oleh: Soffi Hapsari
Lingkungan Danau Batur
Danau Batur terletak di kaki sebelah tenggara Gunung Batur, tepatnya terletak di antara Gunung Batur dan Gunung Abang. Secara administrasi Danau Batur termasuk dalam wilayah Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Desa-desa di kawasan Danau Batur yaitu, Desa Songan A, Desa Songan B, Desa Batur, Desa Kdisan, Buahan, Desa Abang Batu Dinding, dan Desa Trunyan.
Kondisi ekologi kawasan Danau Batur telah menguntungkan masyarakat di sekitar danau untuk melakukan upaya subsistensi. Hal ini dapat dilihat pada kecenderungan untuk hidup atau memilih tempat tinggal yang berdekatan dengan sumber air danau ataupun daerah resapan air yang dianggap sebagai penghidupan. Keterkaitan antara masyarakat di sekitar danau dengan kawasan Danau Batur tampak pada beberapa mata pencaharian masyarakat seperti nelayan, dan tambak ikan. Selain itu, ada pula yang berladang dengan memanfaatkan air danau dalam pengairan.
Pemanfaatan kawasan Danau Batur telah dilakukan sejak masa prasejarah. Beberapa artefak paleolithik ditemukan di kawasan ini, seperti kapak batu (Suarbhawa, 1999: 74). Pada masa-masa selanjutnya kawasan ini akhirnya menjadi desa dengan interaksi sosial yang lebih kompleks.
Data prasasti di kawasan Danau Batur menerangkan bahwa interaksi sosial religius diwujudkan dalam upacara keagamaan. Upacara keagamaan tersebut dilakukan secara berulang (continue) pada waktu yang sama.
Konsep Interaksi Sosial Religius
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, ’interaksi sosial’ berarti hubungan antara individu dengan individu, kelompok dengan individu maupun kelompok dengan kelompok (Tim Penyusun, 2002 : 438). Religie atau religi berasal dari bahasa latin religio yang berarti agama atau ajaran agama. Religi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kepercayaan kepada Tuhan, kepercayaan akan adanya kekuatan adi kodrat di atas manusia (Tim Penyusun, 2002 : 943). Menurut Abu Ahmadi (1986 : 98-99) religi atau agama dalam pengertian “Addien” (bahasa Arab) merupakan wahyu yang bersumber dari Tuhan. Karena itu agama merupakan cara berfikir dan merasa dalam kehidupan suatu kesatuan sosial mengenai hubungan dengan Tuhan Yang Mahakuasa.
Interaksi sosial tersebut terbentuk sebagai akibat dari kontak sosial (social contact) dan komunikasi di antara umat. Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu :
1) antara individu,
2) antara individu dengan satu kelompok atau sebaliknya, dan
3) antara satu kelompok dengan kelompok-kelompok lainnya.
Interaksi sosial religius merupakan hubungan antara individu dengan suatu masyarakat maupun hubungan dengan masyarakat yang lebih luas. Hubungan tersebut dilandasi oleh suatu keyakinan yang sama. Sehingga dalam suatu aktivitas keagamaan akan menimbulkan rasa solidaritas antarumat.
Banua Sebagai Bentuk Interaksi Sosial Religius
Istilah ”banua” dalam bahasa biasanya memberikan gagasan dari sebuah wilayah yang berbatas; sebuah kawasan, desa atau daerah hunian lebih kecil (Reuter, 2005:39). Menurut Semadi Astra (1997) banwa (banua) atau wanwa (wanua) yang lazim terdapat dalam prasasti Bali Kuno berarti ‘kesatuan wilayah’ (1997 : 106). Sedangkan Reuter (2005) menjelaskan bahwa ”banua” diterjemahkan sebagai ‘kawasan ritual’ (2005 : 39).
Terbentuknya suatu interaksi sosial religius disebabkan oleh pertanggungjawaban bersama untuk mempertahankan sebuah pura wilayah yang penting dan merayakan upacara-upacaranya. Desa-desa yang bekerjasama dalam bentuk seperti itu dihubungkan melalui penyembahan dewa-dewa setempat yang berkaitan dengan mitos-mitos hubungan perkawinan serta perasaan memiliki sejarah yang sama.
Interaksi sosial religius tampak pada saat upacara keagamaan yang dihadiri oleh masyarakat penyungsung pura seperti dalam prasasti Trunyan AI, Trunyan B, Bwahan A, Bwahan B, Bwahan C, Bwahan E, Batur Pura Tulukbiyu A, dan Batur Pura Tulukbiyu B. Prasasti-prasasti tersebut menjelaskan tentang kegiatan ritual yang ditujukan kepada Ratu Pancering Jagat atau yang lebih dikenal dengan Bhatara Da Tonta di Desa Turunan. Hal ini menunjukkan adanya kontak sosial dalam masyarakat dalam satu banua di kawasan Danau Batur.
Data prasasti menerangkan tentang kegiatan ritual yang dilakukan di sekitar Danau Batur terutama untuk pemujaan kepada Bhatara Da Tonta. Sebuah laporan Mr. Krijngsman's mengatakan:
“testifies that the local people regarded the figure as Da Tonta, and still followed the prescription” (Kempers, 1991 : 167 – 168)
Pemujaan terhadap Bhatara Da Tonta dapat dilihat dalam prasasti Bwahan A pada lempeng keempat baris kesembilan yang menjelaskan tentang hubungan Desa Bwahan dengan Desa Turunan, yaitu Desa Bwahan merupakan masyarakat penyungsung dari Bhatara di Turunan. Pada saat itu, Desa Bwahan masih menjadi bagian dari Desa Kdisan.
“… āpan madaměl umah Sang hyang i turunan ikang panambahan i bwahan…” (Callenfels, 1926 : 29 ; Goris, 1954 : 85)
yang artinya
‘…sebab mereka madaměl rumah dari Sang Hyang di Turunan yang menjadi sungsungan Desa Bwahan…’.
Dalam prasasti Trunyan B pada tahun 833 S yang menerangkan hubungan Desa Air Hawang dengan Desa Turunan. Desa Er Rawang dan Desa Turunan mempunyai tugas masing-masing dalam upacara kebesaran Bhatara Da Tonta dan apabila tidak dapat melakukan tugas tersebut maka masing-masing desa akan dikenai kewajiban. Hal ini, dapat terlihat ikatan sosial antara Desa Er Rawang dengan Desa Turunan terhadap Bhatara Da Tonta, seperti yang telah diterangkan pada kalimat berikut.
IIb.
1. “…atěhěr to banua di er rawang, manguning di da bhātara da tonta di rājakāryyanda, mangalap er danu, dirusěn da bhatāra, kumamuningin ida, těhěr ya
2. macincin mamata, matingětingět mamata, mangamuningin bhātara da tonta pikangudunda datu to sahayan padang, di banua di er rawang, mangurumandyang i
3. da bhātara, kunang yan tan i tka ya, bakat ya ku 2…” (Callenfels, 1926 : 24-25 ; Goris, 1954 : 58)
Artinya secara bebas kurang lebih sebagai berikut.
IIb.
1. ‘…demikian pula (kewajiban) Desa Er Rawang kepada Bhatara Da Tonta pada saat upacara kebesaran beliau yaitu mengambil air danau, memandikan Bhatara, mengoles sesuatu yang berwarna kuning kepada beliau kemudian beliau diberikan
2. cincin permata, anting–anting permata, mengoleskan sesuatu yang berwarna kuning Bhatara Da Tonta yang dihormati sebagai datu atau pemimpin oleh semua warga Desa di Er Rawang pada saat upacara untuk I
3. da Bhatara. Bila mereka tidak datang pada saat upacara itu, mereka di denda 2 kupang…’
Terkait pada Bhatara Da Tonta sebagai tujuan pemujaan (anchestor worship) maka Bhatara Da Tonta berperan sebagai titik pusat (axis mundi) yang menghubungkan dunia manusia dengan dunia Tuhan (Eliade, 2002 : 48-49, Renfrew, 1984 :179). Sehingga Bhatara Da Tonta berperan sebagai pusat aktivitas keagamaan di kawasan Danau Batur.
Bhatara Da Tonta sebagai daerah primer merupakan tempat pusat (central place) di kawasan Danau Batur. Hal itu didukung oleh masyarakat yang percaya sebagai keturunan Bhatara Da Tonta. Selain itu, mitos yang berkembang bahwa Desa Trunyan merupakan desa induk dari desa-desa di kawasan Danau Batur. Hal ini dapat ditangkap dari beberapa data etnografi terutama dalam sejarah berdirinya desa-desa di daerah tepian Danau Batur.
Penutup
Bentuk interaksi sosial religius di kawasan Danau Batur menciptakan suatu kawasan ritual yang disebut dengan banua. Banua terdiri atas beberapa desa yang memiliki kayakinan yang sama, sehingga menimbulkan rasa saling memiliki terhadap suatu bangunan suci maupun desa penyungsung yang lainnya. Interaksi tersebut tercipta oleh kontak sosial yang terjadi secara berulang (continue) dan terus menerus.
Bhatāra Da Tonta telah dikenal sejak abad IX M dengan sebutan Sang Hyang i Turunan. Berdasarkan data prasasti arca Bhatāra Da Tonta merupakan bentuk nyata dari interaksi sosial religius di kawasan Danau Batur. Hal itu didukung oleh mitos yang berkembang pada masyarakat serta keyakinan pada pertalian darah masyarakat di kawasan Danau Batur. Karena itu dapat dikatakan bahwa banua di kawasan Danau Batur ditandai oleh Bhatāra Da Tonta sebagai pusat kegiatan ritual.
Daftar Pustaka
Tim Penyusun. 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga, Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional. Balai Pustaka. Jakarta.
Suarbhawa, I Gusti Made. 1999, ”Identifikasi Toponim dalam Prasasti Bali Kuna Abad X – XIV Dari Sekitar Gunung Batur dengan Toponim Masa Kini”, Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi VIII. Yogyakarta. Hal. 392-398.
Ahmadi, Abu 1986, Antropologi Budaya. CV. Pelangi. Surabaya.
Astra, I Gede Semadi. 1997, “Birokrasi Pemerintahan Bali Kuno Abad XII-XIII : Sebuah Kajian Epigrafi”, Disertasi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Reuter, Thomas.A. 2008, Costodians of the Sacred Mountain (Budaya dan Masyarakat di Pegunungan Bali). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Kempers. A.J Bernet, 1991, Monumental Bali. Periplus, Inc.
Goris, Roelof., 1954 , Prasasti Bali I dan II. Lembaga Bahasa dan Budaya, Universitas Indonesia, N V Masa Baru. Bandung.
Callenfels, Van Stein, 1926, Epigraphia Balica.
Eliade, Mircea., 2002, Sakral dan Profan. Fajar Pustaka Baru. Yogyakarta.
Renfrew, Colin., 1984 , “Toward a Cognitive Archaeology” dalam The Ancient Mind Element of Cognitive Archaeology. Cambridge university Press. New York.
Sumber : http://arkeologi.web.id
Lingkungan Danau Batur
Danau Batur terletak di kaki sebelah tenggara Gunung Batur, tepatnya terletak di antara Gunung Batur dan Gunung Abang. Secara administrasi Danau Batur termasuk dalam wilayah Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Desa-desa di kawasan Danau Batur yaitu, Desa Songan A, Desa Songan B, Desa Batur, Desa Kdisan, Buahan, Desa Abang Batu Dinding, dan Desa Trunyan.
Kondisi ekologi kawasan Danau Batur telah menguntungkan masyarakat di sekitar danau untuk melakukan upaya subsistensi. Hal ini dapat dilihat pada kecenderungan untuk hidup atau memilih tempat tinggal yang berdekatan dengan sumber air danau ataupun daerah resapan air yang dianggap sebagai penghidupan. Keterkaitan antara masyarakat di sekitar danau dengan kawasan Danau Batur tampak pada beberapa mata pencaharian masyarakat seperti nelayan, dan tambak ikan. Selain itu, ada pula yang berladang dengan memanfaatkan air danau dalam pengairan.
Pemanfaatan kawasan Danau Batur telah dilakukan sejak masa prasejarah. Beberapa artefak paleolithik ditemukan di kawasan ini, seperti kapak batu (Suarbhawa, 1999: 74). Pada masa-masa selanjutnya kawasan ini akhirnya menjadi desa dengan interaksi sosial yang lebih kompleks.
Data prasasti di kawasan Danau Batur menerangkan bahwa interaksi sosial religius diwujudkan dalam upacara keagamaan. Upacara keagamaan tersebut dilakukan secara berulang (continue) pada waktu yang sama.
Konsep Interaksi Sosial Religius
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, ’interaksi sosial’ berarti hubungan antara individu dengan individu, kelompok dengan individu maupun kelompok dengan kelompok (Tim Penyusun, 2002 : 438). Religie atau religi berasal dari bahasa latin religio yang berarti agama atau ajaran agama. Religi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kepercayaan kepada Tuhan, kepercayaan akan adanya kekuatan adi kodrat di atas manusia (Tim Penyusun, 2002 : 943). Menurut Abu Ahmadi (1986 : 98-99) religi atau agama dalam pengertian “Addien” (bahasa Arab) merupakan wahyu yang bersumber dari Tuhan. Karena itu agama merupakan cara berfikir dan merasa dalam kehidupan suatu kesatuan sosial mengenai hubungan dengan Tuhan Yang Mahakuasa.
Interaksi sosial tersebut terbentuk sebagai akibat dari kontak sosial (social contact) dan komunikasi di antara umat. Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu :
1) antara individu,
2) antara individu dengan satu kelompok atau sebaliknya, dan
3) antara satu kelompok dengan kelompok-kelompok lainnya.
Interaksi sosial religius merupakan hubungan antara individu dengan suatu masyarakat maupun hubungan dengan masyarakat yang lebih luas. Hubungan tersebut dilandasi oleh suatu keyakinan yang sama. Sehingga dalam suatu aktivitas keagamaan akan menimbulkan rasa solidaritas antarumat.
Banua Sebagai Bentuk Interaksi Sosial Religius
Istilah ”banua” dalam bahasa biasanya memberikan gagasan dari sebuah wilayah yang berbatas; sebuah kawasan, desa atau daerah hunian lebih kecil (Reuter, 2005:39). Menurut Semadi Astra (1997) banwa (banua) atau wanwa (wanua) yang lazim terdapat dalam prasasti Bali Kuno berarti ‘kesatuan wilayah’ (1997 : 106). Sedangkan Reuter (2005) menjelaskan bahwa ”banua” diterjemahkan sebagai ‘kawasan ritual’ (2005 : 39).
Terbentuknya suatu interaksi sosial religius disebabkan oleh pertanggungjawaban bersama untuk mempertahankan sebuah pura wilayah yang penting dan merayakan upacara-upacaranya. Desa-desa yang bekerjasama dalam bentuk seperti itu dihubungkan melalui penyembahan dewa-dewa setempat yang berkaitan dengan mitos-mitos hubungan perkawinan serta perasaan memiliki sejarah yang sama.
Interaksi sosial religius tampak pada saat upacara keagamaan yang dihadiri oleh masyarakat penyungsung pura seperti dalam prasasti Trunyan AI, Trunyan B, Bwahan A, Bwahan B, Bwahan C, Bwahan E, Batur Pura Tulukbiyu A, dan Batur Pura Tulukbiyu B. Prasasti-prasasti tersebut menjelaskan tentang kegiatan ritual yang ditujukan kepada Ratu Pancering Jagat atau yang lebih dikenal dengan Bhatara Da Tonta di Desa Turunan. Hal ini menunjukkan adanya kontak sosial dalam masyarakat dalam satu banua di kawasan Danau Batur.
Data prasasti menerangkan tentang kegiatan ritual yang dilakukan di sekitar Danau Batur terutama untuk pemujaan kepada Bhatara Da Tonta. Sebuah laporan Mr. Krijngsman's mengatakan:
“testifies that the local people regarded the figure as Da Tonta, and still followed the prescription” (Kempers, 1991 : 167 – 168)
Pemujaan terhadap Bhatara Da Tonta dapat dilihat dalam prasasti Bwahan A pada lempeng keempat baris kesembilan yang menjelaskan tentang hubungan Desa Bwahan dengan Desa Turunan, yaitu Desa Bwahan merupakan masyarakat penyungsung dari Bhatara di Turunan. Pada saat itu, Desa Bwahan masih menjadi bagian dari Desa Kdisan.
“… āpan madaměl umah Sang hyang i turunan ikang panambahan i bwahan…” (Callenfels, 1926 : 29 ; Goris, 1954 : 85)
yang artinya
‘…sebab mereka madaměl rumah dari Sang Hyang di Turunan yang menjadi sungsungan Desa Bwahan…’.
Dalam prasasti Trunyan B pada tahun 833 S yang menerangkan hubungan Desa Air Hawang dengan Desa Turunan. Desa Er Rawang dan Desa Turunan mempunyai tugas masing-masing dalam upacara kebesaran Bhatara Da Tonta dan apabila tidak dapat melakukan tugas tersebut maka masing-masing desa akan dikenai kewajiban. Hal ini, dapat terlihat ikatan sosial antara Desa Er Rawang dengan Desa Turunan terhadap Bhatara Da Tonta, seperti yang telah diterangkan pada kalimat berikut.
IIb.
1. “…atěhěr to banua di er rawang, manguning di da bhātara da tonta di rājakāryyanda, mangalap er danu, dirusěn da bhatāra, kumamuningin ida, těhěr ya
2. macincin mamata, matingětingět mamata, mangamuningin bhātara da tonta pikangudunda datu to sahayan padang, di banua di er rawang, mangurumandyang i
3. da bhātara, kunang yan tan i tka ya, bakat ya ku 2…” (Callenfels, 1926 : 24-25 ; Goris, 1954 : 58)
Artinya secara bebas kurang lebih sebagai berikut.
IIb.
1. ‘…demikian pula (kewajiban) Desa Er Rawang kepada Bhatara Da Tonta pada saat upacara kebesaran beliau yaitu mengambil air danau, memandikan Bhatara, mengoles sesuatu yang berwarna kuning kepada beliau kemudian beliau diberikan
2. cincin permata, anting–anting permata, mengoleskan sesuatu yang berwarna kuning Bhatara Da Tonta yang dihormati sebagai datu atau pemimpin oleh semua warga Desa di Er Rawang pada saat upacara untuk I
3. da Bhatara. Bila mereka tidak datang pada saat upacara itu, mereka di denda 2 kupang…’
Terkait pada Bhatara Da Tonta sebagai tujuan pemujaan (anchestor worship) maka Bhatara Da Tonta berperan sebagai titik pusat (axis mundi) yang menghubungkan dunia manusia dengan dunia Tuhan (Eliade, 2002 : 48-49, Renfrew, 1984 :179). Sehingga Bhatara Da Tonta berperan sebagai pusat aktivitas keagamaan di kawasan Danau Batur.
Bhatara Da Tonta sebagai daerah primer merupakan tempat pusat (central place) di kawasan Danau Batur. Hal itu didukung oleh masyarakat yang percaya sebagai keturunan Bhatara Da Tonta. Selain itu, mitos yang berkembang bahwa Desa Trunyan merupakan desa induk dari desa-desa di kawasan Danau Batur. Hal ini dapat ditangkap dari beberapa data etnografi terutama dalam sejarah berdirinya desa-desa di daerah tepian Danau Batur.
Penutup
Bentuk interaksi sosial religius di kawasan Danau Batur menciptakan suatu kawasan ritual yang disebut dengan banua. Banua terdiri atas beberapa desa yang memiliki kayakinan yang sama, sehingga menimbulkan rasa saling memiliki terhadap suatu bangunan suci maupun desa penyungsung yang lainnya. Interaksi tersebut tercipta oleh kontak sosial yang terjadi secara berulang (continue) dan terus menerus.
Bhatāra Da Tonta telah dikenal sejak abad IX M dengan sebutan Sang Hyang i Turunan. Berdasarkan data prasasti arca Bhatāra Da Tonta merupakan bentuk nyata dari interaksi sosial religius di kawasan Danau Batur. Hal itu didukung oleh mitos yang berkembang pada masyarakat serta keyakinan pada pertalian darah masyarakat di kawasan Danau Batur. Karena itu dapat dikatakan bahwa banua di kawasan Danau Batur ditandai oleh Bhatāra Da Tonta sebagai pusat kegiatan ritual.
Daftar Pustaka
Tim Penyusun. 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga, Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional. Balai Pustaka. Jakarta.
Suarbhawa, I Gusti Made. 1999, ”Identifikasi Toponim dalam Prasasti Bali Kuna Abad X – XIV Dari Sekitar Gunung Batur dengan Toponim Masa Kini”, Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi VIII. Yogyakarta. Hal. 392-398.
Ahmadi, Abu 1986, Antropologi Budaya. CV. Pelangi. Surabaya.
Astra, I Gede Semadi. 1997, “Birokrasi Pemerintahan Bali Kuno Abad XII-XIII : Sebuah Kajian Epigrafi”, Disertasi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Reuter, Thomas.A. 2008, Costodians of the Sacred Mountain (Budaya dan Masyarakat di Pegunungan Bali). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Kempers. A.J Bernet, 1991, Monumental Bali. Periplus, Inc.
Goris, Roelof., 1954 , Prasasti Bali I dan II. Lembaga Bahasa dan Budaya, Universitas Indonesia, N V Masa Baru. Bandung.
Callenfels, Van Stein, 1926, Epigraphia Balica.
Eliade, Mircea., 2002, Sakral dan Profan. Fajar Pustaka Baru. Yogyakarta.
Renfrew, Colin., 1984 , “Toward a Cognitive Archaeology” dalam The Ancient Mind Element of Cognitive Archaeology. Cambridge university Press. New York.
Sumber : http://arkeologi.web.id