TAHUN 2008 adalah tahun Visit Indonesia Year (VIY). Tentu, momentum ini akan ditangkap oleh banyak provinsi di Indonesia. Banyak daerah mulai menyiapkan diri. Tidak saja membuat program, untuk menjaring wisatawan. Tetapi, mereka mencoba berbenah untuk meraih pemasukan daerah dari sektor wisata. Keberhasilan dalam membuat program yang menarik wisatawan akan memberikan keuntungan, tentunya.
VIY, adalah sebuah peluang. Akan tetapi jika tidak disikapi secara bijak, justru akan melahirkan segenap ironi yang patut untuk disayangkan. Wisata acapkali identik dengan segenap mimpi tentang relaksasi, hiburan, dan segenap keunikan yang dipunyai oleh setiap tempat. Setiap daerah, tidak akan mau ketinggalan dalam mengemas sebuah paket wisata yang pada akhirnya bisa mendatangkan pemasukan.
Ada sebuah ketakutan besar, bahwa tahun kunjungan wisata justru akan membuka celah lebih lebar tentang praktik-praktik perdagangan perempuan. Masuk akal tentunya. Tahun kunjungan wisata tak ubahnya sebuah pembentukan pasar baru, lewat momentum yang diciptakan. Tidaklah aneh, jika adanya penciptaan pasar ini akan menjadi sebuah triggering factor, yang memunculkan segenap ironi tanpa pernah disadari oleh banyak kalangan.
VIY pada akhirnya akan memunculkan segenap ambigu yang patut untuk dikritisi. VIY tak ubahnya akan mendorong lahirnya marketing strategic baru, yang dapat memicu meningkatnya arus perdagangan perempuan.
Lantaran pasarnya telah terlegitimasikan secara kongkret, maka akan lebih memudahkan para produsen dan konsumen dari sebuah pasar perempuan untuk mengambil bagian di dalamnya. Sebuah pertanyaan besar yang lantas muncul adalah, akankah VIY justru makin menggairahkan arus perdagangan perempuan?
***
Sejarah telah mencatat bahwa perbudakan dan perdagangan di kawasan Selat malaka sudah terjadi sejak abad 16. Anehnya, perempuan menjadi komoditas yang paling laku, untuk dijual. Harga jual dan daya tawar pasar, untuk perempuan justru lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Kala itu, perempuan diperjualbelikan untuk kepentingan menjadi buruh, pelacur, ataupun kerja kasar VIY akan menimbulkan sebuah pertanyaan. Akankah industri prostitusi menjadi tumbuh subur membayangi di dalamnya?
Pertanyaan yang memang sulit untuk di jawab. Tetapi, banyak ekonom internasional mempunyai analisa, bahwa era global akan ditandai dengan booming sektor industri jasa.
Salah satunya pariwisata dan prostitusi. Pergerakan sektor jasa yang berjalan secara pararel ini pun tak bisa dihindari. Banyak fakta mempunyai bukti akurat untuk bisa mengungkapkannya.
Jelas dalam ingatan kita bahwa negara Thailand dikenal dengan pertumbuhan industri pariwisata yang luar biasa, mengalahkan negaranegara Asia lainnya. Pertumbuhan industri pariwisata Thailand, awal kemunculannya mungkin tidak sengaja. Akhir tahun 1960-an, Amerika tengah gencar menyerang Vietnam hingga awal awal tahun 1970-an.
Kala itu, Thailand adalah tempat paling favorit yang seringkali dikunjungi oleh tentara Amerika, selepas mereka ditugaskan di Vietnam, atau sekadar berhenti sejenak sebelum dipulangkan ke negara asalnya, Amerika. Alhasil, kedatangan para tentara Amerika tersebut mendorong lajunya industri pariwisata Thailand hingga saat ini. Tetapi jangan kaget, jika pertumbuhan industri pariwisata Thailand yang fenomenal itu juga diimbangi dengan pertumbuhan yang progresif dari perdagangan perempuan.
Thailand memang tak bisa menutup mata akan kondisi seperti ini. Justru itulah daya tarik dan magnet besar yang pada akhirnya mendorong banyak konsumen pariwisata datang, untuk menikmatinya. Kondisi ini bisa dibuktikan dari tak kurang 1.000.000 perempuan di Thailand terlibat dan memutar industri prostitusi di sana. Angka ini hanya mampu disamai oleh Brazilia (875 juta) dan Amerika (600 ribu).
Apa yang terjadi di Thailand, tentu akan menghantui upaya untuk menumbuhkan industri pariwisata di Indonesia.
Arus perdagangan perempuan di tanah air memang cukup tinggi. Pengangguran di depan mata yang sudah menggunung tak kurang dari 40 juta jiwa menjadi pintu awal kemungkinan terjadinya perdagangan perempuan.
Perdagangan perempuan terjadi manakala dipicu oleh faktor tingginya angka pengangguran dan meningkatnya kemiskinan yang ada dalam masyarakat.
Dari data terungkap bahwa industri prostitusi di tanah air telah melibatkan 650 ribu perempuan. Ironisnya 30 persen di antaranya adalah anak anak yang masih di bawah umur. Cukup menggenaskan memang. Industri ini tergolong mapan dan massif, lantaran memang struktur kuat yang menopang di dalamnya.
Adanya demand pada tempat-tempat pariwisata menjadi salah satu sumber pangkal, kenapa industri prostitusi di tanah air akan mempunyai peluang yang kuat.
Prediksi bahwa industri pariwisata akan dibarengi dengan suburnya industri prostitusi memang sulit dielakan. Catatan Dario Agnote, Sex Trade, Key Part of South East Asian Economies,1998), mengungkapkan bahwa luas dan kuatnya jaringan sindikat perdagangan perempuan dan prostitusi di Indonesia bisa pula dilihat dari besarnya uang yang dihasilkannya, yang mencapai 1,2 hingga 3,3 milyar dollar AS per tahun, atau mencapai 0,8 hingga 2,4 persen dari GDP kita.
Di Jakarta saja, uang yang dihasilkan dari industri ini mencapai 191 juta dollar AS per tahun. Jelas angka ini akan lebih menakjubkan tentunya.
***
Dalam arus perdagangan perempuan yang kian menggelisahkan, setidaknya mengakar pada persoalan klasik di dalamnya. Kemiskinan dan pengangguran.
Selain itu seakan negara menutup mata pada perkembangan pesat perdagangan perempuan. Proses untuk memutus mata rantai perdagagan perempuan seakan hanya berjalan di tempat. Tidak aneh jika penanggulangan dan penindakan pelaku perdagangan perempuan hanya temporer belaka.
VIY nampaknya harus disikapi dengan sebuah startegi yang bijak dan cerdas. Pada satu sisi memang menghadirkan sebuah harapan baru. Harapan baru bagi dunia usaha yang bergerak di sektor industri pariwisata. Sisi lainnya adalah kian meningkatkan penawaran perempuan untuk menjadi sebuah komoditas.
Ironis jika VIY tak ubahnya sebuah kemasan untuk terjadinya perdagangan perempuan yang sangat tidak diharapkan sebelumnya. Industri pariwisata maju akan diikuti oleh arus perdagangan perempuan yang lebih meningkat. f
Endang Sri Damayanti MM
Pengamat masalah wisata