Don Juan, Et Sequenta? Seni Drama Teater Minahasa Wisata Pantai Tobayagan

Oleh Jessy Wenas

PERKEMBANGAN seni drama teater Minahasa seperti pepatah ‘’Kerakap di atas batu’’ hidup enggan, mati tak mau, drama yang terakhir berjudul Don Juan sudah berhasil sampai dipentaskan Eric Dajoh ke Jakarta atas bantuan dana Benny J Mamoto.

Setelah itu Et Sequenta (kemudian apa) agar jangan seperti perkembangan buku Minahasa zaman Balai Pustaka yang cuma melahirkan satu buku -‘’Pahlawan Minahasa’’ karya Dr MR Dajoh cerita Lengkoang Wuaya, cetakan Balai Pustaka 1964.

Memang masyarakat Minahasa suka sekali menggunakan istilah pepatah bahasa Latin sebagai bahasa ilmu pengetahuan, seperti: Veni Vidi Vice – Ora Et Labora – Mens Ana In Corpore Sano – Status Quo dan sebagainya.

Demikian juga seni drama teater Minahasa suka sekali memberi judul bahasa latin pada judul cerita drama seperti Quo Vadis, Don Quisot dan Don Juan. Tapi pengertian nama Don Juan bukan seperti gelar yang diberikan gubernur Spanyol Maluku kepada Raja Manado Tololiu (Tululio) abad 16. Tapi diambil dari tokoh cerita Eropa yang berbentuk cerita porno pertama masyarakat Eropa yang berfalsafah Dum Vivimus Vivamus nikmati kehidupan selama masih hidup. Don Juan yang berjaya bukan karena usaha sendiri tetapi magni nominis umbra bernaung pada kekayaan dan kekuasaan orang tua, dan cerita ini kurang baik dijadikan sebagai bahan adaptasi cerita. Apalagi kebenaran yang ingin digali diberi bentuk adegan in vino varitas kebenaran yang sudah dipengaruhi minuman keras alkohol captikus.

Dari mana dan mau kemana
Perkembangan seni drama teater Minahasa perlu mendalami pepatah latin unde quo vinisti bila kita tahu dari mana, kita juga tahu akan kemana. Minahasa mempunyai akar seni drama berbentuk ‘’Maengket Katuakan’’ berbentuk drama tari, berperan sebagai dewa Kumaimboto dan dua pemain wanita sebagai istri pertama Mainturin dan istri kedua Sinorotan. Kisah cintanya manis berapi-api, dari luar tampak bahagia tapi keluarga ini sebenarnya berantakan penuh penderitaan batin intrik-intrik (Tontemboansche Teksten-J. Alb . T. Schwarz. 1907. halaman 261).

Jadi Minahasa mengenal seni drama dari cerita para leluhur, yang belum kita jawab adalah pertanyaan hendak ke arah mana seni teater Minahasa tersebut. Jappy Tambajong (Remisilado) menemukan jawabannya historia fabularis mengangkat cerita mitos yang dipercaya masyarakat (Minahasa) mengandung unsur sejarah (mitos Toar-Lumimuut) tapi tidak dipentaskan di Minahasa. Tapi kesenian rakyat itu aura popularis (selalu berubah) termasuk bentuk seni drama sebagai seni pertunjukan.

Drama cerita Toar Lumimuut dapat berbentuk banyak versi terserah sutradaranya. Arah tujuan cerita sangat luas, falsafah hidup yang ingin ditonjolkan sangat banyak, cinta yang omnia amor, cedamus amori cinta mengalahkan segalanya seperti Eropah Cleopatra Minahasa Pingkan Mokogunoi. Tapi kritik sosial arahkanlah ke masyarakat dan jangan kepada pemerintah agar punya nilai sastra yang lebih berbobot dan tidak dianggap alat politik. Memang cerita rakyat Minahasa tidak banyak dibandingkan dengan cerita di Eropah, tapi seniman teater Minahasa haruslah paucis contentus bersenang hati dengan yang sedikit. Cerita drama itu punya sifat verba volant scripta manent cepat dilupakan orang bila tidak tertulis dan harus berbentuk more majorum mengikuti kebiasaan masyarakat setempat dalam hal ini Minahasa. Cerita menjadi abadi bila dalam bentuk buku Novel, dengan demikian drama Don Juan yang memakai judul drama Eropah beserta unsur adaptasinya harus dihilangkan dan diberi judul Laki-Laki Bataru klasifikasi sastra Minahasa. Karena karya seni itu ars longa vita brevis umur karya seni lebih panjang (abadi) dari usia si senimannya yang mungkin hanya mencapai umur 80 tahun lebih. Bagaimana nantinya drama Don Juan karya Eric Dajoh 2008 akan dianalisa kualitas sastranya satu abad mendatang bila berjudul ‘’Don Juan’’ judul bukan bahasa Minahasa atau bahasa Indonesia. Kita bandingkan dengan film ‘’Under the Tree’’ karya sutradara Garin Nugroho yang berpijak pada opera jawa, mengarahkan bahasa ‘’acting’’ menggambarkan realita kehidupan magis masyarakat Bali. Judulnya memang bahasa Inggris tapi nama-nama tokoh peran utama adalah nama-nama Bali. Contoh lain adalah cara penggarapan cerita cinta drama film Amerika Latin ‘’telenovela’’ yang berfalsafah Virtutis Amor bahwa cinta dapat mempengaruhi kendali kehendak manusia, hingga kehilangan percaya diri (akal sehat). Cerita intrik-intrik kisah cinta dari para manusia-manusia yang berbeda karakter dan pandangan mengenai cinta, membentuk cerita cengeng, tapi itulah kekuatan dari film tersebut, itulah gaya Amerika Serikat Latin yang tidak perlu menampilkan kekerasan seperti film Amerika Serikat (Kompas, Minggu, 17 Mei 1998). Sekarang ini istilah ‘’carlota’’ sudah masuk bahasa Melayu Manado, artinya bicara gosip kesana kemari antara para wanita, para gadis atau ibu-ibu.

Karakter orang Minahasa sudah hampir sama dengan Amerika Latin, karena pernah dipengaruhi budaya Eropah (Portugis, Spanyol, Belanda) dan Cina, berpikiran kritis, lebih licik, lebih tinggi ilmu Homo Duplex (manusia dua muka). Sehingga vultus index animi bahwa karakter manusia itu sendiri yang mengkhianati jiwanya, bahan baku yang baik untuk menulis drama manusia Minahasa, drama jadi novel, novel jadi film dan semuanya itu akan menghasilkan uang untuk si seniman. Sekarang ini seni drama teater Minahasa plus aloes quam mellis lebih banyak pahit dari manisnya, tapi kelak akan tenebris uritor lux, habis gelap terbitlah terang.

Tapi terang itu tidak akan datang bila tidak mulai menulis novel, cerpen atau cerita apa saja, dengan Minahasa atau Sulawesi Utara sebagai inti objeknya. Manusianya, budaya, karakter, alam lingkungan, subetnik, adat kebiasaan, mata pencaharian, lingkaran hidup dan falsafah hidupnya. Jangan terlalu luas ke tingkat nasional karena akan banyak saingan, tetapi tetap berbentuk karya sastra daerah yang memang belum banyak digarap. Cerita adalah bahan baku sanggar teater seperti penyanyi membutuhkan lagu untuk produksi rekaman, cerita yang duplikat tidak dapat mengharumkan nama aktor pemeran maupun sutradaranya atau novelisnya. Aktor film zaman sekarang banyak yang merangkap sutradara dengan mengolah cerita sejarah, legenda, ikut jadi pemeran bahkan jadi produser. Tom Hanks produksi film ‘’Band of Brothers’’ di film ‘’Saving Privet Ryan’’ jadi pemeran utama, kedua film itu mengenai perang dunia II di Eropah. Clint eastwood sebagai produser film ‘’Iwo jima’’ mengenai perang Pasifik 1944, Mel Gibson sebagai produser dan pemain utama film perang Vietnam ‘’We were Soldiers’’.

Aktor film sekarang jadi ujung tombak produksi drama teater yang jadi bahan baku film, konsep cerita jadi modal utama agar pemodal mau memberikan biaya produksi. Banyak baca buku karena buku itu habent sua fata libbelli memiliki keajaiban mengantar pikiran mengembara berkelana kemana-mana. Jangan sampai terperangkap kejujuran bisnis produksi, agar dapat berkelanjutan, Jappy Tambajong melakukan pergelaran mitos Toar Lumimuut 1991, 2003 dan 2005 di Gedung Kesenian Jakarta yang bergengsi. Yoseano Waas membuat film ‘’Benteng Moraya’’ kisah perang Tondano melawan Hindia Belanda 1808-1810, pengambilan gambar dilakukan di Minahasa 1992. Biaya produksi melampaui kesepakatan dengan pemodal Peter Gonta, hingga dana terhenti film tidak selesai. Skenario tulisan Asrul Sani tidak dapat dibuat novel karena merasa bukan kawanua.

Peribahasa latin untuk artis seni drama teater Minahasa yang paling mengena adalah Experienta Docet Sapientiam dari pengalaman membuat manusia jadi lebih bijaksana. Perkembangan perfilman sudah jauh lebih mudah dari sepuluh tahun lalu dengan adanya produksi sinetron yang dapat dijual dalam bentuk VCD. Biaya produksi menjadi jauh lebih murah dengan bantuan komputer lap-top, karya produksi film dapat dijual seperti menjual produksi rekaman musik populer. Kalau kita ingin tahu kemana seni drama teater Sulawesi Utara itu berkembang, yang pertama yang harus kita analisa adalah dari asalnya seni drama itu di Sulawesi Utara dari tradisi atau hanya beradaptasi.

Sumber: http://mdopost.com