Oleh : Lamijo
A. Pendahuluan
Pelacuran merupakan fenomena sosial yang senantiasa hadir dan berkembang di setiap putaran roda zaman dan keadaan. Keberadaan pelacuran tidak pernah selesai dikupas, apalagi dihapuskan. Walaupun demikian, dunia pelacuran setidaknya bisa mengungkapkan banyak hal tentang sisi gelap kehidupan manusia, tidak hanya menyangkut hubungan kelamin dan mereka yang terlibat di dalamnya, tetapi juga pihak-pihak yang secara sembunyi-sembunyi ikut menikmati dan mengambil keutungan dari keberadaan pelacuran.
Dengan kedudukan dan posisinya yang penting dan cukup strategis,
Batasan temporal makalah ini adalah tahun 1930-1959. Periode ini setidaknya meliputi masa kolonial akhir, masa pendudukan Jepang, dan masa awal kemerdekaan
Pergantian sistem politik itu secara langsung memang tidak ada pengaruhnya dengan perkembangan prostitusi di Jakarta, namun berbagai situasi sosial dan ekonomi yang serba sulit sejak kemerdekaan hingga memasuki akhir tahun 1950an, yang ditandai dengan banyaknya pengangguran dan kemiskinan, setidak-tidaknya memberikan asumsi bahwa proses politik yang terjadi ikut mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi ada. Selain itu, sejak tahun 1950an mulai terjadi arus urbanisasi ke
Makalah ini mengkaji sejarah dan perkembangan prostitusi di
B. Sekilas Sejarah Jakarta
Pada tahun 1527 Sunda Kelapa jatuh ke tangan Demak di bawah pimpinan Fatahillah dan namanya kemudian diubah menjadi Jayakarta—yang berarti volbrachte zege atau kemenangan yang nyata— tanggal 22 Juni 1527 dan selanjutnya Jayakarta dimasukkan ke dalam kekuasaan kerajaan Banten. Pada tanggal 30 Mei 1619, VOC berhasil menaklukkan Jayakarta. Setelah Jayakarta berhasil ditaklukkan,
Di bawah pemerintahan Daendels inilah pusat pemerintahan berpindah dari Oud Batavia ke Weltevreden (Nieuw Batavia). Nama Batavia terus bertahan sampai dengan tahun 1942 pada saat
Tempat itu juga menjadi persinggahan orang kaya Cina untuk mencari hiburan Dalam perkembangan selanjutnya pada masa kemerdekaan, terutama memasuki tahun 1950an, terjadi peningkatan arus urbanisasi penduduk dari luar Jakarta ke Jakarta dengan maksud mengadu nasib di ibukota pemerintahan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Sejak itu sektor informal, khususnya sektor jasa, di Jakarta pun ikut berkembang seiring dengan tingginya arus urbanisasi. Perkembangan selanjutnya,
C. Sisi Kelam Perkembangan
1. Perkembangan Prostitusi Masa Kolonial Belanda
Praktik-praktik prostitusi sudah ada sejak masa awal penjajahan Belanda, dikarenakan jumlah perempuan Eropa dan Cina di Batavia lebih sedikit dibandingkan jumlah prianya saat itu. Bahkan, sejak masa J.P. Coen pun telah berkembang praktik-praktik prostitusi walaupun secara tegas ia tidak setuju dengan praktik-praktik semacam itu. J.P. Coen sendiri bahkan pernah menghukum putri angkatnya, Sarah, yang ketahuan “bermesraan” dengan perwira VOC di kediamannya. Sang perwira itu dihukum pancung, sedangkan Sarah didera dengan badan setengah telanjang. Walaupun Coen secara tegas menolak prostitusi, kenyataannya ia dan pengganti-penggantinya kemudian tidak mampu membendung berkembangnya prostitusi dan prostitusi merupakan masalah klasik yang dihadapi
Seiring dengan perkembangan ekonomi dan fisik kota Jakarta, serta peran dan posisi Jakarta sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda, maka tempat-tempat pelacuran pun juga mengalami perkembangan dan bergeser—tidak terkonsentrasi di satu tempat saja, misalnya kemudian berkembang tempat pelacuran kelas rendah di sebelah timur Macao Po (sekitar jalan Jayakarta sekarang), yang saat itu bernama Gang Mangga. Tempat ini cukup terkenal sebagai salah satu tempat berlangsungnya kegiatan prostitusi, bahkan saat itu orang menyebut sakit sipilis dengan sebutan sakit mangga. Dalam perkembangan selanjutnya, kompleks pelacuran Gang Mangga kemudian tersaingi oleh rumah-rumah bordil yang didirikan oleh orang Cina yang disebut soehian. Kompleks pelacuran semacam ini kemudian dengan cepat menyebar ke seluruh
Setelah soehian ditutup, sebagai gantinya muncul kompleks pelacuran serupa di Gang Hauber (Petojo) dan Kaligot (Sawah Besar). Sampai awal tahun 1970an Gang Hauber masih dihuni oleh para pelacur, sedangkan Kaligot sudah tutup pada akhir 1950an. Faktor kurangnya jumlah perempuan dibandingkan dengan prianya, misalnya selama periode 1860-1930, merupakan alasan logis meningkatnya permintaan jasa prostitusi, sehingga praktek-praktek prostitusi berkembang semakin pesat di masa kolonial Belanda. Pada tahun 1930 misalnya perbandingan jumlah perempuan tiap 1000 pria di Hindia Belanda adalah sebagai berikut: Eropa, 1.000:884, Cina, 1.000:646, dan Arab, 1.000:841. Selain itu, kondisi perekonomian yang stagnan dan cenderung memburuk pada dasawarsa 1930an ketika terjadi krisis ekonomi turut pula mempengaruhi seorang perempuan dalam menentukan keputusan untuk terjun ke dunia prostitusi. Kemiskinan merupakan kondisi tak terpisahkan dari sejarah bangsa
Depresi ekonomi yang mulai terasa pada pertengahan tahun 1920an di antaranya disebabkan oleh jatuhnya harga-harga komoditi internasional seperti gula dan kopi, sehingga berdampak pada menurunnya aktivitas ekspor dan impor yang pada akhirnya juga berpengaruh pada berkurangnya kesempatan kerja. Berkurangnya kesempatan kerja secara otomatis meningkatkan jumlah pengangguran. Sebenarnya, kerugian yang diderita oleh
Walaupun demikian, jumlah tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan dengan lapangan pekerjaan yang ada dan menurunnya jumlah impor barang-barang dari luar negeri mengakibatkan pengangguran semakin meningkat. Dari kondisi itulah kemudian muncul suatu gejala menarik yang dapat dilihat di sektor informal yang berkembang cukup menyolok pada masa itu, yaitu meluasnya penjaja jasa, khususnya jasa layanan seksual. Dengan demikian, kita dapat berasumsi bahwa prostitusi yang berkembang di
2. Perkembangan Prostitusi Masa Jepang
Berakhirnya penjajahan Belanda oleh Jepang pada tahun 1942 bukan berarti Indonesia bebas dari penjajahan, melainkan justru sebaliknya, semakin memprihatinkan. Penjajah Jepang sebagai ganti kekuasaan Belanda di Indonesia, menjalankan pemerintahan dengan sangat represif. Keadaan ekonomi penduduk sangat parah, sebab segala hasil produksi ditujukan untuk kepentingan Jepang. Jepang juga mengerahkan tenaga rakyat secara paksa yang disebut romusha, untuk membangun prasarana perang, lapangan udara, dan jalan raya. Kemiskinan dan kelaparan terjadi di mana-mana. Banyak penduduk yang hanya berpakaian dari kain goni, sehingga berbagai penyakit kulit diderita oleh penduduk.
Untuk mengurangi penderitaan karena penyekit kulit itu, mereka melepas baji goni lalu mencucinya. Selama menanti baju goni kering, mereka berjemur agar kudis dan penyakit kulit bisa kering oleh sinar matahari. meninggal di berbagai tempat sudah menjadi kejadian lumrah sehari-hari waktu itu. Di sekitar stasiun Tanah Abang waktu itu banyak orang-orang kelaparan, sakit lalu meninggal. Masa pendudukan Jepang merupakan zaman yang paling tidak bisa dilupakan oleh sebagian besar penduduk Indonesia, sebab penduduk mengalami tekanan lahir dan batin yang luar biasa di tengah suasana perang yang berkepanjangan.
Pada masa pendudukan Jepang, secara ekonomi sosial masyarakat
“ …Beras masuk ke
Selama Jepang menduduki
“Begitu saya naik kapal saya terus disambut oleh tentara Jepang. Ia tertawa dan dengan lancang, ia menggerayangi tubuh saya. Saya menjerit ketakutan tetapi tak ada yang menolong saya. Saya diciumi terus dan dipondongnya saya ke dalam kamar, ia geletakkan saya….dan ketika bangun seluruh badan lemas, pakaian rusak semua, badan sakit semua dan kemaluan ini bengkak. Saya menangis. Tiap-tiap saya menangis dia malah datang lagi dan diulanginya perbuatan itu…dan saya pingsan lagi. Begitu terus sampai saya tidak dapat menangis lagi”.
Pada umumnya perempuan yang tertipu dan dipaksa menjadi pemuas nafsu tentara Jepang (belakangan mereka dikenal sebagai Jugun Ianfu) itu berasal dari latar belakang keluarga pegawai pangreh praja yang takut kehilangan pangkat dan jabatannya. Janji-janji untuk disekolahkan ke luar negeri tidak disiarkan melalui
Mereka tidak boleh hanya berpropaganda, tetapi juga harus jadi suri tauladan. Selain itu, mereka ada juga yang berasal dari perempuan-perempuan desa yang berpendidikan rendah dan atau tidak berpendidikan sama sekali, sehingga tidak mengenal baca tulis. Kebanyakan mereka ini berasal dari desa, yang secara ekonomi sanat miskin. Sebagian masih gadis—malah ada yang masih di bawah umur, ada juga yang telah bersuami dan punya anak. Bagaimana perempuan-perempuan itu bisa terjebak menjadi Jugun Ianfu? Tawaran pekerjaan yang dijanjikan oleh Jepang merupakan pola perekrutran yang dominan.
Masalah kelangkaan lapangan pekerjaan sebagai akibat situasi ekonomi yang sulit pada masa Jepang menjadi alasan utama para perempuan mudah dijebak dengan iming-iming mendapatkan pekerjaan untuk meringankan beban hidup keluarga. Gambaran kesulitan ekonomi tampak dari apa yang diungkapkan oleh Ibu Lasiyem (seorang mantan Jugun Ianfu) sebagai berikut:
“….yang ada dalam pikiran saya adalah bagaimana bisa bekerja. Saya ingin membelikan makanan untuk anak-anak saya…..karena itu ketika ada tawaran kerja, langsung saya sanggupi…saya tidak bilang dengan suami saya….
Sisi yang menonjol dari model perekrutan calo Jugun Ianfu adalah sifatnya yang tertutup melalui mekanisme desas-desus, dari mulut ke mulut, dan tidak ada suatu pengumuman yang terbuka.
3. Perkembangan Prostitusi Pasca Kemerdekaan
Setelah
“….Ya karena
Kondisi politik dan perekonomian yang belum stabil sejak masa kemerdekaan berpengaruh besar dalam pembangunan
Di Jakarta mereka tinggal di daerah-daerah sekitar stasiun kereta api Senen, Manggarai, Gambir, Tanah Abang,
“Sebenarnya pada tahun 1950an
Tingginya arus urbanisasi ke
Masalah kependudukan yang belum tuntas itu pada gilirannya melahirkan problem ikutan, yaitu masalah penyediaan lapangan kerja, permukiman, dan masalah sosial lain dengan tingkat kerawanan yang makin tinggi, sehingga pada akhirnya berdampak pada munculnya berbagai masalah sosial perkotaaan, seperti kemiskinan, kriminalitas, dan meningkatnya prostitusi di Jakarta. Terkait dengan prostitusi ini, maka pada tahun 1950an sampai 1960an terdapat banyak tempat prostitusi yang tumbuh subur di
Namun, sejak arus urbanisasi menggalir deras ke
Di malam hari kawasan sekitar stasiun kereta api Senen menjelma menjadi pasar seks. Tidak mengherankan jika pada pertengahan tahun 1950an pelacuran kelas bawah terjadi di gerbong-gerbong kereta api atau di rumah-rumah dari kotak kardus di sekitar stasiun Senen. Konsumen dan penawar jasa seks bergerombol di sekitar tanah gundukan. Orang menyebutnya ‘planet’, sehingga kemudian ‘planet Senen’ terkenal ke manamana sebagai nama kompleks lokalisasi kelas bawah30. Saat itu kawasan Senen seolah menjelma menjadi “surga” bagi orang-orang yang suka dengan hiburan malam, namun sekaligus menjadi salah satu sarang berbagai tindak kriminalitas, di antaranya pencopet. Pada dasawarsa 1950an kawasan Senen terkenal sebagai tempat kedudukan atau pusat organisasi copet di bawah pimpinan Pi’i.
“Ingin bekerdja sebagai buruh pelabuhan (buruh kasar)….badannja tidak tahan. sebagai djalan terachir, untuk menghindari kelaparan, dipilihlah djalan jg. semudah2nja jakni masuk ke dalam prganisasi tjopet ini. Lama-kelamaan karena sudah biasa hidup dengan tjara pindjam2 barang dari orang jang tidak dikenalnja, sudah malas mereka memeras keringat bekerdja seperti orang lain” (Merdeka, 2-7-1955).
Selain di kawasan stasiun Senen, kawasan Bongkaran Tanah Abang juga menjadi tempat kegiatan prostitusi kelas bawah yang telah terkenal sejak dulu, di mana kebanyakan konsumennya adalah para sopir, buruh, dan pekerja kasar lainnya. Menurut seorang warga, nama Bongkaran berasal dari aktivitas di daerah itu pada siang hari sebagai tempat membongkar bahan galian, seperti pasir dari Tangerang yang diangkut dengan kereta. Setibanya di daerah itu, lalu diangkut dengan truk untuk di bawa ke daerah
Ia bercerita: “….Ketika saya masih SR tahun 1950an, saya sering bermain di daerah Bongkaran dan kadang mengintip apa yang mereka lakukan, tapi pernah juga saya dilempar pakai batu oleh mereka…..”
Bongkaran memang merupakan kawasan yang letaknya cukup strategis untuk pertumbuhan praktek-praktek prostitusi, karena berada pada bantaran kali Krukut dengan deretan gubuk-gubuk liarnya, bersebelahan dengan pasar Tanah Abang yang selalu ramai, serta dekat juga dengan stasiun kereta api Tanah Abang. Stigma Bongkaran yang “hitam” begitu kuat melekat dalam benak hampir semua orang. Seolah-olah semua orang yang berada dan atau tinggal di kawasan Bongkaran adalah orang-orang yang menekuni dunia prostitusi, padahal tidak demikian kenyataannya.
Hal seperti itu diungkapkan oleh Ibu Amah: “ Tahun 1954 sampai 1956 saya pernah tinggal di Bongkaran sebelum pindah ke sini (Kebon Kacang). Seingat saya, walaupun waktu itu banyak para perempuan yang sering nongkrong di warung-warung minuman di Bongkaran hingga larut malam dan kemudian para sopir truk, kuli pasar, dan kuli bangunan silih berganti datang, tetapi kita tidak merasa terganggu. Kita sih berpikiran itu urusan mereka, sedang kita yang tinggal juga di situ ya mesti mawas diri aja” Berbeda dengan kasus prostitusi di
Lokalisasi secara resmi di
D. Mata Rantai Dunia Prostitusi Di
1. Mereka Yang Terlibat
Dalam praktek-praktek prostitusi, pasti terdapat beberapa pihak yang saling terkait, sebab prostitusi tetap ada karena masih adanya hukum penawaran dan permintaan. Dalam konteks ini, tentu ada penyedia jasa (pelacur) sebagai pihak penawar dan pembeli (konsumen). Selain itu, ada pula germo atau mucikari yang mengkoordinir keberadaan para pelacur di lokalisasi. Bahkan, walaupun secara resmi praktek prostitusi dilarang dan dibenci oleh masyarakat, tetapi masyarakat—dalam hal ini pemerintah, yaitu lewat pajak— tanpa malu-malu menikmati hasil kerja para pelacur. Hal ini terjadi karena masyarakat menerapkan standar ganda dalam menilai praktek prostitusi.
Hal ini tidak terlepas dari pandangan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang menilai perlunya ada hiburan dan pelayanan seks bagi tentaratentaranya, sehingga kunjungan para pelacur ke penjara-penjara dan barakbarak militer diperbolehkan untuk menghilangkan kejenuhan, ketegangan, dan keresahan politik. Pada masa awal kolonial Belanda, para pelacur sebagian besar adalah perempuan-perempuan dari Cina (
Pada masa pendudukan Jepang, kegiatan prostitusi terorganisir dengan rapi dan tersamar dalam bungkusan propaganda dan janji-janji manis Jepang kepada para perempuan yang mau dijadikan pelacur. Dengan iming-iming pekerjaan atau hendak disekolahkan, banyak perempuan-perempuan muda yang tertarik dan ikut Jepang yang ternyata dipaksa untuk melayani nafsu birahi tentara Jepang. Dalam proses perekrutan perempuan untuk dijadikan pelacur ini, selain pemerintah Jepang, aparat desa/pemerintah setempat— yang punya akses langsung untuk memobilisasi penduduk—juga terlibat dalam pengerahan perempuan untuk mau ikut Jepang38. Pada masa pendudukan Jepang ini, pelanggan tetap rumah-rmah bordil orang Jepang adalah orang-orang Jepang sendiri, baik sipil maupun militer.
Setelah Jepang kalah dan
Ia menandaskan, “Seorang pelacur tidak akan mudah untuk melepaskan diri dari dunia kelam tersebut. Kalaupun ia sudah tidak menjadi pelacur, maka ia akan ganti profesi sebagai germo. Dan pola seperti ini akan terus berjalan, lebih-lebih jika ia malu untuk kembali ke daerah asalnya”. Maraknya perkembangan tempat-tempat prostitusi di
2. Bentuk-Bentuk Prostitusi
Bentuk-bentuk prostitusi di Jakarta pada masa Hindia Belanda--terutama sejak 1928 setelah praktik pergundikan dilarang secara tegas--secara garis besar terbagi dua, yaitu prostitusi yang terselubung dan yang terang-terangan (lokasinya jelas). Bentuk prostitusi terselubung banyak terdapat di jalan-jalan dekat rumah-rumah orang Belanda di sekitar
Selain itu, sejumlah warung makan, kedai-kedai kecil, dan tempat hiburan malam lainnya yang terdapat di kota dan sekitar pelabuhan Tanjung Priok ternyata juga berfungsi sebagai tempat prostitusi, sebab di tempat-tempat tersebut dijumpai banyak gadis cantik yang menjadi pelayan sekaligus berprofesi sebagai pelacur. Pada dekade 1930an, bentuk prostitusi semakin beragam dengan semakin beraninya para pelacur orang Jepang, Rusia, Cina, Indo, dan juga pelacur orang
Bentuk prostitusi pada zaman Jepang ini terstruktur secara rapai, mulai dari perekrutan, penyeleksian, penempatan di rumah bordil milik Jepang, hingga tamu-tamu yang harus dilayani, yang hampir semuanya adalah orang Jepang. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pada masa Jepang kegiatan prostitusi memiliki bentuknya tersendiri. Pada masa setelah kemerdekaan, bentuk prostitusi yang liar terjadi di hampir seluruh wilayah
Tersebarnya praktik-praktik prostitusi liar dan tak terkontrol ini—yang tentu saja sangat rentan terhadap penularan penyait kelamin—disebabkan hingga tahun 1960an di
3. Faktor-Faktor Penyebab Prostitusi
Salah satu faktor penyebab maraknya praktek prostitusi di
Ketika depresi ekonomi memuncak pada sekitar tahun 1930, kondisi sosial dan perekonomian penduduk Jakarta terguncang hebat karena banyak buruh dan tenaga kerja kehilangan pekerjaan akibat banyak peusahaan yang bangkrut, adanya pembatalan proyek-proyek pemerintah akibat krisis tersebut, dan sebagainya, sehingga angka pengangguran pun membengkak. Dengan kondisi sosial dan perekonomian seperti itu41 tidaklah mengherankan jika aktivitas prostitusi di
Meningkatnya pembangunan dan perluasan jaringan transportasi di Jawa, khususnya jalur kereta api dan jalan raya, sejak masa liberal tahun 1870 dan sesudahnya memacu pula laju urbanisasi orang-orang miskin dari pedesaan ke kota, seperti Jakarta, untuk bekerja di luar sektor agraria. Hal ini pada akhirnya mendorong perkembangan perkampungan buruh, tempattempat penginapan, warung-warung minuman, serta praktek-praktek prostitusi di sekitar stasiun kereta api seperti di sekitar stasiun Kota, Jatinegara, Tanah Abang, juga di sekitar pelabuhan Tanjung Priok. Selain itu, kemiskinan juga menimbulkan semakin banyak gembel dan pengemis di
Faktor lain yang turut memiliki andil besar bagi pesatnya perkembangan prostitusi di
E. Dampak Prostitusi dan Upaya Penanggulangannya
Meningkatnya jumlah penderita penyakit kelamin adalah dampak utama dari adanya praktek-praktek prostitusi, terutama bentuk prostitusi liar. Sebagai contoh, tabel 4 di bawah ini menggambarkan jumlah penderita penyakit kelamin pada tahun 1927-1930. Walaupun data tentang peningkatan jumlah penderita penyakit kelamin pada masa Jepang belum ditemukan, namun melihat dari praktek prostitusi pada zaman Jepang yang terorganisir secara rapi, dapat diasumsikan bahwa tetap ada tentara Jepang yang menderita penyakit kelamin, walaupun mungkin tidak sebanyak masa sebelumnya. Setelah kemerdekaan pun penyakit kelamin tetap berkembang dan sulit dibrantas. Penyakit kelamin yang banyak diidap pada masa tahun 1950an sampai 1960an adalah sipilis, di mana sebagian orang dulu mengenalnya sebaga penyakit raja singa, dan bahkan di sebagian wilayah Jakarta ada yang menamakanya penyakit mangga—ini terkait dengan salah satu tempat prostitusi kelas bawah yang berada di Gang Mangga, sekitar jalan Jayakarta sekarang.
Sebenarnya pemerintah DKI Jakarta telah menempuh berbagai upaya untuk mengatasi masalah pelacuran dan akibat yang ditimbulkannya, diantaranya dengan sering mengadakan rasia oleh trantib untuk menangkap dan kemudian memberi pengarahan kepada para pelacur jalanan, namun cara itu tidak efektif menekan perkembangan prostitusi. Upaya serius dan riil pemerintah daerah Jakarta dalam rangka menekan pertumbuhan prostitusi, yang tentu saja bila berhasil akan menekan pula laju jumlah penderita penyakit kelamin, adalah dengan menetapkan Kramat Tunggak sebagai tempat relokasi pelacur di Jakarta pada tahun 1970 dan kemudian diperkuat dengan SK Gubernur Ali Sadikin, yaitu SK Gubernur KDKI No. Ca.7/1/54/1972; SK Walikota Jakarta Utara No.64/SK PTS/JU/1972, dan SK Walikota Jakarta Utara No.104/SK PTS/SD.Sos Ju/1973.
Kramat Tunggak pada awalnya berada di pinggiran utara
Hingga saat ini lokalisasi Kali Jodo masih tetap eksis walaupun telah ada upaya untuk menutup lokasi itu digantikan dengan kegiatan keagamaan seperti halnya yang telah terealisasi di kawasan Kramat Tunggak yang kini berdiri kokoh Islamic Centre. Lembah hitam bernama Kramat Tunggak itu memang secara resmi telah ditutup oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tanggal 31 Desember 1999, dan di atas lahan seluas kurang lebih 10,9 hektar tersebut dibangun Jakarta Islamic Centre. Namun, upaya-upaya tersebut belum mampu menghentikan atau mengurangi praktik prostitusi, karena upaya yang ditempuh lebih cenderung bersifat instant—membongkar atau merazia tempat-tempat prostitusi dan kemudian menangkapi para pelacur--dan tidak pernah berupaya memecahkan persoalan yang sebenarnya, yaitu menyediakan lapangan pekerjaan yang bisa menjamin mereka untuk tidak kembali ke dunia prostitusi.
Selain itu, kurangnya sanksi atau hukuman bagi laki-laki hidung belang yang menikmati jasa para pelacur mengakibatkan para penikmat perempuan malam itu tidak merasa jera. Selama tidak ada solusi pemecahan persoalan pelacuran yang tepat, maka upaya-upaya yang telah dan akan ditempuh ibaratnya seperti meremas sebuah balon, di mana bagian yang ditekan akan cenderung tenggelam dan tidak tampak, akan tetapi bagian yang lain akan menonjol lebih besar. Hal ini persis seperti apa yang terjadi dengan persoalan prostitusi di Jakarta; begitu satu lokalisasi dirazia dan ditutup, maka akan muncul lokalisasi-lokalisasi lainnya.
F. Kesimpulan
Praktik-praktik prostitusi di
Di sini pemerintah ikut terlibat dalam urusan prostitusi walau sekedar ‘membiarkan’. Pada periode ini dominasi pelacur orang Cina, Indo, dan Jepang seolah meneggelamkan para pelacur orang
Selain pemerintah Pendudukan Tentara Jepang, para aparat desa pun turut terlibat dalam perekrutan perempuan-perempuan
Kondisi politik dan perkonomian penduduk
Pada masa Belanda misalnya, upaya untuk menganggulangi penyebaran prostitusi telah dilakukan dengan keluarnya Surat Keputusan Gubernur tanggal 15 Juli tahun 1852 No.1, mengenai peraturan untuk menanggulangi penyebaran prostitusi. Selain itu ada juga Besluit Gubernur Jenderal tanggal 21 Januari 1874 N0.14, tentang peraturan pemberantasan prostitusi. Sementara salah satu upaya pemerintah Jakarta menaggulangi prostitusi adalah dengan menetapkan Kramat Tunggak sebagai tempat relokasi pelacur di Jakarta pada tahun 1970 dan kemudian diperkuat dengan SK Gubernur Ali Sadikin, yaitu SK Gubernur KDKI No. Ca.7/1/54/1972; SK Walikota Jakarta Utara No.64/SK PTS/JU/1972, dan SK Walikota Jakarta Utara No.104/SK PTS/SD.Sos Ju/1973.
Namun, berbagai upaya tersebut belum berhasil memberantas prostitusi, karena upaya yang ditempuh cenderung bersifat instant, tidak pernah menyentuh pemecahan persoalan yang sebenarnya, yaitu menyediakan lapangan pekerjaan yang bisa menjamin mereka untuk tidak kembali ke dunia prostitusi. Selama tidak ada solusi pemecahan yang tepat, maka berbagai upaya yang telah dan akan ditempuh ibaratnya seperti meremas sebuah balon. di mana bagian yang ditekan akan tenggelam dan tdak tampak tetapi pada bagian lain akan menonjol dan membesar.Hal ini mirip dengan persoalan prostitusi di Jakarta, begitu satu tempat pelacuran dirazia dan ditutup, maka akan bermunculan tempat-tempat pelacuran lainnya
G. Referensi
Arsip, Koran, dan Majalah
Arsip Nasional Republik
Arsip Nasional Republik
“Macao Po di Kota Inten” , www.republika.co.id., Minggu, 22 Juni 2003.
“Orang-orang Djembel di Pantjoran dan glodok”, dalam Sin Po, 24 Mei 1930.
“Prostitusi Bukan Sekedar Masalah Moral”, dalam Minggu Pagi, No.24, IV, Oktober, 1999.
Branconier, A. De, “Het Prostitutie-vraagstuk in Nederlandsch-Indie”, De Indische Gids, 1933.
Burgelijk Geneeskundige Dienst van 260, tanggal 8 April 1891.
Jaarverslag van den Burgelijken Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch- Indie over 1923. Weltevreden: G.Kolff &Co., 1923.
Kolonial Verslag, 1931, 1941.
Makmoer, Tahun I, 25 Desember 1945.
Merdeka, 2 Juli 1955.
Onderzoek Naar De Mindere Welvaart der Inlandscche Bevolking op Java en Madoera, Vol.Ixb.
Pandji Poestaka, No.3, 25 April 1943
Republika, Minggu, 22 Juni 2003.
Republika, Minggu, 25 Juni 2005.
Buku, Jurnal, dan Makalah
Abeyasekere, Susan,
Azuma, Yoshifumi, Abang Beca. Sekejam-kejamnya Ibu Tiri Masih Lebih Kejam Ibukota.
Berdoeri,
Brown, Louise, Sex Slaves. Sindikat Perdagangan Perempuan di Asia. Kata pengantar Sulistyowati Iranto.
Cruetzberg, P. dan J.T.M. van Laanen (eds), Sejarah Statistik
Darmarastri, Hayu Adi, “Keberadaan Nyai di Batavia, 1870-1928”, dalam Lembaran Sejarah, vol.4, No.2, 2002.
Hadiz, L. S. Aripurnami, S.Sabaroedin, “Perempuan dan Industri Seks” dalam INFID (ed.), Pembangunan di Indonesia,Memandang dari Sisi Lain.
Hanna, Willard A., Hikayat Jakarta, penerjemah Mien Josbhar dan Ishak Zahir.
Hartono, A. Budi dan Dadang Juliantoro, Derta Paksa Perempuan. Kisah Jugun Ianfu pada Masa Pendudukan Jepang, 1942-1945.
Ingleson, John, “Prostitution in Colonial Java”, dalam David P. Chandler dan M.C. Ricklefs (eds.), Nineteenth and Twentieth Century Indonesia, Essays in Honor of Professor J.D. Legge.
Jones, Gavin W., Endang S., dan Terence H.Hull, “Prostitution in Indonesia”, Working Paper in Demography (Research School of social Sciences no.52).
Koentjoro, Tutur dari Sarang Pelacur.
Kusuma, Hembing Wijaya, Pembantaian Massal 1740. Tragedi Berdarah Angke.
M.D., Sagimun,
Mokoginta, Lukman,
Onghokham, “Orang
Rahardjo, Supratikno, MPB.Manus, dan P.Suryo H., Sunda Kelapa sebagai Bandar di Jalan Sutera.
Saidi, Ridwan, Profil Orang Betawi. Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya.
Soehoed, A.R., Reklamasi Laut Dangkal. Canal Estate Pantai Mutiara Pluit: Perekayasaan dan Pelaksanaan Reklamasi bagi Proyek Pantai Mutiara di Pluit
Suparlan, Parsudi, Kemiskinan di Perkotaan: Bacaan untuk Antropologi Perkotaan Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
Surjomihardjo, Abdurrachman, Sejarah Perkembangan
Toer, ramudya Ananta, Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer.
Troung, Thanh Dam, Seks, Uang, dan Kekuasaan: Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara.
Wawancara
Wawancara dengan Bapak Ahmad Sofyan (65 tahun), asli pernduduk Betawi, tanggal 25 Maret 2005.
Wawancara dengan Bapak Amar (58 tahun), seorang warga yang tinggal di daerah lokalisasi Bongkaran, Tanah Abang, 1 Oktober 2005.
Wawancara dengan Bapak Darmo Suwito (71 tahun), 23 Mei 1999.
Wawancara dengan Bapak Sapar (78 tahun), 15 April 2005. Wawancara dengan Ibu Amah (67 tahun), 30 Sepetember 2005.
Wawancara dengan H. Ali Abu Bakar Shahab (90 tahun), 21 Mei 2006.
Sumber : http://sejarah.fib.ugm.ac.id