Oleh : D. Zawawi Imron
Ketika masuk Sekolah Rakyat pada tahun lima puluhan, saya tidak langsung diajar bahasa Indonesia, yang dalam bahasa Madura disebut “ bahasa Melayu”. Setelah kelas tiga, barulah diajar bahasa Indonesia dengan memakai buku Bahasaku karangan B. M. Nur dkk. Setelah satu tahun belajar bahasa itu, saya tak kunjung lancar.
Suatu saat, ada beberapa polisi pamong praja baru yang berasal dari Yogyakarta dan ditugaskan di Kecamatan Batang-batang, di ujung timur Pulau Madura tempat saya tinggal. Ketika diajak berbicara oleh salah seorang polisi pamong praja tersebut, saya melayaninya dengan bahasa Indonesia yang kaku dan tidak lancar, bahkan beberapa kata harus saya cari padanannya untuk melayani percakapan tersebut. Setelah percakapan selesai, saya sadar bahwa saat itulah untuk pertama kalinya saya berbicara dalam bahasa Indonesia di luar kelas. Hati rasanya berbuncah-buncah, berbunga-bunga karena telah berbahasa Melayu, walaupun dengan kosakata apa adanya. Sejak peristiwa itu saya mempunyai keasyikan tersendiri berbicara dalam bahasa Indonesia dengan petugas kantor kecamatan yang datang dari luar etnis saya. Kebanggaan saya berbahasa Melayu timbul, karena saat itu bahasa Indonesia merupakan bahasa orang di kantor-kantor, di radio, bahkan bahasa yang dipakai oleh Presiden Soekarno.
Kisah di atas merupakan awal pertemuan saya dengan bahasa Indonesia yang saya kenal sebagai bahasa Melayu. Waktu kecil, saya sering mendengar orang melantunkan kidung dalam bentuk pantun seperti berikut.
Kalianget sapulu menit
Kapal kuliling ka Surabaya
Kalau inget jangan menangis
Bantal guling gantinya saya
Setelah saya dewasa dan terlibat dalam kegiatan sastra di Indonesia, saya yakin bahwa pantun tersebut tidak berasal dari tanah Melayu. Pantun itu lebih meyakinkan sebagai hasil karya orang Madura, karena pantun tersebut tidak saya temui dalam kumpulan pantun Melayu, di samping struktur kalimatnya mendekati struktur bahasa Madura.
Hal penting yang harus dicatat di sini ialah bahwa bahasa Melayu telah lama menjadi kebanggaan orang-orang di kampung saya. Hal itu tentunya karena orang-orang suku Madura suka berlayar dan singgah di bandar-bandar yang jauh dari Madura, sehingga mereka berkomunikasi dengan etnis lain dalam bahasa Melayu. Ketika berbicara dalam interaksi, berbagai etnis yang berada di kawasan Nusantara memerlukan lingua franca, yaitu bahasa Melayu.
Waktu saya masih di Sekolah Rakyat, kami menyebut bahasa Indonesia sebagai bahasa Melayu. Hal tersebut tidak kami ketahui alasannya. Setelah saya tamat dari Sekolah Rakyat dan membaca sebuah tulisan tentang “ Soempah Pemoeda” yang menjelaskan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia, barulah saya memahaminya.
Pada tahun tujuhpuluhan, wawasan saya menjadi sedikit lebih luas setelah membaca buku Ayip Rosidi, Kapan Kesusastraan Indonesia Lahir. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa bahasa Indonesia lahir sejak tanggal 28 Oktober 1928. Menurut Ayip, sebelum Sumpah Pemuda bahasa Indonesia belum ada, karena saat itu masih bernama bahasa Melayu yang sejajar dengan bahasa-bahasa daerah lainnya.
Setelah saya membaca makalah Prof. Dr. Koentjaraningrat dalam buku Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya ini, wawasan saya menjadi lebih luas. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa bangsa India sampai sekarang belum mempunyai bahasa nasional. Bahkan beberapa orang dari luar Indonesia dengan nada agak iri menanyakan penyebab keberhasilan bangsa Indonesia memilih bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia yang langsung dapat diterima oleh para cendekiawan dan golongan politik dari hampir semua sukubangsa di Indonesia. Berangkat dari pertanyaan tersebut, Koentjaraningrat menjelaskan proses pengindonesiaan bahasa Melayu secara rinci. Dengan analisis yang tajam, Koentjaraningrat mengurai proses tersebut, mulai dari bahasa Melayu yang awalnya hanya dipakai di wilayah Riau, kemudian menjadi bahasa perdagangan antaretnis, berkembang menjadi bahasa kesetiakawanan dalam menghadapi penjajah, yang pada puncaknya menjadi bahasa persatuan.
Catatan penting dari Koentjaraningrat adalah dua faktor diterimanya bahasa Melayu menjadi bahasa nasional, yaitu tidak adanya rasa was-was pada warga sukubangsa lain di Indonesia akan risiko terjadinya dominasi kebudayaan dari suku-sukubangsa mayoritas dan sikap dari sejumlah cendekiawan Jawa, terutama yang aktif dalam gerakan nasional yang mengecam bahasanya sendiri. Catatan Koentjaraningrat tersebut masih dapat dikembangkan dan dieksplorasi dengan dukungan penelitian yang cermat. Hal yang ditulis Koentjaraningrat dalam buku ini sangat berharga sebagai bahan kajian.
Oleh karena Melayu tidak hanya menyangkut bahasa, tetapi juga sukubangsa, maka makalah Prof. dr. Tabrani Rab (waktu menulis makalah ini masih bergelar dokter) yang membicarakan kepribadian Melayu juga penting untuk ditelaah. Selama ini saya memetik hikmah dari ungkapan Melayu yang berbunyi “Kecil teraja-raja, besar terbawa-bawa, sudah tua berubah tidak”. Dari ungkapan tersebut tersirat bahwa karakter dan etos seseorang perlu dibentuk sejak kanak-kanak dalam bentuk pendidikan yang meresap, kemudian dijadikan kebiasaan, sehingga menjadi bagian dari denyut jantung dan desir darah, dan akhirnya menjadi karakter sekaligus kepribadian.
Tabrani menerangkan bahwa kepribadian Melayu secara umum dibentuk oleh tradisi adat-istiadat Melayu serta ajaran agama Islam. Ciri-ciri kepribadian Melayu menurut Tabrani terjelma dalam cara orang Melayu berpikir, bersikap, dan bertingkah-laku. Tabrani juga sempat mengkritik bahwa dalam kepribadian Melayu yang sebagian dibentuk oleh ajaran Islam tersebut masih terdapat praktik perdukunan, pembakaran kemenyan, dan jimat-jimat yang pada dasarnya tidak diajarkan oleh Islam.
Untuk mencermati hal ini, barangkali memang perlu dilakukan kajian yang mendalam mengenai hubungan kemelayuan dengan keislaman, mengingat setiap orang yang masuk Islam secara otomatis dianggap sudah menjadi Melayu. Tabrani memberi catatan penting tentang adanya proses perubahan filsafat Melayu yang pada dasarnya bertahap dari metafisis menuju ke teologis dan akhir-akhir ini menuju rasionalis. Selain itu Tabrani berkomentar bahwa orang Melayu yang baik selalu merendahkan diri dan tidak menonjolkan dirinya, tidak mau memaksakan kemauannya jika kemauan itu bertentangan dengan kemauan orang lain. Orang Melayu senantiasa bersahaja dan bersedia kompromi. Sikap Melayu seperti itu menurut Tabrani bisa memberi kesempatan bagi golongan dan etnis lain untuk memimpin kelompok orang Melayu. Oleh karena itu Tabrani menghendaki perubahan. Melayu sekarang tidak harus sama dengan Melayu lima abad yang lalu. Dalam era teknologi tinggi, manusia Melayu perlu menyadari bahwa etos Melayu harus lahir dalam era positivis dengan pilar rationalisten pragmatis. Atas dasar inilah “Melayu tak kan hilang di bumi”.
Tabrani merindukan dunia Melayu modern yang ditandai dengan gemuruh teknologi canggih yang menguntungkan masyarakat Melayu dengan aktor manusia-manusia Melayu sendiri. Oleh karena itu, membangun Melayu bukan sekedar membangun di bumi Melayu, melainkan membangun manusia-manusia Melayu, sehingga masyarakat Melayu bisa meraih kehormatan lahir batin sebagai khalifah Tuhan di bumi, yaitu Melayu yang berdaya dan berjaya serta bisa menyelesaikan garapan dan tantangan hidupnya tanpa bergantung pada orang lain. Katakanlah, masyarakat Melayu yang madani.
Dalam kebudayaan, perubahan dan pembaharuan merupakan keharusan, karena perjalanan zaman dan kehidupan manusia selalu berkembang. Kebudayaan meminta pemikiran dan kerja kreatif dalam menjawab tantangan-tantangan baru. Pikiran Tabrani agaknya bisa dipertemukan dengan konsep Rendra, bahwa sikap sehat dalam menghadapi tradisi yang tidak relevan lagi dengan zaman ialah dengan meninggalkan tradisi yang usang, sedangkan tradisi yang masih mungkin untuk dikembangkan perlu dicermati untuk didialogkan dengan nilai-nilai kekinian tentang kemungkinannya untuk diolah secara kreatif, sehingga muncul formula baru yang lebih cocok dengan tuntutan zaman. Memelihara tradisi yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman menurut Rendra adalah kebudayaan yang memihak kuburan.
Dialog antara masa lalu dengan masa kini dan masa depan merupakan tuntutan yang harus dilakukan. Dalam dialog itu Ignas Kleden menyarankan adanya tindakan “mengembangkan tradisi dengan cara yang tidak tradisional”. Sikap budaya seperti itu tentunya tidak cukup dilakukan oleh perorangan. Perlu komunalitas dan keterlibatan pelaku kehidupan berbagai sektor, serta intellectual will para pemangku budaya.
Dengan demikian, keprihatinan Aimon Muhammad dari Persatuan Penerjemah
Meskipun pikiran Aimon sedemikian maju, namun pada penutup makalahnya ia menulis:
Melayu sebagai satu bangsa hendaknya kembali pada semangat Malaka masa lampau dan bekerja dalam kesatuan budaya Nusantara yang tidak mengaca pada kemalangan sejarah politik rantau kita. Hanya dalam gagasan seperti ini kita dapat menyelamatkan nasib bahasa dan bangsa kita sendiri.
Aimon agaknya tidak ingin kehilangan akar tradisi yang disebut “semangat Malaka”, tetapi Melayu harus bangkit dengan ketegaran sebagai manusia Melayu masa kini. Artinya, kebanggaan terhadap masa lalu serta trauma sejarah sebagai bangsa bekas jajahan harus dihapus dengan menebus ketertinggalan dalam bentuk akselerasi.
Berbicara tentang akselerasi, kita harus menyiapkan wahana pendidikan yang memadai untuk generasi Melayu masa depan tanpa menghilangkan kemelayuannya. Jika Melayu dianggap dekat atau identik dengan Islam, tentu saja jiwa manusia Melayu masa depan sebagai manusia yang hidup pada milenium ketiga dengan teknologi canggihnya harus tetap bertumpu pada dasar ketakwaan; bahwa apa yang dilakukan dalam memakmurkan bumi ini merupakan tugas mulia dari Tuhan.
ltulah sekilas kesan saya setelah membaca proceeding seminar Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya ini. Jika tulisan lain tidak sempat saya bicarakan di sini, hal itu karena keterbatasan ruang untuk “kata pembaca” ini. Yang jelas, buku ini telah memberikan mata kuliah “kemelayuan”, sehingga saya semakin akrab dan mengerti tentang Melayu dan orang Melayu. Dengan membaca kumpulan makalah mengenai Melayu Riau ini saya merasa mereguk denyut jantung dunia Melayu, bahwa dari tradisi Melayu yang diseleksi dengan cermat, akan ditemukan inspirasi yang dapat dikembangkan menjadi kemelayuan yang lebih segar.
Kesadaran akan ruang dan waktu dalam memberikan tanggung jawab berupa sikap dan kerja budaya memang menuntut adanya vitalitas dan kreativitas. Dalam kaidah Ushul Fiqih tertulis adagium yang berbunyi “Al-Muhafazhatu ‘alal ‘qadimis shalih wal-akhdzu bil jadidil ashlah” yang berarti “Memelihara nilai lama yang masih baik dan mencari nilai baru yang lebih baik”.
Secara umum, selama ini umat Islam dan masyarakat Melayu masih dalam tahap memelihara tradisi lama yang dipandang baik, tetapi belum mengadakan gerakan kebudayaan untuk menampilkan formula baru yang lebih baik. Wacana kebudayaan seperti itu kiranya perlu dibuka dan dikembangkan agar tidak hanya berhenti sebagai wacana, melainkan mengarah kepada tindakan-tindakan yang lebih konkret. Kaidah Ushul Fiqih di atas dapat dikembangkan untuk melakukan tugas budaya, karena dari kaidah tersebut tersurat dan tersirat pentingnya pembaharuan yang harus dilakukan secara terarah dengan konsep-konsep yang matang.
Yang tidak bisa saya lupakan adalah rasa hormat saya kepada orang Melayu yang telah menyumbangkan bahasa Melayu untuk dijadikan bahasa
_________________________
D. Zawawi Imron, lahir pada 1945 (tanpa tahu tanggal dan bulannya) di desa Batang-batang, Kabupaten Sumenep, Madura. Penyair yang tidak tamat Sekolah Rakyat sejak muda suka menulis puisi. Kumpulan puisinya antara lain Semerbak Mayang (1977), Madura Akulah Lautmu (1978), Celurit Emas (1980) yang terpilih sebagai buku puisi terbaik oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa tahun 1990, Bulan Tertusuk Ilalang (1982) yang mengilhami film Garin Nugroho berjudul sama, Nenek Moyangku Airmata (1985) mendapat hadiah Yayasan Buku Utama untuk puisi, Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), Lautmu Tak Habis Gelombang (1996), Madura Akulah Darahmu (1999). Pernah tampil dalam acara kesenian Winter Nachten di Belanda (2002).
Menulis puluhan buku anak-anak “Seri Anak Beriman”, dan hingga sekarang, pengasuh pesantren yang dikenal sebagai sastrawan dan budayawan ini sering berkeliling Indonesia untuk membacakan sajak-sajaknya di berbagai kota, baik di kampus, komunitas kesenian, maupun acara-acara yang lain termasuk di televisi. Pernah mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Al-Amien, Prenduan, Madura dan di Universitas Madura, Pamekasan.