Kemeriahan Sedekah Bumi dan Nadran

Oleh Timbuktu Harthana

Semburat awan mendung bergelayut manja di cakrawala. Alun-alun Astana Gunung Jati siang itu menjadi pusat perayaan pesta rakyat sedekah bumi dan nadran bagi warga pesisir utara Kabupaten Cirebon.

Biasanya, alun-alun yang terletak di Kompleks Pemakaman Keluarga Keraton Cirebon, Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, itu hanya dipadati peziarah yang hendak berdoa di makam Sunan Gunung Jati. Namun, Jumat (12/12) siang, ribuan warga tumpah ruah dengan tujuan berbeda. Mereka ingin menikmati kemeriahan pesta rakyat sedekah bumi dan nadran.

Pesta sedekah bumi dan nadran merupakan pestanya petani dan nelayan. Bagi petani, sedekah bumi adalah hajatan membuka sawah atau penanda dimulainya musim tanam. Nadran yang berasal kata nazar, yaitu pemenuhan janji, merupakan doa dan harapan nelayan untuk selalu dilindungi selama melaut.

Sekitar 170 replika berbentuk hewan, perahu, pedati, meriam, sampai kereta kecana Sunan Gunung Jati ikut memadati alun-alun. Replika yang tingginya rata-rata 3 meter itu membuat decak kagum warga. Sebab, tak hanya mematung, beberapa replika ada yang bisa menyemburkan asap, mengeluarkan suara, dan bergerak naik-turun seraya hendak menerkam penonton.

"Kami membuatnya ramai-ramai. Hampir sebulan replika naga ini kami buat. Idenya sih mencontoh naga yang ada di film-film televisi," ujar Fatman, warga Kalisapu, Kecamatan Gunung Jati.

Arak-arakan replika dengan karakter yang beragam, kata Nasrudin, salah seorang panitia, merupakan bagian dari ritual sedekah bumi dan nadran. Pengarakan replika tersebut sudah berlangsung sejak puluhan tahun silam, yang dimaksudkan sebagai bentuk wujud syukur warga atas rezeki yang dilimpahkan selama setahun.

Sebenarnya, pesta rakyat bagi petani dan nelayan ini telah dimulai sejak Kamis malam dan berlanjut hingga Sabtu malam ini. Pesta diawali dengan doa bersama para sesepuh Keramat Sunan Gunung Jati. Masyarakat pun boleh ikut dalam doa bersama. Keesokan harinya digelar pawai replika, yang dilanjutkan doa bersama pada Jumat malam, dan disambung hiburan rakyat, yaitu wayang kulit.

Puncak acara adalah hari Sabtu. Pagi harinya, ritual nadran dilakukan nelayan yang dipimpin sesepuh Keramat Sunang Gunung Jati untuk melarungkan sesaji ke laut. Doa pun dipanjatkan untuk meminta berkah dan keselamatan bagi nelayan. Ritual pun berlanjut dengan sedekah bumi di Alun-alun Astana Gunung Jati.

"Makanan yang disajikan pada sedekah bumi itu nanti dibagikan kepada masyarakat. Uniknya, yang memasak adalah laki-laki, yaitu para pemimpin Keramat Sunan Gunung Jati, yang disebut bekel," ujar Sarmadi, seorang kemit (juru kunci) makam Sunan Gunung Jati.

Masakan yang dibuat para bekel di antaranya sayur tewel (nangka muda), gulai, dan sate kambing. Bekel dan kemit yang berjumlah 121 orang wajib menyediakan nasi tumpeng beserta lauknya untuk disajikan dalam sedekah bumi. Semua makanan disantap bersama masyarakat sebagai wujud syukur dan harapan.

Pertunjukan budaya

Sarmadi menambahkan, ritual tradisi masyarakat pesisir dan petani di wilayah utara Cirebon ini merupakan pertunjukan budaya yang dilakukan secara sukarela. Tak ada yang dibayar atau membayar dengan tarif yang dipatok. Semuanya sukarela. Replika yang harganya sekitar Rp 1,5 juta-Rp 3 juta itu dibuat dengan modal patungan warga.

Bahkan, dalang dan pemain organ tunggal datang tak diundang, bahkan tak dibayar. Panitia hanya memberi sedikit uang lelah, yang nilainya jauh dari tarif mereka sekali manggung. "Bagi mereka, yang dilakukan adalah hatur bakti. Menyampaikan bakti mereka melalui kesenian kepada Sang Pencipta, dengan menghibur rakyat," kata Sarmadi.

Meski sempat berhenti digelar sekitar 2000-2005 karena alasan internal, pesta rakyat ini merupakan pertunjukan yang dinantikan warga. "Setiap tahun saya pasti ke sini sama anak dan istri. Saya terhibur saja melihat arak-arakan dan hiburannya," ujar seorang warga yang datang bersama rombongan.

Sumber: http://www.kompas.com