Antara Fakta dan Khayal: Raja Ali Haji dalam Film dan Sejarah

Oleh Aswandi Syahri
Sejarawan Kepulauan Riau

Usai menyaksikan pemutaran perdana (launching) Film Mata Pena Mata Hati (MPMH) Raja Ali Haji (RAH), di Batam taggal 2 Mei yang lalu, seorang teman dengan raut wajah yang serius bertanya pada saya. ”Apakah seperti yang diperankan oleh Alex Komang itu roman muka dan raut wajah Raja Ali Haji. Berjanggut dan berjambang?”. Tanpa berfikir panjang lagi. Saya katakan, ”Ngawur, dan yang pasti bukan seperti itu”. “Lantas seperti apa atau seperti siapa wajahnya?”, ia balik bertanya dengan nada yang tidak puas dan rasa ingin tahu yang teramat dalam.

Ilustrasi di atas adalah salah satu pertanyaan sederhana yang butuh telaah dan penjabaran historis dari sekian banyak masalah yang muncul di benak mereka yang telah menonton film MPMH Raja Ali Haji, sebagaimana telah dikupas secara berturut-turut oleh Samson Rambah Pasir, Ramon Damora, Hoesnizar Hood, dan Hasan Aspahani, dan Dobi Fatria di harian pagi Batam Pos.

Dalam kesempatan yang terbatas ini saya ingin melihat penyebab kisruh film MPMH dari sisi yang lain. Dari sudut pandang sejarah yang menjadi teras utama film tersebut; karena ianya berkisah atau mengisahkan seorang tokoh historis (historical personae) bernama Raja Ali Haji ibni Raja Ahmad ibni Raja Haji Fisabilalillah ibni Daeng Celak Yang Dipertuan Muda Riau Lingga Johor dan Pahang dalam bingkai peristiwa serta tokoh lain yang mengitarinya. Seorang tokoh nyata dan bukan fiktif yang informasi tentang dirinya dapat ditemukan dan dirujuk dalam berbagai sumber lokal dan kolonial yang sezaman dengan masa hidupnya. Atau dalam karya-karya yang dihasilkannya. Lainlah halnya kalau film yang berjudul MPMH itu tidak menggunakan nama Raja Ali Haji dalam judulnya.

Dalam pendapat saya, persoalan raut wajah, adalah salah satu dari sekian banyak persoalan penting dari sisi sajarah yang tampaknya tidak mendapat perhatian yang cermat dan serius dalam penggarapan film ini. Pihak sutradara dan konsultan film ini tampak ”mengikut” saja potret wajah “resmi” Raja Ali Haji yang telah dipublikasikan sejak Pemerintah Kota Tanjungpinang secara resmi mengajukan Raja Ali Haji sebagai pahlawan nasional bidang kebahasan, dan menerimanya sebagai sebuah “kebenaran” sejarah.

Padahal, seperti telah selalu saya ungkapkan dalam berbagai kesempatan, potret wajah yang menurut sebuah sumber, dilukis oleh budayawan Elmustian Rahman dengan merujuk sebuah foto lama yang merekam anggota rombongan Sultan Lingga-Riau, Sultan Sulaiman Badulalamsyah I, ketika mengunjungi Batavia dan singgah di Studio Woodbury & Page di kota itu antara bulan Oktober dan November 1867.

Cilakanya - dan telah dibuktikan pula dengan bahan arsip tentang kunjungan rombongan itu yang ditemukan oleh Dr Jan van der Putten di Arsip Nasional-Jakarta (Jan van der Puuten, 2001) - tidak ada Raja Ali Haji dalam rombongan dan foto itu. Jika demikian halnya, patutkah salah satu dari wajah delapan tokoh yang ada dalam foto koleksi KITLV Leiden itu dirujuk sebagai personifikasi wajah Raja Ali Haji yang kemudian diterjemahkan melalui raut muka Alex Komang dalam film MPMH? Memang Raja Ali Haji pernah mengunjungi Batavia, namun peristiwa itu terjadi pada tahun 1822, dan beliaupun masih kanak-kanak. Sampai disini, persoalan yang membingungkan teman saya sedikit sebanyak mulai terjawab.

Ketiadaan bahan sumber adalah persoalan mendasar dalam merekonstruksi wajah RAH untuk keperluan apapun. Namun demikian, kalaupun harus juga dibuat atau direkonstruk wajah RAH untuk kepentingan film ini, salah cara yang paling baik dan barangkali agak mendekati adalah dengan menjadikan wajah zuriatnya sebagai model atau sumber rujukan dalam merekonstrruksinya. Saya pernah menyarankan untuk menggunakan potret wajah cucu RAH yang bernama Raja Haji Abdullah @ Abu Muhammad Adnan yang masih tersimpan d Pulau Penyengat. Ia seorang penulis prolific seperti datuknya dan cahaya mata dari putra kesayangan RAH yang bernama Raja Hasan. Paling tidak, sedikit sebanyak, adalah tersangkut dan membelas iras dan roman muka sang datuk di wajah cucunya.

Antara Fakta dan Khayal

Lazimnya, apapun peristiwa masa lalu atau sejarah yang kemudian direkonstruksi menjadi sebuah kisah tentang masa lalu atau disebut sejarah sebagai kisah, dibangun dari rangkaian kausalilitas fakta sejarah ( gabungan fakta keras dan lunak) berupa pernyataan (statement) dan berita fikiran yang selalu menunjuk pada kenyataan (gejala) apa yang terjadi pada masa lalu. Untuk sampai kepada sebuah fakta sejarah, tentulah harus menggunakan bahan sumber yang tepat, akurat, dan interpretasi yang terkawal serta cerdas. Dan, sampai tingkat tertentu, membuat sebuah film sejarahpun samalah halnya dengan menulis sesuatu yang terjadi di masa lalu sebagai sebuah kisah atau sejerah sebagai kisah. Hanya saja medianya saja yang berlainan, karena film sejarah menggunakan gambar bergerak (moving picture).

Terus terang, saya merasa bersusah hati atau masygul, mengapa pengerjaan skenario dan pembuatan film yang telah “dikawal” dengan sedemikian ketatnya oleh konsultan yang menguasai dengan fasih “biografi” RAH dan sejarah Riau-Lingga, akhirnya menuai kritikan negatif yang demikian banyak. Bahkan nyaris meruntuhkan nama besar RAH. Dan boleh dikatakan gagal memberikan pemahaman sejarah yang paling sederhana sekalipun tentang RAH dan bahagian tetentu dalam sejarah Riau-Lingga kepada masyarakat awam.

Menurut saya, hal ini bukan hanya disebabkan alur cerita yang tidak mendukung dan sinemotografi yang tidak mantap. Akan tetapi juga disebabkan oleh riset sejarah yang dangkal dan ketidakmampuan menterjemahkan data dan fakta sejarah ke dalam cerita yang dibangun dengan teknik-teknik pembuatan filem (sinematografi) modern. Akibatnya, yang dihasilkan hanyalah khayalan yang dibalut fakta sejarah sekenanya.

Saya sepakat dengan saudara Teja Alhabd, salah seorang konsultan yang juga pemeran Tokoh Raja Jakfar Yang Dipertuan Muda Riau VI, ketika mengomentari catatan lekas Hasan Aspahani dalam arena Facebook, dengan mengatakan pentingnya Tuhfat al Nafis untuk memahami sejarah RAH.

Cacat Sejak Skenario

Sebuah film yang bagus tentulah harus didukung oleh sebuah skenario yang bagus pula. Dan menurut saya MPMH adalah hasil sebuah skenario yang tidak bagus. Sebuah sumber menyebutkan bahwa skenario awal yang ditulis oleh Alex Soeprato Yoedoe direvisi dan diubah suai sebulan sebelum pengambilan gambar dilakukan, setelah mendapat masukkan dari beberepa orang budayawan seniman dan sejarawan yang diundang khusus untuk membedah scenario itu.

Namun sayang, hasilnya seperti apa yang kita saksikan dalam filem MPMH. Tak lebih baik baik dari skenario awal yang berjudul: Roman Sejarah Raja Ali Haji (Pengarang Gurindam XII) (2006). Namun demikian masih juga ada untungnya upaya revisi itu. Kalau tidak tentulah kita saksikan adegan RAH ayahnya Raja Ahmad masuk sel di Batavia dalam MPMH. Kalau ini yang terjadi apalah jadinya? Dan untung pula adegan RAH berburu dan memakan kelinci panggang di Pulau Pengujan juga tidak dimasukan. Karena “tradsi” ini tak dikenal dalam kebudayaan orang Melayu.

Dan menurut saya, sumber tangan pertama tentang RAH itu pun dapat disandingkan dengan Kumpulan Surat-Surar Raja Ali Haji Kepada Herman von De Wall (Jan van der Putten, 2006), serta bahan arsip kolonial maupun tulisan-tulisan RAH lainnya yang masih dapat dilacak.

Dalam konteks ini, saya ingin memberikan sebuah ilustrasi dimana fakta dalam dalam sejarah RAH, dikemas dalam betuk khayalan dalam film MPMH. Sebuah adegan yang ingin memperlihatkan RAH telah naik haji, dan berganti nama dari Raja Ali menjadi Raja Ali Haji atau Raja Ali al-Haji dan berbagai nama lainnya yang kemudian digunakan RAH dalam karya-karya.

Mengapa harus digambarkan RAH naik haji “dalam mimpi” atau apalah namanya adegan itu. Baiklah, mungkin konsultan, penulis skenario, dan sutradara ingin menggunakan aliran surealisme dalam seni sastra yang mementingkan aspek bawah sadar manusia dan non rasional dalam pencitraan (di atas atau diluar realitas kenyataan).

Menurut saya, pilihan ini kurang tepat, karena MPMH bukanlah cerita yang seratus peratus fiksi. Benarkah RAH naik haji hanya sebatas imajinasi? Kemana hendak disembunyikan kisah tentang bagaimana rombongan RAH dan ayahnya serta anak raja-raja Riau naik Haji yang dicatatnya dengan cukup lengkap dalam Tuhfat al-Nafis. Kemana harus disembunyikan kisah Engku Puteri dan Datuk Syahbandar Abdullah mengantar rombongan itu sampai ke Nongsa, lalu tertinggal kapal Arab yang bertolak dari Singapura ke Jeddah, sehingga gagal berangkat pada masa itu, dan akhirnya harus bertolak ke Jeddah dari Pulau Pinang?

Alangkah indahnya, bila kisah RAH dan rombongan ayahnya naik haji yang dinukilkannya dalam Tuhfat al-Nafis dapat direkonstruksi dalam filem MPMH: “Syahdan didalam hal itu tiada berapa antaranya Raja Ahmad di dalam negeri Pulau Pinang maka Raja Ahmad pun berlayarlah ke Jeddah menyewa satu kapal Turki bernama Feluka. Adalah nama kapitanya itu yaitu kapitan Husain. Yang disewa Raja Ahmad itu sebelah kurung kapal itu. Sekira boleh tempat orang dua belas boleh menggantung buaian serta cukup dengan jambannya…Syahdan tiada berapa lamanya di laut maka sampailah ke Jeddah pada lapan belas hari bulan Syakban pada Hijrat sanat 1243…Maka naiklah Raja Ahmad itu ke Mekkah-al-Musyaafah dibawa oleh Syekh Ahmad Musyafi serta memakai ihram. Maka apabila sampai ke Mekkah-alMusyarafah maka tawaflah dan sailah. Artinya RAH, ayahnya, serta rombongan anak raja-raja Riau tidaklah naik haji dalam “mimpi” dan sebatas imajinasi, dan secara historis peristiwa ini amat penting, serta menentukan perjalanan hidup RAH selanjutnya.

Begitu juga dengan kisah perjalanan RAH mengikuti utusan diraja Riau ke Batavia yang dipimpin ayahnya, yang terjadi sebelum peristiwa naik haji. Terlalu sederhana jika hanya menampilkan RAH dalam adegan berlari menuju kediaman Gebernur Jederal lalu dikejar pasukan marsose. Alangkah menariknya bila ditampilan beberapa peristiwa, kisah, kujungannya ke beberapa tempat seperti: Berkeliling Batavia, menonton Wayang Komedi di societeit yang sekarang menjadi Gedung Kesenian Jakarta, menonton orkes Belanda tiap Minggu, Bertemu tuan Roorda yang kemudian menerbitkan karyanya yang berjudul Syair Abdul Muluk, bertemu Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan Jenderal de Kock serta dijamu dengan tradisi makan ala Eropa di Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Sudah barang tentu semua ini akan menarik, karena apa yang dialami, disaksikan, dan dicatatkannya ini banyak memberi pengaruh kepada RAH kecil dan terbawa-bawa dalam ke dalam konteks intelektualitasnya sebagai seorang penulis kelak.

Begitu juga dengan reputasi RAH sebagai seorang penulis yang ingin digambarkan dalam konsep MPMH, mestinya dilukiskan dengan adegan bagaimana ia melawan Von deWall secara “intelektual” dengan membuat kamus bahasa Melayu “tandingan” yang lebih baik menurut penadapatnya, untuk menandingi atau sebagai ungkapan ketidakpuasan terhadap kamus ala Von de Wall yang ia bantu dalam proses pengumpulan kosa katanya. Jadi, bukanlah adegan RAH menulis “tanpa henti”, sehingga “wajahnya tampak lebih tua dari wajah ayahnya”.

Sumber: http://batampos.co.id