Sekitar Penentuan Hari Jadi Unit Adminitratif:

Oleh: Prof.Dr. Taufik Abdullah

Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Pusat

Sekedar Sumbangan dan Pikiran


Lebih dulu saya mengucapkan terima kasih atas undangan kepada saya, sebagai Ketua MSI, untuk menghadiri seminar yang penting ini. Saya anggap undangan ini adalah sebuah kehormatan bagi MSI sebagai sebuah organisasi sejarawan. Sebagai tanda kesungguhan saya untuk ikut serta dalam penentuan hari jadi Kabupaten Majalengka ini izinkanlah saya mengajukan beberapa hal sebagai bahan pertimbangan.


Tetapi lebih dulu saya harus mengakui bahwa secara akademis dan kultural saya tidak mempunyai kompetensi apapun dalam usaha penentuan "hari jadi" kabupaten ini. . Secara akademis tidak banyak yang saya ketahui tentang sejarah Majalengka, bahkan tentang sejarah Jawa Barat sebagai keseluruhan pun. Jika saja saya dianggap mempunyai pengetahuan, maka pengetahuan itu lebih bersifat umum saja, tanpa kedalaman yang akrab tentang daerah ini. Kedua, hari jadi dari sebuah daerah atau lokasi, tidaklah semata-mata tergantung pada tanggal dan tahun yang pasti--" pada tanggal inilah tempat ini mulai dihuni" dan sebagainya-- tetapi juga pada nilai simbolik dari hari jadi itu. Apalah gunanya peringatan hari jadi suatu lokasi kalau kejadiannya membayangkan sesuatu yang memalukan. Bukankah hari jadi sesuatu yang dirayakan? Dan sesuatu yang dirayakan itu semestinyalah memancarkan nilai-nilai luhur dan abadi. Jadi peristiwa apakah yang secara simbolik memancarkan nilai-nilai luhur itu? Makna simbolik itu hanya bisa ditentukan oleh mereka yang akrab secara kultural dengan daerah ini. Dalam hal inipun kompetensi saya jauh daripada memadai.


Meskipun demikian ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan sebagai bahan perbandingan. Semoga bahan perbandingan ini ada manfaatnya dalam proses penentuan atau mungkin juga, revisi dari hari jadi Kabupaten Majalengka...


Sebagai ancang-ancang baiklah saya berbicara lebih dulu tentang kota karena masalahnya relatif lebih mudah daripada kabupaten. Meskipun telah bermula sejak tahun 1950-an, tetapi kecenderungan kota-kota untuk mencari hari jadi mereka barulah menjadi gejala umum pada masa pemerintahan Orde Baru. Jika telah ditetapkan oleh DPRD dan Walikota maka hari jadi itupun dirayakan dengan berbagai cara. Melihat gejala ini saya jadi tertarik juga untuk mengetahui bagaimana kota-kota tersebut mendapatkan hari jadi mereka itu. Bukankah umumnya kota hanya tumbuh saja tanpa kita ketahui bagaimana mulanya? Kalau begitu halnya hari jadi biasanya dikaitkan dengan nilai sejarah dan makna simbolik—sesuatu yang berdasarkan subjektivisme kolektif, tetapi dengan gaya kota-kota itu mendapatkan hari jadi mereka pun berbeda-beda. Yang paling sederhana ialah kalau hari jadi itu terkait dengan pendirian kraton, benteng, atau apa saja, yang memang bisa dianggap sebagai awal dari peranan sebuah settlement menjadi "kota" dalam pengertian sosiologis, yaitu sebagai pusat jaringan dari berbagai aktivitas sosial bagi wilayah sekitarnya.. Hal ini mungkin saja terjadi karena yang dianggap sebagai hari jadi itu masih berada dalam ingatan kolektif masyarakat setempat ataupum terekam dalam cacatan. Jika mengikuti istilah yang diperkenalkan Bernard Lewis kasus ini bisa disebut sebagai remembered history. Makna simbolik dari tanggal ini terletak pada fakta pemahaman tentang dinamika kota itu berdiri, sebab yang dipentingkan adalah sifat historicity atau kesejarahannya. Hari jadi Yogyakarta dengan mudah bisa dikaitkan saja dengan didirikannya kraton oleh Mangkubumi setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755 ditandatangi, Dengan hari jadi bukan saja kelahiran sebuah kesultanan /kraton dirayakan kepahlawanan Mangkubumi melawan intervensi VOC bisa juga diperingati.


Kasus kedua malah sangat bertentangan dengan yang pertama itu. Makna simboliknyalah yang lebih dulu dipentingkan, tetapi sialnya peristiwa yang sesuai bisa saja tidak ada, maka dengan begini hari jadi pun didapatkan saja berdasarkan penggabungan tahun terjadinya peristiwa tertentu ( seperti benteng didirikan) sedangkan tanggal dan bulan berdasarkan hari lahir pemimpin yang dikagumi. Jadi tanggal hanyalah alat untuk merayakan suatu simbol yang bermakna. Kasus ini boleh disebut sebagai invented atau prefabricated history. Kepastian sejarah hanyalah sekadar penentuan waktu saja sebab yang penting adalah nilai yang ingin dilekatkan pada hari jadi itu.


Kasus. ketiga paling sering terjadi dengan kota-kota di Jawa dan sebagian Sumatra (khususnya Palembang) yang mempunyai peninggalan prasasti yang mempunyai angka tahun. Hari jadi kota diambil saja berdasarkan penanggalan dari prasasti yang ditemukan itu. Maka kitapun bertemu dengan kota-kotayang meng-klaim diri telah berumur ratusan tahun. Jika kaitan antara kota dan prasasti itu bisa dipertanggungjawabkan – meskipun sering agak meragukan juga--hal ini bisa disebut sebagai recovered history.


Yang paling menarik ialah kasus keempat. Sebuah peristiwa yang membanggakan yang terjadi di daerah atau sekitar daerah perkotaan diambil sebagai hari jadi kota. Saya kira yang paling berhasil dalam hal ini ialah Jakarta. Kemenangan Fatahillah melawan Portugis dan menukar nama Kalapa menjadi Jayakarta-- kota kemenangan-- dijadikan sebagai hari jadi kota. Bahwa tanggal pasti penggantian nama Kalapa menjadi Jayakarta itu masih bisa diperdebatkan— almarhum Prof.Dr HuseinDjajadiningrat umpamanya menyangsikan ketetapan tanggal yang diusulkan Prof. Dr.Sukanto, yang telah terlanjur disetujui DPRD Jakarta—tidak menjadi halangan karena peristiwanya cocok dengan hasrat simbolik Jakarta sebagai kota kemenangan. Beberapa kota di Sumatra, setahu saya, memakai pendekatan ini. Sebuah peristiwa yang membanggakan dipakai sebagai hari jadi kota. Kalau saya diizinkan memberi nama maka kasus ini saya ingin menyebutnya sebagai sejarah berdasarkan persetujuan.


Contoh-contoh di atas memberi kesan akan adanya kebebasan dalam menentukan hari jadi. Semua bisa diatur asal saja kita sama-sama setuju, tetapi harus disadari bahwa kota memang mempunyai kebebasan relatif untuk menentukan harijadinya. Walaupun kehadiran kota sebagai kesatuan administratif ditentukan oleh keputusan politik, tetapi kota lebih daripada sekadar kesatuan administratif. Di samping sebuah wilayah tempat tinggal dengan segala infrastrukturnya, kota adalah pula pusat dari berbagai jaringan/networks-- mulai pemerintahan, pasar, pendidikan, dan sebagainya-- bagi wilayah sekitarnya. Jadi tanpa keputusan politik untuk menentukan statusnya sebagai kota atau kotapraja/ gemeente, kota itu telah “kota” juga.dari sudut perannya.


Kebebasan relatif yang dipunyai kota/kotapraja untuk menentukan hari jadi ini tidak dipunyai oleh propinsi. Sebab besar atau kecil, otonom atau tidak, propinsi tak lebih daripada kesatuan wilayah administratif yang kehadiran dan batas-batasnya ditentukan oleh keputusan politik pemerintah pusat. Kota bisa tumbuh dengan sendirinya, dengan atau tanpa hak administratif kekotaan yang diberikan oleh pusat pemerintahan, Sedangkan eksistensi propinsi sepenuhnya ditentukan oleh keputusan politik dan administrasi pemerintahan modern. Jadi boleh dikatakan secara teoretis penentuan hari jadi propinsi mempunyai kebebasan yang terbatas. Kebebasan hanya mungkin dalam memilih tanggal yang ditentukan oleh rejim yang mana—kolonial atau pemerintah nasional.


Propinsi tidak bisa mempunyai claim sejarah apa –apa dari masa sebelum kekuasaan kolonial. Propinsi adalah pembagian wilayah yang modern, bermula ketika kekuasaan kolonial telah bercokol dan sistem birokrasi modern telah diperkenalkan. Propinsi murni merupakan kesatuan administratif yang ditentukan oleh kebijaksanaan pusat pemerintahan. Bahwa dalam menentukan batas-batas itu pemerintah pusat memperhitungkan faktor-faktor sejarah, kebudayaan, dan sebagainya adalah suatu kebijaksanaan belaka. Propinsi bagaimanapun juga adalah sebuah unit administratif yang kehadirannya dan batas-batasnya ditentukan oleh sistem kekuasaan negara..


Jika demikian halnya sudah bisa dipastikan bahwa umur propinsi masih sangat muda, Umurnya tak mungkin, bahkan sangat tak masuk akal, sampai ratusan tahun. Juga sangat tak mungkin kalau tanggal dan tahun berdirinya sebuah dinasti atau kerajaan dipakai sebagai hari jadi. Mana mungkin hari jadi dari sebuah kesatuan politik kekuasaan tradisional, dengan klaim tradisional pula dipakai sebagai hari jadi dari daerah yang merupakan bagian dari negara-bangsa yang modern. Jika saja hal ini terjadi maka kita bukan saja berhadapan dengan anakronisme dalam sistem pemikiran tetapi juga memperkenalkan klaim tradisional yang primordial dalam konteks negara modern yang nasional. Akibat selanjutnya bisa diperkirakan, yaitu disintegrasi pemikiran dalam konteks integrasi nasional tak terelakkan.


Akan tetapi, bagaimana kalau dihilangkan kata "propinsi"? Kalau demikian halnya kita tak lagi berhadapan dengan sejarah yang menyangkut manusia, tetapi sejarah geologis. Maka tanggalnya tidak akan pernah diketahui, meskipun umurnya telah bisa diperkirakan sekian ribu tahun yang lalu. Sayangnya pula umur itu bersifat proses yang panjang. Bukankah garis pantai sampai sekarang masih berubah?


Kalau argumen ini dilanjutkan maka hari jadi propinsi hanya mungkin berdasarkan pada tanggal penetapan daerah tertentu itu sebagai propinsi oleh pemerintah pusat atau, kalau sekadar kebebasan ingin dipakai, tanggal ketika gubernur pertama dilantik oleh pemerintah pusat. Memang selalu ada discrepancy waktu antara keputusan pemerintah pusat dengan realitas di lapangan. ( Sekarang malah kita bisa melihat adanya perbedaan waktu antara keputusan DPR, penandangan undang-undang oleh Presiden, dan pelantikan gubernur pertama dari propinsi baru).


Jika masalah umum ini dikenakan pada Jawa Barat,umpamanya, hanya ada empat pilihan yang bisa dipertanggungjawabkan. Pertama, tanggal ketika pemerintah kolonial meresmikan terbentuknya Provincie van West Java. Kedua, penunjukan penguasa yang baru di zaman pemerintahan Jepang. Ketiga, tanggal ketika Republik Indonesia, yang baru diproklamasikan, mulai menata pemerintahan dan menentukan Jawa Barat sebagai sebuah provinsi. Jika pendekatan ini dipakai saya kira Jawa Barat adalah satu provinsi tertua. Keempat, tanggal ketika Negara Pasundan bubar atau membubarkan diri dan Propinsi Jawa Barat, yang memang secara teoretis tak pernah dianggap terhapus, diaktifkan kembali, di masa RIS dan dilanjutkan di masa NKRI ( Agustus, 1950). Yang pasti ialah hanya Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang masih tertinggal dari delapan propinsi yang dibentuk ketika Republik Indonesia baru diproklamirkan. Sedangkan provinsi yang lain telah mengalami pemekaran yang hebat. Sumatra yang dulu ( 1945) hanya merupakan satu propinsi, sekarang telah menjadi 10 provinsi dengan disyahkannya Kepulauan Riau sebagai propinsi baru.. Demikian juga halnya dengan Sulawesi , Kalimantam , Sunda Kecil ( yang sekarang telah pecah menjadi 3 provinsi) dan lain-lain. Semua mengalami pemekaran. Banten yang dulu bagian Jawa Barat telah memisahkan diri, tetapi bukankah Jawa Barat tetap ada ? Tetapi memang harus diingat juga “ketuaan” tidak bisa dianggap sebagai satu-satunya landasan dari “keunggulan”. Apalah arti tua kalau tempatnya tak lebih daripada prefabricated history?


.Jika dibanding-banding bahkan kabupaten pun bisa mempunyai kebebasan simbolik yang lebih besar dari propinsi dalam penentuan hari jadi ini. Tentu kemungkinan pertama, hari jadi bisa saja diambil berdasarkan keputusan pemerintah pusat. Tetapi kemungkinan kedua lebih beragam dan tentu saja masalahnya lebih pelik. Di Jawa banyak kabupaten yang telah ada sejak kekuasaan pusat berada di tangan penguasa yang berada di kraton. Dalam konteks sistem politik tradisional Jawa yang bersifat multi-kraton, kabupaten bukan saja bawahan dari kraton-pusat, tetapi secara potensial adalah juga pesaingnya. Bukankah sejarah masa pra-kolonial Jawa—khususnya Jawa Tengah dan Timur—bisa juga dilihat sebagai kisah perpindahan pusat-pusat kekuasaan? Tetapi dengan berpindah kontinuitas legitimasi di jaga juga. Lihat saja kisah Kadiri- Singahasari-Majapahit- Demak- Pajang-dan akhirnya Mataram, yang kemudian pecah dua, sampai akhirnya pecahan Surakarta mempunyai pecahan baru Mangkunegaran dan pecahan Yogyakarta mempunyai pecahan Pakulaman. Maka bisa saja dibayangkan bekas kadipaten/kabupaten, yang merupakan bawahan/taklukan kraton, tetapi sekaligus calon pengganti kraton-pusat, yang kini telah merupakan kabupaten dari sebuah provinsi, bisa mempunyai klaim kelahiran pada awal didirikan kraton-kecil kabupaten itu. Atau lebih mungkin ketika wilayah itu diberi raja/ sultan kepada bangsawan yang dipercayainya sebagai tanah lungguh. Jika Bupati dan DPRD mau tanggal kejadian ini bisa dipakai. Hal ini tentu dimungkinkan juga oleh fakta bahwa Bupati-bupati pada masa awal pemerintahan kolonial biasanya adalah keturunan bupati dari masa kerajaan tradisional.


Di Sulawesi Selatan (sebelum terjadi berbagai pemekaran) sebagian besar kabupaten mempunyai batas yang sama dengan wilayah kerajaan tradisional, yang dibiarkan terus hidup pada masa kolonial, yang memang tidak terlalu dialami. Sebagai catatan boleh dikatakan juga bahwa pedalaman Sulawesi Selatan barulah pada awal abad 20 masuk Hindia Belanda. Beberapa kabupaten Sumatra Timur dan Riau daratan, kerajaan-kerajaan lama juga adalah unit kabupaten dalam konstelasi negara kolonial dan kemudian nasional.


Kemungkinan ketiga ialah kalau pemerintah/ DPRD kabupaten memilih tanggal atau perkiraan tanggal terjadinya peristiwa yang membanggakan yang dianggap sebagai simbol yang sesuai bagi eksistensi kabupaten. Biasanya yang terjadi ialah kabupaten tidak akan mengambil, umpamanya, kisah kepahlawanan waktu revolusi, meskipun membanggakan, juga pasti bukan tanggal kelahiran seorang pahlawan dan sebagainya, jika kejadian itu masih berada dalam ingatan kolektif. Para tokoh Kabupaten biasanya cenderung untuk memilih bukan peristiwa atau kejadian yang teringat dan tercatat tetapi yang masih hidup dalam tradisi lisan—ingatan yang turun temurun tentang sesuatu yang terjadi “kira-kira abad sekian”. Semakin tua kejadian itu diperkirakan terjadinya maka semakin mungkin akan dipilih—seakan-akan ketuaan adalah ukuran dari kebesaran. Tentu saja hal ini boleh-boleh saja, tetapi masalahnya kepastian sejarahnya akan selalu diperdebatkan. Benarkah hal itu betul-betul terjadi dan kalau begitu kapan terjadinya. Jika kredibilitas kejadian dan tanggal dimasalahkan nilai hari jadi itu hanya akan dianggap sebagai keperluan seremoni saja.


Setiap ikatan sosial--apakah yang diikat oleh ideologi, kepentingan, keluarga atau apa saja dan tentu saja daerah—tentu memerlukan mitos, yang telah menggabungkan sejarah dengan praduga dan hasrat kultural. Masalah baru muncul kalau mitos itu disyahkan sebagai “sejarah”, yang secara teoretis harus bisa dipertanggungjawabkan kehadirannya. Kalau telah begini keabsyahan “sejarah” itu akan selalu diuji. Jika saja dianggap gagal dalam ujian , nilainya sebagai sejarah, bahkan sebagai mitos pun jadi merosot. Dan masyarakat pun akan kehilangan sebuah mitos yang selama ini telah berfungsi sebagai alat pengikat dan alat pengingat akan nilai-nilai luhur yang dipancarkannya.


Selanjutnya terserahlah kepada para sejarawan lokal dan para pemuka masyarakat setempat untuk menentukan hari jadi kabupaten mereka.


Sumber :

Makalah disampaikan dalam ”Seminar Sejarah Kaji Ulang Hari Jadi Majalengka” di Majalengka tanggal 30 Agustus 2005, yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung