Keinginan untuk terus memajukan kesenian tradisional sebagai bagian dari kesenian nasional menjadikan kelompok seni Reog Krido Budoyo di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung, tetap rutin menggelar latihan dalam keseharian aktivitas mereka.
Menurut Ketua Kelompok seni Krido Budoyo, Misno (45), di Desa Sukoharjo 1, Kecamatan Sukoharjo, Tanggamus, Provinsi Lampung, Minggu malam, tekadnya akan tetap mempertahankan kesenian tradisional itu di tengah serbuan berbagai kesenian dan kebudayaan modern saat ini .
"Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan terus melanjutkan kesenian tradisional ini," kata Misno pula.
Krido yang menurut Misno berarti `rido` atau `rela`, dan `budoyo` berarti `budaya` atau kebudayaan, disimpulkan sebagai rela untuk berkesenian sebagai dasar untuk mengembangkan kesenian yang diyakini sebagai kesenian asli daerah Ponorogo, Jawa Timur itu..
Kelompok seni ini berdiri sejak tahun 1994, dan memiliki 30 pemain yang berperan di antaranya enam orang sebagai penari jatilan (penari perempuan yang menggunakan kuda kepang), enam pemain laki-laki sebagai warok, klono sewandoro satu orang, bujang ganong (pemegang merak) dua orang, tari merak tiga orang, penabuh gamelan enam orang, dan sisanya sebagai pemain cadangan.
Latihan yang rutin dilakukan pada setiap hari Rabu dan Sabtu, dimulai pukul 20.00 WIB sampai dengan 23.00 WIB.
Misno mengungkapkan pula bahwa kendala yang dihadapi dalam memimpin kelompok kesenian ini, antara lain kurang dukungan dari pemerintah, terutama dana atau bantuan pengadaan alat-alat kesenian yang mereka perlukan.
Dia mencontohkan, seperti merak (hiasan besar dimainkan di atas kepala) yang sudah tidak bagus lagi, sedangkan harga sebuah merak itu berkisar tujuh sampai sepuluh juta rupiah.
Namun dengan keterbatasan peralatan yang ada, dia bersama anggota kelompok kesenian tradisional itu masih menyimpan semangat untuk terus berkembang.
Menurut salah satu pemain kelompok kesenian ini, Yudi (25), mereka dapat membuktikan prestasi dengan menyabet juara ke-2 festival reog se-Kabupaten Tanggamus yang disponsori oleh Sampoerna Hijau di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung beberapa waktu lalu.
"Saya memainkan kesenian ini, karena merasa senang dan sekaligus sebagai sarana hiburan," kata Yudi lagi.
Tarif yang dikenakan untuk menyewa kelompok seni reog ini, kata Misno, bervariasi tergantung dari jauh dekatnya jarak tempat penyewanya.
Tarif paling rendah yaitu Rp1 juta rupiah, dengan pertunjukan kesenian itu dimulai pukul 13.00 WIB sampai sore, atau sekitar pukul 17.30 WIB.
Kesenian rakyat ini, juga tetap diyakini mereka tidak akan kalah bersaing dengan hiburan modern di daerah perkotaan yang sekarang terus berkembang pula.
Minat masyarakat ini terlihat dari pesanan (order) yang datang ke kelompok seni reog ini masih terus berdatangan.
Bahkan pertunjukan seni reog ini pernah diminta untuk tampil di lintas kabupaten, yaitu Kabupaten Lampung Barat, dan juga mengikuti berbagai event yang diselenggarakan, seperti di Festival Krakatau, dan acara-acara peringatan kemerdekaan di sejumlah tempat di Lampung.
Sumber : http://vibizdaily.com
Menurut Ketua Kelompok seni Krido Budoyo, Misno (45), di Desa Sukoharjo 1, Kecamatan Sukoharjo, Tanggamus, Provinsi Lampung, Minggu malam, tekadnya akan tetap mempertahankan kesenian tradisional itu di tengah serbuan berbagai kesenian dan kebudayaan modern saat ini .
"Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan terus melanjutkan kesenian tradisional ini," kata Misno pula.
Krido yang menurut Misno berarti `rido` atau `rela`, dan `budoyo` berarti `budaya` atau kebudayaan, disimpulkan sebagai rela untuk berkesenian sebagai dasar untuk mengembangkan kesenian yang diyakini sebagai kesenian asli daerah Ponorogo, Jawa Timur itu..
Kelompok seni ini berdiri sejak tahun 1994, dan memiliki 30 pemain yang berperan di antaranya enam orang sebagai penari jatilan (penari perempuan yang menggunakan kuda kepang), enam pemain laki-laki sebagai warok, klono sewandoro satu orang, bujang ganong (pemegang merak) dua orang, tari merak tiga orang, penabuh gamelan enam orang, dan sisanya sebagai pemain cadangan.
Latihan yang rutin dilakukan pada setiap hari Rabu dan Sabtu, dimulai pukul 20.00 WIB sampai dengan 23.00 WIB.
Misno mengungkapkan pula bahwa kendala yang dihadapi dalam memimpin kelompok kesenian ini, antara lain kurang dukungan dari pemerintah, terutama dana atau bantuan pengadaan alat-alat kesenian yang mereka perlukan.
Dia mencontohkan, seperti merak (hiasan besar dimainkan di atas kepala) yang sudah tidak bagus lagi, sedangkan harga sebuah merak itu berkisar tujuh sampai sepuluh juta rupiah.
Namun dengan keterbatasan peralatan yang ada, dia bersama anggota kelompok kesenian tradisional itu masih menyimpan semangat untuk terus berkembang.
Menurut salah satu pemain kelompok kesenian ini, Yudi (25), mereka dapat membuktikan prestasi dengan menyabet juara ke-2 festival reog se-Kabupaten Tanggamus yang disponsori oleh Sampoerna Hijau di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung beberapa waktu lalu.
"Saya memainkan kesenian ini, karena merasa senang dan sekaligus sebagai sarana hiburan," kata Yudi lagi.
Tarif yang dikenakan untuk menyewa kelompok seni reog ini, kata Misno, bervariasi tergantung dari jauh dekatnya jarak tempat penyewanya.
Tarif paling rendah yaitu Rp1 juta rupiah, dengan pertunjukan kesenian itu dimulai pukul 13.00 WIB sampai sore, atau sekitar pukul 17.30 WIB.
Kesenian rakyat ini, juga tetap diyakini mereka tidak akan kalah bersaing dengan hiburan modern di daerah perkotaan yang sekarang terus berkembang pula.
Minat masyarakat ini terlihat dari pesanan (order) yang datang ke kelompok seni reog ini masih terus berdatangan.
Bahkan pertunjukan seni reog ini pernah diminta untuk tampil di lintas kabupaten, yaitu Kabupaten Lampung Barat, dan juga mengikuti berbagai event yang diselenggarakan, seperti di Festival Krakatau, dan acara-acara peringatan kemerdekaan di sejumlah tempat di Lampung.
Sumber : http://vibizdaily.com