Oleh: Yuri Alfrin Aladdin
Makam tersebut tampak sederhana, berukuran sekitar 2 X 3 meter, ditembok di setiap sisinya dengan batu-batu koral bertebaran menutupi bagian tengahnya. Aura keagungan yang mistis terkesan menyeruak dari makam yang berada di dalam sebuah bangunan ala pendopo dengan berlantai pualam dan atap berciri bangunan tradisional Aceh.
Di kepala makam pun terlihat plakat bertuliskan bahwa makam tersebut merupakan tempat peristirahatan terakhir salah seorang putra terbaik Aceh sekaligus pahlawan nasional pejuang melawan penjajah Belanda : Teuku Umar Johan Pahlawan.
Makam tersebut terletak di Desa Meugo, sekitar 40 kilometer dari Kota Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Tempatnya terkesan terpencil, seperti tempat persembunyian para pejuang Aceh. Dari tempat parkir mobil, para peziarah harus berjalan kaki sekitar 500 meter menuruni sebuah bukit hutan yang indah.
Serombongan peziarah yang datang dari Jakarta tampak khusuk berdoa dan sebagian membaca Al Quran di samping makam tersebut. Salah seorang peziarah bahkan meminta izin juru kunci makam untuk mengambil sebuah batu koral dari makam tersebut.
"Cuma untuk kenang-kenangan kok. Ini tempat wisata yang belum populer. Banyak rekan-rekan saya di Jakarta yang sudah berkeliling Indonesia tapi belum tahu atau belum berkunjung ke makam Teuku Umar," kata Sadzili, peziarah tersebut.
Hal senada dikemukakan Bupati Aceh Barat Ramli, MS. Menurut dia, makam pahlawan nasional Teuku Umar bisa menjadi salah satu obyek pariwisata yang berpotensi tinggi menyerap wisatawan nusantara dan manca negara.
"Lihat saja, tempatnya indah, dikelilingi hutan dan udara yang sejuk. Sayangnya masih belum populer. Banyak kendala, seperti masalah ketiadaan anggaran pengelolan dan transportasi yang saat ini agak sulit bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke sana," kata Ramli.
Potensi pariwisata Aceh tampaknya akan menjadi salah satu ujung tombak pendapatan asli daerah bagi provinsi tersebut pasca berakhirnya masa tugas Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias tanggal 16 April 2009.
"Tidak ada lagi perang di Aceh. Rakyat juga telah dapat melupakan trauma bencana tsunami. Saatnya bagi Aceh membangun di semua sektor, termasuk sektor pariwisata," kata Gubernur NAD Irwandi Yusuf kepada ANTARA akhir Desember 2008.
Dikatakan bahwa Aceh memiliki berbagai potensi daerah wisata yang sebagian sudah dikenal para wisatawan nusantara dan mancanegara.
Antara lain, wisata bahari Pulau Weh, wisata religi di Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, wisata sejarah di Museum Cut Nyak Dien, di Aceh Besar, wisata alam Danau Laut Tawar di Aceh Tengah serta Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh Tenggara yang demikian memesona.
"Kami angat membuka diri jika ada investor yang mau bekerja sama mengelola atau mengembangkan tempat-tempat wisata itu," kata Gubernur.
Dia menjelaskan bahwa selain telah membangun "Tsunami Memorial Park", pihaknya juga akan membuka resmi Museum Tsunami di Banda Aceh, yang akan menjadi tempat kenangan atas bencana mengerikan yang menewaskan sekitar 200 ribu orang tersebut. Tempat itu sekaligus akan menjadi pusat kajian ilmiah tsunami.
Selain itu, kata dia, pihaknya juga bermaksud membangun sebuah tempat wisata unik yang disebut dengan istilah "wisata gerilya" di kilometer 29 antara Kabupaten Aceh Pidie dan Aceh Barat. Lokasi tersebut sebelumnya merupakan salah satu pusat markas pejuang GAM.
"Ide ini menarik. Tujuannya untuk mengenang masa-masa pahit saat terjadi pertikaian bersenjata antara Pemerintah RI dan GAM dulu dan agar jangan sampai hal ini terjadi lagi dan dialami generasi mendatang," kata Kepala Seksi Internasional Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) Betty Anita FG setelah menerima penjelasan langsung mengenai rencana itu dari Gubernur Aceh, Desember 2008 lalu.
Wisatawan Mancanegara
Data Dinas Pariwisata Provinsi NAD menyebutkan , antara tahun 1999 hingga 2003 terdapat sekitar 3.603 wisatawan mancanegara yang berkunjung ke 10 daerah/kota di provinsi tersebut.
Jumlah terbesar berasal dari Jerman dengan jumlah 2.746 orang pada tahun 1999 dan tahun 2003 hanya 133 orang, menyusul Inggris sebanyak 2.196 orang pada tahun 1999 menjadi hanya 119 orang pada 2003.
Pasca tsunami tahun 2004, sekitar 150 negara mengirim perwakilannya ke Aceh dan hingga Maret 2005 tercatat sekitar 7.000 relawan asing tersebar di seluruh Aceh.
Muhammad Hamzah, seorang jurnalis dari Banda Aceh yng bekerja untuk sebuah media berskala nasional, menjelaskan bahwa kehadiran para relawan dalam jumlah besar itu memang sangat bermanfaat dalam menggerakkan perekonomian Aceh.
"Masyarakat Aceh mendapat pemasukan dari jasa rumah penginapan, restoran, kedai kopi, mobil sewaan, pasar, dan pusat-pusat perbelanjaan. Selain itu juga banyak pemuda Aceh yang bekerja membantu lembaga-lembaga swadaya asing tersebut, baik sebagai teknisi, pemandu ataupun penerjemah," kata Hamzah.
Namun demikian, seiring dengan berakhirnya masa kerja BRR NAD-Nias pada April mendatang, maka sebagian besar para relawan asing juga akan mengakhiri masa kerjanya di Aceh.
"Ini yang menjadi tantangan besar untuk Pemprov NAD. Sektor pertambangan tidak bisa lagi diandalkan untuk membuka lapangan kerja bagi para pemuda Aceh. Karena itu sektor pariwisata, jika dikelola dengan baik, dapat menjadi penyelamat bagi para pencari kerja," kata dia.
Kendati Aceh saat ini tengah menikmati masa damai dan terus membenahi infrastrukturnya pascatsunami, ternyata upaya menjaring wisatawan mancanegara dan nusantara juga bukan persoalan mudah.
Hamzah menjelaskan bahwa terdapat persepsi salah yang terlanjur terbentuk di kalangan masyarakat dalam dan luar negeri bahwa NAD adalah provinsi yang tidak aman dan pemberlakuan hukum syariah akan menyulitkan wisatawan non muslim.
"Betul ada hukum syariah di Aceh. Contohnya, keharusan menggunakan penutup kepala bagi wanita. Tapi syariah itu kan cuma berlaku untuk kaum muslim, tidak berlaku untuk mereka yang non muslim. Jadi apa yang dikhawatirkan?" kata Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menanggapi hal tersebut.
"Walaupun demikian, kami memang memang mengharapkan para wisatawan juga bersedia untuk menghormati budaya setempat, misalnya dengan tidak berpakaian yang menunjukkan aurat di tempat-tempat umum," kata Irwandi.
Bagaimana dengan situasi keamanan di Aceh saat ini ?
Irwandi menjelaskan bahwa persepsi keliru tersebut muncul akibat adanya pemberitaan-pemberitaan negatif yang terlalu dibesar-besarkan mengenai tindakan kriminal di Aceh.
"Betul rata-rata terjadi sekitar 300 persen angka pencurian kendaraan bermotor dari saat sebelum dan sesudah perdamaian antara Pemerintah RI dan GAM tahun 2005. Demikian pula terjadi peningkatan persentase angka perampokan dengan senjata api sekitar 200 persen. Tapi yang dilupakan media massa adalah kuantitasnya yang sangat sedikit dibanding Medan atau Jakarta," kata Irwandi Yusuf, yang sebelumnya adalah seorang pemimpin GAM.
Gubernur menjelaskan, misalkan sebelum perdamaian Helsinki tahun 2005 rata-rata terjadi peristiwa perampokan bersenjata sekitar dua kali dalam sebulan di Banda Aceh, kini saat masa damai naik menjadi enam kali. "Tapi coba Anda bandingkan dengan Kota Medan yang jumlahnya bisa ratusan kali dalam sebulan. Ini kan tidak sebanding," kata dia.
"Aceh saat ini aman. Saya tantang Anda untuk jalan-jalan malam-malam. Saya jamin Anda aman. Aceh saat ini jauh lebih aman daripada Jakarta dan Medan. Jangan ragu lagi, datanglah berwisata ke Aceh," kata Irwandi bersemangat.
Tampaknya Irwandi benar. Saat tengah malam rombongan wartawan dari Jakarta berjalan-jalan dan minum kopi serta makan durian di kedai-kedai di sudut Kota Banda Aceh, tidak terasa lagi aura menakutkan yang menyelimuti seperti di masa lalu, saat terjadinya bentroan antara GAM dan Pemerintah RI.
"Yang dipikirkan rakyat Aceh saat ini adalah bagaimana meningkatkan perekonomian mereka. Tidak ada lagi ide untuk memisahkan diri menjadi negara sendiri. Itu masa lalu," kata Muhammad Hamzah.
Sumber : http://www.antara.co.id
Makam tersebut tampak sederhana, berukuran sekitar 2 X 3 meter, ditembok di setiap sisinya dengan batu-batu koral bertebaran menutupi bagian tengahnya. Aura keagungan yang mistis terkesan menyeruak dari makam yang berada di dalam sebuah bangunan ala pendopo dengan berlantai pualam dan atap berciri bangunan tradisional Aceh.
Di kepala makam pun terlihat plakat bertuliskan bahwa makam tersebut merupakan tempat peristirahatan terakhir salah seorang putra terbaik Aceh sekaligus pahlawan nasional pejuang melawan penjajah Belanda : Teuku Umar Johan Pahlawan.
Makam tersebut terletak di Desa Meugo, sekitar 40 kilometer dari Kota Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Tempatnya terkesan terpencil, seperti tempat persembunyian para pejuang Aceh. Dari tempat parkir mobil, para peziarah harus berjalan kaki sekitar 500 meter menuruni sebuah bukit hutan yang indah.
Serombongan peziarah yang datang dari Jakarta tampak khusuk berdoa dan sebagian membaca Al Quran di samping makam tersebut. Salah seorang peziarah bahkan meminta izin juru kunci makam untuk mengambil sebuah batu koral dari makam tersebut.
"Cuma untuk kenang-kenangan kok. Ini tempat wisata yang belum populer. Banyak rekan-rekan saya di Jakarta yang sudah berkeliling Indonesia tapi belum tahu atau belum berkunjung ke makam Teuku Umar," kata Sadzili, peziarah tersebut.
Hal senada dikemukakan Bupati Aceh Barat Ramli, MS. Menurut dia, makam pahlawan nasional Teuku Umar bisa menjadi salah satu obyek pariwisata yang berpotensi tinggi menyerap wisatawan nusantara dan manca negara.
"Lihat saja, tempatnya indah, dikelilingi hutan dan udara yang sejuk. Sayangnya masih belum populer. Banyak kendala, seperti masalah ketiadaan anggaran pengelolan dan transportasi yang saat ini agak sulit bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke sana," kata Ramli.
Potensi pariwisata Aceh tampaknya akan menjadi salah satu ujung tombak pendapatan asli daerah bagi provinsi tersebut pasca berakhirnya masa tugas Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias tanggal 16 April 2009.
"Tidak ada lagi perang di Aceh. Rakyat juga telah dapat melupakan trauma bencana tsunami. Saatnya bagi Aceh membangun di semua sektor, termasuk sektor pariwisata," kata Gubernur NAD Irwandi Yusuf kepada ANTARA akhir Desember 2008.
Dikatakan bahwa Aceh memiliki berbagai potensi daerah wisata yang sebagian sudah dikenal para wisatawan nusantara dan mancanegara.
Antara lain, wisata bahari Pulau Weh, wisata religi di Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, wisata sejarah di Museum Cut Nyak Dien, di Aceh Besar, wisata alam Danau Laut Tawar di Aceh Tengah serta Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh Tenggara yang demikian memesona.
"Kami angat membuka diri jika ada investor yang mau bekerja sama mengelola atau mengembangkan tempat-tempat wisata itu," kata Gubernur.
Dia menjelaskan bahwa selain telah membangun "Tsunami Memorial Park", pihaknya juga akan membuka resmi Museum Tsunami di Banda Aceh, yang akan menjadi tempat kenangan atas bencana mengerikan yang menewaskan sekitar 200 ribu orang tersebut. Tempat itu sekaligus akan menjadi pusat kajian ilmiah tsunami.
Selain itu, kata dia, pihaknya juga bermaksud membangun sebuah tempat wisata unik yang disebut dengan istilah "wisata gerilya" di kilometer 29 antara Kabupaten Aceh Pidie dan Aceh Barat. Lokasi tersebut sebelumnya merupakan salah satu pusat markas pejuang GAM.
"Ide ini menarik. Tujuannya untuk mengenang masa-masa pahit saat terjadi pertikaian bersenjata antara Pemerintah RI dan GAM dulu dan agar jangan sampai hal ini terjadi lagi dan dialami generasi mendatang," kata Kepala Seksi Internasional Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) Betty Anita FG setelah menerima penjelasan langsung mengenai rencana itu dari Gubernur Aceh, Desember 2008 lalu.
Wisatawan Mancanegara
Data Dinas Pariwisata Provinsi NAD menyebutkan , antara tahun 1999 hingga 2003 terdapat sekitar 3.603 wisatawan mancanegara yang berkunjung ke 10 daerah/kota di provinsi tersebut.
Jumlah terbesar berasal dari Jerman dengan jumlah 2.746 orang pada tahun 1999 dan tahun 2003 hanya 133 orang, menyusul Inggris sebanyak 2.196 orang pada tahun 1999 menjadi hanya 119 orang pada 2003.
Pasca tsunami tahun 2004, sekitar 150 negara mengirim perwakilannya ke Aceh dan hingga Maret 2005 tercatat sekitar 7.000 relawan asing tersebar di seluruh Aceh.
Muhammad Hamzah, seorang jurnalis dari Banda Aceh yng bekerja untuk sebuah media berskala nasional, menjelaskan bahwa kehadiran para relawan dalam jumlah besar itu memang sangat bermanfaat dalam menggerakkan perekonomian Aceh.
"Masyarakat Aceh mendapat pemasukan dari jasa rumah penginapan, restoran, kedai kopi, mobil sewaan, pasar, dan pusat-pusat perbelanjaan. Selain itu juga banyak pemuda Aceh yang bekerja membantu lembaga-lembaga swadaya asing tersebut, baik sebagai teknisi, pemandu ataupun penerjemah," kata Hamzah.
Namun demikian, seiring dengan berakhirnya masa kerja BRR NAD-Nias pada April mendatang, maka sebagian besar para relawan asing juga akan mengakhiri masa kerjanya di Aceh.
"Ini yang menjadi tantangan besar untuk Pemprov NAD. Sektor pertambangan tidak bisa lagi diandalkan untuk membuka lapangan kerja bagi para pemuda Aceh. Karena itu sektor pariwisata, jika dikelola dengan baik, dapat menjadi penyelamat bagi para pencari kerja," kata dia.
Kendati Aceh saat ini tengah menikmati masa damai dan terus membenahi infrastrukturnya pascatsunami, ternyata upaya menjaring wisatawan mancanegara dan nusantara juga bukan persoalan mudah.
Hamzah menjelaskan bahwa terdapat persepsi salah yang terlanjur terbentuk di kalangan masyarakat dalam dan luar negeri bahwa NAD adalah provinsi yang tidak aman dan pemberlakuan hukum syariah akan menyulitkan wisatawan non muslim.
"Betul ada hukum syariah di Aceh. Contohnya, keharusan menggunakan penutup kepala bagi wanita. Tapi syariah itu kan cuma berlaku untuk kaum muslim, tidak berlaku untuk mereka yang non muslim. Jadi apa yang dikhawatirkan?" kata Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menanggapi hal tersebut.
"Walaupun demikian, kami memang memang mengharapkan para wisatawan juga bersedia untuk menghormati budaya setempat, misalnya dengan tidak berpakaian yang menunjukkan aurat di tempat-tempat umum," kata Irwandi.
Bagaimana dengan situasi keamanan di Aceh saat ini ?
Irwandi menjelaskan bahwa persepsi keliru tersebut muncul akibat adanya pemberitaan-pemberitaan negatif yang terlalu dibesar-besarkan mengenai tindakan kriminal di Aceh.
"Betul rata-rata terjadi sekitar 300 persen angka pencurian kendaraan bermotor dari saat sebelum dan sesudah perdamaian antara Pemerintah RI dan GAM tahun 2005. Demikian pula terjadi peningkatan persentase angka perampokan dengan senjata api sekitar 200 persen. Tapi yang dilupakan media massa adalah kuantitasnya yang sangat sedikit dibanding Medan atau Jakarta," kata Irwandi Yusuf, yang sebelumnya adalah seorang pemimpin GAM.
Gubernur menjelaskan, misalkan sebelum perdamaian Helsinki tahun 2005 rata-rata terjadi peristiwa perampokan bersenjata sekitar dua kali dalam sebulan di Banda Aceh, kini saat masa damai naik menjadi enam kali. "Tapi coba Anda bandingkan dengan Kota Medan yang jumlahnya bisa ratusan kali dalam sebulan. Ini kan tidak sebanding," kata dia.
"Aceh saat ini aman. Saya tantang Anda untuk jalan-jalan malam-malam. Saya jamin Anda aman. Aceh saat ini jauh lebih aman daripada Jakarta dan Medan. Jangan ragu lagi, datanglah berwisata ke Aceh," kata Irwandi bersemangat.
Tampaknya Irwandi benar. Saat tengah malam rombongan wartawan dari Jakarta berjalan-jalan dan minum kopi serta makan durian di kedai-kedai di sudut Kota Banda Aceh, tidak terasa lagi aura menakutkan yang menyelimuti seperti di masa lalu, saat terjadinya bentroan antara GAM dan Pemerintah RI.
"Yang dipikirkan rakyat Aceh saat ini adalah bagaimana meningkatkan perekonomian mereka. Tidak ada lagi ide untuk memisahkan diri menjadi negara sendiri. Itu masa lalu," kata Muhammad Hamzah.
Sumber : http://www.antara.co.id