Hiruk-pikuk soal kenabian seperti kasus Ahmadiyah belakangan jelas bukan hal baru dalam dinamik perjalanan Islam. Di masa hidupnya, nabi Muhammad sendiri tidak terhindar dari gelombang penentang dan pengingkar yang sebagian mengantarkan perang terbuka, tetapi sebagian yang lain cukup dihadapi dengan perang non-fisik, “perang intelektual”.
Musailamah “al-kadzab” yang mendeklarasikan ketidak-percayaannya akan kewahyuan bagi Muhammad adalah contoh menarik kelompok kedua. Perang intelektual dengan Musailamah akhirnya berujung pada sebuah ayat, fa’tu bisuratin minmitslihi wad’u syuhadaakum min duni Allahi in kuntum shadiqin.
Jauh di masa setelah nabi wafat, gelombang kritik, ragu atau ingkar terhadap kenabian itu justru semakin bermunculan, terutama dari kalangan seniman-sastrawan dan intelektual muslim sendiri. Seorang penyair ulung di masa Abasiah memeroleh predikat al-mutanabby, orang yang mengaku nabi hanya karena syair-syairnya yang kritis terhadap kenabian Muhammad. Tidak hanya itu, lantaran syair-syairnya yang jernih tapi kritis itu pula, penyair bernama asli Abu Thayyib itu dipukuli, dilempari batu, diusir dari kampung ke kampung, dipenjara, dan sebagian besar karyanya dibakar di depan matanya.
Al-Mutanabby bukan hanya kritis terhadap kenabian. Ia juga meyakini dan menulis dalam puisi-puisinya paham wihdatul wujud, manunggaling kawula-Gusti. Sebuah paham teologis yang lebih dikenal menempel pada al-Hallaj, tokoh sufi dan da’i kondang yang yang malang melintang di berbadai negeri. Al-Hallaj memang selalu menyuarakan ana al-haq, akulah kebenaran, Allah fi dami, Allah ada dalam darahku. Serangkai pernyataan yang bukan saja berbeda dengan paham kebanyakan kaum muslim, tetapi juga dianggap meresahkan dan sesat-menyesatkan. Dan lantaran pahamnya itulah, al-Hallaj harus mengakhiri nafasnya di tiang gantungan di zaman pemerintahan al-Muqtadir bil-Lah (Dinasti Abbasiah).
Apa yang dialami Abu Thayyib sebenarnya tidak sekeras yang menimpa Abu Ishaq an-Nasibi yang meragukan atau Muhammad Ibn Zakaria ar-Razi yang menolak seluruh kenabian. Bagi mereka, kenabian bertentangan dengan asas paling penting keberadaan manusia yang berbeda dengan hewan. “Mengapa harus para nabi yang meski pun mengaku berasal satu sumber, yakni Allah, tetapi saling bersimpangan”, kata ar-Razi. Kedua pemikir muslim kritis itu harus menerima terkurung dalam bui lahiriah dan intelektual. Seluruh pikiran dan karya tulis mereka sama sekali sengaja ditutup oleh “kehebatan” para ahli fiqh dan para qadli yang bermesraan dengan para muluk, penguasa politik, dan negara.
Deretan orang-orang senasib belum berakhir. Daud ibn Ali, Ya’qub ibn al-Fadl, beberapa anggota Ishadah al-Mujjan (paguyuban lawak) pimpinan Abu Nawas, dan ratusan lainnya yang terkena tuduhan zindiq di masa khalifah al-Mahdi dan penggantinya, khalifah al-Hadi (Daulat Abasiyah). Mereka yang dituduh zindiq itu harus mengakhiri hidupnya di depan para hakim (qahli) seperti Abd Jabbar al-Muntasib, Umar al-Kaluzi dan Muhammad ibn Isa Hamdawaihi. Tiga kitab sejarah terakui (mu’tabar): Tarikh al-Tabari, al-Wuzara wa al-Khutab, dan al-Aghani menyebutkan bahwa tuduhan dan penghakiman terhadap kaum zindiq pada saat itu sebenarnya bukanlah persoalan agama atau ke-zindiq-an itu sendiri, tetapi hampir murni persoalan politik. Para khalifah memanfaatkan ke-zindiq-an tersebut sebagai sarana untuk membasmi musuh dan lawan politik mereka, terutama dari kalangan Hasyimi.
Ternyata di negeri kita, di masa lalu, juga terjadi hal serupa seperti yang menimpa Siti Jenar dan Mbah (kiai) Mutamakin dari Pati, pantai utara Jawa.Versi yang lebih masyhur menyatakan bahwa Siti Jenar menyalahi pandangan umum kaum muslim yang saat itu sedang berkuasa (para wali). Sidang majlis hakim (para wali sendiri) yang konon mengadili Siti Jenar ternyata, demikian Nancy Florida menyatakan, lebih merupakan musyawarah yang meminta penjelasan dari Siti Jenar tentang paham yang dianutnya. Narasi (kebenaran diskursif) yang kita terima sekarang menjelaskan bahwa Siti Jenar dan ajarannya adalah sesat-menyesatkan dan berhasil dibasmi oleh para wali sebagai penanggungjawab agama maupun politik. Tetapi, besar kemungkinan bahwa para wali sendiri merasa ragu (terhadap ketersesatan, kebathilan, dan kesalahan Siti Jenar) dan hanya membasminya secara imajinatif. Demikian pula kiai Mutamakin yang, lantaran pilihan paham keagamaannya, harus berhadapan dengan penghakiman Katib Anom dari rezim Kartasura yang merupakan establishment sunni.
Untung para wali dan Katib Anom masih mempertimbangkan “kemungkinan” dalam melihat Siti Jenar dan kiai Mutamakin, sesuatu yang tak terjadi ketika al-Mahdi maupun al-Hadi melihat para zindiq. Namun begitu, baik tindakan para wali di Demak dan Katib Anom di Kartasura, apalagi kebijakan represif al-Mahdi dan al-Hadi tetap tak menguntungkan dari sudut kebebasan beragama dan kewargaan yang majemuk, di samping dari sudut subtansi agama itu sendiri yang diturunkan untuk manusia dan kemanusiaan.
Sejarah memang bisa berulang, tetapi kita juga harus belajar dari sejarah. Beberapa peristiwa mutakhir di negeri ini, seperti kasus Ahmadiyah, tampaknya hanya memerlihatkan kepandaian mengulang sejarah. Sebagian besar kaum muslim bangga menjadi pewaris pengusir al-Mutanabby, para qahli, al-Mahdi, al-Hadi, para wali, dan qadhi Kartasura yang sukses mengawinkan agama dan politik untuk dijadikan senjata menghalau apa dan siapapun yang tidak sesuai dengan mereka. Tetapi, sebaliknya kita tak pernah belajar dari sejarah bahwa hasil perkawinan agama dan politik itu jauh lebih berbahaya ketimbang politik itu sendiri.*