Kedatangan agama Islam ke Indonesia merupakan suatu proses yang panjang dalam sejarah Indonesia, namun juga masih belum jelas. Kapan, mengapa, dan bagaimana penduduk Indonesia mulai menganut Islam telah banyak menimbulkan perdebatan di kalangan para ahli. Perbedaan ini karena sangat sedikitnya data tentang islamisasi. Namun dalam bab ini tidak akan membicarakan lebih jauh mengenai perbedaan pendapat itu, tetapi lebih melihat masuknya Islam berdasarkan catatan-catatan sejarah dan bukti-bukti arkeologis.
Salah satu catatan sejarah yang dapat dihubungkan dengan kedatangan pertama orang-orang Islam ke Indonesia adalah berita-berita Cina. Berita Cina tersebut antara lain berasal Bari Hikayat Dinasti T'ang, diantaranya menceritakan tentang orang-orang Ta-shih yang mengurungkan niatnya untuk menyerang Kerajaan Ho-ling yang diperintah oleh Ratu Sima (674 M). Berdasarkan berita tersebut para ahli berpendapat bahwa pada abad 7 M orang-orang Islam dan Arab sudah datang ke Indonesia dan pemukimannya diperkirakan di Sumatera. Orang-orang Ta-shih ini oleh W.P. Groneveldt ditafsirkan sebagai orang Arab dan letak perkampungannya di pesisir Sumatera Barat (Tjandrasasmita 1981: 357).
Pada abad 7 dan abad 8 M jalur pelayaran dan perdagangan melalui Selat Malaka sudah mulai ramai dilalui oleh pedagang-pedagang muslim dalam pelayarannya ke negeri-negeri di Asia Tenggara dan Asia Timur. Kepesatan pelayaran dan perdagangan melalui Selat Malaka dan pesisir barat Sumatera itu disebabkan oleh faktor pendorong persaingan antara Dinasti Tang di Cina (Asia Timur), Sriwijaya (Indonesia/Asia Tenggara), dan Bani Ummayyah di Asia Barat.
Kegiatan pelayaran dan perdagangan tersebut dapat diketahui pula dart sumber-sumber muslim sendiri terutama sejak abad 9 sampai dengan abad 11 M. Sumber tersebut antara lain: Ibn Khurdadhbih (846), Yaqubi (875-880), Ibn Fakih (902), Ibn Rusteh (903), Ishaq ibn lmran (907). Nama-nama yang disebut dalam sumber-sumber itu antara lain: Kalah (Kedah), Jawah (Sumatera), Fansur (Ban's), dan Lamuri (Banda Aceh) (Groeneveldt 1960:14).
Sejalan dengan perkembangan pelayaran dan perdagangan di Selat Malaka, Kerajaan Sriwijaya juga mulai meluaskan kekuasaannya ke daerah Malaka. Kedatangan orang-orang Islam di Asia Tenggara dan Asia Timur pada taraf permulaannya mungkin belum terasa akibat-akibatnya bagi kerajaan di negeri-negeri yang dikunjungi. Tetapi pada abad 9 dengan terjadinya pemberontakan di Cina Selatan terhadap kekuasaan Tang masa pemerintahan Kaisar Hi Tsung yang melibatkan orang-orang Islam dan akibatnya banyak orang-orang Islam yang terbunuh dan mereka mencari perlindungan ke Kedah. Sriwijaya yang ketika itu kekuasaannya meliputi daerah Kedah melindungi orang-orang Islam tersebut (Tjandrasasmita 1994: 2).
Dalam abad-abad berikutnya yaitu sekitar abad 12-13, Sriwijaya mulai menunjukkan kemundurannya. Di bidang perdagangan dan politik, dipercepat pula oleh usaha-usaha Kerajaan Singosari di Jawa yang mulai mengadakan ekspedisi Pamalayu tahun 1275 yang merupakan pengu¬kuhan kekuasaannya terhadap Kerajaan Melayu di Sumatera. Ekspedisi Pamalayu pada dasamya bertujuan untuk mengecilkan politik dan perdagangan Sriwijaya yang semula menguasai kunci pelayaran dan perdagangan melalui selat Malaka. Sejalan dengan kelemahan-kelemahan yang dialami oleh Sriwijaya, maka pedagang-pedagang muslim lebih berkesempatan untuk mendapatkan ke untungan dagang dan politik. Mereka menjacii paidukung, daerah-daerah yang muncul, dan yang menyatalcan dirinya sebagai kerajaan yang bercorak Islam saIar kerajaan Samudera Pasai di pesisir timur laut Aceh yang diperkirakan muncul pada abad 13 Taman nisan Sultan Malik as-Salih yang wafat 696 H (1297 M) mernbuktikan bahwa pada abad 13 sudah ada pemerintahan yang bercorak Islam. Tahun 1913 Moquette melakukan penelitian dan permbacaan nama-nama Sultan Malik as-¬Salih yang wafat tahun 696 H dan puteranya yang bernarna Suitan Muhammad Malik az-Zahir yang wafat pada tahun 726 H. Berdasarkan perbandingan cerita dengan sejarah yang terdapat dalam Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu dan berita-berita asing. Moquette berkesimpulan bahwa nama Sultan Malik as-Salih itu merupakan sultan pertama atau pendiri kerajaan tertua bercorak Islam di Indonesia. Pendapat Moquette ini berarti memperkuat pendapat Snouck Horgronje yaitu bahwa Islam pertama dagang ke Indonesia pada abad 13 M dibawa oleh pedagang-pedagang muslim dari Gujarat. Moquette ini agaknya tidak memperhitungkan adanya nisan-nisan kubur yang ditemu¬kan di Leran, Gresik yang memuat nama Fatimah binti Maimun yang wafat 475 H (1082 M). Nisan tersebut seluruhnya ditulis dalam bahasa Arab gaya Kufi. Bentuk huruf Arab gaya Kufi tersebut ter¬masuk gaya kufi ornamental dimana pada bagian ujung-ujungnya yang tegak dibentuk ikal menye¬rupai kail. Gaya Kufi ornamental semacam ini mencapai puncak perkembangannya dalam abad 11 dan 12 di timur tengah (Tjandrasasmita 1993: 278).
Mengenai asal-usul Fatimah binti Maimun, Ricklefls memperkirakan bahwa Fatimah adalah orang muslim non pribumi. Perkiraannya ini didasarkan atas temuan batu-batu nisan apakah benar¬benar ada di Jawa, ataukah diangkut ke Jawa beberapa waktu setelah Fatimah meninggal (Ricklefls 1995: 2-4). Terlepas dari asal-usul Fatimah, dapat dikatakan bahwa pada sekitar abad 11 M Pulau Jawa sudah kedatangan Islam. Kecuali itu di Pulau Sumatera yaitu di daerah Barus tepatnya di Kompleks Makam Tuan Makhdum terdapat sebuah inskripsi pada nisan yang memuat nama Tuhar Amisuri, wafat tahun 602 H (1205/1206 M). Hal ini jelas lebih tua dari nisan Sultan Malik as-Salih.
Daerah lainnya yang diperkirakan masyarakatnya sudah memeluk Islam adalah Peureulak. Hal Mi diketahui dari berita Marcopolo, seorang musafir Italia. la melakukan perjalanan ke Tiongkok pada akhir abad 13. Dalam perjalanan kembali ke Negeri Venesia, is mengunjungi beberapa daerah di Sumatera pada tahun 1290. Diceritakan bahwa daerah yang dikunjungi di utara Sumatera ialah Peureulak atau Perlak. Disebutkan bahwa penduduk di negeri ini sudah memeluk Islam (Ambary 1981: 515). Dari berita Tome Pires (1512-1515) dapat diketahui bahwa daerah-daerah di bagian pesisir Sumatera utara dan timur selat Malaka sudah banyak masyarakat muslim.
Dari temuan batu nisan kubur ini dapat diperkirakan bahwa pada abad 11 sudah ada orang muslim di Jawa. Namun hubungan pelayaran dan pedagang muslim dengan masyarakat kerajaan¬kerajaan di Jawa tidak dapat diketahui dengan pasti. Baru pada abad 14 dan 15 didapat gambaran tentang masyarakat muslim di Jawa terutama daerah pesisir utara Jawa Timur. Hal ini mungkin ada hubungannya dengan perkembangan hubungan pelayaran dan perdagangan dengan kerajaan Islam di Pasai (Samudera Pasai) sejak abad 13 dan Malaka pada abad 15. Tome Pires bahkan telah melukis¬lcan jaringan perdagangan yang luas antara Malaka dan pulau-pulau di Indonesia. Jalur-jalur utama dan hasil-hasil yang paling penting dari perdagangan diantaranya adalah:
- Malaka-Jawa Tengah dan Jawa Timur: beras dan bahan-bahan pangan lainnya seperti lada, asam, emas, perak, dan tekstil yang dimanfaatkan sebagai barang dagangan. Hasil-hasil ini ditukarkan dengan tekstil India dan barang-barang dari Cina.
- Malaka-Jawa Barat: lada, asam Jawa, emas, dan bahan pangan lainnya ditukarkan dengan tekstil India.
- Malaka-pantai timur Sumatera: emas, kapur barns, lada, sutra, damar, dan hasil hutan lainnya.
- Jawa dan Malaka-Kalimantan: bahan pangan, intan, emas, dan kapur barns ditukarkan dengan tekstil India.
Di Malaka sistem perdagangan ini dihubungkan dengan jalur-jalur yang membentang ke barat sampai India, Persia, Arabia, Syria, Afrika Timur, dan Laut Tengah (Ricklefs 1995: 29).
Gambaran perkembangan perdagangan pada masa Majapahit itu diceritakan dalam kitab Negarakrtagama yang dikutip oleh Uka Tjandrasasmita menceritakan kedatangan orang-orang asing terutama pada peristiwa upacara kraton. Mereka datang dari Jambudwipa, Kamboja, Cina, Annam, Campa, dan India Selatan. Mereka datang dengan menturmang kapal-kapal dagang. Selain itu, diceritakan juga tentang negeri-negeri pemberi upeti dan tetangga Majapahit seperti Jambi dan Palembang, Manangkabwa, Siyak, Perlak, Samudra dan Lamuri, Batan, Lampung dan Bans.
Gambaran masyarakat muslim di Jawa juga dapat dibuktikan dengan serangkaian nisan¬nisan kubur orang muslim di Tralaya dan Trowulan yang diperkirakan sebagai ibukota Majapahit. Nisan-nisan dari Tralaya kebanyakan ditulis dalam angka tahun Saka, meskipun ada juga yang ditulis dengan angka tahun Arab. Atas dasar itu Ricklefs memperkirakan bahwa nisan-nisan kubur tersebut merupakan tempat penguburan orang-orang muslim Jawa, bukan orang-orang muslim asing. Damais bahkan beranggapan bahwa berdasarkan lokasinya yang dekat dengan ibukota kerajaan, kemungkinan nisan-nisan kubur itu untuk menandai kuburan orang-orang Jawa yang terhonnat (Damais 1957: 408-409).
Damais telah meneliti nisan-nisan dari Tralaya dan tempat lainnya di sekitar ibukota kerajaan Majapahit. Jumlah nisan dan balok batu bertulis yang diteliti yaitu 21 dari Tralaya, enam dari Trowulan, dua dari Kedaton, dan satu dari Kedungwulan. Nisan-nisan dan balok batu tersebut berasal dari abad yang berbeda, yaitu abad 14 ada 12 buah, sedangkan yang termasuk abad 15 ada 15 buah, dan awal abad 17 hanya sebuah. Tetapi yang menarik perhatian adalah dua buah balok batu yaitu masing-masing dari Tralaya dan Trowulan yang berangka tahun 1203 S (1281 M) dan 1204 S (1282 M), yang berarti berasal dari masa sebelum Majapahit. Oleh karena itu, diragukan apakah kedua batu benar-benar nisan atau bagian dari peninggalan bercorak Hindu. Selain itu ditinjau clan hiasannya yaitu lengkung kala makara, hiasan daun-daunan dalam segi tiga tumpal yang melambangkan gunungan atau meru dan hiasan pola lingkaran yang dikenal dengan cap matahari Majapahit (Damais 1957: 392-394) memberikan gambaran betapa kuatnya unsur-unsur seni tradisional masa pra Islam, masa Indonesia Hindu yang bercampur dengan Islam yang datang ke Majapahit. Hal ini tentu memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun demikian clan temuan batu-batu nisan itu dapat diperkirakan bahwa sudah ada kelompok masyarakat muslim pada masa kekuasaan Majapahit. Mereka kebanyakan bermukim di Tralaya yang berasal dari tempat itu sendiri yang mengalami proses islamisasi karena hubungan dengan orang-orang muslim dari luar (Tjandrasasmita 1993: 280). Mengenai orang-orang Islam di Gresik ini dapat diketahui pula dari berita Ma Huan, seorang muslim Cina yang mengunjungi daerah pesisir utara Jawa. Ia menceritakan bahwa hanya ada tiga macam penduduk Jawa, yaitu orang-orang muslim dari barat, orang-orang Cina (beberapa diantaranya beragama Islam), dan orang-orang Jawa sendiri (Tjandrasasmita 1993: 284).
Peninggalan berupa makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang wafat tahun 822 H (1419 M) membuktikan adanya hubungan pelayaran dan perdagangan antara pesisir utara Jawa Timur dengan Pasai bahkan Gujarat. Menurut J.P. Moquette nisan pada makam Maulana Malik Ibrahim itu menunjukkan buatan dari pabrik di Cambay-Gujarat, India seperti juga nisan kubur Sultan Malik as-Salih dari Samudera Pasai. Persamaan kedua nisan kubur itu tidak hanya dari bahan saja, akan tetapi juga dari penempatan ayat-ayat al-Qur'an pada ruangan-ruangan tertentu baik pada sisinya maupun pada tempat yang diperlukan untuk tulisan-tulisan itu (Moquette 1920: 44-47).
Pertumbuhan masyarakat muslim di sekiar pesisir utara Jawa dan Majapahit pada taraf permulaannya mungkin belum dirasakan akibatnya di bidang politik oleh kerajaan Majapahit. Kedua belah pihak pada waktu itu mungkin masih mementingkan usaha untuk memperoleh keuntungan dagang. Proses islamisasi hingga mencapai bentuk kekuasaan politik seperti munculnya kerajaan Demak, dipercepat pula oleh kelemahan-kelemahan di kerajaan Majapahit sendiri, yaitu perebutan kekuasaan di kalangan keluarga raja.
Kedatangan Islam ke daerah Indonesia bagian timur yaitu daerah Maluku tidak dapat dipisahlcan dari jalur perdagangan yang terbentang antara pusat lalu lintas pelayaran intemasional di Malaka, Jawa, dan Maluku. Hubungan perdagingam antara daerah Maluku dengan Jawa telah diberitakan oleh Tome Pires. la menceritakan bahwa kapal-kapal dagang dari Gresik adalah milik Pate Cucuf. Raja Temate yang telah memeluk Isaarn bernamma Sultan Bern Acorala. Di Banda, Hitu, Maluku, Makyan, Bacan sudah terdapat masyarakat. Kedatangan Islam ke daerah Kalimantan Selman dapar diketahui dari Hikayat Banjar. Disebutkan bahwa menjelang kedatangan Islam ke daerah itu situasinya sedang terjadi peperangan antara kerajaan Nagara Daha di hulu sungai dengan kerajaan Banjar di daerah pantai. Hikayat Banjar selanjutnya menceritakan bahwa pangeran Samudra dan kerajaan Banjar minta bantuan raja Demak di Jawa dengan perjanjian untuk menganut agama Islam beserta rakyatnya. Dengan bantuan raja Demak, kerajaan Nagara Daha dapat dikalahkan. Sejak itu kerajaan Banjar mengalami perkembangan dan daerah-daerah lainnya tunduk kepada Banjar. Dikatakan dalam Hikayat Banjar bahwa yang pertama-tama mengajarkan Islam kepada Raden Samudra adalah para penghulu Demak. Bagi Demak pemberian bantuan tentara kepada kerajaan Banjar juga merupakan usaha perluasan pengaruhnya. Banjar dianggap penting sebagai sekutu untuk membendung ekspansi Portugis.
Di Sulawesi, sejak abad 15 sudah didatangi pedagang muslim dari Malaka, Jawa, dan Sumatera. Menurut Tome Pires, banyak sekali kerajaan-kerajaan tetapi penduduknya masih menga¬nut berhala. Selanjutnya pada abad 16 di daerah Gowa telah terdapat masyarakat muslim. Di daerah Sulawesi, islamisasi pada taraf pertama dilakukan dengan cara damai. Hal ini dapat diketahui dari hikayat-hikayat setempat yang menceritakan tentang dakwah islam yang dilakukan oleh mubalig Dato' ri Bandang dan Dato Sulaeman.
Di Lombok, Islam masuk kira-kira pada permulaan abad 16. Menurut Babad Lombok yang menyebarkan agama Islam adalah Sunan Prapen dari Giri. Penyebaran Islam kemudian dilanjutkan oleh para mubalig setempat seperti Nurcahya dan Wall Nyoto. Agama Islam di Lombok diajarkan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Adat istiadat clan keseniannya disesuaikan dengan ketauhidan.
Kedatangan Islam ke Pulau Timor, Sabu, dan Rote melalui suatu periode yang panjang dan secara bergelombang. Para tokoh yang mempunyai pengaruh besar terhadap penyebaran agama Islam antara lain Abdulkadir bin Jailani, Atu Langanama, Syarif Abubakar, dan lain-lain. Pada awalnya Islam yang masuk ke Pulau Timor, Rote, dan Sabu hanya terbatas di beberapa daerah dan kota pantai saja. Kebanyakan para pemeluknya adalah ketnrunan pendatang-pendatang dari luar daerah, walaupun terdapat juga di kalangan penduduk asli.
Bukti-bukti mengenai kedatangan Islam di Indonesia secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak abad 7 dan 8 sudah ada hubungan dengan orang-orang Islam mungkin dari Arab, Persia, atau India melalui selat Malaka. Namun demikian prosesnya memakan waktu berabad-abad lamanya hingga terbentuk suatu masyarakat luas bahkan kerajaan yang bercorak Islam yaitu kerajaan Samudera Pasai pada abad 13 M.
Salah satu unsur penting dalam proses kedatangan Islam adalah perdagangan dan dipercepat oleh situasi politik di wilayah kerajaan-kerajaan yang didatangi. Hal ini jelas menguntungkan kedua belah pihak. Bagi pedagang-pedagang muslim merasa lebih produktif usahanya, karena kecuali mudah untuk mendapatkan izin perdagangan juga memudahkan untuk lebih menyebarluaskan ajaran¬ajaran Islam. Mereka membentuk perkampungan-perkampungan pedagang yang bersifat ekonomis. Kecuali itu, kelemahan/kemunduran yang dialami kerajaan-kerajaan karena perebutan kekuasaan, agaknya makin mempercepat penyebaran agama Islam. Bupati-bupati di pesisir merasa bebas dari kekuasaan pemerintah pusat. Mereka makin lama makin merdeka. Melalui mereka, Islam menjadi kekuatan ba' dalam perkembangan masyarakat. Berawal dari daerah Sumatera, Islam menyebar ke daerah-daerah yang mempunyai kedudukan penting dalam perdagangan intemasional seperti daerah pesisir Sumatera, selat Malaka, pesisir utara Jawa, dan ke daerah penghasil rempah-rempah di Indonesia timur (Maluku). Dari sini Islam menyebar ke wilayah Indonesia lainnya yaitu Kalimantan, Sulawesi, Lombok, Timor, Rote, dan Sabu.
Sumber :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999, Masjid Kuno Indonesia, Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Foto : http://www.nongeneric.net
Salah satu catatan sejarah yang dapat dihubungkan dengan kedatangan pertama orang-orang Islam ke Indonesia adalah berita-berita Cina. Berita Cina tersebut antara lain berasal Bari Hikayat Dinasti T'ang, diantaranya menceritakan tentang orang-orang Ta-shih yang mengurungkan niatnya untuk menyerang Kerajaan Ho-ling yang diperintah oleh Ratu Sima (674 M). Berdasarkan berita tersebut para ahli berpendapat bahwa pada abad 7 M orang-orang Islam dan Arab sudah datang ke Indonesia dan pemukimannya diperkirakan di Sumatera. Orang-orang Ta-shih ini oleh W.P. Groneveldt ditafsirkan sebagai orang Arab dan letak perkampungannya di pesisir Sumatera Barat (Tjandrasasmita 1981: 357).
Pada abad 7 dan abad 8 M jalur pelayaran dan perdagangan melalui Selat Malaka sudah mulai ramai dilalui oleh pedagang-pedagang muslim dalam pelayarannya ke negeri-negeri di Asia Tenggara dan Asia Timur. Kepesatan pelayaran dan perdagangan melalui Selat Malaka dan pesisir barat Sumatera itu disebabkan oleh faktor pendorong persaingan antara Dinasti Tang di Cina (Asia Timur), Sriwijaya (Indonesia/Asia Tenggara), dan Bani Ummayyah di Asia Barat.
Kegiatan pelayaran dan perdagangan tersebut dapat diketahui pula dart sumber-sumber muslim sendiri terutama sejak abad 9 sampai dengan abad 11 M. Sumber tersebut antara lain: Ibn Khurdadhbih (846), Yaqubi (875-880), Ibn Fakih (902), Ibn Rusteh (903), Ishaq ibn lmran (907). Nama-nama yang disebut dalam sumber-sumber itu antara lain: Kalah (Kedah), Jawah (Sumatera), Fansur (Ban's), dan Lamuri (Banda Aceh) (Groeneveldt 1960:14).
Sejalan dengan perkembangan pelayaran dan perdagangan di Selat Malaka, Kerajaan Sriwijaya juga mulai meluaskan kekuasaannya ke daerah Malaka. Kedatangan orang-orang Islam di Asia Tenggara dan Asia Timur pada taraf permulaannya mungkin belum terasa akibat-akibatnya bagi kerajaan di negeri-negeri yang dikunjungi. Tetapi pada abad 9 dengan terjadinya pemberontakan di Cina Selatan terhadap kekuasaan Tang masa pemerintahan Kaisar Hi Tsung yang melibatkan orang-orang Islam dan akibatnya banyak orang-orang Islam yang terbunuh dan mereka mencari perlindungan ke Kedah. Sriwijaya yang ketika itu kekuasaannya meliputi daerah Kedah melindungi orang-orang Islam tersebut (Tjandrasasmita 1994: 2).
Dalam abad-abad berikutnya yaitu sekitar abad 12-13, Sriwijaya mulai menunjukkan kemundurannya. Di bidang perdagangan dan politik, dipercepat pula oleh usaha-usaha Kerajaan Singosari di Jawa yang mulai mengadakan ekspedisi Pamalayu tahun 1275 yang merupakan pengu¬kuhan kekuasaannya terhadap Kerajaan Melayu di Sumatera. Ekspedisi Pamalayu pada dasamya bertujuan untuk mengecilkan politik dan perdagangan Sriwijaya yang semula menguasai kunci pelayaran dan perdagangan melalui selat Malaka. Sejalan dengan kelemahan-kelemahan yang dialami oleh Sriwijaya, maka pedagang-pedagang muslim lebih berkesempatan untuk mendapatkan ke untungan dagang dan politik. Mereka menjacii paidukung, daerah-daerah yang muncul, dan yang menyatalcan dirinya sebagai kerajaan yang bercorak Islam saIar kerajaan Samudera Pasai di pesisir timur laut Aceh yang diperkirakan muncul pada abad 13 Taman nisan Sultan Malik as-Salih yang wafat 696 H (1297 M) mernbuktikan bahwa pada abad 13 sudah ada pemerintahan yang bercorak Islam. Tahun 1913 Moquette melakukan penelitian dan permbacaan nama-nama Sultan Malik as-¬Salih yang wafat tahun 696 H dan puteranya yang bernarna Suitan Muhammad Malik az-Zahir yang wafat pada tahun 726 H. Berdasarkan perbandingan cerita dengan sejarah yang terdapat dalam Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu dan berita-berita asing. Moquette berkesimpulan bahwa nama Sultan Malik as-Salih itu merupakan sultan pertama atau pendiri kerajaan tertua bercorak Islam di Indonesia. Pendapat Moquette ini berarti memperkuat pendapat Snouck Horgronje yaitu bahwa Islam pertama dagang ke Indonesia pada abad 13 M dibawa oleh pedagang-pedagang muslim dari Gujarat. Moquette ini agaknya tidak memperhitungkan adanya nisan-nisan kubur yang ditemu¬kan di Leran, Gresik yang memuat nama Fatimah binti Maimun yang wafat 475 H (1082 M). Nisan tersebut seluruhnya ditulis dalam bahasa Arab gaya Kufi. Bentuk huruf Arab gaya Kufi tersebut ter¬masuk gaya kufi ornamental dimana pada bagian ujung-ujungnya yang tegak dibentuk ikal menye¬rupai kail. Gaya Kufi ornamental semacam ini mencapai puncak perkembangannya dalam abad 11 dan 12 di timur tengah (Tjandrasasmita 1993: 278).
Mengenai asal-usul Fatimah binti Maimun, Ricklefls memperkirakan bahwa Fatimah adalah orang muslim non pribumi. Perkiraannya ini didasarkan atas temuan batu-batu nisan apakah benar¬benar ada di Jawa, ataukah diangkut ke Jawa beberapa waktu setelah Fatimah meninggal (Ricklefls 1995: 2-4). Terlepas dari asal-usul Fatimah, dapat dikatakan bahwa pada sekitar abad 11 M Pulau Jawa sudah kedatangan Islam. Kecuali itu di Pulau Sumatera yaitu di daerah Barus tepatnya di Kompleks Makam Tuan Makhdum terdapat sebuah inskripsi pada nisan yang memuat nama Tuhar Amisuri, wafat tahun 602 H (1205/1206 M). Hal ini jelas lebih tua dari nisan Sultan Malik as-Salih.
Daerah lainnya yang diperkirakan masyarakatnya sudah memeluk Islam adalah Peureulak. Hal Mi diketahui dari berita Marcopolo, seorang musafir Italia. la melakukan perjalanan ke Tiongkok pada akhir abad 13. Dalam perjalanan kembali ke Negeri Venesia, is mengunjungi beberapa daerah di Sumatera pada tahun 1290. Diceritakan bahwa daerah yang dikunjungi di utara Sumatera ialah Peureulak atau Perlak. Disebutkan bahwa penduduk di negeri ini sudah memeluk Islam (Ambary 1981: 515). Dari berita Tome Pires (1512-1515) dapat diketahui bahwa daerah-daerah di bagian pesisir Sumatera utara dan timur selat Malaka sudah banyak masyarakat muslim.
Dari temuan batu nisan kubur ini dapat diperkirakan bahwa pada abad 11 sudah ada orang muslim di Jawa. Namun hubungan pelayaran dan pedagang muslim dengan masyarakat kerajaan¬kerajaan di Jawa tidak dapat diketahui dengan pasti. Baru pada abad 14 dan 15 didapat gambaran tentang masyarakat muslim di Jawa terutama daerah pesisir utara Jawa Timur. Hal ini mungkin ada hubungannya dengan perkembangan hubungan pelayaran dan perdagangan dengan kerajaan Islam di Pasai (Samudera Pasai) sejak abad 13 dan Malaka pada abad 15. Tome Pires bahkan telah melukis¬lcan jaringan perdagangan yang luas antara Malaka dan pulau-pulau di Indonesia. Jalur-jalur utama dan hasil-hasil yang paling penting dari perdagangan diantaranya adalah:
- Malaka-Jawa Tengah dan Jawa Timur: beras dan bahan-bahan pangan lainnya seperti lada, asam, emas, perak, dan tekstil yang dimanfaatkan sebagai barang dagangan. Hasil-hasil ini ditukarkan dengan tekstil India dan barang-barang dari Cina.
- Malaka-Jawa Barat: lada, asam Jawa, emas, dan bahan pangan lainnya ditukarkan dengan tekstil India.
- Malaka-pantai timur Sumatera: emas, kapur barns, lada, sutra, damar, dan hasil hutan lainnya.
- Jawa dan Malaka-Kalimantan: bahan pangan, intan, emas, dan kapur barns ditukarkan dengan tekstil India.
Di Malaka sistem perdagangan ini dihubungkan dengan jalur-jalur yang membentang ke barat sampai India, Persia, Arabia, Syria, Afrika Timur, dan Laut Tengah (Ricklefs 1995: 29).
Gambaran perkembangan perdagangan pada masa Majapahit itu diceritakan dalam kitab Negarakrtagama yang dikutip oleh Uka Tjandrasasmita menceritakan kedatangan orang-orang asing terutama pada peristiwa upacara kraton. Mereka datang dari Jambudwipa, Kamboja, Cina, Annam, Campa, dan India Selatan. Mereka datang dengan menturmang kapal-kapal dagang. Selain itu, diceritakan juga tentang negeri-negeri pemberi upeti dan tetangga Majapahit seperti Jambi dan Palembang, Manangkabwa, Siyak, Perlak, Samudra dan Lamuri, Batan, Lampung dan Bans.
Gambaran masyarakat muslim di Jawa juga dapat dibuktikan dengan serangkaian nisan¬nisan kubur orang muslim di Tralaya dan Trowulan yang diperkirakan sebagai ibukota Majapahit. Nisan-nisan dari Tralaya kebanyakan ditulis dalam angka tahun Saka, meskipun ada juga yang ditulis dengan angka tahun Arab. Atas dasar itu Ricklefs memperkirakan bahwa nisan-nisan kubur tersebut merupakan tempat penguburan orang-orang muslim Jawa, bukan orang-orang muslim asing. Damais bahkan beranggapan bahwa berdasarkan lokasinya yang dekat dengan ibukota kerajaan, kemungkinan nisan-nisan kubur itu untuk menandai kuburan orang-orang Jawa yang terhonnat (Damais 1957: 408-409).
Damais telah meneliti nisan-nisan dari Tralaya dan tempat lainnya di sekitar ibukota kerajaan Majapahit. Jumlah nisan dan balok batu bertulis yang diteliti yaitu 21 dari Tralaya, enam dari Trowulan, dua dari Kedaton, dan satu dari Kedungwulan. Nisan-nisan dan balok batu tersebut berasal dari abad yang berbeda, yaitu abad 14 ada 12 buah, sedangkan yang termasuk abad 15 ada 15 buah, dan awal abad 17 hanya sebuah. Tetapi yang menarik perhatian adalah dua buah balok batu yaitu masing-masing dari Tralaya dan Trowulan yang berangka tahun 1203 S (1281 M) dan 1204 S (1282 M), yang berarti berasal dari masa sebelum Majapahit. Oleh karena itu, diragukan apakah kedua batu benar-benar nisan atau bagian dari peninggalan bercorak Hindu. Selain itu ditinjau clan hiasannya yaitu lengkung kala makara, hiasan daun-daunan dalam segi tiga tumpal yang melambangkan gunungan atau meru dan hiasan pola lingkaran yang dikenal dengan cap matahari Majapahit (Damais 1957: 392-394) memberikan gambaran betapa kuatnya unsur-unsur seni tradisional masa pra Islam, masa Indonesia Hindu yang bercampur dengan Islam yang datang ke Majapahit. Hal ini tentu memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun demikian clan temuan batu-batu nisan itu dapat diperkirakan bahwa sudah ada kelompok masyarakat muslim pada masa kekuasaan Majapahit. Mereka kebanyakan bermukim di Tralaya yang berasal dari tempat itu sendiri yang mengalami proses islamisasi karena hubungan dengan orang-orang muslim dari luar (Tjandrasasmita 1993: 280). Mengenai orang-orang Islam di Gresik ini dapat diketahui pula dari berita Ma Huan, seorang muslim Cina yang mengunjungi daerah pesisir utara Jawa. Ia menceritakan bahwa hanya ada tiga macam penduduk Jawa, yaitu orang-orang muslim dari barat, orang-orang Cina (beberapa diantaranya beragama Islam), dan orang-orang Jawa sendiri (Tjandrasasmita 1993: 284).
Peninggalan berupa makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang wafat tahun 822 H (1419 M) membuktikan adanya hubungan pelayaran dan perdagangan antara pesisir utara Jawa Timur dengan Pasai bahkan Gujarat. Menurut J.P. Moquette nisan pada makam Maulana Malik Ibrahim itu menunjukkan buatan dari pabrik di Cambay-Gujarat, India seperti juga nisan kubur Sultan Malik as-Salih dari Samudera Pasai. Persamaan kedua nisan kubur itu tidak hanya dari bahan saja, akan tetapi juga dari penempatan ayat-ayat al-Qur'an pada ruangan-ruangan tertentu baik pada sisinya maupun pada tempat yang diperlukan untuk tulisan-tulisan itu (Moquette 1920: 44-47).
Pertumbuhan masyarakat muslim di sekiar pesisir utara Jawa dan Majapahit pada taraf permulaannya mungkin belum dirasakan akibatnya di bidang politik oleh kerajaan Majapahit. Kedua belah pihak pada waktu itu mungkin masih mementingkan usaha untuk memperoleh keuntungan dagang. Proses islamisasi hingga mencapai bentuk kekuasaan politik seperti munculnya kerajaan Demak, dipercepat pula oleh kelemahan-kelemahan di kerajaan Majapahit sendiri, yaitu perebutan kekuasaan di kalangan keluarga raja.
Kedatangan Islam ke daerah Indonesia bagian timur yaitu daerah Maluku tidak dapat dipisahlcan dari jalur perdagangan yang terbentang antara pusat lalu lintas pelayaran intemasional di Malaka, Jawa, dan Maluku. Hubungan perdagingam antara daerah Maluku dengan Jawa telah diberitakan oleh Tome Pires. la menceritakan bahwa kapal-kapal dagang dari Gresik adalah milik Pate Cucuf. Raja Temate yang telah memeluk Isaarn bernamma Sultan Bern Acorala. Di Banda, Hitu, Maluku, Makyan, Bacan sudah terdapat masyarakat. Kedatangan Islam ke daerah Kalimantan Selman dapar diketahui dari Hikayat Banjar. Disebutkan bahwa menjelang kedatangan Islam ke daerah itu situasinya sedang terjadi peperangan antara kerajaan Nagara Daha di hulu sungai dengan kerajaan Banjar di daerah pantai. Hikayat Banjar selanjutnya menceritakan bahwa pangeran Samudra dan kerajaan Banjar minta bantuan raja Demak di Jawa dengan perjanjian untuk menganut agama Islam beserta rakyatnya. Dengan bantuan raja Demak, kerajaan Nagara Daha dapat dikalahkan. Sejak itu kerajaan Banjar mengalami perkembangan dan daerah-daerah lainnya tunduk kepada Banjar. Dikatakan dalam Hikayat Banjar bahwa yang pertama-tama mengajarkan Islam kepada Raden Samudra adalah para penghulu Demak. Bagi Demak pemberian bantuan tentara kepada kerajaan Banjar juga merupakan usaha perluasan pengaruhnya. Banjar dianggap penting sebagai sekutu untuk membendung ekspansi Portugis.
Di Sulawesi, sejak abad 15 sudah didatangi pedagang muslim dari Malaka, Jawa, dan Sumatera. Menurut Tome Pires, banyak sekali kerajaan-kerajaan tetapi penduduknya masih menga¬nut berhala. Selanjutnya pada abad 16 di daerah Gowa telah terdapat masyarakat muslim. Di daerah Sulawesi, islamisasi pada taraf pertama dilakukan dengan cara damai. Hal ini dapat diketahui dari hikayat-hikayat setempat yang menceritakan tentang dakwah islam yang dilakukan oleh mubalig Dato' ri Bandang dan Dato Sulaeman.
Di Lombok, Islam masuk kira-kira pada permulaan abad 16. Menurut Babad Lombok yang menyebarkan agama Islam adalah Sunan Prapen dari Giri. Penyebaran Islam kemudian dilanjutkan oleh para mubalig setempat seperti Nurcahya dan Wall Nyoto. Agama Islam di Lombok diajarkan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Adat istiadat clan keseniannya disesuaikan dengan ketauhidan.
Kedatangan Islam ke Pulau Timor, Sabu, dan Rote melalui suatu periode yang panjang dan secara bergelombang. Para tokoh yang mempunyai pengaruh besar terhadap penyebaran agama Islam antara lain Abdulkadir bin Jailani, Atu Langanama, Syarif Abubakar, dan lain-lain. Pada awalnya Islam yang masuk ke Pulau Timor, Rote, dan Sabu hanya terbatas di beberapa daerah dan kota pantai saja. Kebanyakan para pemeluknya adalah ketnrunan pendatang-pendatang dari luar daerah, walaupun terdapat juga di kalangan penduduk asli.
Bukti-bukti mengenai kedatangan Islam di Indonesia secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak abad 7 dan 8 sudah ada hubungan dengan orang-orang Islam mungkin dari Arab, Persia, atau India melalui selat Malaka. Namun demikian prosesnya memakan waktu berabad-abad lamanya hingga terbentuk suatu masyarakat luas bahkan kerajaan yang bercorak Islam yaitu kerajaan Samudera Pasai pada abad 13 M.
Salah satu unsur penting dalam proses kedatangan Islam adalah perdagangan dan dipercepat oleh situasi politik di wilayah kerajaan-kerajaan yang didatangi. Hal ini jelas menguntungkan kedua belah pihak. Bagi pedagang-pedagang muslim merasa lebih produktif usahanya, karena kecuali mudah untuk mendapatkan izin perdagangan juga memudahkan untuk lebih menyebarluaskan ajaran¬ajaran Islam. Mereka membentuk perkampungan-perkampungan pedagang yang bersifat ekonomis. Kecuali itu, kelemahan/kemunduran yang dialami kerajaan-kerajaan karena perebutan kekuasaan, agaknya makin mempercepat penyebaran agama Islam. Bupati-bupati di pesisir merasa bebas dari kekuasaan pemerintah pusat. Mereka makin lama makin merdeka. Melalui mereka, Islam menjadi kekuatan ba' dalam perkembangan masyarakat. Berawal dari daerah Sumatera, Islam menyebar ke daerah-daerah yang mempunyai kedudukan penting dalam perdagangan intemasional seperti daerah pesisir Sumatera, selat Malaka, pesisir utara Jawa, dan ke daerah penghasil rempah-rempah di Indonesia timur (Maluku). Dari sini Islam menyebar ke wilayah Indonesia lainnya yaitu Kalimantan, Sulawesi, Lombok, Timor, Rote, dan Sabu.
Sumber :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999, Masjid Kuno Indonesia, Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Foto : http://www.nongeneric.net