Riau, boleh menjadi miniatur Indonesia: 2/3 wilayahnya seluas 235.306 km2 adalah laut; dengan 3.214 pulau besar-kecil. Menelusuri sejarah rumah lontik di Lima Koto, Provinsi Riau, adalah bagaikan berperahu di bahari budaya Melayu, di antara pulau-pulau dua peradaban: Minangkabau dan Malaka. Atap rumah lontik yang sangat dekat bentuknya dengan perahu, yang berlayar sebagai salah satu saksi atas kekayaan alam wilayah lautnya: Misalnya, perairan Bagan-siapi-api di tepi Selat Malaka yang dikenal sebagai produsen ikan nomor dua terkaya di dunia setelah Peru.
Riau: pewaris budaya bahari Sriwijaya
Menelusuri sejarah rumah lontik di Lima Kota, kalau bukan mustahil, pasti sesulit menelusuri kesejarahan Riau atau Sumatra, yang masih gelap dan sulit diketahui. Awal peradaban Riau sangat langka sumber-sumbernya, karena sangat sedikit fosil-fosil purba manusia Riau yang dapat ditemukan di kawasan ini. Para ahli purbakala memperkira-kan penduduk penghuni kawasan ini tergolong ras Wedoide dan Austroloid. Mereka menduga bahwa bangsa berikutnya yang menghuni memiliki kebudayaan yang lebih maju, yaitu kebudayaan neolitikum dan megalitikum. Mereka dinyatakan sebagai asal mula ras rumpun bangsa Melayu yang disebut sebagai Proto Melayu. Sekitar 300 tahun SM datang pula gelombang suku bangsa Deutro Melayu, yang sudah mendapat pengaruh Hindu. Mereka datang dan mendesak orang-orang Proto Melayu. Yang belum berbaur bermigrasi ke hutan-hutan dan laut (Ishak, 2001: 37-40).
Berakhirnya kerajaan Sriwijaya pada tahun 1377 mengakibatkan kembali berdirinya kerajaan-kerajan kecil yang dulu dikuasainya, termasuk Kerajaan Bintan di Kepulauan Riau. Kejayaan Bintan terwujud pada Abad XIV saat pemerintahan Sang Nila Utama (Sri Tri Buana). Kepindahan pusat Kerajaan ke Tumasik (sekarang Singa-pura) menyebabkan keberadaan Bintan merosot. Serangan Majapahit ke Singapura membuat raja menyingkir ke Malaka, yang kelak membangun wilayah itu menjadi pusat imperium Melayu sampai ditaklukan Portugis 1511 (Suwondo, 1984:8-9). Di kemudian hari, ada beberapa dinasti kesultanan Melayu: Riau Melayu, Melayu Malaka, Melayu Johor, Melayu Bintan, Melayu Lingga hingga Melayu Deli: kawasan yang cukup luas ini menjadi kawasan budaya Melayu. Meski Malaka lebih dikenal karena letak strategisnya, namun Riau ―negeri gurindam ini― menempati posisi sebagai pusat sastra dan bahasa Melayu. Demikianlah, meskipun banyak persamaan karakter, orang Riau mengidentifikasi dirinya sebagai orang Melayu penghuni pantai Timur Sumatera dan Malaka, yang berbeda dengan orang Minangkabau.
Suku Minangkabau tak dapat dilepas sejarahnya dari Kerajaan Pagaruyung muncul sejak pasca Sriwijaya. Kerajaan ini banyak terkait dengan keberadaan Lima Koto. Ada pepatah Minangkabau “adat menurun syarak mendaki” yang sering ditafsirkan sebagai "adat turun dari Gunung Merapi sedangkan syarak mendaki naik dari Riau", meskipun tafsiran yang lebih tepat adalah “adat diwariskan turun menurun, sedangkan syarak berkembang hingga menjadi sendi-sendi adat” (Ishak, 2001: 36-51). Ini menunjukkan bahwa hubungan budaya Riau-Minangkabau telah berlangsung sejak lama. Sementara itu, sejak dikuasai Portugis, Malaka berkembang pula setapak demi setapak dengan karakteristik budayanya sendiri. Meski demikian, kesejarahan Melayu masa lalu yang telah menjadi benihnya, tetap memberi karakteristik dasar. Demikianlah dalam memahami arsitektur Riau ―khususnya dalam menelusuri arsitektur rumah lontik― sesungguhnya ada agenda yang besar dan panjang, karena mesti membuka-jelas dahulu, tabir kawasan budaya pewaris kejayaan Sriwijaya di Selat Malaka. Dan itu ibarat mengarungi laut keanekaragaman tradisi antara Minangkabau dan Malaka.
Gambar kiri: Gambar di atas adalah sekelumit kehidupan Melayu Lingga yang bermata-pencaharian bertani dan menuai hasil-hasil hutan; di pedalaman pulau, penduduk hidup bercocok tanam, mereka berladang padi, kelapa, cengkehdan sedikit lada putih. Di daerah rawa pulau ini ditumbuhi pohon-pohon rumbia yang menghasilkan sagu. Sagu pernah menjadi makanan pokok penduduk di pulau ini pada masa lalu. Ampas sagu (serampin) dapat dijadikan makanan ternak. Sedangkan daun rumbia dijadikan atap rumah (Ishak, 2001).
Hubungan umum-pribadi pada rumah lontik
Rumah, adalah salah satu dari sekian banyak inskripsi sosial, pengejawantahan suatu sistem sosial. Hal ini cukup nyata pada rumah lontik yang merupakan salah satu tipe rumah tinggal Suku Melayu di Riau. Istilah “lontik” dipakai mereka untuk menunjukkan bentuk perabung (bubungan) atap yang melentik keatas. Menurut tradisi, garis melentik ini menunjukkan penghormatan kepada Allah. Ada sebutan lain untuk rumah ini, yaitu pencalang atau rumah lancang, yaitu perahu layar tradisional Riau lancang yang disebut pula pencalang. Menurut para ahli etnografi (lihat antara lain Suwondo, 1984:105), keterkaitan fisik tersebut meliputi:
Persamaan bentuk tumpuan dinding depan dan belakang rumah dengan bentuk perahu, yang dalam bahasa daerah disebut lancang dan pencalang.
Bentuk dinding rumah yang miring keluar seperti miringnya dinding perahu layar mereka; dan
Kemiripan bentuk rumah-rumah perahu (magon) yang biasa dibuat penduduk.
Rumah lontik berada di daerah Lima Koto atau Lima Koto Kampar, daerah yang mempunyai hubungan sejarah dengan Kerajaan Pagaruyung sebagaimana disebutkan di atas. Boleh dipastikan, penghubungnya adalah Sungai Muara Mahat ―salah satu cabang Sungai Kampar― yang menjadi alur pelayaran dari Lima Koto menuju wilayah Tanah Datar di Payakumbuh, Minangkabau. Daerah Lima Koto mencakup Kampung Rumbio, Kampar, Air, Tiris, Bangkinang, Salo, dan Kuok. Semuanya masuk ke dalam wilayah Kecamatan Kampar dan Bangkinang, Kabupaten Kampar. Meskipun masih termasuk ke dalam Propinsi Riau, Lima Koto mempunyai karakteristik budaya yang berbeda dengan budaya sesama suku Melayu di Riau Kepulauan maupun Riau Daratan dan yang tersebar di daerah pesisir (Suwondo, 1984: 95).
Istilah koto sendiri ―menunjukkan suatu tempat (place) bermukim― terkait dengan suatu konsep ruang budaya, sebagaimana yang lazim ditemukan di seantero Nusantara. Perkampungan mereka sebut koto. Koto yang dikelilingi pagar bambu atau tanah, terdiri dari kelompok rumah tinggal, masjid dan balai adat yang disebut balai godang. Awalnya koto dibangun menyusur kaki bukit dengan bentuk persegi panjang, tetapi secara berangsur-angsur pindah ke daratan tepi Sungai Kampar dengan bentuk menurut tebing sungai, memanjang ke hulu. Dalam proses perkembangan desa, koto hanya tinggal nama saja karena pagar batas tidak ada lagi. Jarak antar koto berjauhan. Rumah didirikan sejajar di tepi sungai. Jarak rumah diatur dengan aturan adat: rumah keluarga muda berada di belakang yang lebih tua.
Hal yang paling jelas pada rumah lontik Sebagai inskripsi sosial ialah bahwa rumah tersebut terbagi menjadi tiga bagian, yaitu ruang bawah, ruang tengah dan ruang belakang. Pembagian ini menyesuaikan dengan alam nan tigo (berkawan, bersamak dan semalu), yaitu konsep tata pergaulan dalam kehidupan masyarakat (Suwondo, 1984: 122-126).
Ruang bawah dan ruang tengah yang dipisahkan oleh dinding kayu, merupakan rumah induk. Ruang bawah ―melambangkan alam berkawan (pergaulan sesama warga kampung)― terbagi menjadi dua bagian, ujung bawah dan pangkal rumah. Ujung bawah berfungsi sebagai ruang duduk ninik mamak dan undangan dalam upacara tertentu. Dalam kondisi sehari-hari ruang ini dipakai sebagai tempat sembahyang. Pangkal rumah merupakan ruang duduk ninik mamak pemilik rumah. (ninik mamak nan punyo soko). Sehari-hari dipakai sebagai ruang tidur mereka.
Alam bersamak (kaum kerabat dan keluarga) dilambangkan oleh ruang tengah. Ruang ini juga terbagi dua, poserek dan ujung tengah. Poserek merupakan ruang berkumpul orang tua perempuan dan anak-anak. Jika terpaksa dapat berubah fungsi menjadi ruang tidur keluarga wanita dan anak. Ujung tengah sehari-hari dipakai sebagai ruang tidur pemilik rumah, tetapi pada upacara perkawinan gerai pelaminan diletakan di situ.
Ruang belakang terbagi menjadi dua, sulo pandan dan pedapuan. Sulo Pandan merupakan ruang penyimpanan ruang keperluan sehari-hari dan peralatan dapur. Sedangkan pedapuan berfungsi sebagai dapur, ruang makan keluarga, dan tempat kaum ibu bertamu. Kadang dipakai pula sebagai ruang tidur anak gadis. Ruang ini merupakan cerminan dari keberadaan alam semalu yaitu kehidupan pribadi dan rumah tangga, tempat menyimpan segala rahasia
Rumah Lontik merupakan rumah panggung. Tipe konstruksi panggung dipilih untuk menghindari bahaya binatang buas dan banjir. Di samping itu ada kebiasaan kolong rumah digunakan untuk kandang ternak, wadah penyimpanan perahu, tempat bertukang, tempat anak-anak bermain, dan gudang kayu untuk persiapan bulan puasa. Kemudian lain penyebeb pemakaian konstruksi panggung adalah adanya ketentuan adat untuk memakai tangga, dengan jumlah anak tangga ganjil dan menyediakan tempayan air didekatnya untuk mencuci kaki di pangkal tangga. Biasanya mereka membuat anak tangga sebanyak lima buah. Kelima anak tangga ini simbol kelima rukun Islam. Ketentuan adat juga menyatakan bahwa penghuni wanita cukup berpakaian sedada tanpa baju (kemban) di dalam rumah atau tidur-tidur dirumah tanpa adanya penyekat/pelindung ruang. Kalau rumah dibangun rendah atau “melekat” diatas tanah, maka keadaan didalam rumah akan kelihatan dari luar rumah (Suwondo, 1984: 107). Dinding luar rumah lontik seluruhnya miring keluar, berbeda dengan dinding dalam yang tegak lurus. Balok tumpuan dinding luar depan melengkung keatas, dan kalau disambung dengan ukiran sudut-sudut dinding, kelihatan seperti bentuk perahu. Balok tutup atas dinding juga melengkung meskipun tidak semelengjung balok tumpuan.
Lengkungannya mengikuti lengkung sisi bawah bidang atap. Kedua ujung perabung diberi hiasan yang disebut sulo bayung. Sedangkan sayok lalangan merupakan ornamen pada keempat sudut cucuran atap. Bentuk hiasan beragam, ada yang menyerupai bulan sabit, tanduk kerbau, taji dan sebagainya.
Sumber: www.astudio.id.or.id