Candi Seto – Wisata Sejarah Peninggalan Raja Brawijaya

Candi bukanlah suatu hal yang langka bagi bangsa Indonesia, apalagi di Pulau Jawa ini. Berpuluh candi terdapat di sini. Sebut saja yang besar-besar seperti, Candi Borobudur, Prambanan, Mendut dan Pawon.

Setiap wisatawan, baik manca maupun lokal tentu hafal dengan nama-nama candi di atas. Tapi, adakah mereka juga tahu bahwa selain candi-candi besar tersebut, banyak pula terdapat candi-candi yang tak semegah Candi Borobudur atau Prambanan, namun memiliki keindahan dan sejarah yang tak kalah menarik.

Salah satunya adalah Candi Seto. Candi yang terletak di Desa Seto, Kelurahan Gumeng, Kecamatan Jenawi, Karanganyar, Jawa tengah ini diperkirakan didirikan pada tahun 1400-an, pada akhir jaman Majapahit. Merupakan salah satu peninggalan dari Raja Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Lokasi candi seluas 215 X 30 meter persegi dan dikelilingi oleh hutan pinus yang rindang.

Menurut ceritanya candi ini merupakan tempat pesanggrahan Brawijaya. Sebenarnya candi ini belum terselesaikan seluruhnya, karena saat itu Brawijaya tengah dalam pelarian dikejar-kejar oleh pasukan Raden Patah dari Demak. Kala itu, dari Desa Seto Brawijaya lalu lari ke Desa Sukuh dan mendirikan pula sebuah candi di sana. Namun, sebelum pindah ke Desa Sukuh, pada puncak Candi Seto ini Brawijaya sempat mendirikan arca dirinya yang dinamakan Nala Genggong.

Untuk menuju candi ini perjalanan dimulai dari Kota Solo, Jawa Tengah. Dari kota batik ini kita menggunakan bus ke jurusan Tawangmangu dan turun di Karangpandan. Route ini memakan biaya Rp 3.000,00 per orang. Setelah itu perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan colt minibus ke jurusan Pasar Kemuning, dan dikenakan biaya Rp 1.500,00 per orang. Perjalanan menuju Pasar Kemuning ini mengingatkan kita akan jalur Bogor-Cianjur, karena menanjak dengan jalur yang berliku-liku. Sementara udaranya pun tak kalah sejuknya dengan udara di Puncak Pass.

Dari Pasar Kemuning inilah perjalanan baru menemui permasalahan. Untuk menuju lokasi candi yang masih berjarak sekitar 10 kilometer tak ada angkutan umum yang mau menuju ke sana. Ini disebabkan karena kondisi jalan yang betul-betul membutuhkan ketrampilan ekstra dari pengemudi. Karena selain tanjakan-tanjakan yang curam, di kanan-kiri jalan menganga jurang yang dalam. Ditambah lagi cuaca yang selalu berkabut sehingga kerap menghalangi pandangan. Oleh karena itu, jarang pengemudi yang berani mengambil jalur ini.

Namun demikian, para pelancong tak perlu cemas. Di Pasar Kemuning banyak berderet pengojek yang siap mengantarkan wisatawan ke lokasi candi. Tarifnya berkisar antara Rp 5.000,00 – Rp 10.000,00, tergantung kemampuan kita bernegosiasi, untuk sekali jalan. Selain itu, sebuah kendaraan diesel Isuzu milik Kepala Desa setempat juga bisa dimanfaatkan untuk mengangkut para pelancong. Sampai lokasi untuk sekali jalan dikenakan tarif sebesar Rp 20.000,00, tak peduli berapapun banyak muatannya.

Perjalanan yang penuh tantangan pun mulai terasa tatkala mobil bergerak dari Pasar Kemuning. Belum lagi berjalan jauh, mesin mobil sudah mulai mengeram. Tanjakan-tanjakan tajam sudah harus didaki, ditambah tikungan-tikungannya yang tajam. Namun demikian, rasa ngeri akan berkurang setelah melihat pemandangan yang terpampang. Kendaraan meliuk-liuk di sela-sela pepohonan teh. Tak jarang kita pun dapat melihat sebuah perkampungan dengan deretan rumah-rumah di bawah sana. Belum lagi udaranya yang betul-betul menyejukkan. Kepenatan pun akan sirna bila kita sampai di sana.

Setelah terlebih dahulu memasuki Desa Seto, kendaraan akhirnya tiba di pelataran Candi. Turun dari kendaraan kita akan segera melihat gerbang candi, yang dinamakan sebagai Gapura Bentar, artinya Gapura Belah. Melihat gapura Candi Seto mengingatkan kita akan bentuk-bentuk gapura di Pulau Bali. Tak salah memang, karena Candi Seto merupakan peninggalan Kerajaan Majpahit yang merupakan kerajaan Hindu di tanah air.

Sebelum memasuki gerbang yang berupa gapura ini, terlebih dahulu mendaki tangga yang terbuat dari batu yang tertata rapi. Memasuki gerbang, sampailah kita di pelataran pertama di mana pada sebelah kiri gerbang terdapat pos penjagaan. Di sini pengunjung diharuskan mencatatkan diri dan dikenakan biaya masuk berupa sumbangan secara sukarela. Pada papan nama candi tertera; Dilindungi UU Peninggalan Sejarah dan Purbakala berdasarkan: Monumenten Ordanantie, No. 238/1931.

Menurut Bapak Soetjipto, sang juru kunci, untuk mencapai puncak candi harus melewati 12 undakan (pelataran). Setiap menuju atau memasuki pelataran selalu melalui gerbang-gerbang kecil yang bentuknya satu sama lain sama, yakni berupa gapura belah tadi. Menurut kepercayaan semakin ke atas maka semakin tinggi tingkat kesucian dari tempat tersebut.

Pada undakan kedua akan didapati (terhampar di tanah) sebuah Arca Bulus (Kura-kura) yang merupakan simbol suci, dan bersambung dengan Lingga (alat kelamin laki-laki) yang rebah. Candi ini memang didominasi oleh arca-arca berbentuk lingga. Menurut juru kunci, perempuan yang tengah mendapat haid dilarang melintas di atas Arca Bulus tersebut. Bila itu dilanggar konon yang bersangkutan akan mendapat kesialan.

Selain arca yang berbentuk lingga, di candi ini juga terdapat 12 arca lainnya. Namun demikian, amat disayangkan candi ini telah kehilangan beberapa arcanya akibat ulah orang-orang yang tak bertanggungjawab. Padahal, candi ini merupakan salah satu bagian dari wisata sejarah. Di mana pengunjung bisa berkeliling candi sambil membayangkan masa-masa lalu bangsa ini. Bangsa yang memiliki kekayaan budaya yang tinggi.

Melihat ruang-ruang candi khayalan kita bisa menjelajah ke masa silam. Membayangkan Raja Brawijaya tengah istirah sambil mengolah rasa, atau tengah bercengkrama dengan para permaisurinya. Penat berkeliling candi kita bisa istirahat di bawah rindangnya pepohonan pinus yang mengelilingi lokasi candi. Udara sejuk akan menyergap, ditambah kabut tipis yang melayang-layang turun di pucuk candi dan terus membungkus tubuh kita. Semua terasa sejuk dan menyenangkan. Membuat pikiran kita akan segar kembali. Terbebas dari rutinitas kerja sehari-hari.

Selain sebagai tempat wisata budaya, lokasi candi ini juga dimanfaatkan untuk areal perkemahan. Saat-saat musim liburan sekolah areal hutan pinus pun akan penuh dengan tenda-tenda. Anak-anak sekolah mengisi liburannya dengan berkemah di sini. Di samping itu, Candi Seto juga sering dikunjungi oleh orang-orang yang mempunyai tujuan berziarah. Pada hari-hari tertentu, terutama pada hari-hari Raya Hindu atau tiap tanggal 1 Suro sering diadakan upacara keagamaan. Karena memang penduduk di sekitar candi ini kebanyakan menganut agama Hindu. Sedang untuk para peziarah ramai berdatangan pada hari Selasa Kliwon dan Rabu Kliwon. Mereka biasanya berkumpul di bangsal-bangsal yang terdapat pada undakan ke tujuh dan ke delapan.

Potensi yang Belum Optimal

Sebagai salah satu oyek wisata budaya, Candi Seto terlihat belum tergarap secara optimal. Perawatan candi masih terkesan sederhana. Tak heran bila di sana-sini terlihat serakan potongan-potongan batu candi yang dibiarkan teronggok begitu saja. Merupakan bagian dari reruntuhan bangunan candi yang mungkin belum diperbaiki.

Masalah transportasi pun masih menjadi kendala yang cukup serius. Sepinya pengunjung bisa jadi karena mereka kesulitan untuk mencapai lokasi candi. Keramaian obyek wisata ini hanya terjadi pada saat-saat musim liburan sekolah. Itu terjadi karena banyak siswa sekolah yang memanfaatkan areal hutan pinus untuk berkemah. Hari-hari selebihnya pengunjung bisa dihitung dengan jari.

Padahal obyek wisata ini menyimpan keindahan yang luar biasa. Memiliki pemandangan yang indah dan udara pegunungan yang menyejukkan. Belum lagi cerita-cerita sejarah yang melatari berdirinya candi ini. Semua itu bila tergarap optimal, misal, menjadi kalender wisata Pemda setempat, bukan tak mungkin cerita kebesaran masa lalu candi ini bisa menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk berbondong-bondong datang mengunjungi. (Bagus Sidi Pramudya)

Sumber : http://www.blogcatalog.com