oleh Budi Brahmantyo
BAGI penduduk Jawa Barat, kalau berwisata ke timur, jangan hanya ke sekitar Yogyakarta. Jauh sebelumnya, menyimpanglah ke Kabupaten Banyumas. Di wilayah dengan ibu kota Purwokerto ini, kita akan menikmati jejak-jejak kesundaan di Jawa Tengah yang masih terekam pada nama-nama geografinya.
Salah satu kawasan yang kita tuju adalah daerah Batu raden yang berada pada lereng selatan Gunung Slamet (berketinggian 3.428 m dpl) atau gunung api kedua tertinggi di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru (3.676 m) di Jawa Timur.
Menuju Baturaden dari Purwokerto, kita hanya menempuh kurang dari setengah jam perjalanan dengan mobil ke arah utara. Pemandangan alam yang menawan dan udara sejuk alam pegunungan pada ketinggian 800-900 m langsung menyambut kedatangan kita.
Daerah Baturaden, Purwokerto Utara, seperti Lembang berpuluh tahun yang lalu, sejuk, bersih, dan asri. Tidak seperti Lembang sekarang yang sudah “tercemar” oleh maraknya kawasan-kawasan resor, deretan vila, dan real estat yang terdapat di mana-mana, daerah Baturaden masih tetap bersuasana pedesaan di lereng gunung yang apik.
Kawasan wisata alamnya merupakan primadona untuk Kabupaten Banyumas di Jawa Tengah bagian barat. Seperti halnya lokasi wisata alam lereng-lereng gunung api, selain pemandangan alam yang memesona, mata air panas dan sungai-sungai pegunungan dengan air jernih, adalah objek yang banyak menarik pengunjung.
Sungai-sungai pegunungan ini mengalir belum terlalu jauh dari sumbernya di lereng Gunung Slamet. Alirannya di Baturaden membentuk jeram dan air terjun ketika melalui batuan keras berjenis basalt atau andesit.
Seperti di Maribaya, Lembang, batuan basalt di Baturaden membentuk retakan-retakan kolom (columnar joint) yang tegak teratur. Kondisi itu terjadi ketika magma basalt hasil letusan Gunung Slamet yang meleleh sebagai lava batuan pijar, kemudian mendingin dan membeku menjadi batu. Saat pendinginan batuan itu, retakan-terakan kolom berbentuk poligonal segi enam terjadi secara alamiah. Analoginya seperti lumpur basah yang mengering.
Tapi ada hal lain yang juga menarik, terutama bagi pengunjung yang berasal dari Jawa Barat, yaitu air terjun di Baturaden ini dikenal sebagai Curug Gumawang. Di kawasan air terjun ini, terjadi musibah ketika putusnya sling jembatan gantung, pada liburan Lebaran 25 Oktober 2006 lalu.
Curug adalah bahasa Sunda yang berarti air terjun, sedangkan dalam bahasa Jawa mestinya grojogan. Begitu pula kata gumawang yang menurut Kamus Umum Basa Sunda (LBSS, 1995), berarti bersinar atau berkilap. Jadi rupanya, walaupun secara administratif Baturaden ada di Provinsi Jawa Tengah, beberapa nama geografisnya tetap mempertahankan nama Sunda.
Penamaan Sunda pada lokasi-lokasi geografis di Banyumas, bukan hanya Curug Gumawang, tetapi juga nama-nama geografis lain di sekitarnya, misalnya Curug Ceheng. Makin ke arah barat dari Purwokerto, nama-nama Sunda semakin kentara.
Antara Purwokerto dan Kota Kecamatan Ajibarang di sebelah baratnya, terdapat Kecamatan Cilongok. Jika kita amati nama-nama geografis pada peta topografi di sekitar Cilongok-Ajibarang, kita akan dapati nama-nama tempat seperti Ciroyom, Cideng, Cikembulan, Rancamaya, Rancah, Bojongkadu, Bojongsari, Pasirmalang, Pasirluhur, Curug Cipendok, dan masih banyak lagi. Jelas nama-nama itu tidak akan dijumpai di dalam kosakata Bahasa Jawa karena “ci” berarti air atau sungai, “ranca” rawa, “bojong” tanjung atau bagian tanah yang menjorok ke perairan, “pasir” bukit, dan “curug” air terjun. Seluruhnya merupakan awalan nama-nama tempat yang sangat umum dijumpai di Tatar Sunda.
Kota Kecamatan Ajibarang terletak di kaki barat daya Gunung Slamet. Jika ditarik garis lurus ke selatan, akan menyambung dengan Wangon dan hingga pantai selatan ke Cilacap.
Sedangkan jika ditarik ke utara, Ajibarang menyambung ke Bumiayu di lereng barat Gunung Slamet, dan ke Brebes di jalur pantai utara.
Antara Ajibarang dan Cilacap mengalir Kali Tajum dan bermuara ke Samudra Hindia. Sementara antara Bumiayu dan Brebes mengalir Kali Pemali yang berhulu di lereng barat daya Gunung Slamet, utara Ajibarang, dan bermuara ke Laut Jawa.
Kali Pemali-Tajum yang kalau disambung menjadi garis utara-selatan inilah sebenarnya dua sungai yang memisahkan secara geografis Sunda di barat dan Jawa di timur.
Pada zaman ketika Kerajaan Pajajaran masih berjaya hingga abad ke-17, batas paling timur Kerajaan Sunda (Pajajaran) adalah Kali Pemali di utara dan diperkirakan Kali Tajum di selatan. Hal ini juga tercatat dengan baik oleh pangeran pengelana dari istana Pakuan (Bogor), Bujangga Manik, yang mengelana keliling Jawa Bali di abad ke-15.
Ia mencatat Kali Pemali (Cipamali, menurut catatannya) sebagai “tungtung Sunda” atau ujung ( Kerajaan) Sunda. Maka tidaklah mengherankan kalau banyak masyarakat Brebes di Kabupaten Tegal masih asyik berbahasa Sunda, walaupun secara administratif berada di wilayah Provinsi Jawa Tengah.
Di jalur selatan, hingga Kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap, pengaruh Sunda masih sangat terasa. Banyak penduduk Majenang masih menggunakan bahasa ibu bahasa Sunda.
Namun demikian, pencampuran kedua budaya tidak dapat dihindari. Selain itu, sudah pasti pengaruh Jawa akan sangat kuat terhadap masyarakat yang tadinya berbahasa Sunda, terutama di kota-kota. Namun di desa-desa dan kampung-kampung terpencil sebelah barat aliran Kali Pemali-Tajum, masyarakatnya bertahan dengan budaya masing-masing.
Begitulah pengalaman yang menarik dari berwisata di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Jadi ketika kita bepergian dengan kendaraan ke arah Jawa Tengah melalui jalur selatan, saat melewati Sungai Citanduy sebagai batas provinsi, kita belum benar-benar berada di tanah Jawa.
Karena hingga ke sekitar Majenang, Cimanggu, Wangon, Ajibarang bahkan Purwokerto, kita sebenarnya masih berada pada daerah-daerah yang masih terpengaruh Tatar Sunda.
Penulis, staf pengajar di KK Geologi Terapan, FIKTM ITB, dan koordinator Kelompok Riset Cekungan Bandung.
Sumber : http://blog.fitb.itb.ac.id