Tapis Pulau Pisang salah satu penanda hubungan marga pulau ini dengan marga Way Sindi. Adat, alam, dan kehidupan sehari-hari yang khas mengguratkan eksotisme pada Pulau Pisang. Begitu juga tapis.
Eksotisme Pulau Pisang tak juga hilang meski kini cengkih mulai jauh dari pulau ini. Pantai yang jernih, debur ombak, dan pasir putih adalah alam yang menebar keeksotisan pulau. Anak-anak kecil berlarian telanjang di pantai, bercengkerama lalu memecah ombak, adalah kehidupan bocah-bocah pantai yang jauh dari sergapan video game dan play station. Mereka berteriak ketika ada "orang asing" mendekat. Tak jarang mereka juga menutup muka lalu membalikkan badan telanjangnya ketika "orang asing" mengangkat kamera: Jpprreeet! Jpprreeet! Jpprreeet!!
Tak jauh dari pantai, ibu-ibu Pulau Pisang mengelilingi tumpukan ikan hasil tangkapan bapak-bapak Pulau Pisang, para suami. Tak jauh dari situ, asap mengepul dari bakaran arang. Gesang ikan-ikan segar menebar bau daging segar yang terbakar. Ibu-ibu Pekon Labuhan itu pun menguliti ikan-ikan yang berasap lalu memakannya. Nyam...nyam...nyaaam!
Pulau Pisang! Inilah Pulau Pisang; pulau seluas 2.310 hektare yang berada di Kecamatan Pesisir Utara, Lampung Barat. Pulau ini berpenduduk seribuan orang. Dulu, sebelum 1980, penduduk pulau ini lebih tiga ribu. Mereka tersebar di enam pekon: Labuhan, Lok, Sukadana, Pasar, Sukamarga, dan Bandardalam.
Alam dan kehidupan warga Pulau Pisang adalah eksotisme itu sendiri. Di pulau kecil ini, kita bisa merasakan kekhasan hidup yang merujuk pada tata budaya Marga Pulau Pisang. Di pulau ini, warga enam desa hidup dalam keteraturan sosial yang merujuk pada konstruk budaya marga Way Sindi di Olokpandan.
Dikisahkan Zafrullah Khan gelar Dalom Kemala Raja, sebelum Inggris masuk Krui, marga Way Sindi yang tinggal di Olokpandan semakin besar. Saat itu, marga Way Sindi dipimpin Saibatin Pangeran Simbangan Ratu.
Pertambahan penduduk menuntut perluasan wilayah untuk tempat tinggal. Pangeran Simbangan Ratu pun memerintah Udin dari marga Tenumbang melihat kondisi Pulau Pisang. Dari survei itu, Udin melaporkan pada Saibatin kalau Pulau Pisang dapat dijadikan permukiman.
Rombongan marga Way Sindi masuk Pulau Pisang dipimpin Mail gelar Raja Pesirah gelar Pangeran Sangun Ratu. Ia anak kedua Pangeran Simbangan Ratu, adik Syatari gelar Raja Ya Sangun Ratu.
Pertama masuk pulau ini, rombongan Pangeran Sangun Ratu mendiami lamban balak di Pekon Lok. Mereka membuka kebun di kampung ini.
Pengembangan juga terjadi di pulau ini. Orang-orang pertama Pulau Pisang kemudian membangun empat pekon lagi: Bandardalam, Labuhan, Sukadana, dan Sukamarga. Akhirnya, pada 17 September 1922, Pulau Pisang mendapat otonomi dan berhak menyandang status marga sendiri, marga Pulau Pisang, yang lepas dari keturunan mereka di Olokpandan. Saibatin Way Sindi saat itu, Mohammad Djapilus gelar Dalom Simbangan Ratu yang memberi kuasa itu. Ia menunjuk Muhammad Fadel gelar Raja Kapitan sebagai saibatin marga Pulau Pisang yang pertama.
`Sinjang` Tapis
Salah satu tradisi Way Sindi yang dibawa ke Pulau Pisang adalah sinjang atau kain tapis. Kain berwarna dasar merah ini adalah ciri khas marga Way Sindi yang juga berkembang di Pulau Pisang.
Dalam catatan sejarah yang dipegang Zafrullah, pada abad ke-12, saat Krui berada di bawah kekuasan Inggris, warga Way Sindi sudah terkenal sebagai pembuat tapis.
"Asal mula tapis Pulau Pisang mencontoh kain songket Palembang. Kain dasar itu diberi benang emas. Karena di masyarakat Pulau Pisang akrab dengan perahu, corak awal kain tapis di sini bermotif perahu," kata Zafrullah, Sabtu (13-1).
Beda di daerah Sukau. Masyarakat Sukau menjadikan gajah sebagai corak tapis. "Dulu kan di sana banyak gajah. Sampai sekarang corak sinjang tumpal tapis yang dipakai dalam setiap acara adat ada: kapal dan gajah," ujar Zafrullah.
Tapis mulai masuk bagian adat, ujar Zafrullah, pada pertengahan abad ke-19. Saat itu, tapis mulai dikembangkan di kawasan Krui. Pemakaian tapis diresmikan dengan prosesi ighau di Olokpandan sekitar tahun 1835.
Dari sini, kata Zafrullah, lahir aturan pemakaian tapis dalam setiap acara adat. "Tapis diselempangkan di bahu. Saibatin diselempangkan di bahu kiri, anak buah di kanan. Ini untuk membedakannya," ujar Zafrullah.
Sekarang warna dasar tapis terus berkembang. Tidak cuma merah, hitam kini jadi pilihan yang banyak digemari. (Minggu, 14 Januari 2007). AAN/HEN/M-1
Sumber : http://www.lampungpost.com
Foto :
syamsurrizal
www.murnis.com