Arti dan Fungsi Upacara Tradisional Pada Masyarakat Cina Benteng


Oleh : Ani Rostiyati

Pendahuluan
Pelaksanaan upacara tradisional suatu masyarakat umumnya sangat menarik untuk diteliti, karena memiliki keunikan, kesakralan, dan nilai-nilai moral yang terkandung di dalam-nya. Demikian pula masyarakat Tionghoa yang saat sekarang sudah tidak dianggap orang asing karena merupakan bagian integral masyarakat Indo-nesia, memiliki budaya atau adat istiadat yang menarik untuk di-kaji. Ada satu komunitas warga Tionghoa yang disebut dengan Cina Benteng, memiliki budaya khas tersendiri yang berbeda dengan warga Tionghoa umum-nya. Mereka tinggal di sebuah kampung bernama Kampung Cukanggalih, Desa Ciakar, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang.

Sebagian besar warga Cina Benteng bekerja sebagai petani dan peter-nak, suatu profesi pe-kerjaan yang jarang dilakukan oleh orang Tionghoa yang yakni sebagai pedagang. Selain itu, Cina Benteng merupakan komu-nitas masyarakat Tionghoa yang memiliki keunikan tersendiri yak-ni kesetiaannya pada tradisi lelu-hur yang masih kuat dilakukan seperti melakukan upacara per-kawinan ciatou, upacara kema-tian yang unik dan upacara peh cun, dimana upacara tersebut tidak lagi dilakukan oleh masya-rakat Tionghoa lainnya. Keuni-kan dan kekhasan pada masya-rakat Cina Benteng inilah yang perlu dikaji lebih lanjut tentang bagaimana fungsi dan arti upa-cara tersebut pada masyarakat pendukungnya (Cina Benteng).

Pembahasan
Masyarakat Cina Benteng masih memegang teguh adat kebiasaan atau tradisi yang telah diwarisi turun temurun dari lelu-hurnya. Kepercayaan terhadap para leluhur dan Tuhannya (The-in) merupakan manifestasi kete-guhan hati yang berakar kuat di sanubari masyarakat Cina Ben-teng. Hal ini terwujud dalam pe-laksanaan upacara sekitar daur hidup (perkawinan Ciatou, keha-milam, dan kematian) dan hari-hari besar agama (tahun baru Imlek, peh cun, sin beng, cengbeng, perayaan kue onde, cap gomeh dan lain sebagainya).

Pelaksanaan upacara terse-but memang ada sedikit peruba-han yakni dilakukan secara se-derhana atau diringkas, tapi hal ini bisa dimaklumi karena ada-nya perubahan jaman sehingga orang berpikir lebih ekonomis, rasional dan praktis. Selain itu perubahan disebabkan juga ka-rena pengaruh pendidikan, so-sial politik, dan modernisasi. Tingkat pendidikan yang tinggi menyebabkan orang mulai ber-pikir secara rasional, sistematis, dan praktis termasuk perhitung-an ekonomi. Ini berarti pelaksa-naan upacara tradisional mulai memperhitungkan masalah bi-aya, waktu, dan tenaga. Masalah sosial politik lebih ditekankan adanya peraturan dari pemerin-tah RI yang melarang warga et-nis Tionghoa melakukan upa-cara tradisional secara terbuka seperti adanya larangan pada kesenian barong sai pada pera-yaan tahun baru Imlek dan peng-gunaan simbol-simbol upacara secara terbuka. Meskipun seka-rang sejak masa pemerintahan Gus Dur larangan tersebut di-cabut, artinya warga Tionghoa diberi kebebasan dalam melak-sanakan ritual atau perayaan aga-manya. Demikian pula ada-nya proses modernisasi dalam pembangunan, yakni terdapat inovasi, teknologi dan urbanisasi yang menyebabkan makin me-lemahnya tradisi atau aturan adat akibat pengaruh kebuda-yaan luar, gaya hidup kota, dan kemajuan teknologi.

Ketiga faktor di atas memang mempengaruhi perubahan da-lam pelaksanaan upacara tradi-sional pada masa sekarang. Na-mun perlu diingat, bahwa peru-bahan tersebut sebenarnya terbatas pada bentuk permu-kaan (empiris) dan bukan pada struktur upacara itu sendiri. Se-bab struktur, tujuan, dan nilai kesakrakalan dari suatu upacara tradisional tetap akan dimiliki manusia, meski manusia terjerat oleh kemajuan jaman. Struktur dalam upacara adalah konsep pemosisian supra yakni pemu-jaan pada leluhur atau Tuhan-nya, termasuk di sini roh-roh halus. Struktur inilah yang paling esensial pada setiap pelaksana-an upacara tradisional meski bentuk luarnya telah mengalami perubahan(disederhanakan atau diringkas). Dengan demikian meski bentuk luarnya mengalami perubahan, tidak menjadi soal asal tetap terjaga kesakralan, struktur, nilai, dan tujuan dari pe-laksanaan upacara tersebut.

Demikian pula pada masya-rakat Cina Benteng, meskipun tetap memegang teguh tradisi leluhur tapi dalam pelaksanaan-nya mengalami sedikit peruba-han, yakni tidak semua upacara adat dilakukan dan lebih diseder-hanakan mengingat perhitungan ekonomi, waktu, dan tenaga. Namun jika di bandingkan de-ngan masyararakat Tionghoa lainnyaCina Benteng termasuk warga Tionghoa yang masih me-laksanakan tradisi leluhurnya secara kuat, sementara warga Tionghoa lainnya sudah mulai meninggalkan bahkan tidak me-laksanakan upacara yang sudah menjadi tradisi leluhurnya.

Menyimak pelaksanaan upa-cara tradisional yang dilakukan masyarakat Cina Benteng, maka perlu diuraikan tentang fungsi upacara tersebut. Sebab dengan mengetahui fungsi tersebut akan diketahui pula peranan dan ke-dudukan upacara tradisional pa-da masyarakat pendukungnya masa kini. Fungsi dalam pelak-sanaan upacara tradisional akan dilihat dalam 2 hal yakni ber-fungsi spiritual dan sosial. Fung-si spiritual berkaitan dengan pelaksanaannya yang selalu ber-hubungan dengan permohonan manusia untuk minta keselama-tan kepada leluhur dan Tuhan-nya. Dengan kata lain upacara tersebut berfungsi spiritual kare-na dapat membangkitkan emosi keagamaan, menimbulkan rasa aman, tenang, tentram, dan se-lamat. Berfungsi sosial, karena upacara tersebut bisa dipakai sebagai sarana kontrol sosial (pengendalian sosial), kontak sosial, interaksi, integrasi, dan komunikasi. Seperti diketahui dalam upacara terdapat sesaji (sam seng) dan sesaji ini meru-pakan simbol yang memuat arti atau pesan bagi warga pendu-kungnya. Nilai-nilai yang terda-pat dalam simbol sesaji tersebut bisa dipakai sebagai pedoman berperilaku dan kontrol sosial bagi warganya. Selain itu dalam upacara tersebut juga terdapat kegiatan sembahyang bersama, sambatan (gotong royong) dan sumbangan (uang atau barang) yang bisa mewujudkan keber-samaan, kontak sosial dan inte-raksi sosial antarwarga Cina Benteng.

1. Fungsi Spriritual
Dalam berbagai masyarakat pada umumnya, ada konsep bahwa hidup tiap individu itu ter-bagi dalam tingkat-tingkat. Ting-kat demi tingkat akan dilalui dan dialami oleh individu yang ber-sangkutan di sepanjang hidup-nya, dalam antropologi disebut sebagai stages along the life cicle. Pada tiap tingkat individu dianggap berada dalam kondisi dan lingkungan sosial tertentu, karena itu dapat dikatakan seba-gai peralihan dari satu lingku-ngan sosial ke lingkungan sosial yang lain.

Di kalangan masyarakat Ti-onghoa, khususnya Cina Ben-teng, lingkungan sosial seorang individu mulai terbentuk sejak ia masih dalam kandungan ibunya (kehamilan). Setelah kehamilan, dilanjutkan kelahiran dan ini akan melewati masa bayi, anak-anak, remaja, dewasa, menikah, tua, dan mati. Saat meninggal dunia menurut orang Tionghoa bukan yang terakhir, sebab orang itu akan melanjutkan per-jalanan hidupnya menuju ke alam gaib (alam abadi). Karena itu saat kelahiran disebut juga sebagai peralihan dari alam gaib ke alam nyata dan kematian di-sebut peralihan dari alam nyata ke alam gaib. Pada saat pera-lihan tersebut, sering dianggap sebagai saat gawat dan penuh bahaya. Untuk menolak bahaya, maka mereka memohon kesela-matan dengan cara melakukan upacara atau sembahyang Tuhan Allah.

Adanya ritus atau upacara itu merupakan suatu upaya manu-sia untuk menjaga keselamatan dan sekaligus menjaga keles-tarian kosmos. Pada dasarnya konsep berpikir mayarakat Ti-onghoa, termasuk juga Cina Benteng selalu mengembalikan kepada hakekat kehar-monisan antara kehidupan langit (alam gaib), kehidupan di bumi, dan manusia (alam dunia nyata). Me-reka percaya bahwa alam se-mesta ini sebagai akibat dari inkarnasi kekuatan alam. Alam dikuasai spirit-spirit yang kekua-tannya luar biasa. Alam semesta semata-mata hanyalah ekspresi dari kekuatan alam yang di-pengaruhi oleh spirit yang men-diami alam. Berbagai spirit ini berada dan hidup dalam feno-mena alam seperti langit, mata-hari, tanah, air, tumbuh-tumbu-han, gunung dan fenomena lain-nya. Di antara spirit alam terda-pat spirit yang berasal dari arwah nenek moyang yang kekuatan hidupnya demikian kuat, sehing-ga dapat melanjutkan kekekalan hidupnya setelah jasmaninya mati. Mereka percaya jika mela-kukan penyembahan atau doa pada leluhur atau nenek mo-yang, maka akan terhindar dari kutukan nenek moyang. Spirit-spirit alam seperti bumi, langit, matahari, tumbuh-tumbuhan, air ini kemudian diakui sebagai de-wa-dewi yang merupakan cikal bakal leluhurnya.

Menurut dasar berpikir orang Tionghoa termasuk juga warga Cina Benteng, seluruh fenomena alam ini dibagi dalam dua klasi-fikasi, yaitu Yang dan Yin. Yang merupakan prinsip dasar untuk laki-laki, matahari, arah selatan, panas, cahaya, siang, dan sega-la yang termasuk keaktifan. Ada-pun Yin adalah suatu prinsip se-perti wanita, bulan, utara, dingin, gelap, malam, dan se-gala yang bersifat pasif. Manusia harus dapat menyesuaikan diri dengan ritme alam semesta. Kehidupan harus harmonis dengan 3 dasar yaitu kehidupan langit, bumi, dan manusia itu sendiri. Selain itu harus disesuaikan pula dengan feng shui (angin dan air). Hidup manusia harus disesuaikan de-ngan arah angin dan keadaan air, dimana manusia bertempat tinggal. Tiap bangunan yang di-gunakan baik itu rumah, pabrik, tempat usaha, bahkan makam harus disesuaikan dengan feng shui, sehingga akan terhindar dari malapetaka. Demikian pula orang harus menyatakan hormat kepada dewa-dewi dan para leluhur.

Mereka juga percaya yang mula-mula diciptakan oleh Tu-han (Thein) adalah 2 macam, yakni nafas dan kekuatan. Ke-dua prinsip ini disebut dengan Yang dan Yin yang dibentuk da-lam lingkaran terbagi dua bagian dengan garis melingkar yang memisahkan Yang dan Yin. Se-perti terlihat dalam gambar di bawah ini :

Bulatan tersebut melambang-kan prinsip alam semesta, di mana alam semesta terwujud oleh kedua prinsip Yang dan Yin. Yang merupakan daya cipta su-atu sifat Tuhan yang memberi gerakan dan kehidupan pada se-suatu atau Yin. Yin bersifat ba-han atau zat yang diberi kemam-puan menerima Yang, sehingga terjadilah hidup dan bergerak. Dengan kata lain yang bersifat memberi dan memperbanyak, sedangkan prinsip Yin bersifat menerima dan menyimpan. Ada-nya kesatuan hidup ini terjadilah fenomena alam semesta seperti air, kayu, bumi dan mahluk hi-dup di dalamnya. Penciptaan ke-satuan Yang dan Ying tunduk mengikuti hukum tata kehidupan alam semesta, sehingga dapat bergerak secara teratur dan be-rirama. Ritme ini mengisi dan mengatur setiap ruangan di alam semesta seperti jalannya mata-hari, bintang, bulan, musim, dan lain-lain di alam semesta ini. Rit-me tersebut disebut dengan 'tao' yakni bagaimana sesuatu di du-nia itu dijadikan jalan seseorang dalam menjalani hidup.

Tao adalah jalan Tuhan, ini menjadi dasar pikiran dan acuan masyarakat Tionghoa termasuk juga Cina Benteng. Ajaran Tao menjaga keharmonisan hubu-ngan antara manusia dan alam. dimana manusia dianggapnya sebagai bagian dari alam se-mesta. Taoisme adalah ajaran ke jalan yang benar dan harus dijalankan oleh manusia agar terhindar dari segala keadaan yang bertentangan dengan ritme atau irama semesta. Menurut ajaran Tao manusia pada hake-katnya dilahirkan dalam keadaan suci dan baik. Cara yang ditem-puh untuk berjalan ke arah yang benar adalah berbudi baik yaitu hormat, ramah, sopan santun, cerdas, jujur, dan adil. Selain itu juga harus memelihara hubung-an baik dengan sesuatu yang berada di dunia lain di langit seperti Tuhan, leluhur, dan dewa-dewi. Sikap hormat sangat dite-kankan untuk membina hubung-an dengan keluarga, orang tua atau orang yang usianya lebih tua. Sikap penghormatan pada orang tua, sejak dari kecil su-dah ditanamkan misalnya bila bertemu harus membungkuk dan menanyakan kesehatan. Apalagi jika sudah meninggal, mereka selalu mengadakan upa-cara untuk arwah leluhur seba-gai bentuk penghormatan dan bakti kepada orang tua atau keluarga.

Bagi masyarakat Tionghoa seperti halnya Cina Benteng, tempat seorang individu tidak begitu penting dibandingkan de-ngan keluarga atau clannya. Ke-luarga merupakan struktur dasar sosial, kewajiban seseorang bu-kan langsung untuk dirinya sen-diri, bangsa dan negara, akan tetapi hanya ditujukan kepada keluarga. Dalam prakteknya bisa dilihat dalam pemujaan terhadap leluhur dan lebih mengutamakan anak laki-laki untuk melanjutkan keturunan keluarga dan nama nenek moyangnya. Keluarga merupakan tempat keamanan sosial individu, tempat berlin-dung dari pengaruh luar. Hubu-ngan kekeluargaan sangat erat sekali, sehingga tatanan nilai da-ri luar sedikit sekali pengaruh-nya. Menjaga hubungan dengan arwah leluhur sekaligus menjaga kelestarian kosmos. Manusia di-anggap sebagai replika dari ma-krokosmos, oleh sebab itu tiap individu dianggap sebagai mikro kosmos. Sebagai mikro kosmos, manusia adalah bagian dari alam semesta makro kosmos, maka tugas manusia adalah menjaga kehidupan dan kese-imbangan makro kosmos. Me-nentang atau menyimpang dari tata kosmos berarti merusak atau menggoncangkan keseimbangan kosmos. Agar seimbang dan selaras, maka manusia mengadakan upacara.

Dalam pandangan masyarakat Tionghoa termasuk Cina Benteng mikrokosmos atau alam semesta ini terdiri atas langit, manusia dan bumi Manusia yang berada di tengah harus menjaga keselarasan antara langit, bumi, spirit-spirit alam dan fenomena alam serta keseimbangan alam (Yang dan Yin). Dalam alam ma-kro kosmos juga terdiri atas komponen yang bersifat materi dan non materi. Komponen yang bersifat materi adalah alam nya-ta dan non materi adalah alam gaib. Komponen yang bersifat materi terdiri atas lingkungan so-sial dan lingkungan fisik (tanah, gunung, sungai, laut dll). Ada-pun komponen yang bersifat non materi terdiri atas alam gaip po-sitif yakni tempat Tuhan, leluhur dan roh-roh leluhur yang baik serta alam gaib negatif tempat roh-roh jahat berada. Manusia yang berada di tengah harus menjaga dua komponen terse-but. Salah satu cara adalah mengadakan sembahyang, pe-mujaan atau upacara untuk menjaga hubungan manusia de-ngan semua komponen makro kosmos tersebut. jika dibuat ba-gan akan tampak sebagai berikut

Konsep keseimbangan inilah yang menjadi dasar perilaku ma-syarakat Tionghoa termasuk ju-ga Cina Benteng dalam melak-sanakan upacara atau pemujaan leluhur. Secara vertikal masya-rakat Cina Benteng melakukan upacara untuk memohon kesela-matan pada Thein (Tuhan), ar-wah leluhur, dewa dan roh-roh halus yang berada di lingkungan positif, dan menghindarkan ba-haya dari roh-roh jahat yang be-rada di lingkungan negatif. Sela-in itu juga menjaga lingkungan sosial (masyarakat) dan ling-kungan fisik seperti gunung, air, laut, sungai dll. Secara horizontal manusia harus menjaga kese-imbangan alam yang terwujud oleh kedua prinsip Yang dan Yin.

Tampak bahwa upacara atau pemujaan yang dilakukan oleh masyarakat Cina Benteng meru-pakan tindakan spiritual yang mengharapkan sesuatu 'kesela-matan' dari Tuhan, leluhur atau ro-roh halus. Upacara yang ber-fungsi spritual ini adalah media penghubung antara manusia de-ngan kekuatan lain yang ada di luar diri manusia. Upacara ter-sebut merupakan jembatan an-tara dunia sana (dunia kekal) dengan dunia sini (dunia fana). Dengan kata lain upacara meru-pakan jembatan antara dirinya dengan kekuatan di luar dirinya, yang dapat memberikan “sesua-tu” berupa keselamatan dan ke-bahagiaan hidup manusia. Upa-cara sebenarnya berkaitan erat dengan dorongan keagamaan pada masyarakat. Dorongan emosi keagamaan ini muncul dari rasa ketakutan, kegelisa-han, ketidaktenangan di dalam hatinya pada sesuatu yang ber-sifat supernatural, seperti rasa takut mendapat gangguan dari roh-roh halus, takut tidak diberi keselamatan oleh Tuhan dan lain sebagainya. Adanya perasa-an takut, gelisah dan ketidak-tenangan inilah menyebabkan mereka melakukan upacara agar mendapat keselamatan dari Tuhan atau arwah leluhur. De-ngan kata lain melakukan upa-cara akan memberikan rasa aman, tidak takut, tenang, ten-tram, dan tidak gelisah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa upacara berfungsi spiritual da-lam kehidupan masyarakatnya, karena berhubungan dengan pe-mujaan atau penghormatan ke-pada Tuhan, leluhur, roh-roh ha-lus yang dapat memberikan rasa aman, tenang, tentram, tidak ta-kut, tidak gelisah, dan selamat.

Memahami pemikiran masya-rakat Cina Benteng mengenai peristiwa penting dan alam adi-kodrati, bahwa mereka harus mengadakan pemujaan atau sembahyang pada Tuhan dan para leluhur terutama orang tua agar terhindar dari mala petaka. Untuk menyenangkan roh-roh halus mereka memberikan sesa-ji dalam perayaan-perayaan ter-tentu berupa makanan yang enak-enak seperti ikan bandeng, babi, ayam, dan menyalakan lilin atau hio. Sikap hormat selalu di-tekankan warga Cina Benteng pada arwah leluhur atau orang tua yang sudah meninggal, ka-rena mereka mempunyai prinsip atau kepercayaan bahwa kita ti-dak boleh lupa pada asal-usul-nya seperti air asalnya dari su-ngai. Oleh sebab itu kita harus ingat dan menghormati arwah le-luhur dengan cara bersembah-yang atau melakukan upacara. Tidak heran di setiap rumah orang Tionghoa selalu terdapat meja abu leluhur yang diguna-kan untuk bersoja. Meja abu ter-sebut biasanya terletak di ruang tengah, di atasnya terdapat foto leluhur, dan bermacam sesaji (sam seng) seperti buah mani-san, rokok, lilin merah, hio, rebu-san ayam, babi atau ikan bandeng.

Demikianlah upacara atau pemujaan yang dilakukan ma-syarakat Cina Benteng yang ber-fungsi spiritual, karena berhubungan dengan pemujaan/peng- hormatan pada Tuhan atau lelu-hurnya untuk minta keselamatan dan kebahagiaan.

2. Fungsi Sosial

Fungsi sosial upacara bisa di-lihat pada kehidupan sosial ma-syarakat pendukungnya yakni adanya norma sosial dan seba-gai media sosial. Dalam pelak-sanaan upacara tradisional ter-dapat simbol atau lambang ber-makna positif, yakni mengan-dung norma atau aturan yang mencerminkan nilai atau asumsi apa yang baik dan apa yang tidak baik. Norma atau nilai ter-sebut bisa dipakai sebagai kon-trol sosial dan pedoman berperi-laku bagi masyarakat pendu-kungnya. Demikian pula pada masyarakat Cina Benteng, nilai-nilai yang terkandung dalam sesaji (sam seng) bukan saja berfungsi sebagai pengatur peri-laku antarindividu dalam masya-rakat, tetapi juga menata hubu-ngan manusia dengan alam lingkungannya terutama pada Tuhan (thein), Shein (para de-wa). Beng (para leluhur) dan fenomena alam gunung, air dan laut. Demikian pula nilai atau makna yang terdapat dalam sim-bol sesaji upacara atau pera-yaan agama adalah salah satu mekanisme pengendalian sosial. Mekanisme ini sifatnya tidak for-mal yakni tidak dibakukan seca-ra tertulis, tapi hidup dalam alam pikiran manusia, diakui dan di-patuhi oleh sebagian besar ma-syarakat Cina Benteng. Pengen-dalian ini juga bersifat positip karena berisi anjuran, pendidi-kan dan arahan sebagai pedo-man perilaku warganya sesuai dengan kehendak sosial atau masyarakat.

Selanjutnya akan dikemuka-kan di sini nilai-nilai yang terkan-dung dalam pelaksanaan upa-cara yang berkaitan dengan daur hidup dan hari-hari besar agama pada masyarakat Cina Benteng, antara lain :
1. Dalam upacara perkawinan Ciotau pengantin duduk di sebuah tampah besar yang di tengahnya diberi bendera berwarna merah mirip ben-dera Jepang. Tampah besar melambangkan dunia yang berbentuk bulat dengan sega-la isinya dan berbagai macam godaan. Pesan yang ingin disampaikan adalah agar ma-nusia berhati-hati dalam men-jalani hidup ini. Dalam mela-kukan soja atau cium tanah 3 kali juga dimaksudkan agar manusia senantiasa hormat kepada Tuhan dan orang tua.

2. Pada masyarakat Tionghoa termasuk juga Cina Benteng, warna merah dinilai mengan- dung arti keberuntungan dan kebahagiaan. Oleh sebab itu setiap ornamen, warna kuil, baju, lilin dan lain sebagainya selalu berwarna merah. War-na merah juga simbol kebera-nian dan kesucian, ini meng- andung arti bahwa pada da-sarnya manusia dilahirkan dalam keadaan suci dan memiliki jiwa keberanian.

3. Sesaji dalam upacara perkawinan terdiri atas kue mangkok, onde-onde, dan serabi yang merupakan simbol pe-rempuan. Kue-kue tersebut berbentuk bulat dan merekah seperti simbol perempuan. Adapun simbol laki-laki biasa-nya digambarkan seperti bu-ah pisang.

4. Sesaji sam seng terdiri atas ikan bandeng, babi dan ayam Ini melambangkan keadaan alam yang ditempati oleh ma-nusia yakni udara (ayam), air (ikan bandeng) dan tanah (babi). Ayam meskipun he-wan yang hidup di darat, tapi mempunyai sayap untuk ter-bang, sedangkan ikan ban-deng hidup di air, dan babi hidup di darat. Makna yang terkandung dalam sesaji ter-sebut agar manusia tidak me-niru perilaku ketiga binatang tersebut. Ayam suka berke-lahi dengan sesamanya bere-but makanan, babi merupa-kan binatang pemalas yang kerjanya hanya tidur dan ma-kan serta ikan bandeng di-gambarkan seperti ular ber-sisik yang jahat.

5. Makanan yang tersaji biasa-nya terdiri atas mie dan mani-san. Mie karena berbentuk panjang maka merupakan simbol panjang umur dan ma-nisan buah merupakan sim-bol manisnya penghidupan. Pesan yang ingin disampai-kan adalah agar pengantin panjang umur dan menge-nyam manisnya penghidupan, dijauhkan dari segala bahaya dan mala petaka.

6. Jenis manisan buah terdiri atas buah beligo yang artinya ketulusan hati, kolang kaling memiliki makna harus ingat pada leluhur, belimbing ber-makna ketajaman berpikir dan buah mantep bermakna harus mantap hatinya dalam mengarungi hidup baru.

7. Beberapa bunga yang selalu tersedia dalam sesaji adalah bunga ros dan bunga seruni. Bunga ros adalah bunga ma-war yang memiliki banyak warna dan sangat disukai pa-ra dewi kahyangan, sebagai simbol kejayaan yang meng-harumkan nama kerajaan. Pesan yang ingin disampai-kan adalah agar pengantin kelak hidupnya bahagia, jaya dan harum namanya. Adapun bunga seruni adalah bunga yang tidak begitu indah tapi tahan lama (awet). Bunga ini sebagai simbol kesederhaan dan memiliki daya tahan atau kekuatan dalam menghadapi segala cobaan atau badai kehidupan.

8. Selain sesaji ada beberapa pantangan seperti orang ha-mil tidak boleh membunuh binatang, takut anaknya ca-cat. Jika keluar rumah ibu hamil harus membawa peniti, gunting kecil atau pisau lipat agar terhindar dari gangguan mahluk jahat. Pesan yang ingin disampaikan agar ibu hamil berhati-hati dalam men-jaga kehamilannya. Juga adanya pantangan pada hari raya Imlek untuk tidak me-nyapu rumah, lantai, dan halaman, agar rejekinya tidak terusir dan hilang. Selain itu juga tidak boleh membuat makanan berkuah agar tidak mengalami kehujanan di jalan.

9. Masyarakat Cina Benteng seperti halnya masyarakat Tionghoa selalu melaksanakan doa dengan hio dan lilin, de-ngan maksud agar doa yang dipanjatkan diterima oleh Tu-han. Asap hio yang dinyala-kan membumbung ke atas, hal ini menyiratkan bahwa doa yang dipanjatkan terbawa sampai ke atas dan diterima oleh-Nya.

10.Sesaji lain adalah air. Air me-rupakan simbol kehidupan. Masyarakat Cina Benteng sa-ngat percaya bahwa kita ha-rus minum air agar tetap hidup, oleh sebab itu harus ti-dak boleh lupa pada sum-bernya yakni sungai dan laut. Pesan yang ingin disampai-kan adalah kita harus tidak lupa pada para leluhur atau orang tua pendahulu .

Demikianlah sesaji dan lara-ngan (tabu) yang terdapat pada upacara atau perayaan keaga-maan yang dilakukan masyara-kat Cina Benteng. Jika dikaji lebih dalam maka terdapat nilai-nilai luhur untuk menanamkan budi pekerti serta pengendalian sosial bagi warga masyarakat-nya. Nili-nilai ini misalnya mengi-ngatkan manusia akan kebesa-ran Tuhan, menghormati para leluhur dan selalu ingat tentang asal usulnya. Hal ini baik untuk menanamkan budi pekerti/ pen-didikan dan sekaligus sebagai pedoman perilaku dan kontrol sosial bagi masyarakat pendu-kungnya, dalam hal ini Cina Benteng.

Sebagaimana umumnya, se-tiap komuniti atau masyarakat dapat terpelihara karena adanya pengendalian sosial yang meng-atur ketertiban pola ting-kah laku atau interaksi sosial warga ma-syarakatnya.Pengendalian sosial ini dapat terwujud dari sistem kepercayaan, nilai, dan tata cara yang mengatur dan mengarah-kan perilaku masyarakatnya secara tertib. Sistem pengendalian sosial ini tercakup pengetahuan secara empiris dan non empiris. Pengetahuan non empiris dikaitkan dengan dunia gaib, keper-cayaan, dan mitologi.

Penutup
Apa yang dikemukakan ten-tang upacara yang berkaitan de-ngan daur hidup dan perayaan agama pada masyarakat Cina Benteng, dikatakan bahwa ma-syarakat tersebut masih meme-gang teguh adat kebiasaan mereka tentang naluri atau tradisi yang telah diwariskan turun te-murun dari generasi sebelum-nya. Prosesi upacara yang dilak-sanakan memang tidak terlalu besar, tapi tetap dilakukan dengan khidmat tanpa meninggal-kan esensi dari tujuan upacara tersebut. Kepercayaannya terhadap leluhur, roh-roh halus, ter-masuk di sini Tuhan YME, merupakan manifestasi keteguhan hati yang berakar kuat di sanubari masyarakat Cina Benteng, Sebagai etnik minoritas yang tinggal di Indonesia, mereka tetap melakukan tradisi atau adat istiadat bangsanya. Memang dalam suatu masyarakat memiliki kebudayaan atau tradisi tertentu dan cara berpikir yang tidak bisa dipisahkan dari ling-kungan alam. Irama alam merupa-kan irama hidup masyarakat, mereka terikat secara akrab de-ngan alam semesta dan kekuatan-kekuatannya. Orang selalu ber-partisipasi dengan irama alam dan secara mental mereka tidak lepas dari kekuatannya (Mulder, 1973:66).

Menyimak upacara yang dila-kukan oleh masyarakat Cina Benteng, maka akan dikemu-kakan 2 hal penting, yakni arti dan fungsi upacara pada kehi-dupan mereka. Tidak bisa dipungkiri bahwa upacara memiliki arti penting bagi kehidupan masyarakat Cina Benteng karena :

1. Merupakan tradisi yang turun temurun dari generasi sebe-lumnya yang diwariskan pada generasi berikutnya.

2. Merupakan kepercayaan masyarakat Tionghoa yang memiliki prinsip ha-rus ingat asal-usul seperti "kalau minum air jangan lupa sumbernya", hal tersebut dimaknai juga bahwa kita harus ingat pada asal usulnya yakni pada orang tua, para leluhur, dan Tuhan YME.

3. Upacara sebagai katarsis artinya mereka selalu melaksanakan tradisi leluhur, karena jika tidak melakukan takut terkena ku-tukan, mala petaka dan hati menjadi tidak tenang.

4. Keterkaitan pada alam semesta yang dipercaya memiliki ke-kuatan-kekuatan atau spirit di luar kemampuan manusia (ke-kuatan gaib), sehingga manu-sia perlu menjaga keseim-bangan dan keharmonisan antara dunia sana dengan dunia sini.

Adapun untuk fungsi upacara tradisional pada masyarakat Cina Benteng bisa dilihat pada fungsi spiritual dan sosial. Ber-fungsi spiritual karena dalam pelaksanaan upacara selalu berhubungan dengan permohonan manusia untuk minta keselamatan pada leluhur atau Tuhannya. Dengan kata lain upacara ter-sebut membangkitkan emosi keagamaan, menimbulkan rasa aman, tenang, tentram dan sela-mat. Berfungsi sosial karena dalam pelaksanaan upacara bisa di-gunakan sebagai sarana kontrol sosial, kontak sosial, integrasi dan komunikasi antar warganya, sehingga bisa mewujudkan rasa kebersamaan, gotong royong, persatuan dan solidaritas. Terlihat jika ada upacara perkawinan hampir semua keluarga dan sanak saudara berdatangan untuk mem-berikan sumbangan. Ada keunikan pada masyarakat Cina Benteng, baik suami maupun istri masing-masing memberi sumbangan. Sebagai gambaran saat sekarang besarnya sumbangan kurang lebih Rp 50.000,00 (tahun 2003). Sumbangan ini akan dikembalikan lagi jika yang memberi sumbangan mempunyai hajat. Hubungan antar keluarga Cina Benteng sangat kuat sekali, mereka saling membantu. Terlebih jika masih ada hubungan keluarga maka sumbangan yang diberikan dalam bentuk barang misalnya sem-bako, telur 1 peti, kambing 1 ekor dan lain sebagainya. Keber-samaan ini mereka wujudkan dalam pelaksanaan berbagai pe-rayaan atau upacara.

Daftar Pustaka
Budhi Santoso, Analisis Kebudayaan. Penerbit Departemen Pendidi-kan dan Kebudayaan tahun lv no 2 Jakarta, 1984.

Budi Puspo Priyadi, ”Upacara Pemujaan Leluhur, Craddha dan Nya-dran", Bullrtin Antropologi no 15 tahun V Yogyakarta.1989.

Irwan Arti Simbolis Gunungan Kakung pada Upacara Garebeg. Penerbit Fakultas Sastra UGM Yogyakarta, 1986.

Mulder, The Forest of Symbolis. Cornel University Press 1973.

Dra. Ani Rostiyati adalah Tenaga Peneliti Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung. Direktorat Jenderal Nilai Budaya Seni, dan Film. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata

Sumber :
Budhiracana Vol. 10/No.1 2005 Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

Photo : http://rorycyber.blogspot.com