Mata Pena Mata Hati Raja Ali Haji

Dobby Fachrizal
Penikmat Film, Tinggal di Batam


Seseorang melangkah dengan cepat, setengah berlari, terburu seperti mengejar (atau dikejar?) sesuatu. Dia menyeberangi jalan, melewati orang-orang, Terlihat laut, gelombang, dan sebuah dermaga. Gambar masih bergerak cepat menampilkan kaki-kaki yang melangkah, tak jelas apakah dia laki-laki atau perempuan, di antara kelebat kaki itu tiba-tiba gambar berubah pada sebuah adegan perkelahian massal, bunyi pedang yang beradu, tembakan senjata api, suara-suara yang berteriak heroik. Ratusan tahun yang lalu.

Itulah sebagian pembuka film Mata Pena Mata Hati Raja Ali Haji (MPMH) yang saat ini masih tayang di Studio XXI Batam. Sebelum menontonnya, dalam bayangan saya penonton akan benar-benar dibawa ke masa lalu di sebuah negeri Melayu yang indah dan eksotik, seperti film-film yang bersetting masa lalu umumnya. Saya juga ingin ”melihat” seperti apa sebenarnya Kepulauan Riau ini di Abad 18 itu. Tapi ternyata harapan seperti itu terlalu berlebihan.

Sejak dari adegan pembuka (masa kini) film yang digarap sutradara Gunawan Paggaru ini ingin mengambil jalur “flash back”, sebuah gaya yang umum pada sebuah film, terlebih film-film yang bertemakan sejarah dan masa lalu. Menampilkan sebuah film dalam alur mundur tidak dilarang, sah-sah saja, sudah dilakukan para sineas lainnya sejak puluhan tahun yang lalu. Tapi mengambil gaya ini bukan pekerjaan yang mudah. Harus ada benang merah yang jelas dan masuk akal antara masa kini dan masa lalu yang menjadi tema utama pada sebuah film. Terlebih lagi kalau cerita itu tidak berdasarkan fiksi alias khayalan semata.

MPMH mengambil resiko ini. Dari seorang mahasiswi yang bernarasi (di sebuah pompong ) penonton diceritakan perihal kekaguman sang mahasiswi akan keindahan dan sejarah Pulau Penyengat dan tentu dengan bumbu cerita perjuangan Kesultanan Melayu Riau-Lingga pada saat itu dalam menghadapi penjajah yang mencoba berkuasa. lalu ditariklah penonton ke masa lalu versi film ini. Penonton harus ”dikuliahi” dahulu sepak terjang Raja Haji Fisabillillah (Kakek Raja Ali Haji) dalam menghadapi serbuan pendatang asing . Adegan perang yang sungguh bersahaja menghiasi layar. Apakah memang seperti itu “Perang”?. Wallahualam.

Lalu di mana Raja Ali Haji yang termahsyur itu? Sabar. Penonton harus menunggu dulu sebelum sang tokoh utama hadir. Harus ditampilkan dulu adegan perang tadi, kemudian konflik-konflik kekuasaan Kesultanan Riau –Lingga. Sesekali gambar kembali menampilkan mahasiswi itu yang entah mengapa masih juga di atas pompong yang belum sampai juga di tempat tujuan.

Penonton ”dipaksakan” terlebih dahulu memahami latar belakang sejarah yang terjadi di Kesultanan Riau –Lingga itu. Sejarah di balik sejarah. Tokoh-tokoh utama sejarah lainnya harus ditampilkan. Lalu lalang di depan kita. Raja Haji Fisabillilah, Sultan Mahmud Syah, Sultan Abdul Rahman, Engku Raja Hamidah dan dengan segala macam centang perenang yang terjadi pada saat itu.

Dari mana datangnya rentetan sejarah ini di layar? Ah, ternyata dari khayalan sang mahasiswi itu lewat buku yang dipegangnya : “Tuhfat Al Nafis”, karya termahsyur Raja Ali Haji. Setelah puluhan menit film berjalan, baru muncullah Raja Ali Haji ( Diperankan Alex Komang) yang ternyata juga ”ber-flash back-ria“. Raja Ali Haji yang sedang mengerjakan ”proyek” menulisnya. Tak dijelaskan lewat dialog atau juga sebuah adegan yang wajar apa yang sedang ditulis sang tokoh, entah Tuhfat Al Nafis itu sendiri atau karya-karya Raja Ali Haji yang lainnya, atau mungkin hanya menulis semacam catatan harian(?).

Sungguh disayangkan, porsi Raja Ali Haji untuk adegan itu memakan durasi yang cukup lama. Hanya duduk, diam, menulis, berkhayal, kembali ke masa lalu, tanpa melakukan adegan lain. Sungguh-sungguh mubazir. Alex Komang adalah salah satu aktor watak berkualitas di Indonesia, kalau hanya untuk adegan seperti itu cukuplah memakai aktor sinetron (yang memiliki kualitas akting di bawah rata-rata) yang tentunya lebih murah meriah.

Alur cerita MPMH lalu menjadi tumpang tindih, tak tentu arah. Gambar di layar berpindah-pindah waktu dengan sesuka hati tak jelas apa maunya. Raja Ali Haji masa ”sekarang”, masa kecil, masa remaja, masa tua yang seolah berebut tempat dengan tokoh Raja Hamidah (Henidar Amroe) dan juga tentu di masa kini yang menceritakan sang Mahasiswi tadi (oh, pada saat ini dia sudah sampai di Pulau Penyengat itu lalu membuat cerita “aneh” sendiri).

Semua tokoh sejarah yang muncul dalam MHMP ingin mendapatkan porsi yang cukup besar. Raja Ali Haji muda yang gelisah, Raja Ali Haji paruh baya yang sedang produktif menulis, Raja Ali Haji tua, Raja Hamidah muda, Raja Hamidah yang “patriotic” melawan Belanda, Raja Hamidah yang sudah tua-sekarat di hari-hari terakhirnya, lalu ada Raja Haji Ahmad (Bapak Raja Ali Haji) yang terus meyemangati anaknya untuk tetap bertekad “melawan dengan kalam” semuanya— masing-masing tokoh—seperti ingin mengatakan ke penonton “film ini bercerita tentang saya”.

Judul Film ini menyebut Raja Ali Haji. Tentu, tokoh itulah yang seharusnya diceritakan lebih dalam. Dia adalah pahlawan nasional, seorang pujangga besar dan sangat berjasa terhadap “Bahasa Indonesia” yang kita gunakan saat ini. Sedangkan tokoh-tokoh lain cukuplah hanya sebagai pendukung cerita saja. Sedangkan dalam film ini, tidak.

Sungguh, jika ada seorang penonton yang belum pernah membaca /mendengar sekalipun tentang Raja Ali Haji niscaya akan tetap tak mengerti tentang kebesaran Raja Ali Haji yang ingin diceritakan lewat film ini, saat ke luar dari gedung bioskop.
Membuat sebuah film sejarah memang “susah-susah gampang”. Mengawinkan fiksi dan fakta memerlukan kemampuan yang tak sembarangan.

Salah satu film sejarah terbaik Indonesia adalah “Tjoet Nja Dhien” (Eros Djarot -1988). Dalam film itu tokoh Tjoet Nja Dhien (Christine Hakim) dan Teuku Umar (Slamet Rahardjo) begitu menonjol dan mampu digambarkan dengan sangat sempurna. Tentu didukung dengan penggarapan film yang sangat baik pula. Bagaimana dialog dan konflik dibangun tanpa harus takut melenceng dari sejarah sebenarnya.

Sebenarnya Mata Pena Mata Hati Raja Ali Haji bisa dibuat seperti itu, atau mungkin lebih baik dari itu. Dukungan sepenuhnya dari pemerintah seharusnya bisa dimanfaatkan sebaik mungkin, bukan malah membuat film yang “Asal siap dan asal bisa ditonton”. Lalu jatuh menjadi sebuah film yang membosankan, membingungkan dan menuai hujan kekecewaan di sana sini.

Sumber: http://batampos.co.id