'ASEREJE bersama kapster cantik. Perawatan ekstra dijamin puas! Pasti oke!'' Demikian bunyi iklan baris di harian Kedaulatan Rakyat. Di halaman iklan milik koran terbesar di Yogyakarta itu, iklan Asereje tadi tak sendirian. Beberapa iklan serupa terpampang di bawah kolom bertajuk: salon. Bunyinya hampir sama: menawarkan pelayanan wajah, rambut, dan kebugaran disertai servis luar dalam.
Iklan sejenis terdapat di kolom pengobatan. Jualannya tak jauh beda, memakai kata-kata yang memancing gairah, seperti: ''Tersedia ABG (anak baru gede), mulus-muda-cakep-putih.'' Serta janji macam: ''dijamin puas luar dalam, atau impoten pasti bablas.'' Di bawah kalimat itu tertera nomor handphone yang bisa dihubungi.
Benarkah ''salon'' tersebut menawarkan servis esek-esek? Tak semuanya, memang. Pengamatan Gatra menunjukkan, praktek prostitusi dengan mencatut (berkedok) usaha salon di Yogyakarta cukup marak. Salon-salon palsu ini bertebaran, terutama di wilayah Jalan A.M. Sangaji, Jalan Laksda Adisucipto (Jalan Solo), hingga wilayah Janti, dan di Jalan Kaliurang.
Untuk menggaet pelanggan, ''salon'' tersebut mengandalkan para kapsternya. Di ujung utara Jalan A.M. Sangaji, misalnya, sebuah salon sampai menyediakan 10 kapster. Untuk kencan, tentunya diselubungi layanan lulur atau pijat, dilakukan di kamar petak bagian belakang salon. Tarifnya, cuma Rp 100.000 di luar tip dan ongkos resmi.
''Salon genit'' mulai muncul di Yogyakarta sekitar lima tahun lalu. Ketika itu, bisnis ini masih muncul malu-malu. Belakangan, para pengelola prostitusi berkedok salon itu malah blak-blakan mempromosikan servisnya. Selain mengandalkan informasi dari mulut ke mulut, mereka juga perlu memasang iklan di koran setempat.
Perubahan itu, menurut Dr. Kuntjoro, peneliti pelacuran dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, lantaran keterbukaan yang terjadi di Indonesia. ''Yang dipicu perubahan politik,'' katanya. Krisis ekonomi yang berkepanjangan membuat banyak terjadi pemecatan karyawan. Kerja sulit didapat. Pengangguran menumpuk, sementara harga terus melambung.
Di tengah situasi itu, toh tetap ada peluang. Kuntjoro melihat menjamurnya salon genit merupakan jurus berkelit dari sulitnya mencari kerja. Sedangkan cara promosi yang mengandalkan iklan di koran, selain karena keterbukaan tadi, juga merupakan strategi dagang menghadapi persaingan sesama salon. Cuma, yang kasihan, ya, para pengusaha salon asli, yang memang benar-benar mengkhususkan diri bergerak di bisnis jasa kecantikan. Sebab, mereka ikut terkena getahnya, karena para penjual cinta tadi membawa-bawa salon untuk kedok prostitusi.
Lewat iklan, menjaring pelanggan jadi mudah. Listi, 21 tahun, kapster di sebuah salon genit di Jalan A.M. Sangaji, mampu meraup sedikitnya Rp 4 juta per bulan. ''Belum termasuk gaji dari bos,'' katanya. Listi pun mampu menghidupi anak tunggalnya. Ia juga rutin mengirimi orangtuanya yang tinggal di Wonosari, Gunung Kidul, Rp 1 juta per bulan.
Bos Listi lebih tajir lagi. Sehari minimal ia membukukan setoran resmi dari 10 anak buahnya sebesar Rp 1 juta. Setoran resmi adalah duit yang dibayar tamu sesuai dengan tarif layanan, di luar servis esek-esek. ''Tapi, untuk bayar ongkos keamanan gede juga, lho,'' kata Marry, sang bos salon itu.
Bagi pengelola salon genit, bisnis ini cukup menggiurkan. Meski mendapat cap miring, keberadaannya tak langsung redup. Menurut Mochamad A'sad, psikolog sosial dari UGM, itu lantaran kultur setempat sudah bergeser. ''Sudah sampai pada sikap masa bodoh,'' katanya. ''Nilai di masyarakat pun makin permisif,'' ia menambahkan.
A'sad mencontohkan penelitian di Alun-alun Kidul (selatan), Keraton Yogyakarta, setahun lalu. Di situ warga tak suka melihat kupu-kupu malam yang bertebaran. Untuk bertindak sendiri, masyarakat sungkan karena alun-alun itu berada di wilayah keraton. ''Artinya, keraton punya peran tapi tak bisa menggarap nilai moral di luar temboknya,'' kta A'sad.
Perubahan ini, antara lain, dipicu serbuan nilai baru yang menular dari para pendatang dan gaya hidup kota besar. Dr. Nasikun, sosiolog dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, menilai masyarakat Yogya sedang dalam proses menuju ke masyarakat massa. ''Norma dan selera cenderung mengikuti tatanan global yang lebih besar,'' katanya.
Cirinya, kata Nasikun, masyarakat menjadi massa yang tidak mau terikat satu sama lain. Keraton dengan kultur selirnya, masih kata Nasikun, punya kontribusi dalam perkembangan prostitusi di Yogyakarta dan Solo. ''Tidak sepenuhnya kultur keraton steril dari persoalan seks di luar nikah,'' katanya. Paling tidak, kultur itu bisa diadopsi masyarakat sebagai sebuah kewajaran.
Di kota wisata Yogyakarta, perkembangan prostitusi bergerak dengan cirinya sendiri. Menurut Kuntjoro, pada 1970-an bisnis esek-esek masih terpusat di sekitar stasiun kereta atau di area perdagangan. ''Ketergantungan pada mucikari sangat tinggi,'' katanya. Para penjaja, pemakai, dan penyalur, kata Kuntjoro, masih memiliki rasa malu.
Pada masa itu, jaringan pelacuran kelas atas berpusat di wilayah Sosrowijayan, sebelah barat Malioboro. Sedangkan tempat beroperasi pelacur kelas bawah berpindah-pindah. Umumnya mengikuti kalender ritual Jawa. Misalnya, setiap Selasa dan Jumat Kliwon, mereka berduyun menuju Parangkusumo, Bantul. Tapi, jika Jumat Pon, hijrah ke Gunung Kemukus, berharap beroleh pelanggan yang mencari berkah pesugihan.
Di Solo, ceritanya hampir sama. Setiap ada pergelaran wayang kulit, karawitan, atau perhelatan kesenian rakyat lainnya, kembang-kembang malam selalu hadir. Pada perkembangan selanjutnya, mereka hadir setiap kali masa giling tebu di Pabrik Gula Colomadu dan Tasikmadu di Surakarta. Di tingkat bawah, prostitusi makin marak saat dibukanya lokalisasi Silir di Kecamatan Pasar Kliwon, pada 1961.
Lokalisasi ini pada 1997 sudah tutup. Bisnis esek-esek di Yogya, pada 1980-an, pelan-pelan mulai terbuka. Peran mucikari alias germo tak lagi dominan. Perkembangan kota yang dipoles menjadi lahan wisata membuat banyak hotel dan penginapan tumbuh. Konsep pertumbuhan itu, kata Kuntjoro, tak lepas dari peran pemerintah yang ingin menggenjot sektor pariwisata.
Konsep itu klop dengan pemikiran Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Dua lembaga donor ini menganggap pariwisata di Asia bisa menjadi obat mujarab menipisnya sumber daya alam. Dalam persepsi pragmatis mereka, kata Kuntjoro, wisata sama halnya dengan leisure, yang konotasinya dekat dengan seks.
Selain wisata yang magnetnya terpusat pada kebudayaan keraton, Yogyakarta juga melambung lantaran banyaknya lembaga pendidikan. Besarnya minat orang melanjutkan studi di kota ini membuat perguruan tinggi hingga kursus keterampilan bermunculan. Rumah kos menjadi ladang bisnis nan menggiurkan. ''Pada masa inilah pelacuran di kalangan mahasiswa mulai berkembang,'' kata Kuntjoro.
Meski demikian, perkembangan pelacuran di kalangan mahasiswa masih terbatas. Belum menjadi sorotan. Baru pada 1990-an, kalangan ini mendapat perhatian. Kian tahun, kedatangan mahasiswa dari luar Yogya makin tinggi. Tahun lalu, dari 1,2 juta penduduk Yogyakarta, sebanyak 300.000 adalah mahasiswa. Sekitar 200.000 dari jumlah mahasiswa itu berasal dari luar Yogya.
Studi yang dilakukan Kuntjoro menyebutkan, para kupu-kupu kampus beroperasi bukan semata lantaran materi. ''Dan mereka lebih memilih menjadi simpanan orang kaya,'' katanya. Jaringan mahasiswa, yang dalam kategori Kuntjoro untuk konsumsi kalangan atas, terjalin sangat rapat. Di kalangan menengah ke bawah, mahasiswa dan pelajar justru menjadi pasar potensial bisnis esek-esek ini.
Lihat saja di kawasan Babarsari, Sleman. Di situ berdiri enam perguruan tinggi swasta dan beberapa akademi. Di sekitarnya terdapat beberapa salon genit. Bukan cuma itu. Sedikitnya enam penampungan alias butik seks berada tak jauh dari lokasi ini. Dua butik dikepung gedung-gedung kampus. Sekitar 12 cewek panggilan bertarif Rp 250.000 tinggal di butik ini.
Mahasiswa di Yogyakarta memang rentan terhadap pengaruh ini. Survei yang dilakukan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menyebutkan, rata-rata uang saku mahasiswa yang datang ke Yogya adalah Rp 1,8 juta. Sedangkan pengeluaran rata-rata hanya Rp 800.000-Rp 1 juta. ''Selisihnya rawan dipakai untuk narkoba atau pelacuran,'' kata Bambang Susilo Proyohadi, Sekertaris Daerah DIY.
Sumber : http://www.gatra.com
Iklan sejenis terdapat di kolom pengobatan. Jualannya tak jauh beda, memakai kata-kata yang memancing gairah, seperti: ''Tersedia ABG (anak baru gede), mulus-muda-cakep-putih.'' Serta janji macam: ''dijamin puas luar dalam, atau impoten pasti bablas.'' Di bawah kalimat itu tertera nomor handphone yang bisa dihubungi.
Benarkah ''salon'' tersebut menawarkan servis esek-esek? Tak semuanya, memang. Pengamatan Gatra menunjukkan, praktek prostitusi dengan mencatut (berkedok) usaha salon di Yogyakarta cukup marak. Salon-salon palsu ini bertebaran, terutama di wilayah Jalan A.M. Sangaji, Jalan Laksda Adisucipto (Jalan Solo), hingga wilayah Janti, dan di Jalan Kaliurang.
Untuk menggaet pelanggan, ''salon'' tersebut mengandalkan para kapsternya. Di ujung utara Jalan A.M. Sangaji, misalnya, sebuah salon sampai menyediakan 10 kapster. Untuk kencan, tentunya diselubungi layanan lulur atau pijat, dilakukan di kamar petak bagian belakang salon. Tarifnya, cuma Rp 100.000 di luar tip dan ongkos resmi.
''Salon genit'' mulai muncul di Yogyakarta sekitar lima tahun lalu. Ketika itu, bisnis ini masih muncul malu-malu. Belakangan, para pengelola prostitusi berkedok salon itu malah blak-blakan mempromosikan servisnya. Selain mengandalkan informasi dari mulut ke mulut, mereka juga perlu memasang iklan di koran setempat.
Perubahan itu, menurut Dr. Kuntjoro, peneliti pelacuran dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, lantaran keterbukaan yang terjadi di Indonesia. ''Yang dipicu perubahan politik,'' katanya. Krisis ekonomi yang berkepanjangan membuat banyak terjadi pemecatan karyawan. Kerja sulit didapat. Pengangguran menumpuk, sementara harga terus melambung.
Di tengah situasi itu, toh tetap ada peluang. Kuntjoro melihat menjamurnya salon genit merupakan jurus berkelit dari sulitnya mencari kerja. Sedangkan cara promosi yang mengandalkan iklan di koran, selain karena keterbukaan tadi, juga merupakan strategi dagang menghadapi persaingan sesama salon. Cuma, yang kasihan, ya, para pengusaha salon asli, yang memang benar-benar mengkhususkan diri bergerak di bisnis jasa kecantikan. Sebab, mereka ikut terkena getahnya, karena para penjual cinta tadi membawa-bawa salon untuk kedok prostitusi.
Lewat iklan, menjaring pelanggan jadi mudah. Listi, 21 tahun, kapster di sebuah salon genit di Jalan A.M. Sangaji, mampu meraup sedikitnya Rp 4 juta per bulan. ''Belum termasuk gaji dari bos,'' katanya. Listi pun mampu menghidupi anak tunggalnya. Ia juga rutin mengirimi orangtuanya yang tinggal di Wonosari, Gunung Kidul, Rp 1 juta per bulan.
Bos Listi lebih tajir lagi. Sehari minimal ia membukukan setoran resmi dari 10 anak buahnya sebesar Rp 1 juta. Setoran resmi adalah duit yang dibayar tamu sesuai dengan tarif layanan, di luar servis esek-esek. ''Tapi, untuk bayar ongkos keamanan gede juga, lho,'' kata Marry, sang bos salon itu.
Bagi pengelola salon genit, bisnis ini cukup menggiurkan. Meski mendapat cap miring, keberadaannya tak langsung redup. Menurut Mochamad A'sad, psikolog sosial dari UGM, itu lantaran kultur setempat sudah bergeser. ''Sudah sampai pada sikap masa bodoh,'' katanya. ''Nilai di masyarakat pun makin permisif,'' ia menambahkan.
A'sad mencontohkan penelitian di Alun-alun Kidul (selatan), Keraton Yogyakarta, setahun lalu. Di situ warga tak suka melihat kupu-kupu malam yang bertebaran. Untuk bertindak sendiri, masyarakat sungkan karena alun-alun itu berada di wilayah keraton. ''Artinya, keraton punya peran tapi tak bisa menggarap nilai moral di luar temboknya,'' kta A'sad.
Perubahan ini, antara lain, dipicu serbuan nilai baru yang menular dari para pendatang dan gaya hidup kota besar. Dr. Nasikun, sosiolog dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, menilai masyarakat Yogya sedang dalam proses menuju ke masyarakat massa. ''Norma dan selera cenderung mengikuti tatanan global yang lebih besar,'' katanya.
Cirinya, kata Nasikun, masyarakat menjadi massa yang tidak mau terikat satu sama lain. Keraton dengan kultur selirnya, masih kata Nasikun, punya kontribusi dalam perkembangan prostitusi di Yogyakarta dan Solo. ''Tidak sepenuhnya kultur keraton steril dari persoalan seks di luar nikah,'' katanya. Paling tidak, kultur itu bisa diadopsi masyarakat sebagai sebuah kewajaran.
Di kota wisata Yogyakarta, perkembangan prostitusi bergerak dengan cirinya sendiri. Menurut Kuntjoro, pada 1970-an bisnis esek-esek masih terpusat di sekitar stasiun kereta atau di area perdagangan. ''Ketergantungan pada mucikari sangat tinggi,'' katanya. Para penjaja, pemakai, dan penyalur, kata Kuntjoro, masih memiliki rasa malu.
Pada masa itu, jaringan pelacuran kelas atas berpusat di wilayah Sosrowijayan, sebelah barat Malioboro. Sedangkan tempat beroperasi pelacur kelas bawah berpindah-pindah. Umumnya mengikuti kalender ritual Jawa. Misalnya, setiap Selasa dan Jumat Kliwon, mereka berduyun menuju Parangkusumo, Bantul. Tapi, jika Jumat Pon, hijrah ke Gunung Kemukus, berharap beroleh pelanggan yang mencari berkah pesugihan.
Di Solo, ceritanya hampir sama. Setiap ada pergelaran wayang kulit, karawitan, atau perhelatan kesenian rakyat lainnya, kembang-kembang malam selalu hadir. Pada perkembangan selanjutnya, mereka hadir setiap kali masa giling tebu di Pabrik Gula Colomadu dan Tasikmadu di Surakarta. Di tingkat bawah, prostitusi makin marak saat dibukanya lokalisasi Silir di Kecamatan Pasar Kliwon, pada 1961.
Lokalisasi ini pada 1997 sudah tutup. Bisnis esek-esek di Yogya, pada 1980-an, pelan-pelan mulai terbuka. Peran mucikari alias germo tak lagi dominan. Perkembangan kota yang dipoles menjadi lahan wisata membuat banyak hotel dan penginapan tumbuh. Konsep pertumbuhan itu, kata Kuntjoro, tak lepas dari peran pemerintah yang ingin menggenjot sektor pariwisata.
Konsep itu klop dengan pemikiran Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Dua lembaga donor ini menganggap pariwisata di Asia bisa menjadi obat mujarab menipisnya sumber daya alam. Dalam persepsi pragmatis mereka, kata Kuntjoro, wisata sama halnya dengan leisure, yang konotasinya dekat dengan seks.
Selain wisata yang magnetnya terpusat pada kebudayaan keraton, Yogyakarta juga melambung lantaran banyaknya lembaga pendidikan. Besarnya minat orang melanjutkan studi di kota ini membuat perguruan tinggi hingga kursus keterampilan bermunculan. Rumah kos menjadi ladang bisnis nan menggiurkan. ''Pada masa inilah pelacuran di kalangan mahasiswa mulai berkembang,'' kata Kuntjoro.
Meski demikian, perkembangan pelacuran di kalangan mahasiswa masih terbatas. Belum menjadi sorotan. Baru pada 1990-an, kalangan ini mendapat perhatian. Kian tahun, kedatangan mahasiswa dari luar Yogya makin tinggi. Tahun lalu, dari 1,2 juta penduduk Yogyakarta, sebanyak 300.000 adalah mahasiswa. Sekitar 200.000 dari jumlah mahasiswa itu berasal dari luar Yogya.
Studi yang dilakukan Kuntjoro menyebutkan, para kupu-kupu kampus beroperasi bukan semata lantaran materi. ''Dan mereka lebih memilih menjadi simpanan orang kaya,'' katanya. Jaringan mahasiswa, yang dalam kategori Kuntjoro untuk konsumsi kalangan atas, terjalin sangat rapat. Di kalangan menengah ke bawah, mahasiswa dan pelajar justru menjadi pasar potensial bisnis esek-esek ini.
Lihat saja di kawasan Babarsari, Sleman. Di situ berdiri enam perguruan tinggi swasta dan beberapa akademi. Di sekitarnya terdapat beberapa salon genit. Bukan cuma itu. Sedikitnya enam penampungan alias butik seks berada tak jauh dari lokasi ini. Dua butik dikepung gedung-gedung kampus. Sekitar 12 cewek panggilan bertarif Rp 250.000 tinggal di butik ini.
Mahasiswa di Yogyakarta memang rentan terhadap pengaruh ini. Survei yang dilakukan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menyebutkan, rata-rata uang saku mahasiswa yang datang ke Yogya adalah Rp 1,8 juta. Sedangkan pengeluaran rata-rata hanya Rp 800.000-Rp 1 juta. ''Selisihnya rawan dipakai untuk narkoba atau pelacuran,'' kata Bambang Susilo Proyohadi, Sekertaris Daerah DIY.
Sumber : http://www.gatra.com