Arsitektur dan Tata Ruang Rumah Tradisional Sasak Lombok

Oleh : Khaerul Anwar

Rumah bukan sekadar tempat hunian yang multifungsi, melainkan juga punya nilai estetika dan pesan-pesan filosofi bagi penghuninya, baik arsitektur maupun tata ruangnya.

Itu terlihat pada rumah tradisional suku Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat, seperti di Dusun Limbungan, Desa Perigi, Kecamatan Suwela, Lombok Timur; Dusun Sade, Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah; dan Dusun Segenter, Desa Sukadana, Kecamatan Bayan, Lombok Barat.

Memang fungsi dan bentuk fisiknya, rumah tradisional itu ada yang berubah dan berbeda, sejalan dengan bertambahnya jumlah penghuni maupun tergantung risiko (kondisi keamanan, geografis, dan topografis) di masing-masing dusun. Namun konsep pembangunannya: arsitektur, tata ruang, dan pola tampaknya merujuk tetap menampilkan karakteristik tradisionalnya.

Pola hunian di tiga dusun itu mengompleks meski lokasinya di tempat datar, seperti Dusun Segenter, atau dataran tinggi sebagaimana di Dusun Limbungan dan Dusun Sade. Sedangkan bangunan yang ada meliputi bale (rumah), berugak (bale-bale bertiang empat disebut sekepat atau bertiang enam atau sekenem), lumbung dan kandang (bare) ternak. Bangunan-bangunan itu mengikuti kontur tanah, khusus bangunan rumah seluas 7 x 6 meter (dihitung dari luar) dan 6 x 5 meter (dihitung dari dalam) per unit.

Bagian rumah terdiri atas atap yang umumnya berbentuk gunungan, menukik ke bawah jarak 1,5-2 meter dari permukaan tanah (fondasi). Atap dan bubungan (bungus)-nya adalah alang-alang yang umumnya menghadap Gunung Rinjani dan berdinding anyaman bambu (kampu). Ruangannya (rong) dibagi menjadi inan bale (ruang induk meliputi bale luar (ruang tidur) dan bale dalem berupa tempat menyimpan harta benda, ruang ibu melahirkan sekaligus ruang disemayamkannya jenazah bila ada penghuninya sebelum dimakamkan.

Ruangan bale dalem dilengkapi amben dan dapur, sempare (tempat menyimpan makanan, peralatan rumah tangga lainnya) terbuat dari bambu ukuran 2 x 2 meter persegi atau bisa empat persegi panjang. Kemudian ada sesangkok (ruang tamu) dan pintu masuk dengan sistem sorong (geser). Di antara bale luar dan bale dalem ada pintu dan tangga (tiga anak tangga) tanpa jendela. Lantai rumah umumnya tanah yang dicampur dengan kotoran kuda, getah, dan abu jerami, seperti terlihat di Dusun Sade dan Limbungan.

Kompleks perumahan itu tampak teratur seperti ada "pagar hidup" yang membatasi kompleks tempat tinggal itu, jalan tanah dan berugak di mana tiap rumah diapit dua rumah. Penataan itu selain tampak demikian teratur yang seakan menggambarkan kehidupan harmoni penduduk, juga sama dengan pola hunian modern dewasa ini.

Bentuk rumah tradisional Lombok berkembang saat pemerintahan Kerajaan Karang Asem (abad 17), di mana arsitektur Lombok dikawinkan dengan arsitektur Bali. Misalnya, ruang tamunya terbuka tanpa dinding, tiang penyangga bangunan bagian atas diberi ukiran.

Malah dalam waktu 15 tahun terakhir ini, arsitektur Lombok dijadikan pelengkap pada bangunan perkantoran dinas/instansi di Mataram. Lumbung dibangun di bagian depan atau pintu keluar-masuk kantor. Materi bangunannya disesuaikan dengan bahan bangunan kantor berupa semen, pasir, dan genteng. Tujuan pendirian lumbung adalah menunjukkan kekhasan dan pelestarian kebudayaan fisik, terutama di Pulau Lombok.

SEPERTI disinggung di atas, selain tempat berlindung, rumah juga memiliki nilai estetika, filosofi, dan kehidupan sederhana para penduduk di masa lampau yang mengandalkan sumber daya alam sebagai tambang nafkah harian, sekaligus sebagai bahan pembangunan rumah. Lantai rumah itu adalah campuran dari tanah, getah pohon kayu banten dan bajur (istilah lokal), dicampur batu bara yang ada dalam batu bateri, abu jerami yang dibakar, kemudian diolesi dengan kotoran sapi di bagian permukaan lantai.

Materi membuat lantai rumah itu berfungsi sebagai zat perekat, juga guna menghindari lantai tidak lembab. Bahan lantai itu digunakan, oleh warga di Dusun Sade, mengingat kotoran kerbau atau sapi tidak bisa bersenyawa dengan tanah liat yang merupakan jenis tanah di dusun itu.

Arsitektur rumah warga di tiga dusun itu relatif mirip, yang agak berbeda mungkin fungsi ruangannya. Hanya rong dalam rumah di Dusun Segenter lekat tradisi wetu telu-nya. Misalnya, di inan bale, kecuali menyimpan beras dalam gentong (temberasan/kemeras), barang berharga lainnya, juga tempat menyimpan nenoq (sesaji bagi arwah leluhur dan roh penghuni rumah), dan saat tertentu dijadikan tempat pemujaan/meditasi keluarga.

Rumah tinggal di Dusun Segenter dibangun dengan asas cermin, (pintu rumah yang satu dengan rumah di depannya saling berhadapan dan diselingi sebuah berugak di tengahnya), bukan saling membelakangi seperti rumah di Dusun Limbongan maupun di Dusun Sade yang arahnya ada yang berhadapan, ada pula yang saling membelakangi.

Pemilihan lokasi permukiman itu terkait dengan pola bercocok tanam khas masyarakat agraris, kata M Yamin, pemerhati budaya Sasak, Lombok. Mereka memerlukan air untuk irigasi maupun kegiatan rumah tangga yang biasanya jadi sumber mata air, umumnya berada di dataran tinggi.

Gunung yang dekat dengan hutan memudahkan mereka mendapat sumber makanan tiap hari. Mungkin juga ada kaitannya dengan kepercayaan tradisional bahwa gunung dan dataran tinggi menjadikan "hubungan komunikasi" manusia dengan Sang Pencipta "lebih dekat".

Karena letaknya di dataran tinggi, seperti Dusun Segenter dan Dusun Limbungan, fungsi dapur juga sebagai penghangat, sedangkan penerangan pada siang hari hanya dengan sinar matahari yang menyelinap dari balik pagar, yang juga berfungsi sebagai sirkulasi udara, untuk keamanan bila ada serangan binatang buas dan memantau orang yang bermaksud jahat terhadap tuan rumah.

Konstruksi rumah tradisional Sasak agaknya terkait pula dengan perspektif Islam. Anak tangga sebanyak tiga buah tadi adalah simbol daur hidup manusia: lahir, berkembang, dan mati, simbol keluarga batih (ayah, ibu, dan anak), atau berugak bertiang empat simbol syariat Islam: Quran, Hadis, Ijma`, Qiyas).

Anak yang yunior dan senior dalam usia ditentukan lokasi rumahnya. Rumah orangtua berada di tingkat paling tinggi, disusul anak sulung dan anak bungsu berada di tingkat paling bawah. Ini sebuah ajaran budi pekerti bahwa kakak dalam bersikap dan berperilaku hendaknya menjadi panutan sang adik.

Rumah yang menghadap timur secara simbolis bermakna bahwa yang tua lebih dulu menerima/menikmati kehangatan matahari pagi ketimbang yang muda yang secara fisik lebih kuat. Juga bisa berarti, begitu keluar rumah untuk bekerja dan mencari nafkah, manusia berharap mendapat rida Allah di antaranya melalui shalat, dan hal itu sudah diingatkan bahwa pintu rumahnya menghadap timur atau berlawanan dengan arah matahari terbenam (barat/kiblat). Tamu pun harus merunduk bila memasuki pintu rumah yang relatif pendek. Mungkin posisi membungkuk itu secara tidak langsung mengisyaratkan sebuah etika atau wujud penghormatan kepada tuan rumah dari sang tamu.

Kemudian lumbung, kecuali mengajarkan warganya untuk hidup hemat dan tidak boros sebab stok logistik yang disimpan di dalamnya, hanya bisa diambil pada waktu tertentu, misalnya sekali sebulan. Bahan logistik (padi dan palawija) itu tidak boleh dikuras habis, melainkan disisakan untuk keperluan mendadak, umpamanya guna mengantisipasi gagal panen akibat cuaca dan serangan binatang yang merusak tanaman atau bahan untuk mengadakan syukuran jika ada salah satu anggota keluarga meninggal.

Berugak yang ada di depan rumah, di samping merupakan penghormatan terhadap rezeki yang diberikan Tuhan, juga berfungsi sebagai ruang keluarga, menerima tamu, juga menjadi alat kontrol bagi warga sekitar. Misalnya, "Kalau sampai pukul sembilan pagi masih ada yang duduk di berugak dan tidak keluar rumah untuk bekerja di sawah, ladang, dan kebun, mungkin dia sakit," tutur Amak Yani, warga Dusun Limbungan Timur.

Sejak proses perencanaan rumah didirikan, peran perempuan atau istri diutamakan. Umpamanya, jarak usuk bambu rangka atap selebar kepala istri, tinggi penyimpanan alat dapur (sempare) harus bisa dicapai lengan istri, bahkan lebar pintu rumah seukuran tubuh istri. Membangun dan merehabilitasi rumah dilakukan secara gotong-royong meski makan-minum, berikut bahan bangunan, disediakan tuan rumah.

Dipertahankannya bahan konstruksi dan bentuk rumah itu merupakan ketentuan yang tidak bisa ditawar-tawar. Karenanya yang tinggal dalam kampu mematuhi ketentuan itu, tetapi memilih lokasi agak jauh dari rumah orangtuanya. Pertimbangannya, "Khawatir, jangan sampai ibu saya ngomong biasa misalnya, lalu didengar dan salah dimengerti oleh istri saya, membuat hubungan kami dengan orangtua jadi keruh," ucap Suparman, Kepala Dusun Limbungan.

Sumber: labulia.blogsome.com