Adat Manyanggar di `Negeri Rawa` Danau Bangkau

Penulis: M Syaifullah

Waktu serasa berhenti pada Minggu pekan pertama Maret lalu di Desa Danau Bangkau, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Tidak ada warga yang menjemur ikan sepat dan gabus di tepian jalan, juga tidak ada yang berperahu untuk menebar jala di rawa luas yang menjadi halaman belakang permukiman.

Pagi itu seluruh warga di Kecamatan Kandangan tersebut berkumpul di beberapa rumah. Mereka "bersembunyi" dari terik mentari untuk menyiapkan aruh atau syukuran besar, manyanggar danau.

Manyanggar atau menebarkan sesaji ke danau adalah tradisi masyarakat Danau Bangkau. Itu adalah bentuk terima kasih warga terhadap alam (danau) yang telah menjadi sumber penghidupan mereka.

Dahulu para leluhur menerjemahkannya dengan memberikan sesaji kepada panggaduh, ruh yang diyakini memelihara rawa Danau Bangkau yang luasnya 19,5 kilometer persegi.

Syukuran diawali dengan pembuatan beragam penganan sebagai sesaji. Penganan itu terdiri atas 41 macam kue, kambing putih dan ayam hitam yang dipanggang, piduduk (semacam ketan), beras kuning, kelapa muda dan tua, pisang, serta kemenyan.

Ragam sesaji itu disiapkan para ibu sehari sebelumnya. Hanya mereka yang tidak dalam masa haid yang boleh membuat sesaji.

"Macam sesaji ini sesuai dengan permintaan panggaduh rawa. Tujuannya, agar warga dijaga keselamatannya dan dilimpahkan banyak ikan," kata Pambakal (Kepala Desa) Danua Bangkau, Badrun.

Prosesi babarasih
Sesaji telah siap dan prosesi babarasih (membersihkan) danau pun kemudian dimulai. Para ibu yang berkain batik tapih bahalai membawa seluruh sesaji dari rumah seorang tetua desa, Haji Subli. Penganan tersebut dibawa ke dalam perahu kelotok (perahu motor).

Atap perahu tersebut juga telah berhias pohon pisang yang berbuah dan pohon beringin dalam pot. Dua tokoh adat, Maisarah dan Uma Atung, telah mengambil tempat di haluan untuk memimpin perjalanan menuju ke tengah rawa.

Perahu kelotok bertolak diiringi 12 perahu kelotok lainnya yang ditumpangi sebagian besar warga Danau Bangkau. Seluruh penumpang-orang dewasa, pararemaja, anak-anak, hingga anak balita-menikmati pengarungan dengan hikmat.

Sepanjang perjalanan Maisarah dan Uma Antung memercikkan air kembang sebagai simbol babarasih. Bersamaan dengan itu, gong, gendang, dan serunai terus dibunyikan. Suaranya mengundang kehadiran beberapa warga kampung lainnya yang berperahu ces.

Bagian rawa yang menjadi lokasi syukuran berbatasan dengan Desa Pahalatan Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan beberapa desa di Kecamatan Angkinang, Hulu Sungai Selatan. Meskipun lokasi persembahan hanya sekitar lima kilometer jauhnya dari Desa Danau Bangkau, perjalanan memerlukan waktu hampir satu jam.

Perahu tak bisa dipacu laju karena hampir seluruh permukaan rawa ditutupi rumput dan ilung (eceng gondok). Selain itu, kedua pemimpin perjalanan beberapa kali meminta rombongan perahu berhenti dan di titik-titik perhentian itulah sesaji diletakkan. Tempat perhentian pertama dinamakan Kepala Danau.

Di lokasi tersebut Maisarah menyerahkan satu kelapa kepada seorang pemandu. Kelapa itu telah dibelah batoknya dan diisi telur dan gula merah. Si pemandu kemudian terjun ke air dan menyelam sedalam lima meter untuk meletakkan sesaji itu di dasar rawa.

Kegiatan serupa dilakukan diperhentian kedua, Mungkur Panjang, dan puncak ritual berakhir di perhentian ketiga, Mungkur Kambing.

Di tempat perhentian terakhir ini, kelapa berisi telur dan gula merah ditaruh di dasar danau. Selain itu, di permukaan air dilarungkan daging kambing bakar. Namun, pelarungan hanyaberlangsung sejenak karena daging itu segera diangkat kembali ke atas perahu.

Upacara adat diakhiri dengan pembacaan doa keselamatan dan tolak bala yang dipimpin dua tokoh adat, Alan dan Syahran.

Pada hari itu seluruh warga yang hadir diminta tidak mencari ikan. Sebagai tanda syukur, seluruh makanan yang menjadi sesaji itu kemudian dibagikan. Warga pun berebutan dalam bahagia sehingga beberapa di antaranya tidak kebagian.

Peninggalan leluhur
Pemuka adat, Syahran, mengungkapkan, manyanggar merupakan peninggalan leluhur yang dilaksanakan secara turun-temurun sebelum masuknya agama Islam di daerah tersebut. Setelah Islam masuk, terjadi penyesuaian.

Kue dan penganan sesaji tidak lagi dilarung ke rawa, tetapi dimakan bersama sebagai bagian dari permohonan keselamatan dan bersyukur.

"Tradisi ini termasuk langka karena warga melaksanakannya tiga hingga lima tahun sekali. Itu pun tergantung adanya `permintaan`. Biasanya, hal itu melalui warga yang mengalami kasarungan atau kesurupan (mengalami keadaan tidak sadar diri) karena kerasukan roh halus dengan menyampaikan agar diadakan aruh di rawa tersebut. Kepercayaan ini yang membuat tradisi ini masih dilaksanakan hingga sekarang," ungkap Badrun.

Masyarakat Danau Bangkau percaya bahwa tangkapan ikan akan melimpah setelah upacara adat dilaksanakan. Menangkap ikan adalah mata pencarian 80 persen dari 1.641 jiwa penduduk desa.

"Ritual ini membuktikan, semua warga masih patuh menjaga kelestarian habitat ikan untuk kelangsungan hidup mereka sendiri. Sampai kini warga melarang kegiatan yang merusak rawa, seperti menangkap ikan dengan alat yang menggunakan listrik," tutur Badrun.

Sumber : www.kompas.co.id