Situ Gintung

Oleh Hermawan Aksan

KETIKA kepenatan metropolitan semakin sesak, ketika tiada lagi tempat untuk menghirup segarnya udara pagi, di sini, di Pulau Situ Gintung, kami memberikan kebebasan kepada Anda untuk menghirup segarnya udara kami, di tengah-tengah rimbunnya hutan kota yang dikelilingi oleh riak air danau. Di sini, tempat burung- burung bernyanyi riang dan harum rumput masih tercium.

Demikianlah yang bisa kita baca pada laman www.situgintung.com. Tentu saja jalinan kata-kata itu merupakan promosi yang menggoda. Situ Gintung, yang terletak di Desa Cireundeu, Ciputat, Tangerang, selama ini memang dikenal sebagai salah satu lokasi wisata, outbound, dan pesta. Setiap hari libur, Situ Gintung selalu dipadati warga Jakarta yang ingin melepaskan penat.

Lokasinya yang tidak terlalu jauh dari pusat kota membuat Situ Gintung banyak dipilih kantor-kantor untuk mengadakan gathering. Bahkan Anda bisa datang untuk sekadar berolahraga seperti renang dan tenis di tempat yang pemandangannya tidak kalah dari kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, itu.

Sayangnya, mulai kemarin, promosi nan indah menggoda itu buyar dan Situ Gintung menjadi areal bencana yang menewaskan puluhan orang. Penyebabnya, tanggul penahan danau itu jebol dan derasnya aliran air danau menyapu permukiman warga.
Menurut pengakuan warga yang selamat, sekitar pukul 04.00 mereka mendengar suara gemuruh dan seakan-akan terjadi gempa bumi. Sejumlah warga juga mengatakan bahwa peristiwa nahas tersebut mengingatkan mereka pada tragedi tsunami yang pernah melanda Aceh pada 26 Desember 2006.

Bencana, kita tahu, terdiri atas bencana alam dan bencana akibat ulah manusia. Tsunami, gempa bumi, dan gunung meletus termasuk bencana alam, yang terjadi di luar kuasa manusia. Namun banjir, tanah longsor, dan tanggul jebol adalah bencana yang terjadi karena keteledoran manusia dan sesungguhnya bisa dihindari.

Apa penyebab tanggul danau itu jebol? Karena tak kuat menahan luapan air danau setelah turun hujan terus-menerus sejak Kamis malam hingga Jumat dini hari kemarin. Mengapa tanggul itu itu tidak mampu menahan luapan air? Apakah kita akan menyalahkan hujan yang turun terus-menerus?

Kabarnya, kerusakan tanggul Situ Gintung sudah berlangsung dua tahun. Namun, laporan warga tentang kerusakan tersebut tak mendapat respons dari pemerintah daerah setempat.

Ponin (45 tahun), warga Kampung Gintung, mengatakan bahwa sudah dua tahun tanggul di utara danau longsor sedikit demi sedikit. Warga pun khawatir dan beberapa kali melaporkannya kepada pemda setempat. ''RT sudah lapor ke mana-mana. Mungkin menunggu anggaran, jadi belum ada respons,'' katanya kepada Republika.

Kerusakan yang menahun itu terjadi dekat pintu air. Biasanya, air danau dialirkan ke Sungai Pesanggrahan. Namun, sudah beberapa hari ini pintu air tak lagi bisa bekerja optimal karena muka air danau sudah sangat tinggi.

Kalau laporan warga itu benar, jelas bahwa jebolnya tanggul itu bisa dihindari jika pemerintah cepat tanggap. Dua tahun bukanlah waktu yang singkat, apalagi dengan risiko yang mengancam. Dan perbaikan tanggul tidaklah membutuhkan teknologi yang rumit dan biaya yang selangit.

Sayangnya, pemerintah lebih asyik dengan kegiatan mengejar dan mempertahankan kursi kekuasaan melalui pemilu.

Sumber: http://www.tribunjabar.co.id