VIVAnews – Wisatawan seks anak tak hanya dilakukan turis asing, lokal setempat juga menjadi pelaku. Pariwisata bukanlah penyebab dari eksploitasi seks komersial anak (ESKA), tetapi para pelakunyalah memanfaatkan fasilitas yang ditawarkan jasa agen perjalanan, hotel, restoran, maupun jasa sektor pariwisata lainnya sebagai sarana kejahatan mereka.
Hal ini sesuai dengan penelitian di sejumlah wilayah yang berpotensi terjadinya hal tersebut seperti Jakarta, Bali, Lombok, dan Batam. Dalam United Nation World Tourism Organization (UN-WTO), pariwisata yang digunakan untuk eksploitasis anak itu dilarang keras.
Diungkapkan Direktur Sumber Daya dan Pengembangan Pariwisata Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar), I Gusti Putu Laksaguna di sela-sela Southest Asia Conference on Child Sex di Sanur.
Untuk mencegah hal ini semakin meluas, pihaknya akan terus meningkatkan pelatihan terhadap pekerja wisata untuk mendukung larangan terhadap Pariwisata Seks Anak (PSA).
Misalnya saja, digugah untuk memiliki kepekaan. Kalau ada wisatawan asing masuk ke hotel dengan menggandeng anak lokal, si pekerja hotel ada rasa curiga dan menyelidiki kaitan hubungan antar keduanya.
"Teknik pendekatan seperti ini akan kita ajarkan supaya tak merugikan dunia pariwisata,” tuturnya.
Dia membantah kalau PSA yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris berarti Child Sex Tourism (CST) ini diartikan sebagai produk pariwisata seperti eco tourism. “Kami akan meminta pada UN-WTO agar memilih kata yang pas dan jangan sampai salah persepsi,” ujarnya.
Sebelumnya Sedikitnya ada 60 ribu anak yang menjadi korban pelaku kejahatan pedofil ini.
Dari pengamatan Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Terhadap Anak, bahwa untuk di Bali masih menjadi sasaran empuk wisata seks kaum pedofil. Hal ini terungkap karena masih adanya pedofil yang tertangkap di Bali.