Pada saat kelahirannya, bayi disambut oleh keluarga dengan niengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kesela¬matan bayi dan ibunya yang telah melalui masa-masa krisis persalinan. Event ini diisi dengan upacara sederhana, yakni mengumandangkan azan untuk menyambut kelahiran bayi. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan nama Tuhan Allah Subhanaliu Wataala yang pertama kali ke telinga si bayi. Selain itu mereka percaya, bahwa upacara ini juga bertujuan memperkenalkan kepada kehidupan di atas dunia yang berbeda dengan kehidupannya di dalam rahim ibu. Biasanya tujuan terakhir ini diwujudkan dengan memperkenalkan bayi kepada berbagai peralatan hidup, seperti hahan-bahan pangan, pakaian dan peralatan serta berbagai simbol petunjuk tentang kebenaran, penghormatan dan pengabdian menurut bimbingan ajaran agama Islam.
Bagi masyarakat Betawi, masa kelahiran bayi ini disambut dengan mengadakan upacara sederhana, karena menurut kepercayaan mereka, seorang bayi yang baru lahir amat memerlukan perlindungan, jadi dengan memperkenalkannya kepada kekuatan sakral diharapkan dapat terhindar dari gangguan roh halus.
Menurut ajaran Islam, seorang ibu yang melahirkan bayinya harus diiringi dengan pembacaan doa-doa. Maksudnya untuk menjauhkan si bayi dari marabahaya dan penyakit. Dengan kata lain, diharapkan agar jiwa si bayi terbina menjadi kuat dan berkepribadian berdasarkan ajaran adat dan agama.
Kepercayaan ini berkaitan erat dengan keselamatan dan ke¬sehatan fisik dan batin ibu yang baru melahirkan serta bayinya sendiri, baik untuk saat sekarang maupun untuk masa depannya. Oleh sebab itu, mereka menyambut kelahiran ini dengan meng¬adakan upacara-upacara pada setiap tahap dalam proses yang dialaminya. Upacara ini oleh sebagian ahli dipandang sebagai salah satu cara masyarakat manusia menghadapi dan menanggu¬langi krisis yang terjadi. Setiap manusia menapaki tahap-tahap perkembangan kepribadiannya yang sejalan dengan perkembangan usianya.
Berikut ini sebuah gambaran bagaimana suatu masyarakat melaksanakan upacara kelahiran/masa bayi sebagai bagian dari adat yang mereka jadikan salah satu pedoman untuk bertingkah laku dalam mengarungi kehidupan.
Ketika kandungan berumur sembilan bulan atau lebih, wanita hamil sudah dilarang bepergian jauh. Jika terasa mulas berulang kali di sekitar perutnya, maka dipanggillah dukun beranak (peraji), Dukun beranaklah yang membantu proses persalinan. Setelah bayi lahir, dukun mengurus bayi terlebih dahulu, bayi dibersihkan dari segala kotoran dan darah. Kira-kira dua ruas jari dari lubang pusar, ari-ari diikat dengan benang bersih, dipotong di luar ikatan dengan "welad" (pisau yang berasal dari kulit bambu 1 ipis). Dewasa ini banyak yang mempergunakan gunting.
"Sudare bayi" (bali atau ari-ari) dibantu supaya segera keluar. Segala kotoran bekas darah dibersihkan, kain diganti, posisi tidur si ibu dibetulkan, bagian badan dan kepala ditinggikan ditopang dengan bantal secukupnya untuk mencegah darah naik ke kepala yang bisa menyebabkan pusing-pusing. Kemudian bayi dimandikan dengan air hangat, pusarnya dibungkus dan dialasi daun sirih, ditutup potongan kunyit. Setelah itu baru dibungkus dengan kain perban. Bayi kemudian "dibedong" (dibungkus kain) dan diazan¬kan oleh ayahnya atau kakeknya.
Sumber :
Yunus ahmad H., 1993, Arti dan Fungsi Upacara Tradisional Daur Hidup pada Masyarakat Betawi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya
Foto : http://media.kapanlagi.com
Bagi masyarakat Betawi, masa kelahiran bayi ini disambut dengan mengadakan upacara sederhana, karena menurut kepercayaan mereka, seorang bayi yang baru lahir amat memerlukan perlindungan, jadi dengan memperkenalkannya kepada kekuatan sakral diharapkan dapat terhindar dari gangguan roh halus.
Menurut ajaran Islam, seorang ibu yang melahirkan bayinya harus diiringi dengan pembacaan doa-doa. Maksudnya untuk menjauhkan si bayi dari marabahaya dan penyakit. Dengan kata lain, diharapkan agar jiwa si bayi terbina menjadi kuat dan berkepribadian berdasarkan ajaran adat dan agama.
Kepercayaan ini berkaitan erat dengan keselamatan dan ke¬sehatan fisik dan batin ibu yang baru melahirkan serta bayinya sendiri, baik untuk saat sekarang maupun untuk masa depannya. Oleh sebab itu, mereka menyambut kelahiran ini dengan meng¬adakan upacara-upacara pada setiap tahap dalam proses yang dialaminya. Upacara ini oleh sebagian ahli dipandang sebagai salah satu cara masyarakat manusia menghadapi dan menanggu¬langi krisis yang terjadi. Setiap manusia menapaki tahap-tahap perkembangan kepribadiannya yang sejalan dengan perkembangan usianya.
Berikut ini sebuah gambaran bagaimana suatu masyarakat melaksanakan upacara kelahiran/masa bayi sebagai bagian dari adat yang mereka jadikan salah satu pedoman untuk bertingkah laku dalam mengarungi kehidupan.
Ketika kandungan berumur sembilan bulan atau lebih, wanita hamil sudah dilarang bepergian jauh. Jika terasa mulas berulang kali di sekitar perutnya, maka dipanggillah dukun beranak (peraji), Dukun beranaklah yang membantu proses persalinan. Setelah bayi lahir, dukun mengurus bayi terlebih dahulu, bayi dibersihkan dari segala kotoran dan darah. Kira-kira dua ruas jari dari lubang pusar, ari-ari diikat dengan benang bersih, dipotong di luar ikatan dengan "welad" (pisau yang berasal dari kulit bambu 1 ipis). Dewasa ini banyak yang mempergunakan gunting.
"Sudare bayi" (bali atau ari-ari) dibantu supaya segera keluar. Segala kotoran bekas darah dibersihkan, kain diganti, posisi tidur si ibu dibetulkan, bagian badan dan kepala ditinggikan ditopang dengan bantal secukupnya untuk mencegah darah naik ke kepala yang bisa menyebabkan pusing-pusing. Kemudian bayi dimandikan dengan air hangat, pusarnya dibungkus dan dialasi daun sirih, ditutup potongan kunyit. Setelah itu baru dibungkus dengan kain perban. Bayi kemudian "dibedong" (dibungkus kain) dan diazan¬kan oleh ayahnya atau kakeknya.
Sumber :
Yunus ahmad H., 1993, Arti dan Fungsi Upacara Tradisional Daur Hidup pada Masyarakat Betawi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya
Foto : http://media.kapanlagi.com