Oleh Dwicipta
Dua bulan semenjak peresmian Taman Air (Water Park) di lokasi wisata Pantai Widuri, penduduk Pemalang dan sekitarnya menikmati sarana rekreasi baru.
Proyek yang konon menghabiskan dana puluhan milyar itu, di tengah kritikan atas pelaksanaannya, telah menghadirkan fenomena pariwisata yang relatif segar di Pemalang.
Dengan beberapa fasilitasnya yang cukup memuaskan, ia menjadi medium bagi masyarakat Pemalang dan sekitarnya untuk melepaskan diri sejenak dari berbagai tekanan-tekanan ekonomi maupun psikologis, bahkan menjadi sarana efektif bagi para pengunjungnya untuk menemukan gairah hidup yang lebih besar dalam menyelesaikan problematika hidup mereka sehari-hari.
Sayang, keberadaan pusat wisata ini terkesan tanpa cetak biru pengembangan pariwisata yang terpadu baik di sekitar Pantai Widuri maupun dalam suatu jaringan sabuk wisata terpadu di Pemalang. Potensi-potensi lain seperti membangun jalur wisata kuliner berupa masakan laut yang sangat potensial, optimalisasi wisata pelelangan ikan di Tanjung Sari dan Asem Doyong, Kendal Doyong dan pantai-pantai lain, dan pusat-pusat hiburan sepanjang pantai belum tergarap dengan baik. Ini bahkan terkesan tanpa perencanaan yang matang.
Kenyataan ini menjadi semakin memprihatinkan karena tiadanya usaha atau pemikiran dari pemerintah daerah untuk membangun sabuk wisata yang mampu menghubungkan hampir seluruh tempat wisata di Pemalang. Inilah yang menjadi kritik dari lemahnya visi dan kinerja birokrasi. Dalam hal ini Dinas Pariwisata, serta inisiatif dan keterbukaan pemerintah daerah dalam memajukan aktivitas ekonomi, sosial dan budaya di wilayahnya sekalipun para aktor-aktor ekonomi, sosial dan budaya memiliki seluruh modalitas untuk mengembangkan potensi wilayah tersebut.
Dua bulan semenjak peresmian Taman Air (Water Park) di lokasi wisata Pantai Widuri, penduduk Pemalang dan sekitarnya menikmati sarana rekreasi baru.
Proyek yang konon menghabiskan dana puluhan milyar itu, di tengah kritikan atas pelaksanaannya, telah menghadirkan fenomena pariwisata yang relatif segar di Pemalang.
Dengan beberapa fasilitasnya yang cukup memuaskan, ia menjadi medium bagi masyarakat Pemalang dan sekitarnya untuk melepaskan diri sejenak dari berbagai tekanan-tekanan ekonomi maupun psikologis, bahkan menjadi sarana efektif bagi para pengunjungnya untuk menemukan gairah hidup yang lebih besar dalam menyelesaikan problematika hidup mereka sehari-hari.
Sayang, keberadaan pusat wisata ini terkesan tanpa cetak biru pengembangan pariwisata yang terpadu baik di sekitar Pantai Widuri maupun dalam suatu jaringan sabuk wisata terpadu di Pemalang. Potensi-potensi lain seperti membangun jalur wisata kuliner berupa masakan laut yang sangat potensial, optimalisasi wisata pelelangan ikan di Tanjung Sari dan Asem Doyong, Kendal Doyong dan pantai-pantai lain, dan pusat-pusat hiburan sepanjang pantai belum tergarap dengan baik. Ini bahkan terkesan tanpa perencanaan yang matang.
Kenyataan ini menjadi semakin memprihatinkan karena tiadanya usaha atau pemikiran dari pemerintah daerah untuk membangun sabuk wisata yang mampu menghubungkan hampir seluruh tempat wisata di Pemalang. Inilah yang menjadi kritik dari lemahnya visi dan kinerja birokrasi. Dalam hal ini Dinas Pariwisata, serta inisiatif dan keterbukaan pemerintah daerah dalam memajukan aktivitas ekonomi, sosial dan budaya di wilayahnya sekalipun para aktor-aktor ekonomi, sosial dan budaya memiliki seluruh modalitas untuk mengembangkan potensi wilayah tersebut.
Jangkar Utama
Tak perlu diragukan jika pantai Widuri dikenal luas oleh publik sebagai tempat tujuan wisata utama di Pemalang. Karena keindahan dan keterjangkauannya oleh berbagai kalangan pula ia menjadi ”gadis molek” yang menarik hati para investor swasta yang ingin menanamkan sahamnya dalam pengembangan dunia pariwisata di sekitar pantai Widuri. Jika dulu pengelolaan Pantai Widuri ada pada pemerintah daerah dalam hal ini dinas pariwisata- dan nyaris tidak ada dinamika yang berarti dalam dunia wisata di Pemalang, seiring dengan iklim keterbukaan di berbagai bidang, mau tidak mau dunia wisata harus melakukan sinergi dengan pihak-pihak lain untuk lebih mengembangkan sebuah ruang publik yang menjadi tujuan wisata.
Semula orang datang ke Pantai Widuri hanya untuk menikmati keindahan alamnya (laut da pantai). Mereka menikmati pemandangan laut, bermain pasir atau ubur-ubur, berenang di laut atau mencari kerang-kerangan. Untuk memfasilitas aktivitas pesiar itu para pelaku ekonomi menyediakan fasilitas warung atau rumah makan. Hal ini, sekali lagi, tak direspons oleh para pejabat pemerintah daerah dengan memberikan ruang yang nyaman bagi berlangsungnya aktivitas ekonomi yang menjadi media pendukung dari aktivitas wisata masyarakat. Nyaris keberadaan warung-warung dan resto-restonya tanpa konsep sama sekali, hanya mengikuti jalur monoton sepanjang pantai dan jalan raya. Barangkali akan lebih menarik jika selain jalur kuliner di sepanjang jalan dan jalur pantai ini diimbangi dengan keberadaan food court di dalam lokasi objek wisata sehingga pengunjung memperoleh sumber wisata kuliner alternatif.
Hal lain yang menjadi media pendukung wisata Pantai Widuri yang semakin dibutuhkan adalah fasilitas gedung kesenian atau kebudayaan dengan aktivitas-aktivitas kesenian dan kebudayaan yang kreatif. Dalam hal ini, pemerintah daerah dengan para pelaku-pelaku kebudayaan lokal harus melakukan investasi kultural terlebih dahulu dengan memelihara dan memfasilitasi baik kesenian tradisional maupun kesenian modern. Ruang dan aktivitas budaya ini, apabila dikemas dengan baik, pada akhirnya akan menjadi aset wisata yang luar biasa, bahkan memiliki kemampuan mendatangkan wisatawan lokal dan mancanegara lebih besar daripada sekadar wisata pantai.
Semula orang datang ke Pantai Widuri hanya untuk menikmati keindahan alamnya (laut da pantai). Mereka menikmati pemandangan laut, bermain pasir atau ubur-ubur, berenang di laut atau mencari kerang-kerangan. Untuk memfasilitas aktivitas pesiar itu para pelaku ekonomi menyediakan fasilitas warung atau rumah makan. Hal ini, sekali lagi, tak direspons oleh para pejabat pemerintah daerah dengan memberikan ruang yang nyaman bagi berlangsungnya aktivitas ekonomi yang menjadi media pendukung dari aktivitas wisata masyarakat. Nyaris keberadaan warung-warung dan resto-restonya tanpa konsep sama sekali, hanya mengikuti jalur monoton sepanjang pantai dan jalan raya. Barangkali akan lebih menarik jika selain jalur kuliner di sepanjang jalan dan jalur pantai ini diimbangi dengan keberadaan food court di dalam lokasi objek wisata sehingga pengunjung memperoleh sumber wisata kuliner alternatif.
Hal lain yang menjadi media pendukung wisata Pantai Widuri yang semakin dibutuhkan adalah fasilitas gedung kesenian atau kebudayaan dengan aktivitas-aktivitas kesenian dan kebudayaan yang kreatif. Dalam hal ini, pemerintah daerah dengan para pelaku-pelaku kebudayaan lokal harus melakukan investasi kultural terlebih dahulu dengan memelihara dan memfasilitasi baik kesenian tradisional maupun kesenian modern. Ruang dan aktivitas budaya ini, apabila dikemas dengan baik, pada akhirnya akan menjadi aset wisata yang luar biasa, bahkan memiliki kemampuan mendatangkan wisatawan lokal dan mancanegara lebih besar daripada sekadar wisata pantai.
Tetap Lambat
Sudah menjadi common sense pula kalau kinerja pemerintah dalam mengembangkan potensi-potensi yang ada di wilayahnya sangat lambat. Bahkan setelah reformasi birokrasi mulai digulirkan semenjak 1998, pemerintah daerah tetap lambat dalam melaksanakan kerja-kerja birokrasinya yang memiliki rantai panjang.
Keadaan ini kemudian menjadi alasan bagi pihak-pihak di luar pemerintah agar beberapa sektor publik diserahkan pada mereka, atau setidak-tidaknya mengundang aktor di luar pemerintah untuk mengaktualisasikan potensi-potensi daerah tersebut.
Yang makin terasa menggelikan adalah kultur feodal serta rent seeker dari pemerintah. Kultur semacam itu menempatkan pemerintah layaknya seorang gusti dan pemilik sertifikat dagang. Mereka tak memiliki kemampuan manajerial dan naluri bisnis yang mumpuni namun selalu ingin mengambil untung lebih besar. Perilaku dan cara pikir semacam ini banyak menghambat inisiatif pihak-pihak swasta dalam melakukan sinergi dengan pihak pemerintah.
Di sini pemerintah daerah dan swasta harus mempertimbangkan aspek-aspek sosio-kultural, ekonomi dan politik di daerahnya tersebut. Sebuah kota kecil seperti Pemalang, dengan interusi budaya dari pusat-pusat kebudayaan seperti Jakarta dan kota-kota besar lainnya, sangat rawan kehilangan akar budaya dan identitas kedaerahannya. Jangan sampai publik akhirnya menjadi korban dari itu semua. (80)
—Dwicipta, seniman dan pengamat pariwisata
Sumber: http://www.suaramerdeka.com
Keadaan ini kemudian menjadi alasan bagi pihak-pihak di luar pemerintah agar beberapa sektor publik diserahkan pada mereka, atau setidak-tidaknya mengundang aktor di luar pemerintah untuk mengaktualisasikan potensi-potensi daerah tersebut.
Yang makin terasa menggelikan adalah kultur feodal serta rent seeker dari pemerintah. Kultur semacam itu menempatkan pemerintah layaknya seorang gusti dan pemilik sertifikat dagang. Mereka tak memiliki kemampuan manajerial dan naluri bisnis yang mumpuni namun selalu ingin mengambil untung lebih besar. Perilaku dan cara pikir semacam ini banyak menghambat inisiatif pihak-pihak swasta dalam melakukan sinergi dengan pihak pemerintah.
Di sini pemerintah daerah dan swasta harus mempertimbangkan aspek-aspek sosio-kultural, ekonomi dan politik di daerahnya tersebut. Sebuah kota kecil seperti Pemalang, dengan interusi budaya dari pusat-pusat kebudayaan seperti Jakarta dan kota-kota besar lainnya, sangat rawan kehilangan akar budaya dan identitas kedaerahannya. Jangan sampai publik akhirnya menjadi korban dari itu semua. (80)
—Dwicipta, seniman dan pengamat pariwisata
Sumber: http://www.suaramerdeka.com