Oleh Ismail Hasani
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan atau UU Perkawinan saat ini sedang diujimaterikan di Mahkamah Konstitusi. Pemohon pengujian, M Insa, adalah warga negara yang menganggap hak konstitusionalnya terlanggar akibat pengaturan pembatasan praktik poligami yang ada dalam Pasal 3 Ayat (1, 2), Pasal 4 Ayat (1, 2) Pasal 5 Ayat (1), Pasal 9, Pasal 15, dan Pasal 24 UU tersebut.
Mengacu pada hak dasar untuk menjalankan ajaran agama yang diyakininya, yang dijamin konstitusi, pemohon yang beragama Islam ini menganggap pembatasan poligami merupakan manifestasi pembatasan negara kepada warga untuk menjalankan ibadah menurut ajaran Islam.
Agenda sidang keempat pada 23 Agustus 2007 adalah mendengarkan saksi ahli. Pemandangan di ruang sidang, sekalipun terdapat komentar ahli pemohon yang kurang produktif, sesungguhnya menggambarkan kontestasi konfigurasi pendapat publik, baik yang mendukung maupun menentang poligami.
Dari pihak pemohon, misalnya, terdapat Dr Sudirman Abbas dan Dr Eggi Sujana sebagai saksi ahli. Mereka dianggap pakar Islam dan HAM yang menganggap pembatasan poligami merupakan pembatasan terhadap hak menjalankan ibadah dan karena itu tidak konstitusional. Dari pihak pemerintah hadir ahli tafsir Prof Quraish Shihab dan Prof Chuzaimah.
Sejalan dengan pendapat pemerintah dan DPR yang mengatakan pembatasan poligami adalah konstitusional, terdapat sejumlah pihak terkait (pihak yang berkepentingan atau yang menganggap keberadaan UU itu sejalan dengan visi dan misi organisasinya) yang juga menyatakan pembatasan poligami adalah konstitusional. Sebagian besar adalah organisasi perempuan dan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Secara umum, pemerintah dan DPR berpendapat, pertama, hak seseorang bukan tanpa batas, pembatasan hak seseorang dapat dibenarkan sepanjang bukan non-derogable rights dan dilakukan berdasarkan undang-undang.
Kedua, tafsir atas teks keagamaan yang dijadikan landasan kebolehan seseorang beristri lebih dari satu sebenarnya juga kontroversial karena di dalam praktik poligami justru lebih banyak melahirkan mudarat dibandingkan dengan manfaatnya. Ketiga, karena kontroversi itulah, sekalipun UU Perkawinan menganut asas monogami, juga memuat klausul yang memungkinkan seseorang berpoligami dengan syarat tertentu, yang salah satunya adalah harus ada izin dari pengadilan agama.
Pihak terkait yang turut bersidang, di samping menguraikan argumen normatif hukum dan teks keagamaan, juga berpendapat fakta di lapangan menunjukkan praktik poligami justru menjadi pembenaran terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Institusi sosial
Dari segenap argumen, perlu diingatkan perkawinan bukan semata-mata urusan ibadah. Dimensi ibadah akan muncul dalam perkawinan jika ia menjadi instrumen menuju kebaikan bagi kedua belah pihak. Perkawinan akan berubah menjadi maksiat jika tidak mampu menampilkan pesan keadilan dan kesetaraan yang bermartabat di dalam rumah tangga karena keadilan dan kesetaraan adalah prinsip dasar Islam yang menjadi konsiderans syariat yang mengatur pranata keislaman.
Maksud dan tujuan lahirnya UU Perkawinan sebagaimana tergambar dari konsiderans UU tersebut adalah menjamin kedudukan perempuan sebagai warga negara di muka hukum dan pemerintahan. Karena itu, di samping Pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan menjalankan ibadah, konsiderans juga mencantumkan Pasal 27 UUD 1945 tentang kesetaraan di muka hukum.
Pasal 1 UU Perkawinan menyebutkan, perkawinan adalah "hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Tujuan membangun keluarga adalah tujuan sosial. Perkawinan merupakan institusi sosial karena di dalamnya terbangun pula hubungan sosial antarindividu yang masing-masing memiliki hak sama yang dijamin konstitusi.
Pasal 28 I Ayat (2) Amandemen UUD 1945 juga tegas menyebut hak setiap orang untuk tidak didiskriminasi. UU No 7/1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan juga memandatkan dan mewajibkan negara menyusun regulasi dan intervensi untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan.
Pemantauan Komnas Perempuan terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan menunjukkan, angka kekerasan dalam rumah tangga meningkat dari tahun ke tahun.
Data dalam tabel menjadi bukti perkawinan bukan semata soal ibadah, tetapi juga institusi sosial yang di dalamnya
terdapat relasi sosial yang memungkinkan terjadinya diskriminasi dan kekerasan.
Penghapusan kekerasan
Mengacu pada pemahaman bahwa perkawinan merupakan institusi sosial, negara juga melahirkan UU No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Demikian juga kehadiran beberapa perundang-undangan lain, seperti UU No 3/2006 tentang Peradilan Agama yang secara prosedural dan yudisial telah memberikan jaminan penegakan UU Perkawinan.
Membaca UUD 1945 secara utuh, sesungguhnya terdapat hak lain yang dijamin konstitusi yang wajib dipenuhi negara. UU Perkawinan merupakan perwujudan dari peran dan tanggung jawab negara dalam menata institusi sosial sedemikian rupa sehingga dapat melindungi setiap hak yang melekat pada individu-individu, termasuk keanggotaannya dalam keluarga sebagai entitas institusi sosial. Karena itu, pembatasan poligami bukan semata konstitusional, tetapi juga turut mengawal cita-cita perkawinan yang membahagiakan setiap warga negara.
Kontestasi di ruang sidang tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi sebenarnya. Kehadiran Puspo Wardoyo sebagai orang yang "sukses" berpoligami berbalik fakta dengan kisah perempuan korban KDRT yang sebagian besar terjadi di dalam institusi perkawinan.
Di luar ruang sidang, sesungguhnya ada aspirasi nyata kaum perempuan yang-dengan menggunakan basis hukum UU Perkawinan-melakukan gugatan cerai untuk keluar dari perkawinan yang diskriminatif, tidak membahagiakan, dan tidak berkeadilan.
Ismail Hasani Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta; Peneliti pada Komnas Perempuan dan Setara Institute
Sumber:
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0709/10/swara/3820382.htm
http://www.duniaesai.com
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan atau UU Perkawinan saat ini sedang diujimaterikan di Mahkamah Konstitusi. Pemohon pengujian, M Insa, adalah warga negara yang menganggap hak konstitusionalnya terlanggar akibat pengaturan pembatasan praktik poligami yang ada dalam Pasal 3 Ayat (1, 2), Pasal 4 Ayat (1, 2) Pasal 5 Ayat (1), Pasal 9, Pasal 15, dan Pasal 24 UU tersebut.
Mengacu pada hak dasar untuk menjalankan ajaran agama yang diyakininya, yang dijamin konstitusi, pemohon yang beragama Islam ini menganggap pembatasan poligami merupakan manifestasi pembatasan negara kepada warga untuk menjalankan ibadah menurut ajaran Islam.
Agenda sidang keempat pada 23 Agustus 2007 adalah mendengarkan saksi ahli. Pemandangan di ruang sidang, sekalipun terdapat komentar ahli pemohon yang kurang produktif, sesungguhnya menggambarkan kontestasi konfigurasi pendapat publik, baik yang mendukung maupun menentang poligami.
Dari pihak pemohon, misalnya, terdapat Dr Sudirman Abbas dan Dr Eggi Sujana sebagai saksi ahli. Mereka dianggap pakar Islam dan HAM yang menganggap pembatasan poligami merupakan pembatasan terhadap hak menjalankan ibadah dan karena itu tidak konstitusional. Dari pihak pemerintah hadir ahli tafsir Prof Quraish Shihab dan Prof Chuzaimah.
Sejalan dengan pendapat pemerintah dan DPR yang mengatakan pembatasan poligami adalah konstitusional, terdapat sejumlah pihak terkait (pihak yang berkepentingan atau yang menganggap keberadaan UU itu sejalan dengan visi dan misi organisasinya) yang juga menyatakan pembatasan poligami adalah konstitusional. Sebagian besar adalah organisasi perempuan dan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Secara umum, pemerintah dan DPR berpendapat, pertama, hak seseorang bukan tanpa batas, pembatasan hak seseorang dapat dibenarkan sepanjang bukan non-derogable rights dan dilakukan berdasarkan undang-undang.
Kedua, tafsir atas teks keagamaan yang dijadikan landasan kebolehan seseorang beristri lebih dari satu sebenarnya juga kontroversial karena di dalam praktik poligami justru lebih banyak melahirkan mudarat dibandingkan dengan manfaatnya. Ketiga, karena kontroversi itulah, sekalipun UU Perkawinan menganut asas monogami, juga memuat klausul yang memungkinkan seseorang berpoligami dengan syarat tertentu, yang salah satunya adalah harus ada izin dari pengadilan agama.
Pihak terkait yang turut bersidang, di samping menguraikan argumen normatif hukum dan teks keagamaan, juga berpendapat fakta di lapangan menunjukkan praktik poligami justru menjadi pembenaran terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Institusi sosial
Dari segenap argumen, perlu diingatkan perkawinan bukan semata-mata urusan ibadah. Dimensi ibadah akan muncul dalam perkawinan jika ia menjadi instrumen menuju kebaikan bagi kedua belah pihak. Perkawinan akan berubah menjadi maksiat jika tidak mampu menampilkan pesan keadilan dan kesetaraan yang bermartabat di dalam rumah tangga karena keadilan dan kesetaraan adalah prinsip dasar Islam yang menjadi konsiderans syariat yang mengatur pranata keislaman.
Maksud dan tujuan lahirnya UU Perkawinan sebagaimana tergambar dari konsiderans UU tersebut adalah menjamin kedudukan perempuan sebagai warga negara di muka hukum dan pemerintahan. Karena itu, di samping Pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan menjalankan ibadah, konsiderans juga mencantumkan Pasal 27 UUD 1945 tentang kesetaraan di muka hukum.
Pasal 1 UU Perkawinan menyebutkan, perkawinan adalah "hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Tujuan membangun keluarga adalah tujuan sosial. Perkawinan merupakan institusi sosial karena di dalamnya terbangun pula hubungan sosial antarindividu yang masing-masing memiliki hak sama yang dijamin konstitusi.
Pasal 28 I Ayat (2) Amandemen UUD 1945 juga tegas menyebut hak setiap orang untuk tidak didiskriminasi. UU No 7/1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan juga memandatkan dan mewajibkan negara menyusun regulasi dan intervensi untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan.
Pemantauan Komnas Perempuan terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan menunjukkan, angka kekerasan dalam rumah tangga meningkat dari tahun ke tahun.
Data dalam tabel menjadi bukti perkawinan bukan semata soal ibadah, tetapi juga institusi sosial yang di dalamnya
terdapat relasi sosial yang memungkinkan terjadinya diskriminasi dan kekerasan.
Penghapusan kekerasan
Mengacu pada pemahaman bahwa perkawinan merupakan institusi sosial, negara juga melahirkan UU No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Demikian juga kehadiran beberapa perundang-undangan lain, seperti UU No 3/2006 tentang Peradilan Agama yang secara prosedural dan yudisial telah memberikan jaminan penegakan UU Perkawinan.
Membaca UUD 1945 secara utuh, sesungguhnya terdapat hak lain yang dijamin konstitusi yang wajib dipenuhi negara. UU Perkawinan merupakan perwujudan dari peran dan tanggung jawab negara dalam menata institusi sosial sedemikian rupa sehingga dapat melindungi setiap hak yang melekat pada individu-individu, termasuk keanggotaannya dalam keluarga sebagai entitas institusi sosial. Karena itu, pembatasan poligami bukan semata konstitusional, tetapi juga turut mengawal cita-cita perkawinan yang membahagiakan setiap warga negara.
Kontestasi di ruang sidang tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi sebenarnya. Kehadiran Puspo Wardoyo sebagai orang yang "sukses" berpoligami berbalik fakta dengan kisah perempuan korban KDRT yang sebagian besar terjadi di dalam institusi perkawinan.
Di luar ruang sidang, sesungguhnya ada aspirasi nyata kaum perempuan yang-dengan menggunakan basis hukum UU Perkawinan-melakukan gugatan cerai untuk keluar dari perkawinan yang diskriminatif, tidak membahagiakan, dan tidak berkeadilan.
Ismail Hasani Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta; Peneliti pada Komnas Perempuan dan Setara Institute
Sumber:
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0709/10/swara/3820382.htm
http://www.duniaesai.com