Politik Komodifikasi

Oleh Bisri Effendy

“Wah dapat objek yang bagus mas”, bisik seorang juru foto di samping saya ketika bersama-sama mengambil gambar ritual Mamat Bali Akang pertengahan Juni 2003 lalu di desa Datah Bilang Ulu, Long Hubung, Kutai Barat, Kaltim (perjalanan 37 jam dari Samarinda dengan menyusur sungai Mahakam ke arah hulu). Saya agak tersinggung dengan ucapan itu, tetapi karena tidak mungkin berguna debat soal itu dengannya, saya putuskan untuk tidak menanggapi.

Saya cukup menyunggingkan senyum sedikit sebagai basa-basi agar dia merasa senang. “Bagus” yang dimaksudkan si juru foto tadi jelas bukan hasil pemotretan saya, tetapi menunjuk pada sekelompok orang Kenyah yang sedang berjajar, siap melaksanakan ritual memeringati “keberanian dan keperkasaan”.

Tidak seperti hari-hari biasa, orang-orang Kenyah di Datah Bilang Ulu hari itu memang bak kembali ke masa silam, entah berapa abad lalu: memakai pakaian adat lengkap dengan berbagai peralatan perang, menari massal hampir sepanjang jalan kampung, dan diakhiri menari lingkar mengelilingi pemotongan babi dan ayam. Sang juru foto tadi tampaknya terkesima dan memandang orang-orang Dayak dan ritualnya sebagai sesuatu yang unik, eksotis, dan langka. Tetapi saya sadar bahwa Datah Bilang Ulu dan seluruh penduduknya (orang-orang Dayak Kenyah) sedang dikembalikan ke masa lalu oleh kekuatan luar demi kepentingan ekonomi dan politik. Peliq Lahang, kepada adat desa itu, yang justru memakai baju batik dan tutup kepala berjurai bulu burung, menganggap ritual hari itu sebagai “mamat-mamatan”, menjadi mamat yang lain, dan sesuatu yang bukan sesungguhnya.

Dengan meminta agar seluruh warga sungguh-sungguh dalam melaksanakan Mamat Bali Akang, Kepala Dinas Pariwisata Kutai Barat, dalam sambutan pembukaan, mengaitkan peristiwa di Datah Bilang Ulu itu dengan terkurasnya sumber-sumber kekayaan alam dan kebutuhan devisa yang semakin meningkat. “Pariwisata adalah salah satu alternatif yang paling potensial, apalagi kita mempunyai kekayaan budaya yang luar biasa dan tak akan habis walau pun kita suguhkan setiap bulan”, tandasnya. Pariwisata memang tak mungkin lepas dari eksotisme, sesuatu yang aneh, unik, lain dari yang lain, dan bersifat samara-samar antara realitas dan ilusi, karena hanya hal-hal seperti itulah yang mampu menggiring orang untuk menemukan tujuan berwisata: penjelajahan, petualangan, dan penemuan baru. Seperti yang terlihat dalam gambar-gambar promosi pariwisata cetak maupun elektronik, industri pariwisata selalu memilih identifikasi produknya sebagai sesuatu yang eksotis; pariwisata tak mungkin bisa hidup tanpa eksotisme yang ditawarkan. Soalnya, eksotisme sendiri adalah konstruksi, bikinan, dan ciptaan yang kebanyakan lalu diwujudkan dalam bermacam gambar rekaan yang bisa segera membangun image, menghadirkan sesuatu yang sebenarnya tidak ada (absent) dalam kenyataan, persis seperti menghadirkan Mamat Bali Akang yang sebenarnya telah ditinggalkan sekaligus dilupakan lebih dari satu abad.

Sangat mungkin sebagian orang Datah Bilang Ulu tak sadar, terlena, dan terseret buaian masa lalu yang sepenuhnya imajiner. Meski rata-rata tak pernah mengalami Mamat Bali akang yang sesungguhnya, mereka percaya bahwa peristiwa hari itu adalah warisan leluhur yang hadir kembali seperti sediakala. Tetapi Peliq Lahang, yang memang sangat kritis, sadar bahwa hari itu di Data Bilang Ulu orang-orang sedang memainkan masa lalu demi keperluan masa kini yang sangat berbeda. Bagi Lahang, Mamat Bali Akang telah terkubur lebih seabad, begitu pula Timai Tangai (Dewa Tertinggi Dayak) yang tergantikan oleh Roh Kudus atau Allah. “Biarlah Mamat dihadirkan, tokh tetap saja ia sebagai yang lain”, tegasnya ketika ditemui sebelum ritual itu dimulai.

Peliq Lahang memang tidak menunjukkan ikut bermain. Tetapi Bu Joe (bukan nama sebenarnya) yang sedari pagi duduk di samping Amin Biyoq Lepoq, tempat acara itu dipusatkan, tampak hasratnya untuk mengambil peran dengan caranya sendiri. Tubuhnya yang renta, dengan telanjang dada sehingga terlihat kedua payudaranya menjurai dan telinga panjangnya yang hampir menyentuh lantai tempat ia duduk dibiarkan untuk dimangsa pasar eksotisme. Dan benar, setiap juru potret yang menghampirinya selalu dimintai 20 ribu rupiah untuk sekali jepret. Bu Joe sadar bahwa tubuhnya adalah sebuah gambar yang segera membangkitkan imajinasi “dunia lain”, meski dengan begitu ia harus rela kehidupan konkret-historisnya dianggap sebagai rekaan dunia yang aneh. Apalagi ketika ternyata pengusaan sumber ekonomi padat modal bukanlah wilayah yang ia kuasai.

Kesadaran Lahang maupun Joe menunjukkan bahwa komodifikasi lebih merupakan “proyek bersama”, dimana peran-peran di dalamnya terbagi, kendati tidak merata dan tidak pula mengasilkan sesuatu yang sama. Yekti Maunati (2004; 266-269), percaya, seperti yang ia lihat di Long Mekar, Samarinda, bahwa peran-peran dalam proses komodifikasi kebudayaan itu menyebar di antara individu-individu termasuk para pemiliki kebudayaan itu sendiri. Tetapi, seperti juga yang terjadi di desa cagar budaya Dayak itu, dampak komodifikasi selalu lebih menguntungkan pihak pemerintah, sejumlah orang non-Dayak, dan para elite Dayak sendiri. “Pasar, melalui komodifikasi kebudayaan Dayak, telah menciptakan fragmentasi dan stratifikasi,” simpul Yekti. Bagaimanapun, ibu Joe, seperti halnya Bit Njau, tokoh muda Kenyah setempat yang dipercaya menjadi ketua panitia penyelenggaraan Mamat Bali Akang saat itu, juga mendambakan survive demi social security dalam hidup dan kehidupannya.

Soal warisan leluhur yang konon harus terjaga, tokh seluruh proses komodifikasi itu, di samping telah menjungkir-balik “keagungan” masa lalu, telah mengawali terbitnya kebudayaan baru. Mengambil peran di saat-saat awal, ketika proses pembentukan masih bergulir, akan lebih menguntungkan ketimbang “ikut menunmpang” tatkala sebuah kebudayaan telah terbentuk, tokh letak soal terpenting suatu kebudayaan selalu pada proses, bukan pada manifes kebudayaannya.*