BENCANA memang tak kenal siapa pun. Kaya, miskin, tua, muda, sama sekali tak ada bedanya saat bencana besar terjadi. Bencana bahkan mampu mengubah sebuah kebudayaan bernilai tinggi sekalipun mengobrak-abriknya tanpa ampun.
SEORANG pegawai Perpustakaan dan Museum Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy tengah berusaha mengeringkan buku-buku bernilai sejarah tinggi koleksi mereka, Rabu (12/1).* DENI YUDIAWAN/"PR"
Insiden serupa dapat terlihat sewaktu bencana gempa bumi dan tsunami melanda tanah "Serambi Mekah" tiga pekan lalu. Tak peduli gedung pemerintahan, pusat penyimpanan dokumen penting hingga gubuk nelayan sekalipun luluh lantak rata dengan bumi.
Berbagai peninggalan para leluhur bernilai tinggi dan akan mengingatkan kita pada perjuangan mereka, tak sedikit yang hancur berbaur dengan puing dan mayat bergelimpangan.
Kota Banda Aceh tercatat menderita kerusakan terparah dibandingkan dengan kota lainnya. Hampir setengah kota ini hancur ditelan badai yang tak pernah dibayangkan sebelumnya itu. Sialnya, berbagai dokumen penting khususnya yang berkaitan dengan sejarah peninggalan Aceh berada di kota ini.
Sebagai contoh, Gedung Perpusatakaan Wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) hancur hampir separuhnya. Di dalam gedung bertingkat dua ini hanya berupa puing bercampur puluhan mayat yang datang entah dari mana.
Tak ada satu orang pekerja pun terlihat hingga Rabu (12/1), karena memang tak ada yang harus dikerjakan. Gedung itu masih digenangi air bercampur lumpur. Itu belum termasuk reruntuhan puing bangunan yang sewaktu-waktu bisa hancur bila gempa besar datang lagi.
Beberapa pegawai perpustakaan yang dihubungi "PR" lewat telefon genggam dan telefon rumahnya pun tak kunjung menyambung. Secara fisik, hampir dapat dipastikan semua dokumen di dalam perpustakaan hancur, atau minimal terendam di dalam air bercampur lumpur dari laut.
* *
BENCANA gempa dan tsunami kali ini, ternyata tidak selamanya menghancurkan barang-barang. Sebuah gedung berisikan ribuan dokumen bersejarah selamat dari terpaan tsunami maha dahsyat itu. Air memang sempat memasuki gedung, walau hanya semata kaki. Namun, goncangan gempa berkekuatan 8,9 skala richter sempat menggoyang puluhan rak buku dan menjatuhkan buku-buku itu ke dalam air.
Peristiwa tersebut terjadi di Perpustakaan dan Museum Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy di Jln. Jendral Sudirman 20 Banda Aceh. Posisinya yang terletak agak jauh dari bibir pantai cukup menghindarkan gedung tua itu dari hantaman tsunami.
Sedikitnya 1.500 buah buku tersimpan di dalam perpustakaan sekaligus museum seluas 3.000 meter persegi itu. Buku-buku tersebut tertulis dengan bahasa Aceh, Indonesia, Inggris, Belanda, dan bahasa lainnya. Kebanyakan dari buku itu berupa dokumen, naskah tua, album foto, serta benda budaya Aceh. Museum itu merupakan merupakan museum pribadi pertama di Aceh yang kemudian diwakafkan kepada warga Aceh.
"Air hanya masuk semata kaki ke dalam museum ini. Tapi justru goncangan gempa besar menjatuhkan ratusan buku ke lantai yang tergenang tersebut," tutur Azhar (38), seorang staf museum. Beberapa lemari besar terbuat dari kayu jati memang tampak miring di dalam ruangan museum yang didirikan 15 Februari 1989 itu. Andaikata tidak ada dinding tembok di sana, tak menutup kemungkinan lemari besar itu akan roboh bersama ratusan buku-buku di dalamnya.
Azhar dibantu dua orang staf lainnya, juga tampak menjemur beberapa buku kuno karena basah terendam air selama beberapa hari. Cuaca buruk beberapa hari belakangan ini tak cukup menguntungkan karena beberapa kali ia terpaksa mengangkut dua hingga tiga kali keluar masuk gedung. "Kita juga akan mencoba mengeringkannya dengan menggunakan pemanas," tutur Azhar.
Prof. Ali Hasjmy terakhir dikenang warga Aceh sebagai salah seorang mantan Gubernur Aceh. Semasa hidupnya, ia juga dikenal sebagai mantan Ketua MUI Aceh, budayawan, dan seniman. Segunung jabatan dan pengalaman pria kelahiran 28 Maret 1914 itu sewaktu ia masih ada. Ali Hasjmy juga berpijak pada landasan kultural islami dalam kiprahnya bagi kepentingan umat dan melanglang buana ke berbagai pelosok dunia saat hidupnya.
Aneka koleksi museum Ali Hasjmy ini meliputi kitab suci Alquran di atas kulit kambing terbitan awal abad XX dan buku-buku tentang Aceh termasuk sejarah Cut Nyak Dhien. Tak sedikit pula buku-buku hasil karyanya sendiri yang menjadi suatu karya monumental bagi warga Aceh.
Buku-buku karangannya misalnya sajak kisah seorang pengembara yang diterbitkan Pustaka Islam Medan (1936), Sayap Terkulai berupa roman perjuangan terbitan Balai Pustaka, serta setumpuk catatan sejarah Aceh. Berdasarkan catatan, tak kurang dari 56 buku yang telah ia karang dan semua itu belum termasuk beberapa artikel yang ia tulis di berbagai media massa serta seminar di berbagai tempat.
"Sedikit mengkhawatirkan memang kondisi museum Ali Hasjmy ini. Namun, saya akan berusaha merawat gedung yang telah diwakafkannya ini. Sekaligus saya juga meminta dorongan moral dari berbagai pihak agar museum ini dapat terus terpelihara," tutur Mulya A. Hasjmy, putra ketiga Ali Hasjmy.
Bencana gempa dan tsunami di Aceh sepertinya belum mengizinkan kebudayaan Aceh luluh lantak bersama dengan puing-puing bangunan lainnya. Perpusatakaan dan Museum Yayasan Ali Hasjmy ini, diharapkan dapat menjadi salah satu saksi betapa budaya Aceh yang bernilai tinggi dapat terus diingat oleh seluruh generasi penerus hingga akhir jaman. Semoga. (Deni Yudiawan/"PR")
Sumber : http://ladahuda.multiply.com
Photo : http://www.manassa.org
SEORANG pegawai Perpustakaan dan Museum Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy tengah berusaha mengeringkan buku-buku bernilai sejarah tinggi koleksi mereka, Rabu (12/1).* DENI YUDIAWAN/"PR"
Insiden serupa dapat terlihat sewaktu bencana gempa bumi dan tsunami melanda tanah "Serambi Mekah" tiga pekan lalu. Tak peduli gedung pemerintahan, pusat penyimpanan dokumen penting hingga gubuk nelayan sekalipun luluh lantak rata dengan bumi.
Berbagai peninggalan para leluhur bernilai tinggi dan akan mengingatkan kita pada perjuangan mereka, tak sedikit yang hancur berbaur dengan puing dan mayat bergelimpangan.
Kota Banda Aceh tercatat menderita kerusakan terparah dibandingkan dengan kota lainnya. Hampir setengah kota ini hancur ditelan badai yang tak pernah dibayangkan sebelumnya itu. Sialnya, berbagai dokumen penting khususnya yang berkaitan dengan sejarah peninggalan Aceh berada di kota ini.
Sebagai contoh, Gedung Perpusatakaan Wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) hancur hampir separuhnya. Di dalam gedung bertingkat dua ini hanya berupa puing bercampur puluhan mayat yang datang entah dari mana.
Tak ada satu orang pekerja pun terlihat hingga Rabu (12/1), karena memang tak ada yang harus dikerjakan. Gedung itu masih digenangi air bercampur lumpur. Itu belum termasuk reruntuhan puing bangunan yang sewaktu-waktu bisa hancur bila gempa besar datang lagi.
Beberapa pegawai perpustakaan yang dihubungi "PR" lewat telefon genggam dan telefon rumahnya pun tak kunjung menyambung. Secara fisik, hampir dapat dipastikan semua dokumen di dalam perpustakaan hancur, atau minimal terendam di dalam air bercampur lumpur dari laut.
* *
BENCANA gempa dan tsunami kali ini, ternyata tidak selamanya menghancurkan barang-barang. Sebuah gedung berisikan ribuan dokumen bersejarah selamat dari terpaan tsunami maha dahsyat itu. Air memang sempat memasuki gedung, walau hanya semata kaki. Namun, goncangan gempa berkekuatan 8,9 skala richter sempat menggoyang puluhan rak buku dan menjatuhkan buku-buku itu ke dalam air.
Peristiwa tersebut terjadi di Perpustakaan dan Museum Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy di Jln. Jendral Sudirman 20 Banda Aceh. Posisinya yang terletak agak jauh dari bibir pantai cukup menghindarkan gedung tua itu dari hantaman tsunami.
Sedikitnya 1.500 buah buku tersimpan di dalam perpustakaan sekaligus museum seluas 3.000 meter persegi itu. Buku-buku tersebut tertulis dengan bahasa Aceh, Indonesia, Inggris, Belanda, dan bahasa lainnya. Kebanyakan dari buku itu berupa dokumen, naskah tua, album foto, serta benda budaya Aceh. Museum itu merupakan merupakan museum pribadi pertama di Aceh yang kemudian diwakafkan kepada warga Aceh.
"Air hanya masuk semata kaki ke dalam museum ini. Tapi justru goncangan gempa besar menjatuhkan ratusan buku ke lantai yang tergenang tersebut," tutur Azhar (38), seorang staf museum. Beberapa lemari besar terbuat dari kayu jati memang tampak miring di dalam ruangan museum yang didirikan 15 Februari 1989 itu. Andaikata tidak ada dinding tembok di sana, tak menutup kemungkinan lemari besar itu akan roboh bersama ratusan buku-buku di dalamnya.
Azhar dibantu dua orang staf lainnya, juga tampak menjemur beberapa buku kuno karena basah terendam air selama beberapa hari. Cuaca buruk beberapa hari belakangan ini tak cukup menguntungkan karena beberapa kali ia terpaksa mengangkut dua hingga tiga kali keluar masuk gedung. "Kita juga akan mencoba mengeringkannya dengan menggunakan pemanas," tutur Azhar.
Prof. Ali Hasjmy terakhir dikenang warga Aceh sebagai salah seorang mantan Gubernur Aceh. Semasa hidupnya, ia juga dikenal sebagai mantan Ketua MUI Aceh, budayawan, dan seniman. Segunung jabatan dan pengalaman pria kelahiran 28 Maret 1914 itu sewaktu ia masih ada. Ali Hasjmy juga berpijak pada landasan kultural islami dalam kiprahnya bagi kepentingan umat dan melanglang buana ke berbagai pelosok dunia saat hidupnya.
Aneka koleksi museum Ali Hasjmy ini meliputi kitab suci Alquran di atas kulit kambing terbitan awal abad XX dan buku-buku tentang Aceh termasuk sejarah Cut Nyak Dhien. Tak sedikit pula buku-buku hasil karyanya sendiri yang menjadi suatu karya monumental bagi warga Aceh.
Buku-buku karangannya misalnya sajak kisah seorang pengembara yang diterbitkan Pustaka Islam Medan (1936), Sayap Terkulai berupa roman perjuangan terbitan Balai Pustaka, serta setumpuk catatan sejarah Aceh. Berdasarkan catatan, tak kurang dari 56 buku yang telah ia karang dan semua itu belum termasuk beberapa artikel yang ia tulis di berbagai media massa serta seminar di berbagai tempat.
"Sedikit mengkhawatirkan memang kondisi museum Ali Hasjmy ini. Namun, saya akan berusaha merawat gedung yang telah diwakafkannya ini. Sekaligus saya juga meminta dorongan moral dari berbagai pihak agar museum ini dapat terus terpelihara," tutur Mulya A. Hasjmy, putra ketiga Ali Hasjmy.
Bencana gempa dan tsunami di Aceh sepertinya belum mengizinkan kebudayaan Aceh luluh lantak bersama dengan puing-puing bangunan lainnya. Perpusatakaan dan Museum Yayasan Ali Hasjmy ini, diharapkan dapat menjadi salah satu saksi betapa budaya Aceh yang bernilai tinggi dapat terus diingat oleh seluruh generasi penerus hingga akhir jaman. Semoga. (Deni Yudiawan/"PR")
Sumber : http://ladahuda.multiply.com
Photo : http://www.manassa.org