Folklor merupakan hazanah sastra lama. Sastra folklor ini berkembang setelah William John Thoms, seorang ahli kebudayaan antik dari Inggris mengumumkan artikelnya dalam majalah Athenaeum No. 982 tanggal 22 Agustus 1846, dengan mempergunakan nama samaran Ambrose Merton.
Dalam majalah tersebut Thoms menciptakan istilah folklore untuk sopan santun Inggris, takhayul, balada, dan tentang masa lampau. Sejak itulah folklore menjadi istilah baru dalam kebudayaan. Secara etimologi, folk artinya kolektif, atau ciri-ciri pengenalan fisik atau kebudayaan yang sama dalam masyarakt, sedangkan lore merupakan tradisi dari folk. Atau menurut pendapat Alan dalam Danandjaja (1997: 1) folklor adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenalan fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya.
Arti folklor secara keseluruhan menurut pendapat Danandjaja (1997: 2) sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).
Menurut pendapat Soeryawan (1984: 21) folklor adalah bentuk kesenian yang lahir dan menyebar di kalangan rakyat banyak. Ciri dari seni budaya ini yang merupakan ungkapan pengalaman dan penghayatan manusia yang khas ialah dalam bentuknya yang estetis-artistis. Karena di dalam melaksanakan hubungan-hubungan yang komunikatif, seni mengungkapkannya melalui bentuk-bentuk estetis yang dipilihnya.
Pendapat Rusyana ( 1978: 1) folklor adalah merupakan bagian dari persendian ceritera yang telah lama hidup dalam tradisi suatu masyarakat.
Sedangkan menurut pendapat Iskar dalam H.U. Pikiran Rakyat (22-Januari-1996) folklor adalah kajian kebudayaan rakyat jelata baik unsur materi maupun unsur nonmaterinya. Kajian tersebut kepada masalah kepercayaan rakyat, adat kebiasaan, pengetahuan rakyat, bahasa rakyat (dialek), kesusastraan rakyat, nyanyian dan musik rakyat, tarian dan drama rakyat, kesenian rakyat, serta pakaian rakyat.
Folklor memang mengkaji seni, sebab menurut pendapat Fischer (1994: folklore the study about art, but, unfortunately, folk art scholarship has tended to lag behind mainstream folkloristic. One reason for this is that the bulk of folk art discussion tends to be purely descriptive rather than analytic.
Adapun menurut pedapat Harvey (1955: 294) bahwa folklore the traditional beliefs, legends, and customs, current among the common people and the study of them.
Ciri-ciri Folklor
Kedudukan folklor dengan kebudayaan lainnya tentu saja berbeda, karena folklor memiliki karakteristik atau ciri tersendiri. Menurut pendapat Danandjaja (1997: 3), ciri-ciri pengenal utama pada folklor bisa dirumuskan sebagai berikut :
a. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut.
b. Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar.
c. Folklor ada (exis) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi (interpolation).
d. Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi.
e. Folkor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Dan selalu menggunakan kata-kata klise.
f. Folklor mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
g. Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai logika umum. Ciri pengenalan ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan.
h. Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidakdiketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.
i. Folklor pada umumnya bersifar polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manisfestasinya.
Folklor pada Masyarakat Sunda
Folklor pada masyarakat Sunda, sama dengan folklor dengan daerah lain, yiatu terbagi menjadi folklor lisan (verbal folklore), folklor setengah lisan (partly folklore), dan folklor bukan lisan (nonverbal folklore).
1. Folklor Lisan (Verval Folklore)
Menurut pendapat Rusyana (1976: ) folklor lisan atau sastra lisan mempunyai kemungkinan untuk berperanan sebagai kekayaan budaya khususnya kekayan sastra; sebagai modal apresiasi sastra sebab sastra lisan telah membimbing anggota masyarakat ke arah apresiasi dan pemahaman gagasan dan peristiwa puitik berdasarkan praktek yang telah menjadi tradisi selama berabad-abad; sebagai dasar komunikasi antara pencipta dan masyarakat dalam arti ciptaan yang berdasarkan sastra lisan akan lebih mudah digauli sebab ada unsurnya yang sudah dikenal oleh masyarakat.
(1) Cerita Prosa Rakyat (Dongeng)
Sekelompok cerita tradisional Sunda dalam sastra Sunda istilahnya adalah dongeng (Rusyana, 2000: 207).
Dongeng merupakan cerita prosa rakyat. Karena menurut pendapat Rusyana (2000: 207) istilah dongeng digunakan untuk menyebut sekelompok serita tradisional dalam sastra Sunda. Di dalam sastra Sunda terdapat jenis cerita yang diketahui sudah tersedia dalam masyarakat, yang diterima oleh para anggota masyarakat itu dari generasi yang lebih dulu. Dongeng dituturkan oleh seseorng kepada yang lainnya dengan menggunakan bahasa lisan.
Jenis-jenis dongeng menurut Rusyana (2000: 208), yaitu (1) dongeng mite, (2) dongeng legenda, dan (3) dongeng biasa.
a. Dongeng mite
Dongeng mite ialah cerita tradisional yang pelakunya makhluk supernatural dengan latar suci dan waktu masa purba. Di dalamnya terdapat peristiwa yang membayangkan kejadian berkenaan dengan penciptaan semesta dan isinya, perubahan dunia, dan kehancuran dunia. Masyarakat pendukung (pemilik) mite biasanya menganggap cerita itu sebagai suatu yang dipercayai (Rusyana, 2000: 208-209).
b. Dongeng legenda
Dongeng legenda ialah cerita tradisional yang pelakunya dibayangkan sebagai
Sumber : http://www.fkip-uninus.org
Dalam majalah tersebut Thoms menciptakan istilah folklore untuk sopan santun Inggris, takhayul, balada, dan tentang masa lampau. Sejak itulah folklore menjadi istilah baru dalam kebudayaan. Secara etimologi, folk artinya kolektif, atau ciri-ciri pengenalan fisik atau kebudayaan yang sama dalam masyarakt, sedangkan lore merupakan tradisi dari folk. Atau menurut pendapat Alan dalam Danandjaja (1997: 1) folklor adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenalan fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya.
Arti folklor secara keseluruhan menurut pendapat Danandjaja (1997: 2) sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).
Menurut pendapat Soeryawan (1984: 21) folklor adalah bentuk kesenian yang lahir dan menyebar di kalangan rakyat banyak. Ciri dari seni budaya ini yang merupakan ungkapan pengalaman dan penghayatan manusia yang khas ialah dalam bentuknya yang estetis-artistis. Karena di dalam melaksanakan hubungan-hubungan yang komunikatif, seni mengungkapkannya melalui bentuk-bentuk estetis yang dipilihnya.
Pendapat Rusyana ( 1978: 1) folklor adalah merupakan bagian dari persendian ceritera yang telah lama hidup dalam tradisi suatu masyarakat.
Sedangkan menurut pendapat Iskar dalam H.U. Pikiran Rakyat (22-Januari-1996) folklor adalah kajian kebudayaan rakyat jelata baik unsur materi maupun unsur nonmaterinya. Kajian tersebut kepada masalah kepercayaan rakyat, adat kebiasaan, pengetahuan rakyat, bahasa rakyat (dialek), kesusastraan rakyat, nyanyian dan musik rakyat, tarian dan drama rakyat, kesenian rakyat, serta pakaian rakyat.
Folklor memang mengkaji seni, sebab menurut pendapat Fischer (1994: folklore the study about art, but, unfortunately, folk art scholarship has tended to lag behind mainstream folkloristic. One reason for this is that the bulk of folk art discussion tends to be purely descriptive rather than analytic.
Adapun menurut pedapat Harvey (1955: 294) bahwa folklore the traditional beliefs, legends, and customs, current among the common people and the study of them.
Ciri-ciri Folklor
Kedudukan folklor dengan kebudayaan lainnya tentu saja berbeda, karena folklor memiliki karakteristik atau ciri tersendiri. Menurut pendapat Danandjaja (1997: 3), ciri-ciri pengenal utama pada folklor bisa dirumuskan sebagai berikut :
a. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut.
b. Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar.
c. Folklor ada (exis) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi (interpolation).
d. Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi.
e. Folkor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Dan selalu menggunakan kata-kata klise.
f. Folklor mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
g. Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai logika umum. Ciri pengenalan ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan.
h. Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidakdiketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.
i. Folklor pada umumnya bersifar polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manisfestasinya.
Folklor pada Masyarakat Sunda
Folklor pada masyarakat Sunda, sama dengan folklor dengan daerah lain, yiatu terbagi menjadi folklor lisan (verbal folklore), folklor setengah lisan (partly folklore), dan folklor bukan lisan (nonverbal folklore).
1. Folklor Lisan (Verval Folklore)
Menurut pendapat Rusyana (1976: ) folklor lisan atau sastra lisan mempunyai kemungkinan untuk berperanan sebagai kekayaan budaya khususnya kekayan sastra; sebagai modal apresiasi sastra sebab sastra lisan telah membimbing anggota masyarakat ke arah apresiasi dan pemahaman gagasan dan peristiwa puitik berdasarkan praktek yang telah menjadi tradisi selama berabad-abad; sebagai dasar komunikasi antara pencipta dan masyarakat dalam arti ciptaan yang berdasarkan sastra lisan akan lebih mudah digauli sebab ada unsurnya yang sudah dikenal oleh masyarakat.
(1) Cerita Prosa Rakyat (Dongeng)
Sekelompok cerita tradisional Sunda dalam sastra Sunda istilahnya adalah dongeng (Rusyana, 2000: 207).
Dongeng merupakan cerita prosa rakyat. Karena menurut pendapat Rusyana (2000: 207) istilah dongeng digunakan untuk menyebut sekelompok serita tradisional dalam sastra Sunda. Di dalam sastra Sunda terdapat jenis cerita yang diketahui sudah tersedia dalam masyarakat, yang diterima oleh para anggota masyarakat itu dari generasi yang lebih dulu. Dongeng dituturkan oleh seseorng kepada yang lainnya dengan menggunakan bahasa lisan.
Jenis-jenis dongeng menurut Rusyana (2000: 208), yaitu (1) dongeng mite, (2) dongeng legenda, dan (3) dongeng biasa.
a. Dongeng mite
Dongeng mite ialah cerita tradisional yang pelakunya makhluk supernatural dengan latar suci dan waktu masa purba. Di dalamnya terdapat peristiwa yang membayangkan kejadian berkenaan dengan penciptaan semesta dan isinya, perubahan dunia, dan kehancuran dunia. Masyarakat pendukung (pemilik) mite biasanya menganggap cerita itu sebagai suatu yang dipercayai (Rusyana, 2000: 208-209).
b. Dongeng legenda
Dongeng legenda ialah cerita tradisional yang pelakunya dibayangkan sebagai
Sumber : http://www.fkip-uninus.org