reporter Gatra, Indriyah Tri. Untuk itu, ia mendesak pemerintah agar segera mengambil langkah untuk melindungi anak-anak dari berbagai praktek pelacuran.
Ketua Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, Lili I. Rilantono, menegaskan bahwa upaya itu harus dilakukan secara lintas sektoral. Sebab, pelacuran anak di Indonesia terkait dengan sikap mental masyarakat yang cenderung menganggap sah-sah saja. Ia mengimbau, antara lain, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Departemen Tenaga Kerja, dan kepolisian untuk bersama-sama merumuskan solusinya. ''Selama ini, yang bergerak cuma lembaga swadaya masyarakat,'' kata Lili kepada Rita Triana Budiarti dari Gatra.
Rita Serena Kalibonso, Direktur Yayasan Mitra Perempuan, punya pendapat lain. Menurut dia, Indonesia belum punya perangkat hukum yang tegas dalam memerangi pelacuran anak. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan, anak-anak dalam konteks seksual adalah mereka yang berumur 15 tahun ke bawah. Padahal, kata Rita, dalam Konvensi Hak Anak PBB tahun 1989 --yang sudah diratifikasi pemerintah-- anak-anak yang harus dilindungi itu adalah mereka yang berumur 18 tahun ke bawah.
Dalam KUHP juga disebutkan, ancaman hukuman bagi pencabul anak-anak maksimal penjara lima tahun. Namun, prakteknya, tersangka sulit dijerat. Mengapa? ''Kesaksian korban sering tidak dianggap,'' kata Rita. ''Sebab, menurut hukum acara, anak-anak harus memberikan kesaksian dengan didampingi orangtua,'' mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta itu menambahkan.
Beragam kritik mengenai perlindungan anak itu agaknya direspons positif oleh DPR. Wakil Ketua Komisi VII DPR, Surya Chandra, berjanji akan menindaklanjuti temuan ILO. ''Tahun ini juga kami akan membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak,'' katanya kepada wartawan Gatra Rohmat Haryadi.
Syukurlah. Semoga niat baik itu tak terkubur oleh ingar-bingarnya perseteruan politik. Berilah anak-anak itu kehidupan yang layak, pendidikan, kesempatan bermain, dan bukan malah menjebloskannya ke dunia hitam yang hina.
Ketua Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, Lili I. Rilantono, menegaskan bahwa upaya itu harus dilakukan secara lintas sektoral. Sebab, pelacuran anak di Indonesia terkait dengan sikap mental masyarakat yang cenderung menganggap sah-sah saja. Ia mengimbau, antara lain, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Departemen Tenaga Kerja, dan kepolisian untuk bersama-sama merumuskan solusinya. ''Selama ini, yang bergerak cuma lembaga swadaya masyarakat,'' kata Lili kepada Rita Triana Budiarti dari Gatra.
Rita Serena Kalibonso, Direktur Yayasan Mitra Perempuan, punya pendapat lain. Menurut dia, Indonesia belum punya perangkat hukum yang tegas dalam memerangi pelacuran anak. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan, anak-anak dalam konteks seksual adalah mereka yang berumur 15 tahun ke bawah. Padahal, kata Rita, dalam Konvensi Hak Anak PBB tahun 1989 --yang sudah diratifikasi pemerintah-- anak-anak yang harus dilindungi itu adalah mereka yang berumur 18 tahun ke bawah.
Dalam KUHP juga disebutkan, ancaman hukuman bagi pencabul anak-anak maksimal penjara lima tahun. Namun, prakteknya, tersangka sulit dijerat. Mengapa? ''Kesaksian korban sering tidak dianggap,'' kata Rita. ''Sebab, menurut hukum acara, anak-anak harus memberikan kesaksian dengan didampingi orangtua,'' mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta itu menambahkan.
Beragam kritik mengenai perlindungan anak itu agaknya direspons positif oleh DPR. Wakil Ketua Komisi VII DPR, Surya Chandra, berjanji akan menindaklanjuti temuan ILO. ''Tahun ini juga kami akan membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak,'' katanya kepada wartawan Gatra Rohmat Haryadi.
Syukurlah. Semoga niat baik itu tak terkubur oleh ingar-bingarnya perseteruan politik. Berilah anak-anak itu kehidupan yang layak, pendidikan, kesempatan bermain, dan bukan malah menjebloskannya ke dunia hitam yang hina.