Bahasa Melayu, Bahasa Nasional, dan Bahasa Jawa


Oleh : Prof. Dr. Koentjaraningrat

Tulisan ini menjelaskan bahwa bangsa Indonesia telah memilih bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, dan bukan bahasa Jawa. Sudah sejak lama bahasa Melayu menjadi lingua franca, bahasa dalam penyebaran agama, menjadi alat komunikasi antarsukubangsa, di­pergunakan dalam berbagai rapat organi­sasi ge­rakan nasional, dan men­jadi bahasa media massa. Semangat setiakawan yang menjiwai pertemuan para pemuda dan cendekiawan yang memiliki idealisme tinggi pada 28 Oktober 1928 telah mengukuhkan bahasa Melayu sebagai baha­sa per­satuan di Indonesia.

1. Pendahuluan
Setiap kali penulis berjumpa dengan cendekiawan India, Sri Lanka, Filipina, Malaysia, atau Papua Nugini (semua negara yang sedang berkembang, bersifat plural, dan multietnik, se­per­ti halnya negara kita), mereka senantiasa bertanya penyebab ke­ber­ha­silan bangsa Indonesia memilih satu bahasa nasional, yaitu ba­hasa Indonesia, yang langsung dapat diterima oleh para cende­kiawan, go­longan politik, dan hampir semua sukubangsa besar di Indonesia.

Hingga saat ini, bangsa India belum memiliki bahasa na­sional. Mereka masih menggunakan bahasa Inggris-India sebagai bahasa ko­munikasi antarsukubangsa, walau berkali-kali telah di­­adakan upaya untuk membuat bahasa mayoritas demografi, yaitu bahasa Hindi, se­bagai bahasa nasional. Bangsa Sri Lanka pun sampai sekarang masih menggunakan bahasa Inggris seba­gai bahasa resmi. Hal yang sama juga dialami bangsa Filipina. Walaupun Filipina telah menyatakan bahwa bahasa Tagalok yang merupakan bahasa kaum terpelajar men­jadi bahasa nasionalnya, namun banyak sukubangsa lain, seperti Cebuano masih enggan belajar bahasa tersebut. Bangsa Malaysia su­dah memiliki bahasa nasional yang mantap, yakni bahasa Malaysia, tetapi masih banyak orang Malaysia ke­turunan Cina dan Keling yang enggan menggunakannya dengan baik. Adapun bangsa Papua Nugini mempunyai dua bahasa resmi, yaitu bahasa Pidgin (yang berasal dari bahasa Inggris) di sebelah utara dan bahasa Motu di bagian selatan. Ko­munikasi antarkedua bagian negara itu dilakukan dalam bahasa Inggris Australia.

Mereka seringkali menganggap bahwa suatu bahasa nasio­nal se­harusnya merupakan bahasa dari sukubangsa yang men­dominasi, terutama dominasi demografi, atau paling tidak, bahasa dari suku­bangsa yang paling banyak menghasilkan orang-orang terpelajar. Tidak mengherankan kalau para cende­kiawan negara-negara te­tang­ga itu sering bertanya, “Mengapa bangsa Indonesia memilih bahasa Me­layu, suatu bahasa yang diucapkan oleh sukubangsa minoritas yang tinggal di daerah Riau dengan hanya se­tengah juta jiwa penduduk saja dalam tahun 1930, sebagai bahasa nasional? Mengapa bangsa In­do­nesia tidak memilih bahasa Jawa, yang meru­pakan bahasa bagi hampir 42 juta orang pada tahun yang sama?”

Jawaban politik resmi yang biasanya diberikan atas dua per­tanyaan tersebut adalah semangat solidaritas, kesetiakawanan, dan gotong-ro­yong yang tinggi, yang mendorong bangsa Indonesia untuk memilih bahasa minoritas. Sebaliknya, dari segi ilmu-ilmu sosial, kita melihat bahwa di samping jawaban bijak tersebut, ada ke­cenderungan lain yang kadang-kadang perlu diperhatikan. Penulis berpendirian bahwa semangat gotong royong merupakan sebab utama bahasa Indonesia mudah diterima sebagai bahasa nasional. Hal ini harus dibayangkan bahwa oleh karena adanya suasana akrab antartokoh pemuda yang aktif da­lam pergerakan nasional, yang saling mengenal dengan baik, penuh idealisme, dan yang pada suatu momentum psikologi massa, kesetiakawanan mereka men­capai puncaknya, tokoh-tokoh muda itu sadar bahwa bahasa Melayu sudah menjadi lingua franca dan “ba­­hasa perdagangan” sejak beberapa abad sebelumnya. Kebiasaan penggunaan ba­hasa Indonesia dalam pertemuan-­pertemuan dan ra­pat-rapat per­ge­rak­an nasional juga telah berkembang sejak lama.

Jawaban ini ternyata belum dapat memuaskan pertanyaan ter­sebut. Ketika tokoh-tokoh pergerakan nasional India memutus­kan untuk menggunakan bahasa Hindi Tinggi sebagai bahasa nasional, mungkin saja suasana yang ada selama mereka meng­ada­kan rapat itu sama dengan suasana yang tercipta dalam Kongres Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 di Indonesia. Namun dalam kenyataannya bahasa Hindi sampai sekarang belum menjadi ba­hasa nasional India. Menurut perkiraan penulis, hal yang sama juga terjadi dengan bahasa Tagalok di Filipina. Fakta bahwa bahasa perdagangan belum tentu mu­dah dijadikan bahasa nasional dapat dibandingkan dengan keadaan bahasa Swahili misalnya, yaitu ba­hasa penduduk yang beragama Islam di daerah pantai negara-negara Somalia, Kenya, Tanzania, dan Malagasi di Afrika Timur. Bahasa Swahili sudah sejak beberapa abad lamanya merupakan bahasa campuran antara beberapa bahasa Bantu Timur dan bahasa Arab, dan merupakan bahasa perdagangan di kawasan tersebut. Oleh karena itu, keadaannya sebenarnya mirip se­kali dengan ke­adaan bahasa Melayu yang dipakai sebagai bahasa perdagangan di daerah pantai Sumatera Timur, Kalimantan Barat, Ka­­limantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Maluku Utara. Namun ba­hasa Swahili tidak menjadi bahasa nasional di negara-negara Afrika Timur tersebut. Walau­pun ada upaya untuk mengangkat bahasa Swa­hili sebagai ba­hasa nasional di Tanzania, namun upaya itu tidak ber­jalan mulus karena bahasa Swahili masih mendapat saing­an berat dari bahasa Inggris.

Dengan demikian, tabir alasan penerimaan bahasa Melayu men­jadi bahasa nasional Indonesia yang berlangsung dengan lancar be­­lum tersingkap juga. Penulis menduga bahwa ada dua faktor pe­­­nye­­bab diterima serta berkembangnya bahasa Melayu menjadi ba­­­hasa nasional bangsa kita, yaitu: a) tidak adanya rasa was-was dalam diri warga sukubangsa lain di Indonesia terhadap terjadinya do­mi­nasi kebudayaan dari sukubangsa mayoritas; b) sikap sejumlah cende­kia­wan Jawa, terutama mereka yang aktif dalam pergerakan nasional yang mengecam bahasa daerahnya sendiri.

Faktor pertama hanya merupakan dugaan penulis saja, yang be­lum pernah diteliti lebih mendalam, tetapi mungkin dapat kita dis­­ku­si­kan lebih lanjut dalam forum ini. Adapun faktor kedua akan penulis uraikan lebih lanjut dalam tulisan ini.

2. Sejarah Bahasa Melayu Sebagai Lingua Franca
Sejarah bahasa Melayu sebagai lingua franca dimulai pada abad ke-7 Masehi. Pada abad ini banyak dihasilkan prasasti yang meng­gunakan bahasa Melayu kuno yang ditemukan di situs-situs yang sa­­ling berjauhan. Beberapa situs yang ditemukan antara lain situs Kedukan Bukit yang bertahun 683 M; Situs Talang Tuwo yang ber­ta­­hun 684 M dan ditemukan di dekat Palem­bang, Sumatera Barat; situs Karang Berahi yang ditemukan di hulu Sungai Musi, pedalaman Jambi; situs kota Kapur, di Pulau Bangka bagian barat yang bertahun 686 M; dan situs yang ditemukan di daerah hulu Sungai Merangin di Pegunungan Minangkabau.

Berdasarkan penyebaran prasasti-prasasti berbahasa Mela­yu kuno yang luas tersebut dapat dibayangkan adanya satu bahasa kuno yang sangat mirip dengan bahasa Melayu sekarang, yang penyebarannya cukup luas. A. Teeuw memperkirakan bahwa ba­ha­sa tersebut adalah ba­­hasa penduduk Sriwijaya, suatu negara perdagangan maritim yang kuat pada waktu itu (Teeuw, 1967: 4–5). Ada hal menarik dari penemuan tersebut, yaitu penulisan semua prasasti kerajaan di Sumatera Barat dan Suma­tera Tengah menggunakan bahasa daerah. Hal ini berbeda dengan prasasti-prasasti kerajaan di Jawa dalam za­man yang sama yang ditulis dengan bahasa asing, yaitu bahasa Sans­kerta. Agaknya hal ini karena kerajaan-kerajaan tertua di Pulau Jawa berorientasi ke agama Hindu. Agama Hindu sendiri tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan Hindu dan bahasa Sanskerta. Sebaliknya, Sriwijaya yang berorientasi ke agama Budha kelihatannya tidak be­gitu tergantung pada kebudayaan-kebudayaan di India dan bahasa Sanskerta.

Penyebaran yang luas dari bahasa Melayu pada abad ke-9 juga terbukti dengan adanya prasasti di Jawa Tengah yang meng­gunakan suatu bahasa yang menunjukkan banyak persamaan dengan ba­hasa Melayu kuno yang digunakan dalam prasasti-prasasti di Sumatera Timur. Prasasti tersebut oleh ahli epigrafi Belanda, J. G. de Casparis, di­­perkirakan bertahun 832 M, dan di­temukan di Desa Gandasuli di lereng timur Gunung Sindoro, daerah Kedu (Casparis, 1956). Dari pe­nemuan itu diketahui adanya suatu dinasti raja-raja yang berkuasa di suatu negara di Jawa yang berorientasi pada ke­budayaan Sriwijaya.

Agaknya karena sudah mantap sebagai bahasa perdagangan dan bahasa resmi dari suatu negara Melayu di Sumatera Timur yang sangat luas pengaruhnya itu, maka bahasa Melayu juga men­jadi sa­ra­na penyebaran ajaran-ajaran agama Islam yang paling dini di Aceh dan Semenanjung Melayu. Bukti-bukti mengenai hal itu muncul tiga abad kemudian, yaitu pada abad ke-12 dan abad ke-13 dalam bentuk ke­susastraan Melayu yang kaya dengan karya-karya para pengarang Islam mistik (tasawuf), seperti Hamzah Fansuri, Nurudin Arraniri, Sam­sud­din Pasai, dan lain-lain. De­ngan demikian jelas bahwa penyebaran bahasa Melayu yang sudah sangat luas di Indonesia sudah dimulai sejak abad ke-16. Hal ini terbukti dari fakta bahwa orang Portugis yang datang ke Kepulauan Nusantara untuk berdagang dan menyebarkan agama Katolik menganggap cukup penting untuk membuat sebuah kamus Melayu-Itali. Antonio Pigafetta adalah ahli bahasa yang me­nangani proyek itu (Bausani, 1960; Teeuw, 1961). Pentingnya bahasa Melayu kemudian terbukti lagi dari fakta bahwa pada awal abad ke-17, saat dominasi perdagangan di Nusantara jatuh ke tangan orang Be­landa, orang-orang Belanda menerjemahkan kitab Injil ke dalam ba­hasa Melayu. Terjemahan ini dilakukan oleh A. C. Ruyl di tahun 1629 dan di­lanjutkan oleh M. Leydekker di tahun 1692.

Pada abad selanjutnya, bahasa Melayu berkembang lebih luas dan lebih mantap, terutama sebagai bahasa perdagangan berbagai su­ku­bangsa di Nusantara dengan orang asing, yaitu orang Arab, Cina, Belanda, Inggris, dan lain-lain. Bahasa ini juga menjadi sa­ra­na penyebaran agama Katolik dan Kristen, terutama di Maluku Se­latan dan dalam pendidikan di sekolah-sekolah yang dibiayai oleh organisasi-organisasi gereja. Pada akhir abad ke-19, ketika Pe­me­rin­tahan Hindia Belanda semakin kuat, bahasa Melayu menjadi ba­hasa resmi, terutama di Batavia (Jakarta) dan di luar Pulau Jawa. Se­lain itu, terbitan-terbitan dalam bahasa Me­layu semakin meluas, ter­utama pada awal dasawarsa ketiga abad ke-19. Menurut sejarah, di Indonesia sudah ada 40 surat kabar yang menggunakan bahasa Melayu di tahun 1918. Tahun 1925 jumlahnya telah meningkat menjadi 200 buah (Drewes, 1932; Teeuw, 1967). Selain karena peran media massa dalam mem­bangun dan menyebarluaskan bahasa Melayu di an­tara berbagai lapisan rakyat di seluruh Indonesia, peran Volksraad (Dewan Rakyat) yang dikukuhkan oleh Pemerin­tah HindiaBelanda pada tanggal 18 Mei 1918 juga perlu diperhatikan. Da­lam sidang-si­­dangnya, Volksraad selain mempergunakan bahasa Belanda juga mem­pergunakan ba­hasa Melayu.

Walaupun demikian, ada kecenderungan lain yang mulai tampak sejak dasawarsa pertama abad ke-20, yaitu kecenderungan yang ter­dapat di antara para pelajar serta mahasiswa Indonesia untuk se­ma­kin sering menggunakan bahasa Belanda dalam pem­bicaraan resmi. Seorang ahli bahasa Indonesia, M. G. Emeis, meramalkan bah­wa dalam tahun 1950 perkembangan bahasa Indonesia akan ter­ham­bat oleh keengganan para cendekiawan In­do­nesia untuk meng­gunakan bahasa Indonesia ter­se­but. Kondisi ini akan me­nyebabkan berkembangnya suatu bahasa campuran yang sangat jauh dari bahasa Melayu klasik (Emeis, 1950). Pan­dangan Emeis berdasarkan konsepsi usang yang menyatakan bahwa suatu bahasa yang baik adalah ba­ha­sa yang tetap dekat dan mirip dengan wujud bahasa itu dalam ke­susastraan klasiknya. Untuk saat ini hal itu tentu tidak releven lagi Mulyono, 1982).

Menurut analisis linguistik, unsur-unsur yang menyebabkan ber­kembangnya berbagai gaya bahasa dapat dibedakan men­jadi dua go­longan. Pertama, perbedaan morfologi yang disebabkan oleh peng­gunaan awalan atau akhiran yang lain. Kedua, perbe­daan sintaksis karena penggunaan sinonim yang lain, partikel yang lain, kata ganti orang yang lain, atau kata penunjuk yang lain. Dalam bahasa Jawa, kita mengenal tiga gaya paling dasar, yaitu gaya tak resmi, gaya setengah resmi, dan gaya resmi ngoko, madya, dan krama), serta enam gaya lain yang terben­tuk dari kombinasi ketiga gaya dasar tadi. Selain itu, dalam bahasa Jawa juga ada kosakata yang terdiri dari kira-kira 300 kata yang wajib dipakai untuk membicarakan milik, bagian tubuh, tindakan atau sifat-sifat orang kedua yang sederajat, atau tindakan dan sifat orang ketiga yang lebih tinggi kedudukannya. Kosakata itu di­sebut krama inggil Roskes, 1912; Gonda, 1948).

Adat sopan-santun Jawa yang menuntut penggunaan gaya bahasa yang tepat dan tergantung pada tipe interaksi tertentu memaksa orang untuk lebih dahulu menentukan setepat mung­kin kedudukan orang yang diajak berbicara dengan kedudukan pembicara. Oleh ka­rena pada masa sebelum Perang Dunia I mo­bi­litas sosial akibat pen­­didikan dan kemajuan ekonomi telah mengacaukan tingkat sosial Jawa tradisional yang berdasarkan kelas, pangkat, dan senioritas, maka penentuan kedudukan orang da­lam interaksi sosial menjadi hal yang sulit. Ada kalanya seseorang harus berbicara dengan orang yang lebih tua, tetapi yang pangkatnya lebih rendah. Di saat lain, se­seorang harus berbicara dengan orang yang lebih muda tetapi me­­miliki kekayaan yang lebih besar. Bahkan, seseorang terkadang harus berbicara dengan orang dari lapisan yang lebih tinggi, namun dengan pangkat yang lebih rendah. Ke­adaan tersebut tentu dapat me­nimbulkan suasana yang sulit dan canggung bagi kedua belah pihak (Djajengwasito, l975). Kesulitan ini sering menyebabkan orang­orang Jawa yang sudah mengenyam pen­didikan di sekolah-sekolah Belanda mulai menghindari adat sopan-santun dalam penggunaan bahasa Jawa yang terlalu rumit. Mereka kemudian memilih menggunakan bahasa Belanda.

Sejak tahun 1916, muncul gerakan Djawa Dipo yang di­rintis oleh orangorang Jawa yang bersemangat progresif dan ingin meng­hapuskan gaya bertingkat dalam ujaran bahasa Jawa dengan hanya menggunakan ngoko sebagai bahasa dasar. Reaksi terhadap kampanye ini pada umumnya timbul dari kalangan bangsawan. Kalangan bang­sawan menyarankan bahwa apabila gaya-gaya ber­tingkat dalam ba­hasa Jawa dihapus, maka sebaik­nya yang di­per­tahankan adalah gaya krama, bukan gaya ngoko. Mereka ke­mudian memulai suatu gerakan baru bernama Krama­dewa Poejosoedarmo, 1968: 80–81).

Perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam masyara­kat Jawa pasca Perang Dunia II mempunyai pengaruh besar terhadap sistem gaya bertingkat dalam bahasa Jawa. Kebanyak­an orang Jawa yang lahir sesudah zaman itu tidak lagi berusaha dan belajar menguasai sistem bahasa yang rumit tersebut. Inilah yang penulis maksudkan sebagai sikap orang Jawa yang menge­cam kerumitan sistem gaya bertingkat dalam bahasa mereka sendiri. Sikap itu pula yang menyebabkan tidak terbawanya bahasa Jawa dalam konteks penyemaian bahasa nasio­nal ketika para intelektual Jawa, seperti calon dokter Jawa M. Ng. Wa­hidin Soedirohoesodo, yang mendiri­kan organisasi non-tradisional Jawa pertama, Boedi Oetomo pada tahun 1908. Padahal, organisasi ini merupakan langkah pertama menuju gerakan nasionalisme Indo­nesia. Namun demikian, tetap perlu diadakan penelitian men­dalam untuk mengetahui bagaimana suatu organisasi yang terdiri dari pe­ga­­wai-pegawai pemerintah dari sukubangsa Jawa (yaitu priyayi) yang sebenarnya hanya ingin memperbaiki sistem pendidikan umum rakyat Indonesia serta meluaskan kebudayaan Jawa pada umumnya, ternyata telah mencetuskan suatu gerakan nasionalisme yang ber­tu­juan mencapai kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa mem­­bawa bahasa Jawa di da­lamnya.

Suatu analisis seperti itu memang hanya mungkin diketahui apa­bila kita meneliti keadaan dan kepribadian para pemimpin Boedi Oetomo saat itu. A. Nagazumi, seorang ahli sejarah Jepang telah me­lakukan penelitian mengenai tahun-tahun pertama ber­dirinya Boedi Oetomo. Dalam bukunya, The Dawn of Indonesian Nationalism (1972), Nagazumi menguraikan beberapa fakta pen­ting yang dapat menerangkan beberapa kecenderungan dalam per­gerakan nasional kita. Suatu hal yang penting adalah bahwa orangorang Jawa yang memprakarsai lahirnya Boedi Oetomo itu pada umumnya adalah para priyayi yang tidak berasal dari golongan tradisional yang merupakan keturunan para pegawai pemerintah kerajaan di zaman prakolonial. Mereka umumnya berasal dari keluarga-keluarga pe­tani yang pada abad ke-20 ber­hasil menduduki berbagai jabatan dalam pemerintahan berkat pendidikan Belanda yang berhasil mereka peroleh (Nagazumi, 1967: 50–105). Sebelumnya mereka tidak pernah dapat mencapai ke­­dudukan yang lebih tinggi dalam pemerintahan karena asal-usul mereka. Pendidikan memberikan harapan bagi mereka untuk dapat men­­capai kedudukan yang lebih tinggi daripada yang dapat dicapai oleh orang tua mereka.

Selain adanya kesempatan yang lebih besar bagi mereka untuk mem­peroleh pendidikan Barat, saat itu juga terjadi perluasan dan per­baikan kelas sosial mereka. Dengan mengajukan beberapa bukti nyata yang mengatakan bahwa para priyayi tradisional pada umum­nya tidak suka dengan Boedi Oetomo, kita akan dapat menemukan jawaban atas kondisi ini. Para priyayi tradisional umum­nya men­ce­mas­kan munculnya suatu kelas priyayi non-tra­disional baru dengan pendidikan yang lebih baik yang akan dapat mengambil alih ke­du­dukan mereka.

Para anggota Boedi Oetomo umumnya berasal dari golongan pri­yayi non-tradisional, sehingga kita dapat mengerti bahwa konggres pertama Boedi Oetomo dan beberapa rapat yang lebih kecil meng­gunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Namun dalam konggres selanjutnya bahasa pengantar yang digunakan se­ba­gai bahasa resmi adalah bahasa Melayu, bukan bahasa Jawa (Naga­zumi, 1972: 72). Para priyayi non-tradisional yang pada umum­­­nya menduduki ja­batan-jabatan menengah dan rendah dalam kepegawaian tentu saja merasa canggung untuk berbicara dengan bahasa Jawa dalam rapat-rapat umum, yang tentunya juga dihadiri oleh orang-orang yang berpangkat lebih tinggi atau orang-orang dari golongan priyayi bangsawan yang dianggap ter­masuk golongan yang harus dihormati. Oleh karena itu, untuk menghindari kemungkinan salah ujar yang da­lam sopan-santun Jawa bisa dirasakan sebagai ke­salahan yang sangat memalukan, di­perlukan suatu bahasa yang lebih demokratis. Pilihan bahasa itu jatuh pada bahasa Melayu.

Kebiasaan menggunakan bahasa Melayu dalam rapat-rapat res­mi itu kemudian juga diikuti oleh organisasi-organisasi lain yang di­­dirikan sesudah Boedi Oetomo. Dengan demikian, ketika dalam ta­hun 1928 para pemuda Indonesia bersumpah meng­angkat bahasa Melayu menjadi bahasa nasional dalam negara Indonesia yang mer­de­ka nanti, penggunaan bahasa Melayu da­lam rapat-rapat resmi sudah merata dan sudah menjadi kebia­saan, sehingga tidak ada yang me­nyuarakan keberatan.

Sebagai penutup, sekali lagi penulis tekankan di sini bahwa bang­­sa Indonesia memilih bahasa Melayu bukan bahasa Jawa se­bagai bahasa nasionalnya karena beberapa alasan. Pertama, ber­kem­bangnya suasana kesetiakawanan yang mencapai momentum puncak yang menjiwai pertemuan antara pemuda cende­kiawan Indonesia yang penuh idealisme pada tanggal 28 Oktober 1928. Kedua, adanya anggapan bahwa bahasa Melayu sejak lama me­rupakan lingua franca, ba­hasa perdagangan, bahasa komunikasi antarorang Indonesia yang melintas batas sukubangsa, dan bahasa yang digunakan untuk pe­nyiaran agama. Ketiga, adanya pengaruh media massa dalam bahasa Melayu. Keempat, berkembangnya ke­biasaan penggunaan bahasa Me­layu dalam rapat-rapat organisasi gerakan nasional. Kelima, tidak adanya rasa khawatir dalam diri warga suku non-Jawa terhadap risiko terjadinya dominasi kebuda­yaan dari sukubangsa mayoritas. Keenam, karena para cendekiawan Jawa sendiri mengecam struktur bahasanya sendiri.

Daftar Pustaka
Bausani, A. 1960. “The First Italian-Malay Vocabulary by Antonio Pigafetta”. East-West, New Series XI: 229-248.

Boetzelaer van Aspenen en Debbledam, C.W.T. Baron van. 1941. “De Geschie­denis van de Maleische Bijbelvertaling In Nederlandsch-Indie” Bijdra­gen tot de Taal, Land en Volkenkunde, C: 27-48.

Casparis, J. G. de. 1956. Selected Inscriptions From the 7th to the 9th Centuries A.D. Bandung: Van Hoeve.

Djajadiningrat, H. 1918. De Voertaalkwestie. Jakarta.

Doorenbos, J. 1933. De Geschriften van Hamzah Pansoeri. Uitgegeven en Toege­licht. Disertasi Universitas Leiden, Leiden.

Drewes, G. W. J. 1932. “Oud en Nieuw in de Hedendaagsche Literatuur” De Gids III: 316-336.

––––––––––. 1948. Van Maleis Naar Bahasa Indonesia. Leiden.

Dudemans, G. J. 1894. “Iets Over de Basa Kedaton”. Tijdschrift voor Indische Taal, Land en Volkenkunde, XXXVII: 105-111.

Emeis, M. G. 1950. “Bijdrage tot de Vergelijking van het Moderne Melaja-Maleis En de Bahasa Indonesia” dalam Bingkisan Budi: Een Bundel Opstellen Aan Dr. Phillippus Samuel Van Ronkel. Leiden : A. W. Sijthoff’s Uitgeversmaatschappij.

Errington, J. J. 1981. Changing Speech Levels Among Traditional-Javanese Elite Group. Disertasi Universitas Chicago, Chicago.

Geertz, C. 1960. The Religion of Java. Glencoe, III: The Free Press.

Gonda, J. 1948. “The Javanese Vocabulary of Courtesy”. Lingua I: 333-376.

Handelingen, 1918-1919. Handelingen Van De Volksraad. Jakarta: Lands­druk­kerij.

––––––––––. 1930. “Verslag van het Vijfde Congres van het Java Instituut Gehuizen te Soerakarta van 27 tot en met 29 December 1929” Djawa. X: 1-67.

Loeb, E. M. 1944. “Javanese Word Formation High And Low”. JAOS LXXIV: 113-126.

Nagazumi, A. 1972. The Dawn of Indonesian Nationalism: The Early Years of The Boedi Oetomo 1908-1918. Tokyo: Institute of Developing Econo­mics Occasional Papers Series, No. 10.

Nieuwenhuis, C. A. O. 1945. Samsul’l-Din van Pasai. Bijdrage tot de Kennis den Sumateraansche Mystiek. Disertasi Universitas Leiden, Leiden.

Redfield, R. 1953. The Primitive World and Its Transformation. lthaca: Cornell University Press.

Roskes, P. L. H. 1912. Javaansche Taal. Handleiding Krama-Inggil Woorden, Verzameld en Alfabetisch Gerangschikt naar de Ngoko Vormen. Sura­baya: Ingena.

Poedjosoedarmo, S. 1968. Role Structure in Javanese. Disertasi Universitas Cornell, Ithaca, New York.

Sunarlo, 1974. “Arti Sumpah Pemuda, Nasional dan Interna­sional”. Buletin Ya­ya­­san Perpustakaan Nasional 1-3: 25-32.

Teeuw, A. 1961. A Critical Survey of Studies on Malay and Bahasa Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff, KITLV Bibliographical Series, V.

––––––––––. 1969. Modern Indonesian Literature. The Hague: Martinus Nijhoff, KITLV Translation Series 10.

Uhlenbeck, E. M. 1950. De Tegenstelling Krama Ngoko: Haar Positie in Het Java­ansche Taalsysteem. Pidato pengukuhan, Universitas Leiden. Gro­ningen: J.B. Wolters.

Voorhoeve, P. 1952a. “Korte Mededeelingen”. Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde XVIII: 207-208.

––––––––––. 1952b. “Indonesische Handschriften in de Universiteit Bibliotheek te Leiden”. Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde CVIII: 209-219.

––––––––––. 1957. Hanlist of Arabic Manuscripts In the Library of the University of Leiden. Other Collections In The Netherlands. Dikumpulkan oleh P. Voorhoeve, Leiden.

Walbeehm, A. H. J. G. 1986. De Taalsoorten in Het Javaansch. Batavia: Albnecht & Rusche.
__________________________

Prof. Dr. Koentjaraningrat, lahir di Yogyakarta 15 Juni 1923 sebagai anak tunggal pasangan bapak-ibu bernama R.M.E Brotokoesoemo ini, selepas Sar­jana Muda dari Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada (1950), langsung me­lanjutkan studi dan lulus dari Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (1952). Berangkat ke AS dengan beasiswa Fulbright, dan mulai belajar antropologi di Universitas Yale, New Haven, Connecticut (AS), dan berhasil meraih master bi­dang antropologi (1956). Sempat meniti karier sebagai karyawan perpustakaan museum (kini Museum Nasional), guru SMA Budi Utomo, dan pernah aktif sebentar di Corps Mahasiswa.

Menjadi Guru Besar Antropologi pada Universitas Indonesia, kemudian menjadi Guru Besar Luar Biasa pada Universitas Gadjah Mada, dan juga Guru Besar di Akademi Hukum Militer di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Sebagai guru besar tamu di Universitas Utrecht, Belanda, Universitas Columbia, Universitas Illinois, Universitas Ohio, Universitas Wisconsin, Universitas Malaya, Ecole des Hautes, Etudes en Sciences Sociales di Paris dan Center for South East and Asian Studies di Kyoto. Ia juga meraih penghargaan ilmiah gelar doctor honoris causa dari Universitas Utrecht, 1976 dan Fukuoka Asian Cultural Price pada tahun 1995.

Perintis berdirinya Jurusan Antropologi, Universitas Indonesia dan sejumlah universitas negeri lainnya ini, banyak menulis buku. Rata-rata buku tersebut menjadi buku pegangan mahasiswa antropologi selama bertahun-tahun, di antaranya Pengantar Antropologi, Keseragaman Aneka Warna Masyarakat Irian Barat (1970), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (1971), Petani Buah-buahan di Selatan Jakarta (1973), Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan (1974), Masyarakat Desa di Indonesia (1984), dan Kebudayaan Jawa (1984).

Antropolog pertama Indonesia ini, meninggal pada tanggal 23 Maret 1999 da­lam usia 75 tahun di RS Kramat 128, Jakarta Pusat. Almarhum meninggalkan seorang istri, Kustiani (65), tiga anak, Sita Damayanti (42), Rina Tamara (38), dan Inu Dewanto (37), dan empat cucu. Selama hidupnya, mendapat dua kali penghargaan Satyalencana Dwidja Sistha dari Menhankam RI (1968 dan 1981), gelar doktor kehormatan honoris causa dari Universitas Utrecht, Belanda (1976).
__________________________

Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau.

Photo : http://www.tokohindonesia.com