. JSBRAS, 64: 69-71.

––––––––––. 1913b. “A Further Note on the Kota Kapur Inscription”. JSBRAS, 65: 37.

––––––––––. 1924. “A Note on The Trengganu Inscription”. JMBRAS. 2: 258-263.

––––––––––. 1930. “Two Malay Letters from Ternate in the Moluccas, Written in 1521 and 1522 (with 2 Plates)”. BSOS, 6: 87-101.

––––––––––. 1931. “Corrigenda to Malay and Other Words Collected by Pigafetta”. JRAS, 8: 57-61.

Boechari, M. 1964. “A Preliminary Report on the Sojomerto Inscription”. MISI.

––––––––––. 1979. An Old-Malay Inscription of Sriwijaya at Palas Pasemah (South Lampung). Praseminar Penelitian Sriwijava, Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.

Bosch, F. D. K. 1941 “Een Maleische Inscriptie in het Buitenzorgsche”. BKI, 100: 49-53.

Bottoms, J. C. 1959. “Malay Historical Works”. Journal of the South Sea Society, 15(2): 69-98.

Brandes, J. L. A. 1884. Bijdrage tot de Vergelijkende Klankleer den Westersche Afdeeling van de Malesch-Polynesische Taalfamilie. Disertasi, Leiden.

Brandstetter, R. 1887. “Malayische Studien”. ZVS, 17: 186-214.

––––––––––. 1893. Malaio Polynesische Eqrschungen 2: Die Beziehung des Malagasy zum. Malagasyhen Luzern.

––––––––––. 1911 Gemeinindonesisch und Unindonesisch. Luzern.

––––––––––. 1915. Die Lauterscheinung in den Indonesischen Sprachen. Luzern. Brown, C. C. 1952. “Sejarah Melayu or Malay Annals: A Translation of Raffles MS with Commentary”. JMBRAS, 25(2/3).

Carey, T. F. 1933. “Two Early Muslim Tombs at Brunei”. JMBRAS, 11(2): 183. Casparis, J. G. de. 1950. Inscripties uit de Cailendra-tijd. Disertasi, Jakarta.

––––––––––. 1956. Selected Inscription from the 7th to the 9th Century AD. Bandung: Masa Baru - AC Nix.

Clercq, F. S. A. de. 1876. Het Maleisch den Molukken: Lijst den meest voorkomende ‘vneemde, en van het gewone Maleisch verschillende worden, zooals die gebruik worden in de residentien Manado, Ternate, Ambon met Banda en Timor Koepang. Batavia.

Coedes, G. 1930. “Les Inscriptions Malaiyes de Sriwijaya”. BEFEO, 30: 29-80.

Cohen-Stuart, A. B. 1864. “Een Maleisch Handschrift met Klankteekens”. TBG, 14: 189-211.

Dempwolff, O. 1934. Vergleichende Lautlehre des Austronesischen Wortschatzes. 3 jilid. Berlin.

Doorenbos, J. 1933. “Een l6-de Eeuwse Maleise Vertaling van de Burda van ALBUSIRI (Arabisch Lofdicht op Mohammad)”. VKI 18.

Dulaunier, E. D. 1845. Lettres et Pieces Diplomatigues Ecnites en Malay. Paris.

Dyen, I. 1953. The Proto-Malayo-Polynesian Languages. Baltimore.

Edel, J. 1938. Hikayat Hasanoedin. Disertasi, Utrecht.

Eguilaz y Yanguas, P. Leopoldo de. 1886. Glosanlo Etimologice de las Palabras Espanolas (Gastellanas, Gatalanas, Gallegas, Mallorguinas, Portuguesas y Bascongadas) de Origen Oriental (anabe, hebreo, malayo, pensa y tunco). Granada.

Ferrand, G. 1932. “Quatne Texte Epigraphiques Malayo-Sanskrits de Sumatra et de Bangka”. JA 221: 271-326.

Gibson-Hill, G. A. 1953. “The Dutch-Malay Wordlist of Peter Floris (1604)”. JMBRAS 26: 204-206.

Gonda, J. 1938. “Pigafetta‘s Vocabularium van het ‘Molukken Maleisch”. BKI 97: 101-124.

––––––––––. 1940. “Een Zeventiende-eeuwse Stem over het Maleis”. BKI, 99: 101-110.

Gonggrijp, J. R. P. F. 1876. “Hikayat Kalila dan Damina” dalam Noschat Malajoe dengan Titah Gouvernemen Hindija Nederlanda. Leiden.

Gueynier, F. 1677. Vocabulaer, ofte Woordenboeck, nae ondre van den Alphabet, in it Duytsch ende Maleys. Batavia.

Haex, D. 1631. Dictionarium Malaio-Latinum et Latino Malaicum. Romae.

Haji, R. A. 1857. “Bustanu ‘Ikatibin”. Penyengat AH 1273.

Hasan, D. 1981. Bibliografi Arkeologi Indonesia 1950-1975. Jakarta: Universitas Indonesia.

Heurnius, J. 1650. Vocabularium: of te Woordenboeck van den Alphabeth, in it Duytsch en Maleys. Eertijdts gecomponeert en uytgegeven door den Eenw. D casparum Wiltens ende Sebastianum Danckaerts zaligr ende nu (met meer dan drie duys ent so woorden als manieren van spreken) vermeendert uyt de Schriften van den EE Jam van Hasel ende Albert Ruyl, etc. Amsterdam.

Hill, A. H. 1955. “The Hikayat Abdullah: An Annotated Translation”. JMBRAS 28 (3).

Ho‘evell, W. R. van. 1843. Sjair Bidasari, een oorspronkelijk Maleisch gedicht, uit gegeven en van eene Vertaling en aanteekeningen voorzien. Houtman, F. de. 1603. Spraeck ende woordboeck, Inde Maleysche ende Madagaskarsche Talenet vele Arabische en de Turcische woorden: Inhoudende twaalf tsamen sprekinghen in de Maleysche en de drie in de Madagaskarsche spraken met alderhande woorden en de namen ghestelt naer ordre van den ABC alles in Nedenduytsch verduytst.

Ikram, A. 1978. Hikayat Seri Rama: Suntingan, Tema, dan Amanat. Jakarta: Universitas Indonesia (disertasi). Kennedy, R. 1955. Bibliography of Indonesian Peoples and Cultures. Revised edition by Thomas W. Manetzki and Hth. Fischer. New Haven.

Kern, H. 1873. “Nog iets over‘t opschrift van Pagarruyung in Menangkabau (1278 Caka)”. BKI, 3(8): 188-4196.

––––––––––. 1913. “Inscriptie van Kota Kapur (eiland Bangka; 608 Caka)”. BKI 67: 393-400.

Kern, R. A. 1931. “Enkele aanteekeningen op G. Goedes‘ uitgave van de Maleische inschriften van Sriwijaya”. BKI 88: 508-513.

Kern, W. 1938. “Waar verzamelde Pigafetta zijn Maleise woorden?”. TBG 78: 271-273.

Kloss, C. B. 1921. “Notes on the Pengkalan Kempas Tombstone”. JFMSM 9: 185-189.

Krom, N. J. 1912. “Transcripties van de reeds vroeger bekende inschriften van Pagarroejoeng en Soeroaso”. O.V. bijlage H.

––––––––––. 1920. “De inscriptie van Karang Brahi”. TBG 59: 426-31.

––––––––––. 1938. “De Heiligdommen van Palembang”. MKNAWL 1: 397-423.

Leeuwen, P. J. van. 1937. De Malesche Alexanderroman. Disertasi, Utrecht.

Leyden, J. 1821. Malay Annals. Translated from the Malay Language by the late... with an introduction by Sir Th.S. Raffles. London.

Linehan, W. 1949 “The Eerliest Word-lists and Dictionaries of the Malay Language”. JMBRAS, 22(1): 183-187.

Lonberus, J. Ch. 1688 Grammatica Malaica, Tradens praecepta Brevia Idiomatis Linguae in India Orientali Celeberrimae ab Indigenis Dictae Malayo. Vinariae.

Low, H. 1880. “Transcription and Translation of a Historic Tablet”. JSBRAS 5: 32-35.

Marnison, G. E. 1951. “A Malay Poem in Old Sumatran Characters”. JMBRAS 24: 162-165. Marshall, Th. 1680. Rudiments of the Malayan Tongue. Mas. Marshall (On) 70. Perpustakaan Bodleyan.

Mee, R. 1929. “An Old Malay Dictionary”. JMBRAS 7 (2): 316-326.

Mees, G. A. 1935. De Kroniek van Koetai: Tekstuitgave met Toelichting. Disertasi, Leiden.

Mulyadi, S. W. R. 1979. Hikayat Indraputra. Disertasi, London.

Ogilbi, J. 1673. A Brief Vocabulary of the Malay Tongue. London.

Paterson, M. H. S. 1924. “An Early Malay Inscription from Trengganu”. JMBRAS 2: 252-258.

Purbacaraka, R. Ng. 1952. Riwayat Indonesia 1. Jakarta: Pembangunan.

Reland, A. 1708. Dissertationum Miscellanearum Partes 1. Trajecti ad Rhenum, 3 jilid.

Roman, J. 1674. Grondt of te kort bericht, van de Maleysche tale, vervat in twee deelen; het eerste handelende van de letters ende haren aerhangh, het andere van de deelen eener redene. Amsterdam.

Ronkel, Ph. S. van. 1896a. “Account of Six Malay Manuscripts of the Cambridge University Library”. BKI 46: 1-53.

––––––––––. 1896b. “Het Cambridge-Handschrift LI. 1.6.5 en het Leidsche handschrift den Hikayat Muhammed Hanafiya”. BKI 46: 54-62.

––––––––––. 1901. “Het Verhaal van den Held Sama‘un en van Maniah de Kopitsche (Hikayat Samaun)”. TBG 43: 444-481.

––––––––––. 1902. “Een Maleschce Brief van 1608 uit Siam gezonden aan den Hollandschen Kapitein te Patani”. TBG 45: 286-288.

––––––––––. 1920. “Grafmonumenten op het Maieische Schiereiland in een oud Maleisch werk vermeld”. BKI 76: 162-171.

––––––––––. 1924. “A Preliminary Notice Concerning Two Old Malay Inscriptions in Palembang (Sumatra)”. AO 2: 12­21.

––––––––––. 1929. “The Ramayana in Malay”. AO 7: 319-324.

––––––––––. 1935. “Het Maleische Adat-wetboek van Koetai”. MKN-AW-L 80B (4): 127-181.

Roux, C. C. F. M. le. 1939. “Nogmaals Pigafetta‘s Maleische Woorden”. TBG 79: 447-451.

Rumphius, G. E. 1741-1750. Herbarium Amboinense (Het Amoinsch Kruidboek). 6 jilid, Amsterdam. Ruyl, AC.

––––––––––. 1612. Spiegel van de Malesche tale, in de welke zich de Indiaansche jeugdt Christelijk en de vermakelijk kunnen oefenen: vol eenlijke zamenspraken en de onderwijzingen in de ware Godzaligheit tot voorstandt van de Christelijk religie. Amsterdam.

Sehritger, F. M. 1935. Oudheidkundige vondsten in Palembang. Bijlage A. Venslag over de gevonden inscripties door W. F. Stutterheim. Palembang.

Shellabear, W. G. 1898. “An Account of Some of the Oldest Malay MSS now Extant”. JSBRAS 31: 107-151.

Shellabear, W. G. 1917. “Hikayat Sri Rama: Introduction to the Text of the MS in the Bolleian Library at Oxford”. JSBRAS 70: 181-207.

Spalding, A. 1614. Dialogues in the English and Malay Languages on Certain Common Forms of Speech. First Writtien in Latin, Malay, and Madagascar Tongues by... Gotardus Arthusius. London.

Stein-Gallenfels, P. V. van. 1927. “The Pengkalan Kempas Inscription with a Note by Dr. C. Otto Blagden”. JFMSM 12: 107-110.

Stutterheim, W. F. 1936. “A Malay Sha‘ir in Old-Sumatran Characters of 1380 AD”. AO 14: 268-279.

Sutrisno, S. 1978. Hikayat Hang Tuah. Disertasi, Yogyakarta.

Teeuw, A. dan H. W. Emanuels. 1961. A Critical Survey of Studies on Malay and Bahasa Indonesia. ‘s-Gravenhagen: M. Nijhoff.

Tuuk, H. N. van der. 1875. “Geschiedenis den Pandawa‘s, naa een Maleisch Handschrift van de Royal Asiatic Society”. TBG. 21: 1-90.

Valentijn, F. 1726. Omstandig Verhaal van de Geschiedenissen en Zaaken het Kerkelijke ofte den Godsdienst betreffende, zoo in Amboina, als in alle de Eylanden, daar onder behoorende... Doorddeecht-Amsterdam.

Vocabulaer. 1601. Vocabulaer van de Javaensche ende Malaysche woorden, die selfs op Ternate van den onsen geschreven zijn.

Werndly, G. H. 1736. Malesche spraakkunst, uit de elge schriften den Maleiers opgemakt; met eenevoorrenden, beheizende eene inleiding tot dit werk, en een dubbeld aarnangsel van twee boekzalen van boeken, in deze tale zo van Europeers, als van Maleiers geschreven. Amsterdam.

Wilkinson, Jr. 1931. “The Pengkalan Kempas‘ Saint”. JMBRAS, 9: 134-135.

Wiltens, C. dan S. Danckaerts. 1623. Vocabularium ofte Woort boeck naen ondre van den Alphabet in ‘t Duytsch-Maleysch ende Maleysch-Duytsch... Eentijts ten deele ghecomponeert bij den eerw. Gaspar Wiltens Sal. Mem ende namaels ovensien, venmeerdert, in ondre gebracht ende uutgegeven door Sebastianum Danckaerts.‘s Gravenhage.

Photo : http://www.pikiran-rakyat.com
__________

Dr. Ayatrohaedi, lahir di Jatiwangi, Majalengka, 5 Desember 1939. Lulus Fakultas Sastra pada tahun 1959 mengambil Jurusan Ilmu Purbakala dan Sejarah Kuna Indonesia (sekarang Arkeologi). Setelah lulus tahun 1964 bekerja di Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional di Mojokerto. Pernah menjadi pengajar di Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran Bandung selama lima tahun, kemudian tahun 1972 kembali lagi ke Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Pada tahun 1978 meraih gelar doktor dari Universitas Indonesia. Disertasinya berjudul Bahasa Sunda di Daerah Cirebon: Sebuah Kajian Lokabasa oleh promotornya Prof. Dr. Amran Halim, merupakan disertasi pertama mengenai dialektologi di Asia Tenggara. Menjabat sebagai Ketua Jurusan Arkeologi (1983–1987), Pembantu Dekan Bidang Akademik (1999–2000), Pembantu Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) selama lima tahun (1989–1994), disamping banyak terlibat dalam kegiatan di bidang kebahasaan, kesusastraan, kesejarahan, kebudayaan dan kepurbakalaan.

Mulai menulis karya sastra (puisi, prosa) dalam bahasa Sunda tahun 1955 dan dalam bahasa Indonesia 1956. Hingga saat ini karyanya yang telah terbit antara lain Hujan Munggaran (1960), Kabogoh Téré (1967), Pamapag (1972). Karyanya dalam bahasa Indonesia antara lain Panji Segala Raja (1974), Pabila dan di mana (1976), Senandung Ombak (terjemahan, 1976), Kacamata Sang Singa (terjemahan, 1977). Karya non-fiksi antara lain Bahasa Sunda di Daerah Cirebon: Sebuah Kajian Lokabasa (disertasi 1978, diterbitkan 1985), Dialektologi: Sebuah Pengantar (1979, 1981), Tatabahasa Sunda (terjemahan karya D. K. Ardiwinata, 1985), Tatabahasa dan Ungkapan Bahasa Sunda (terjemahan karya J. Kats dan R. Suriadiraja, 1986). Meninggal di Sukabumi, 18 Februari 2006). Beliau merupakan seorang sastrawan Indonesia yang banyak menghasilkan karya dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda.
__________

Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau, Indonesia.