Museum Goa Balla Lampoa


Bangunan itu berdiri kokoh di antara deru kota Sungguminasa, Gowa –kabupaten tetangga di sebelah Selatan Makassar. Tujuh puluh tahun bukan waktu yang singkat untuk semua sejarah yang telah ia saksikan. Balla’ Lompoa (rumah besar), sebuah rumah panggung yang menjadi istana kerajaan Gowa yang dibangun 1936 pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-31, I Mangngi-mangngi Daeng Matutu.

Bangunan yang mayoritas terbuat dari kayu ulin ini kini menjadi museum yang menjadi tempat koleksi benda-benda Kerajaan Gowa. Saat berkunjung ke museum ini beberapa waktu lalu, saya melihat benda-benda tradisional dan manuskrip kuno terpajang dalam kotak-kotak kaca.

Tampak ornamen merah manik-manik menggantung di dinding bagian atas rumah ini. Hiasaan-hiasaan serupa ini hanya ditemui ketika berlangsung pesta pernikahan adat Bugis-Makassar. Di bagian depan (ruang utama bangunan itu), sebuah peta Indonesia terpajang di sisi kanan dinding. Tampak sebuah benang membentang di daerah kepulauan Sulawesi, Pilipina, hingga Australia. Benang itulah yang menunjukkan wilayah kekuasaan Gowa di masa lampau.

“Dimana ada pohon lontar, maka orang Gowa pernah ada di sana”, pepatah inilah yang menjadi pegangan orang Gowa untuk memperjelas eksistensi kerajaan Gowa ysang meluas hingga ke mancanegara.

”Ada tiga prinsip yang menjadi pegangan orang Bugis Makassar dalam perantauannya. Pertama, cappa’ lila ( ujung lidah). Mereka melakukan komunikasi dengan warga setempat. Yang kedua, cappa' kawali (ujung badik), ketika mereka merasa terancam maka ujung badik yang akan berbicara. Ketiga, cappa’ lase’ (ujung alat kelamin pria). Mereka melakukan pernikahan dengan pribumi,” jelas A. Kumala Ijo, anak terakhir dari Sultan Moch. Abdulkadir Aididdin A. Idjo Karaeng Lalongang, Raja Gowa ke 32 yang juga merupakan raja yang paling terakhir.

Suku Aborigin
Dari peta yang menggambarkan wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa itulah saya tahu bahwa pendudukan di Australia itu yang menyebabkan terjadinya pencampuran budaya. Menurut A. Kumala Ijo, terjadi akulturasi budaya saat Gowa menguasai sebagian wilayah Australia. “Terdapat dua ratus lebih kosakata bahasa Makassar yang juga dipakai suku Aborigin. Misalnya kata kancing. Mereka juga memakai kata kancing untuk kancing baju,” jelasnya. Dalam sejumlah dokumentasi di ruang tengah museum ini terpajang sejumlah foto tokoh Suku Aborigin yang pernah datang ke Balla’ Lompoa, yang menegaskan hubungan sejarah tersebut.

Sebenarnya, Museum Balla’ Lompoa tidak ada bedanya dengan museum lainnya, di mana benda-benda bersejarah dipajang berdasarkan kronologi tertentu. Namun, karena museum ini menempati sebuah rumah, mana susunan benda-benda bersejarah disesuaikan dengan fungsi umum setiap ruangan di rumah itu. Misalnya, di ruang utama ditampilkan silsilah kerajaan dan benda-benda utama.

Di ruang utama bangunan yang berukuran 6 x 5 meter itu tampak pula silsilah keluarga kerajaan Gowa mulai dari raja Gowa I, Tomanurunga pada abad ke 13. Hingga raja Gowa terakhir Sultan Moch Abdulkadir Aididdin A. Idjo Karaeng Lalongang pada tahun 1947-1957. Ruangan ini dulu berfungsi sebagai bilik kerajaan. Tampak sebuah singgasana, berupa area khusus di tengah ruangan. Area ini seperti lamming (tempat duduk pengantin) yang digunakan raja dan permaisuri menerima para abdinya.

Beberapa alat perang seperti tombak dan meriam kuno juga di pajang di ruangan ini. Terpajang pula payung lalong sipue , payung yang dipakai raja saat pelantikannya. Di bagian bawah terdapat sulampe, kain yang berbentuk persegi panjang yang digunakan para penunggu jenazah raja. Biasanya diletakkan di pundak. Jumlahnya ada 18 orang. Sembilan orang di setiap sisi jenazah.

Hirarki Baju Bodo

Yang menarik, saat melihat koleksi baju bodo -- pakaian adat perempuan Bugis Makassar, saya mempelajari hirarki berdasarkan warna baju adat itu. Kata bodo berarti tanpa lengan. Untuk pemakaian baju bodo terdapat aturan tersendiri. Untuk warna jingga, dipakai oleh perempuan umur 10 tahun. Sedangkan yang berwarna jingga dan merah darah dapat digunakan oleh perempuan umur 10-14 tahun. Untuk umur 14-17 tahun ketika beranjak jadi gadis, sang perempuan memakai baju bodo belapis dua, yang disebut baju ”tawang”. Sedangkan warna merah darah untuk 17-25 tahun. Adapun baju bodo berwarna putih diperuntukkan bagi para inang dan dukun. Warna hijau untuk puteri bangsawan dan yang berwarna ungu untuk para janda. Tentu saja, di zaman sekarang, aturan warna ini sudah tidak dipertimbangkan secara ketat, mengingat modifikasi baju tradisional ini sudah demikian beragamnya.

Beranjak ke ruang tengah museum yang berukuran sama dengan ruang utama terdapat peralatan dapur seperti tempat pinang dan botol tempat minum zaman kolonial. Alat-alat musik tradisonal seperti gong, suling, kecapi, pui-pui, dan juga gendang. Di sini juga dihadirkan koleksi ramuan obat-obatan tradisional dan koleksi foto pelantikan raja-raja.

Rahasia Lontara
Di museum ini pula saya belajar sekilas tentang huruf lontara. Dari poster aksara lontara saya melihat bahwa terdapat tiga jenis aksara lontara Bugis Makassar. Pertama aksara lontara toa jangang-jangang, yang merupakan aksara lontara tempo dulu. Kedua, aksara lontara sulapa appa (bujur sangkar), yang merupakan aksara lontara yang dipakai umum di masyarakat. Terakhir, aksara lontara bilang-bilang, khusus dipakai di kerajaan yang dimaksudkan untuk menjaga kerahasiaan kerajaan. Lontara toa dan lontara bilang-bilang hanya memiliki aksara vokal A. Berbeda dengan lontara sulapa appa yang memiliki bunyi bervariasi, A, I, U, E, O, E. Aksara ini dibuat oleh Daeng Pamatte (syahbandar Kerajaan Gowa, pada tahun1958).

Di ruangan pribadi raja, terdapat benda-benda pusaka yang menjadi perlambangan Raja Gowa. Di antaranya, Salokoa, yaitu makhkota raja berbentuk kerucut bunga teratai (lima helai kelopak daun). Beratnya 1.768 gram yang betabur 250 permata berlian. Digunakan setiap pelantikan raja.

Yang menonjol di museum ini adalah koleksi benda berharga yang tidak hanya bernilai tinggi karena kandungan sejarahnya tapi juga karena bahan pembuatannya, seperti emas murni dan batu mulia lainnya. Salah satu yang menarik perhatian adalah tatarapang, keris emas seberat 986,5 gram. Panjangnya 51 cm dan lebarnya 13 cm, yang merupakan hadiah dari kerajaan Demak.

Sangat disayangkan, meski Balla’ Lompoa merupakan salah satu dari sedikit situs peninggalan Kerajaan Gowa namun pelestarian terhadap museum ini masih terbilang minim. Koleksi-koleksi yang cukup tua ini hanya diberi pencahayaan berupa lampu neon, yang selain tidak bisa memberikan pencahayaan yang maksimal, juga bisa memancarkan hawa panas yang dapat merusak koleksi tersebut. Menurut A. Kumala Ijo, memang sangat minim perhatian dalam pelestarian koleksi benda-benda bersejarah ini. Menurtunya, tak adanya anggaran yang jelas untuk pemeliharaannya.

Kini rumah besar itu masih tetap berdiri kokoh di pusat kota Gowa. Menjadi ikon ketangguhan kerajaan Gowa masa lalu. Namun, haruskah situs budaya Sulawesi Selatan di masa silam ini hanya menjadi saksi bisu yang akan terlupakan, dan tidak dikembangkan sebagai tujuan wisata yang menarik minat masyarakat luas?

Sumber : http://prayoedha.multiply.com
Photo : http://farm4.static.flickr.com