Suku Kubu yang ada di TNBT berasal dari kelompok besar di TN. Bukit Dua Belas. Karena hutan di sekitar Bukit Duabelas telah terfragmentasi akhirnya kelompok suku ini mencari sumber daya hutan hingga ke kawasan TNBT. Selain itu kepindahan suku Kubu dari Bukit Duabelas ke wilayah ini juga akibat melanggar adat atau istilah mereka "keno campok adat" sehingga diharuskan pergi dari wilayah Bukit Duabelas. Orang Rimba/Kubu pada umumnya berada di sebelah selatan Bukit Tigapuluh. Ada juga kelompok yang bermigrasi ke wilayah bagian utara dan barat Bukit Tigapuluh di wilayah propinsi Riau.
Pandangan rimba sebagai tempat hidup mereka melekat kuat pada perilaku keseharian, seperti kebiasaan berburu, meramu makanan, mengumpulkan hasil hutan dan berladang. Kegiatan berburu merupakan pola ekonomi subsistensi yang berimplikasi pada hubungan sosial, hal ini terlihat dari kebiasaan pendistribusian daging hasil berburu yang dikelola oleh pihak perempuan di mana hasil buruan akan didistribusikan kepada seluruh anggota kelompoknya. Kegiatan meramu hasil hutan menjadi perekonomian subsistensi mereka.
Cara hidup berburu dan meramu dan di samping kegiatan berladang menunjukkan bahwa masyarakat ini sangat bergantung sekali dengan lingkungan hutan, sebagai tempat tinggal dan sumber penghidupan mereka
Selain itu Orang Rimba juga menganggap hutan merupakan tempat hidup yang paling aman, karena dengan hidup di dalam hutan mereka dapat melakukan berbagai kegiatan keseharian mereka tanpa terganggu oleh pengaruh dari luar. Upaya ini sejalan dengan usaha mereka mempertahankan pola kebiasaan yang membedakan mereka dengan kelompok masyarakat lainnya.
Rasa aman dalam hutan, menjadi faktor pendorong bagi Orang Rimba untuk tetap memilih kehidupan dalam hutan, rasa aman ini terutama dimaksudkan sebagai perumpamaan perlindungan bagi perempuan dan anak-anak mereka.
Perempuan mempunyai peran penting dalam kehidupan Orang Rimba sebagai pemilik dan pendistribusi sumber daya dalam keluarga. Peran perempuan sebagai pemilik dan pendistribusi sumber daya tersebut merupakan alasan laki-laki untuk selalu melindungi perempuan dengan memberikan rasa aman bagi perempuan terutama dari gangguan yang mungkin timbul dari kehadiran pihak luar, sehingga timbul kesan bahwa perempuan Orang Rimba tidak mempunyai peran yang dominan dalam kehidupan sosial mereka.
Interaksi dengan pihak luar yang umumnya dilakukan oleh laki-laki Orang Rimba, berkaitan dengan aktivitas ekonomi mereka. Di mana laki-laki berkewajiban mencari hasi hutan dan menjualnya ke pasar dengan perantara toke. Peran toke di sini menghubungkan Orang Rimba dengan aktivitas ekonomi pasar. Dalam aktivitas ekonomi pasar, baik toke maupun Orang Rimba berada dalam pola saling ketergantungan yang lebih menguntungkan toke.
Toke berperan sebagai pihak yang membiayai kegiatan pencarian hasil hutan. Biaya yang dikeluarkan toke selama pencarian harus dibayar dalam bentuk hasil hutan oleh Orang Rimba, namun dengan situasi hutan sekarang di mana kesediaan hasil hutan sudah berkurang maka Orang Rimba terjerat hutang kepada toke.
Orang Rimba/Kubu di Bukit Tigapuluh berbeda secara signifikan dengan Talang Mamak dan Melayu. Suku ini juga hidup dari mengumpulkan hasil hutan dan menjualnya ke luar, dan sebagian melakukan perladangan berpindah. Mereka ini mempunyai areal untuk berpindah-pindah yang cenderung mereka lindungi untuk mencari sumberdaya liar sebagai pemburu pengumpul. Ketika membuka hutan untuk perladangan berpindah, mereka cenderung melindungi daerah ini sebagai camp untuk persediaan makanan daripada membuka lahan baru.
Budaya
Ada beberapa budaya yang sangat menarik seperti:
- tradisi mencari hasil hutan : jernang, rotan, damar, dan lain-lain.
- tradisi berburu : untuk memebuhi protein orang kubu berburu bai, ngaui, kancil, rusa dan ular.
Kegiatan ini sangat menarik jika bisa dijadikan objek dalam kegiatan ekoturisme di TNBT. Namun yang paling sulit adalah menemukan posisi/tempat kelompok Orang Rimba.
Sesudungon yaitu tempat berteduh/rumah sederhana berukuran 2x2 dan beratap daun atau plastik. Sesudongan ini sangat erat kaitannya dengan kehidupan nomaden dan beberapa budaya seperti "melangun".
Melangun adalah tradisi berpindah lokasi tinggal jika ada keluarga yang meninggal. Mereka akan meratap dan meninggalkan semua harta benda tidak bergerak untuk beberapa waktu, bisa 2 hingga lima tahun.
Orang Rimba juga memiliki konsep dan pembedaan diri dengan orang di luar mereka. Mereka menyebut dirinya sebagai Orang Rimba yang memiliki makna orang di dalam hutan dan tidak mau bercampur dengan orang Melayu atau di luar orang Rimba. Hal ini karena adanya anggapan bahwa orang Melayu/orang di luar Rimba akan membawa penyakit bagi mereka. Sehingga Orang Rimba sampai saat ini tidak mau hidup bercampur dengan orang di luar rimba. Namun interaksi dengan orang Melayu telah berlangsung lama terutama untuk menukarkan hasil-hasil dari hutan dengan kebutuhan dari luar mereka seperti gula, tembakau dan beras. Orang Rimba juga memantangkan makanan yang berasal dari luar karena makanan dari luar dianggap mendatangkan penyakit, hal ini juga sesuai dengan sistem kesehatan yang berlaku bagi Orang Rimba.
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap kebudayaan akan berdinamika, saat ini ada beberapa kelompok Orang Rimba di TNBT yang sudah menetap layaknya orang Melayu dan Talang Mamak yaitu kelompok Becukai, mengadaptasikan sebahagian adat dengan suku Talang Mamak yang lebih dahulu hidup di Dusun Semerantihan.
Sumber : http://www.bukit30.org