Oleh: Christine Wahyuasih Mauboy, ST
Abstract
Kota Lama known as the old city center Batavia , is a historical area where the city of
The purpose of this study is to find the city‘s positive element which develops into visual images based on community cognitions. Community cognition method is used in this study. The community is consisted of theree social groups: residents , workers and visitors. Experiences and background of each group can create more objectives responses.
The pro-conservation situation demands an appropriate mechanism for meaningful dialogue of these forces for democratic societies for managing con flicts and conservation in historic cities. This paper tries to identify those forces and analyze them for conservation aspects. Though the analysis is qualitative and no attempt has been made to quantity it and thus making it liable to subjecyive interpretations, this could be the first step towards the goal of having described strategy for future course of suitable actions in use for conservation project .
Walaupun Belanda telah angkat kaki dari
Faktor sejarah dan budaya sering kali dilupakan dalam desain dan perencanaan Kota Jakarta. Faktor spasial, fungsional, dan ekonomis lebih banyak mempengaruhi perencanaan Ibu Kota tersebut. Padahal, jika faktor budaya dimanfaatkan secara maksimal, Kota Jakarta bisa menjadi objek wisata budaya yang sangant menarik menarik.
Sejarah Jakarta dan Pengaruhnya Terhadap Tata Letak Kota dan Arsitektur.
Waktu | Penguasa | Nama | Pusat Kota | Konsep | Keterangan |
Abad XII (Prakolonial) | Kerajaan Pajajaran | Sunda Kelapa | Sebelah barat muara Ciliwung, sekarang Luar Batang | | Lokasi muara Ciliwung sebelah barat. Alun–alun sebagai pusat kota yang dikelilingi oleh istana kepala pemerintahan dan masjid. Luas kota saat itu diperkirakan seluas 30 hektar |
Abad XVI (sejak 1527) | Fatahillah (Kesultanan Banten) | Jayakarta | | Dipengaruhi | Permukiman orang–orang |
Abad XVII (sejak 1619 ) | VOC Belanda | Batavia 9 (diambil dari kata Betawi sesepuh kota ini sekaligus pendiri) | | Kota air di Belanda , kota perdagangan dan bisnis | Disesuaikan dengan prinsip kota air seperti Amsterdam dan kota–kota Belanda yaitu sebidang tanah datar dengan rumah–rumah yang rapat yang terbagi dalam blok–blok . Jalan antar blok dipisahkan oleh saluran air dan tempat pejalan kaki. |
Awal abad XIX | Pemerintah Hindia–Belanda | | | Waltevreden menjadi areal Perumahan dan perkantoran dengan gaya arsitektur daerah tropis | Banyak taman yang mengisi jarak antar rumah. Bangunan tersebut memiliki banyak bukaan, beratap curam, berlantai teraso dan berdinding bata tebal. Semuanya berfungsi untuk menjaga agar suhu di dalam ruangan tetap sejuk di siang hari dan hangat di malam hari. |
Abad XIX | Pemerintah Hindia Belanda | | | Gondangdia dan Menteng merupakan perluasan Waltervereden dan memiliki konsep yang sama | Banyak taman. Bangunan bergaya arsitektur tropis |
Abad XX (pasca kemerdekaan) | | | | Kebayoran Baru dijadikan | Desain |
Abad XX (pasca kemerdekaan) | | | | Membangun identitas dan harga diri sebagai negara merdeka | Pembangunan infrastruktur, stadion di Senayan, Gedung Nusantara, Monas dan Lapangan Merdeka. |
Abad XX (pasca kemerdekaan) | Indonsia (Presiden Soeharto) | | | Pembangunan Ekonomi | Pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, jembatan dan jalan tol, serta gedung–gedung bertingkat sebagai kantor pemerintah dan 650 kilometer persegi yang terbagi menjadi berbagai fungsi |
Sumber : Ronald Gill ,
Mungkin tidak banyak orang tahu bahwa pendirian Kota Jakarta telah dimulai sejak masa prakolonial. Berdiri di sebelah barat muara Sungai Ciliwung, cikal bakal Kota Jakarta telah didirikan sejak abad XII oleh masyarakat Hindu-Jawa. Kota Jakarta merupakan bagian dari Kerajaan Padjajaran.
Namun pada tahun 1527,
Pada 1619, Jayakarta jatuh ke tangan Belanda. Nama Jayakarta pun diubah menjadi Batavia oleh VOC (Perusahaan Dagang Hindia Belanda). Sejak saat itu, perencanaan kota bergaya Belanda dimulai di Batavia. Tata kota Batavia disesuaikan dengan prinsip kota air seperti Amsterdam dan kota–kota di Belanda, yaitu sebidang tanah datar dengan rumah–rumah yang rapat yang terbagi dalam blok–blok. Jalan antar blok dipisahkan oleh saluran air dan tempat pejalan kaki.
Pada paruh kedua abad XVII muara barat Sungai Ciliwung, tempat mukim orang Jawa Jayakarta disatukan dengan Batavia. Ini menyebabkan Batavia makin luas menjadi dua kali lipat sebelumnya. Dalam waktu setengah abad, Batavia atau yang saat ini kita kenal dengan nama Kota, mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Area Kota mencapai 100 hektare luasnya dan berkembang menjadi kota besar, bukan hanya sekadar kota tempat perdagangan. Pada abad XVIII, garis pertahanan dan pos–pos penjagaan dibangun mengelilingi Batavia. Tujuannya melindungi perkampungan penduduk, perkebunan gula, perkebunan kelapa, perumahan orang–orang Belanda, dan kantor VOC. Sementara itu kapal–kapal perang Belanda dirawat dan diperbaiki di luar pantai Batavia, yakni di Pulau Onrust, salah satu gugusan Kepulauan Seribu.
Peran Kota menjadi makin penting setelah tahun 1870 pemerintah kolonial membuka keran investasi asing dan swasta. Banyak perusahaan perdagangan berdiri dan menetap di Kota. Akan tetapi, perubahan Kota Batavia mulai terjadi awal abad XIX setelah VOC dibubarkan. Ketika itu kondisi Batavia sudah sangat padat. Masalah sanitasi dan daya dukung lingkungan yang kurang memedai membuat pemerintah kolonial mencari daerah lain untuk mendirikan ibu kota baru. Maka, dipilihlah Weltevreden yang berjarak lima kilometer dari Kota dan letaknya lebih tinggi sebagai pusat kota baru. Tidak seperti Batavia yang berwajah urban dengan rumah–rumah yang berimpitan, Weltevereden lebih luas, mencapai lebih dari 100 hektare.
Weltevreden didirikan untuk permukiman orang–orang Eropa. Struktur kota ini didasarkan pada prinsip bangunan tropis, yaitu banyak taman yang mengisi jarak antarrumah. Bangunan perumahan dan kantor–kantor pemerintahan dibnagun dengan gaya arsitektur Hindia-Belanda.
Bangunan tersebut memiliki banyak bukaan, beratap curam, berlantai teraso, dan berdinding bata tebal. Semuanya berfungsi untuk menjaga agar suhu di dalam ruangan tetap sejuk di siang hari dan hangat di malam hari.
Pada tahun 1835, Gubernur Vanden Bosch membuat garis pertahanan di seputar Weltevreden untuk mengamankan kota . Hal ini makin memperjelas konsep tata kota Weltevreden, yakni pola pembangunan yang menyebar di dalam kota diamankan dengan garis demarkasi di sekelilingnya .
Memasuki abad XIX, Jakarta telah memiliki dua pusat kota dengan fungsinya masing–masing. Bahkan seratus tahun kemudian dibangun area perumahan di luar garis batas Gubernur Vanden Bosch. Area baru ini adalah Menteng dan Gondangdia. Konsep pembangunannya masih sama, yaitu perumahan dengan taman–taman dan jalan raya yang luas, tempat bermukimnya orang–orang Eropa.
Setelah Indonesia merdeka populasi Jakarta bertambah dengan sangat pesat. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk membangun kota satelit. Desain kota Kebayoran Baru merupakan percampuran prinsip antara Eropa Barat dan Jawa. Tata letak kota masih dipengaruhi oleh prinsip tata letak Jawa, namun dipisahkan oleh jalan raya yang lebar dan jalur hijau yang luas.
Pada masa pemerintahan Soekarno, Jakarta menjadi simbol pembangunan nasional. Jakarta menjadi ibu kota negara yang sedang sibuk mencari identitasnya. Berbagai pembangunan berskala besar dilakukan untuk menaikkan gengsi Jakarta, seperti stadion utama di Senayan, Gedung Nusantara di Jl. MH Thamrin, Monumen Nasional ( Monas ) dan Lapangan Merdeka.
Setelah Soekarno turun, Indonesia di pimpin oleh Soeharto. Titik berat kebijakan pemerintah saat itu adalah pembangunan ekonomi. Pada masa itu, Jakarta disibukkan dengan pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, jembatan dan jalan tol. Rangkaian perjalanan Jakarta sejak dahulu hingga sekarang merepresentasikan identitas kultur urban Jakarta sebagai sebuah kota tua belum dimanfaatkan untuk kepentingan wisata budaya (Pemda) DKI Jakarta. Padahal Memang umumnya kota belum dianggap sebagai objek wisata. Oleh karena itu, wajar jika saat ini tanah tersebut belum dikelola dengan baik oleh Pemerintah Daerah jika penataan kota tua memberi perhatian lebih pada sejarah, kawasan itu dapat menjadi andalan baru untuk kegiatan pariwisata. Malaysia, misalnya dapat menjadi contoh adanya kesadaran dalam menjaga dan menjadikan kota-kota tua yang dimilikinya sehingga mampu memberikan keuntungan ekonomis.
Konsevasi ala Malaysia
Seperti Indonesia, Malaysia juga mempunyai sejarah dengan kolonialisasi. Pendudukan Portugis, Belanda dan Inggris selama lebih dari 300 tahun memberikan jejak yang jelas dalam berbagai bidang seperti perencanaan kota, hukum, pendidikan, milite, kultur, dan arsitektur. Menariknya, arsitektur bergaya kolonial dalam bangunan dan monumen–monumen ini merupakan aset utama dalam upaya membentuk kota–kota bersejarah di seluruh Malaysia yang menjadi tujuan wisata .
Industri pariwisata memang mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan nasional Malaysia. Sektor ini merupakan penyumbang terbesar kedua dalam pendapatan nasional selama periode 1994–1997. Pada tahun 1998, tercatat sekitar tiga juta turis menghabiskan liburan ke Malaysia. Industri pariwisata ini mencatatkan keuntungan sekitar M$ 930 juta .
Menyadari atas aset yang dimilikinya itu, kesadaran untuk melakukan konservasi kota bersejarah ini tumbuh cepat. Kota–kota lama seperti Georgetown, Kota bharu dan Malaka menjadi tujuan utama pariwisata Malaysia. Selama 1990–1997, misalnya, jumlah turis yang berkunjung di Georgetown, Malaka dan Kota Bahru terus meningkat.
Dalam melakukan konservasi kota, langkah yang ditempuh Malaysia lebih jelas dan terarah. Konservasi kota ini mulai diperkenalkan pada awal 1980-an dengan proyek awal pada Kuala Lumpur Georgetown Malaka dan kemudian Kota Bharu. Pelaksanaan konservasi kota ini melibatkan kerajsama antara pemerintah daerah, pemerintah pusat, Departeman Urusan Museum dan Antik dan para profesional. Kerja bersama ini atas kesadaran bahwa konservasi tidak hanya masalah krusial untuk pembangunan nasional, tapi juga kebanggaan nasional .
Konservasi di kota–kota ini dilakukan dalam tiga kategori :
Konservasi bangunan yang diimplementasikan dalam berbagai fase, meliputi pendataan dan penilaian sejarah atas tiap bangunan yang ada, evaluasi bangunan tersebut sehingga dapat dilindungi oleh hukum yang berlaku, membuat proposal untuk renovasi dan membentuk organisasi yang membawahi semua upaya konservasi.
Konservasi area: konservasi atas sebuah kawasan yang memiliki elemen bangunan dan monumen yang bernilai sejarah. Konservasi area ini juga termasuk jalanan, air mancur, persimpangan dan taman.
Ketiga adalah konservasi kultural yaitu konservasi yang berhubungan dengan kehidupan sehari–hari dan warisan budaya lokal, seperti gaya hidup tradisional, seni, tarian, musik, kerajinan tangan, dan pakaian.
Kultural ini lebih merupakan identitas dan kebanggaan nasional. Aktivitas perdagangan di Pasar Buluh Kubu di Kota Bahru atau becak di Malaka merupakan contoh kehidupan tradisional yang menarik bagi para turis.
Gedung Bersejarah Apakah Hanya Tinggal Sejarah Saja?
Keberadaan dan kondisi bangunan bersejarah di Jakarta senantiasa mengundang rasa keprihatinan kita sebagai warga masyarakat. Tak jarang kondisi bangunan bersejarah yang kaya nilai historis dan bernilai seni tinggi tersebut jauh dari kesan terawat dan banyak pula yang berubah fungsi.
Berbagai bentuk pembangunan dan penataan tata ruang tak jarang harus mengorbankan keberadaan bangunan–bangunan bersejarah di Jakarta. Salah satu cintoh bangunan bersejarah yang saat ini diambang kehancuran adalah Benteng Timur Batavia yang dibangun 1740, sebagai penanda tersisa batas timur kompleks Batavia kala itu.
Menurut Adolf Heuken, salah satu penulis buku–buku sejarah, Benteng Timur Batavia yang sekarang terletak di jalan Pasar Ikan, Jakarta Kota, pada awal mulanya dibangun untuk keperluan penjagaan kota sekaligus sebagai gudang penyimpanan bahan makanan.
Karena fungsi sebagai gudang bahan makanan itulah, Benteng Timur Batavia juga dikenal dengan sebutan graanpakhuize, yang berarti gudang gandum. Selain Benteng Timur, pada bagian barat Kota Batavia kala itu juga dibangun sebuah benteng penjagaan, yakni Benteng Barat Batavia. Jika dibandingkan dengan Benteng Timur, Benteng Barat ini kondisinya sekarang jauh lebih baik. Saat ini Benteng Barat itu menjadi Museum Bahari.
Terlepas dari kondisi yang sangat kontras dari kedua bangunan bersejarah tersebut, sudah selayaknya seluruh bnagunan bersejarah di Jakarta mendapatkan perhatian yang layak dari pemerintah kota dan masyarakat. Baik pemerintah maupun masyarakat harus bertanggung jawab untuk memelihara kelangsungan bangunan bersejarah itu.
Oud Batavia
”Tambang Emas” seluas 140 hektare itu sudah dua dekade lebih terbengkalai. Hasilnya sebuah kota mati terlahir di Jakarta Barat. Kekumuhan tampak mendominasi kawasan tersebut di siang hari, sedangkan pada malam hari rawan dengan tindak kejahatan.
Jembatan Kota Intan
Di abad ke– 21 in , kawasan yang dulu dikenal dengan Oud Batavia itu sudah kehilangan keagungan dan keanggunannya. Bahkan, wajah bangsawan arsitektur masa lalunya, kini tergantikan dengan bangunan ruko–ruko baru.
Rupa kawasan Kota Tua seperti luka hasil operasi plastik yang tak kunjung pulih, selama puluhan tahun. Hal tersebut membuktikan Pemprov tidak bisa menjaga bangunan–bangunan bersejarah itu, sehingga kawasan tersebut semakin ditinggalkan orang dan lama kelamaan mati .
Kondisi Beberapa Gedung Tua di Jakarta | |||||
Nama Gedung | | | | | |
Zaman Belanda | Sekarang | Lokasi | Pembangunan | Peresmian | Keterangan |
| Gedung Asosiasi Kesenian Hindia Belanda | | 1912-1913 | 17 April 1914 | Berada di ambang kehancuran setelah jatuh ke tangan PT Mandala Griya Cipta yang konon adalah salah satu perusahaan milik Hutomo Mandala Putra |
Gedung Mahkamah Agung (MA) (Hooggerechts schof) | Kantor Direktorat Jenderal (Ditjen) Anggaran Departemen Keuangan Bangunan kuno bekas kejaksaan negeri (Kejari) | Jl. Lapangan Banteng no 2 dan 3 | Selesai dibangun tahun 1828 | | Sudah terpotong. Tiga meter dari situ sudah terbangun Didnding gedung Baru yang Dibangun di Belakang kantor bersejarah itu Sudah rusak tidak terurus. Sebagian sela–sela bangunan dimanfaatkan untuk jalan keluar masuk pembangunan proyek gedung baru. |
Hotel desindes | | | 1866 | | Sekarang Pertokoan Duta Merlin |
Hotel Der Nederlanden | | | 1794 | | Kini Bina Graha |
Benteng Sisi timur | | Pinggir jalan tol RE Martadinata Jakarta Utara | | | |
Voetbalbond Indiesche Omstreken | Stadion Persija | Jalan HOS Cokroaminoto Menteng | 1921 | | Rencana Pemerintah Provinsi DKI membongkar stadion |
Rumah Mewah ( | Markas pemuda panda marga (PPM) jakarta timur | Seberang stasiun kereta api Jatinegara tepatnya di jalan Bekasi Timur Raya No 76 | | | Terlihat Kotor dan terbengkalai |
Rumah Kuno | | Jalan Sunda Kelapa No 1 Menteng | | | Diratakan dengan tanah oleh pemiliknya recananya di atas lahan seluas 600 meter itu akan dibangun rumah dengan arsitektur modern |
| Gedung Candra Naya | Jl Teuku Umar No 1 Menteng | | | Menaikkan seluruh bangunan yang tersisa ke TMII karena alasan di lahan tersebut akan dibangun mal |
Kawasan Kota Tua atau Oud Batavia secara administratif meliputi empat kecamatan di dua kota madya, yakni Kecamatan Penjaringan dan Pademangan di Kota Madya Jakarta Utara, dan Kecamatan Tamansari dan Tambora di Kota Madya Jakarta Barat.
Oud Batavia mencakup Pelabuhan Sunda Kelapa, Kampung Luar Batang, Jalan Petak Baru dan Jembatan Batu dan Olimo. Di areal inilah dapat dinikmati situs–situs seperti Pelabuhan Sunda Kelapa, atau Museum Fatahilah, menara Syahbandar, Museum Bahari, Museum Wayang, Museum Keramik, Museum Bank Mandiri, Gedung BI, Stasiun Kota, dan bangunan–bangunan tua di sepanjang Kanal Kali Besar Barat dan Timur.
Kawasan ini dulunya menjadi pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan pada masa kekuasaan Pangeran Jayakarta, Portugis, dan Belanda. Pada masa kolonialisme Belanda, Batavia dikenal sebagai pelabuhan dengan aktivitas perdagangan yang ramai, pelaut–pelaut dan pedagang asing ”wajib” melabuhkan kapalnya di pelabuhan ini untuk mendapatkan rempah–rempah. Batavia-pun kemudian berjuluk Queen of The East.
Kini, di saat Jakarta telah memasuki usia cukup tua, kawasan peninggalan Belanda terluas di Asia Pasific itu menghadapi masalah berupa penghancuran bangunan tua dan digantikan ruko–ruko baru atau penelantaran sampai ia hancur dengan sendirinya, lalu digantikan dengan bangunan baru.
Tetapi sebenarnya akar permasalahannya bukan pada bangunan–bangunan yang ditelantarkan itu, tetapi pada infrastruktur pendukung di dalam dan menuju ke kawasan Kota.
Permasalahan Kota Tua sudah seperti kanker yang akut, ada empat masalah utama sehingga kawasan Kota Tua makin jauh dari harapan sebagai identitas asal–usul Jakarta, yaitu Transportasi yang semrawut:
Ruang publik yang makin minim.
Kurangnya pedoman pelestarian.
Perbaikan Infrastruktur yang tidak konsisten.
Antitesis
Kawasan tersebut seharusnya segera dibangun dan difungsikan sebagai sentral ruang publik, kita seharusnya membayangkan konsep antitesis, menyempitkan jalan bagi kendaraan bermotor lalu dibangun trotoar yang lebar dengan banyak bangku – bangku taman yang dirindangi pepohonan. Kawasan tersebut jangan dijadikan lintasan, tapi dijadikan daerah tujuan sehingga Jalan Pintu Besar , misalnya , tidak perlu sampai empat jalur.
Konsep tersebu, menurutnya akan menjadikan tidak hanya kawasan Kota, tapi juga Jakarta lebih manusiawi. Di kawasan Kota tersembunyi potensi ekonomi dan Pemprov DKI belum menyadari potensi tersebut sehingga cenderung meninggalkan revitalisasi kawasan Kota. Revitaslisasi akan terus selamanya kandas bila lalu lintas tidak diatur .
Faktor pedagang kaki lima ( PKL ) sebagian besar di kawasan Glodok yang berjualan samapai memenuhi bdan jalan, serta angkutan umum yang tidak tertib sebagai salah satu masalah. Karenanya, revitalisasi Kota Tua termasuk juga penertiban PKL dan anngkutan umum. Setelah itu kesemrawutan di depan stasiun Kota dibenahi, dan terakhir dilakukan pembersihan Kali Besar.
Ada tiga kunci utama revitalisasi kawasan Kota:
Pembenahan areal sekitar Stasiun Beos atau Stasiun Kota sampai Pintu Besar, trotoarnya harus lebih manusiawi, hijau, teduh dan asri dengan jalan kendaraan yang dikecilkan.
Konsep yang sama diterapkan untuk Kali Besar Barat dan Timur sebagai titik pembenahan kedua.
Jalan Kopi tidak lagi menjadi kawasan lintasan.
Untuk mewujudkan cita–cita itu, masih harus menunggu SK Gubernur yang bisa menjembatani keputusan–keputusan sektoral. Sebab revitalisasi yang dilakukan tidak hanya menyangkut gedung, tapi meliputi kawasan seluas 140 hektare yang diurus oleh sekitar delapan sampai sembilan dinas berbeda dari dua kota madya.
Dibawah ini adalah sedikit gambaran kebijakan yang akan dilakukan oleh Bapeda Jakarta terhadap kelangsungan Oud City dan wilayah disekitarnya, saat ini yang dapat kita lakukan adalah hanya menunggu ”tanggal main” terealisasinya program ini, akankah kebijakan ini akan dilakukan atau hanyalah formalitas belaka akibat desakan dari para arsitek yang perduli terhadap konservasi.
Di Jakarta, menurut data Dinas Kebudayaan dan Permuseuman (dahulu bernama Dinas Museum dan Pemugaran), terdapat 216 bangunan bersejarah dengan 132 titik yang dimiliki baik sevara individu, swasta maupun pemerintah . Di setiap titik terdapat dari satu sampai 10 bangunan dan 30 diantaranya adalah milik pemerintah. Sedangkan di kawasan Kota Tua yang seluas 139 hektar, bangunan bersejarah milik pemerintah berjumlah sekitar 10 sampai 15 buah.
Tantangan utama dalam melestarikan bangunan bersejarah sebenarnya adanya pandangan yang mempertanyakan alasanya bangunan lama harus dijaga. Menurut kalangan itu, bentuk bangunan lama tersebut sudah ketinggalan zaman dan banyak mengalami kerusakan. Lebih baik bangunan–bangunan tua itu dibongkar dan diganti dengan bangunan baru yang lebih kuat dengan arsitektur masa kini.
Padahal melalui bangunan lama, beragam kekayaan budaya mampu di tunjukkan melalui gaya bangunan yang khas. Sayangnya, hal semacam itu tidak banyak yang menyadarinya. Yang sering terjadi adalah lebih mudah menggulirkan wacana menggantikan keberadaan bangunan tersebut dengan bangunan baru yang lebih megah dan modern.
Sebagai contoh yang dilakukan pemilik salah satu rumah tua di Jl. Sunda kelapa, Menteng, yang memilih untuk meratakannya dengan tanah walaupun rumah tersebut dapat lebih dioptimalkan untuk menggalakkan sektor pariwisata Kota Jakarta. Selain menambah kas pemasukan pemerintah daerah, juga berfungsi sebagai sarana pemebelajaran sejarah bagi para siswa dan masyarakat umum.
Sayangnya, perhatian yang diberikan Pemprov DKI Jakarta untuk menjadikan gedung bersejarah ini menjadi sumber pendapatan daerah sampai saat ini belum optimal.Mereka baru sebatas tambal sulam untuk perbaikan kondisi fisik bangunan.
Padahal kalau bangunan tua peninggalan sejarah ini dimanfaatkan untuk dijadikan obyek pariwisata akan memberikan pendapatan besar. Contoh kota yang telah menerapkan hal tersebut adalah di Malaysia, negara tersebut sadar dengan potensinya sebagai kota lama yang penuh bangunan–bangunan kolonial. Dengan pemeliharaan yang baik, kota itu mamapu menyedot jutaan turis berkunjung. Sampai dengan semester tahun lalu, Kota Melaka telah mendatangkan sekitar 2,1 juta wisatawan.
Untungnya, saat ini mulai timbul kesadaran dari masyarakat, terutama kaum muda, untuk kembali menengok sejarah kotanya. Kalangan muda yang perduli membentuk kelompok pelesiran yang memadukan jalan–jalan ke kawasan kota lama sekaligus mengenalkan satu per satu sejarah dan gedung atau kawasan tertentu.
Daftar Pustaka
Garnham, Launce, Harry, 1985 , Maintaining the
Heuken , Adolf SJ , 2000 , Historical Sites of
Heuken , Adolf SJ , 1999 – 2000 , Sumber – Sumber Asli Sejarah
Heuken , Adolf SJ , 2003 , Gereja – Gereja Tua di Jakarta , Penerbit Gadjah Mada Press
Pamungkas, Grace , Heuken , Adolf SJ , 2000 , Galan gan Kapal
Pevsner , Nikolaus , 1976 , A History Of Building Types , Bollingen Series , Princeton University Press , Princeton , New Jersey
Wawancara beberapa
__________
Christine Wahyuasih Mauboy, ST, adalah Dosen Program Studi Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Budi Luhur.
Sumber: www.jurnal.bl.ac.id