Oleh : Slamet Muljana
Kerajaan Sriwijaya merupakan kebanggaan masa silam
Kronik Cina abad ke-7 dan ke-8 memberitakan negeri atau kerajaan di "laut selatan" bernama Shih-li-fo-shih. Kronik abad ke-9 sampai ke-14 memberitakan negeri San-fo-tsi. Berdasarkan beberapa prasasti yang menyebut nama "Sriwijaya", Coedes mengidentifikasi Sriwijaya sebagai nama negeri dan kerajaan yang ditransliterasikan menjadi Shih-li-fo-shih atau San-fo-tsi. Dan lahirlah teori: Kerajaan Sriwijaya berdiri sejak abad ke-7 sampai ke-14.
Buku terbaru Prof. Dr. Slamet Muljana ini, mantan dekan Fakultas Sastra Universitas
Dengan argumentasi meyakinkan, Muljana melokasikan negeri Sriwijaya (Shih-li-fo-shih) di Palembang dan negeri Malayu (Mo-lo-yu) di Jambi. Pelokasian Malayu ditunjang oleh prasasti Amoghapasa di Jambi yang menyebutkan negeri Malayu. Penelitian geomorfologi Dinas Purbakala, 1954, yang membuktikan Jambi abad ke-7 terletak di pantai dan ideal bagi persinggahan kapal, ternyata cocok dengan uraian pendeta I-tsing (634-713) tentang pelabuhan Malayu.
Pelokasian Sriwijaya di Palembang memiliki bukti-bukti tak terbantah. Uraian I-tsing bahwa Sriwijaya di tenggara Malayu dan di muara sungai besar. Penelitian geomorfologi bahwa
Ini perlu ditegaskan karena para penyusun Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuna—buku standar dari Dep. P&K— terlalu gegabah menjatuhkan vonis: ibukota Sriwijaya bukan di
Penulis juga menguraikan perluasan wilayah Sriwijaya berdasarkan prasasti-prasasti dan uraian I-tsing. Akhir abad ke-7, raja Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanasa menaklukkan Bangka, Lampung, Malayu (Jambi), Sumatra Timur, Semenanjung Malaka, Muangthai Selatan. Prasasti Kota Kapur (
Di Jawa Tengah banyak prasasti berbahasa Melayu: Sojomerto, Gandasuli, Dieng, Bukateja, Candi Sewu. Prasasti Sojomerto (ditemukan tahun 1963) menyebut Dapunta Selendra, pendiri Wangsa Sailendra. Gelar ini sama dengan gelar raja Sriwijaya, Dapunta Hyang. Prasasti Gandasuli menyebut pembesar Sailendra bergelar Sida, gelar yang tak dimiliki pembesar Jawa. Yang jelas, itu adalah gelar pembesar Sriwijaya seperti tercantum pada prasasti di
Prasasti Nalanda (860) menyebutkan bahwa Balaputradewa raja Suwarnadwipa adalah keturunan Sailendra dari Jawa. Dari Prasasti Siwagreha (856) diketahui bahwa Balaputra mengungsi dari Jawa lantaran kalah perang melawan Wangsa Sanjaya. Sangat mustahil seorang pengungsi dari Jawa diterima orang Sriwijaya menjadi raja jika tak ada hubungan famili! Para ahli sejarah seperti George Coedes, F.D.K. Bosch, Muhammad Yamin, Oliver W. Wolters, menduga ibu Balaputra adalah putri Sriwijaya. Tapi tak ada sumber sejarah mengatakan demikian. Kiranya alasan yang tepat adalah bahwa Wangsa Sailendra berasal dari Sriwijaya. Jadi Balaputradewa kembali ke daerah nenek moyangnya. Wajar jika ia memiliki hak atas takhta Sriwijaya.
Tapi Prof. Slamet membuat "teori baru" dalam bukunya ini. Menurutnya, Kerajaan Sriwijaya runtuh pada abad ke-8 karena ditaklukkan Wangsa Sailendra. Lalu Balaputradewa mendirikan kerajaan baru pada abad ke-9 di Jambi bernama Swarnadwipa. Nama ini bersinonim dengan Swarnabhumi yang ditransliterasikan San-fo-tsi dalam kronik Cina.
Teori Muljana bertentangan dengan sumber sejarah yang mengatakan Kerajaan Sriwijaya masih ada pada abad ke-11. Prasasti di India yang dikenal dengan Piagam Leiden menyebutkan raja Sriwijaya tahun 1006 bernama Sri Marawijayatunggawarman, putra raja Sri Cudamaniwarman keluarga Sailendra. Sudah tentu raja ini keturunan Balaputradewa. Konsekuensinya, Swarnadwipa pada Prasasti Nalanda adalah Kerajaan Sriwijaya. Kedua nama raja Sriwijaya dalam Piagam
Untuk menutupi kelemahan teorinya, penulis mengatakan Piagam Leiden itu menyesatkan karena, katanya, bertentangan dengan berita Al-Mas`udi bahwa Sriwijaya merupakan negeri bawahan (h.182). Entah buku Al-Mas`udi mana yang dibaca penulis. Yang jelas, Abu Hasan Al-Mas`udi dalam catatannya Murujuz-Zahab wa Ma’adinul-Jawhar (943) tak pernah mengatakan demikian. Justru dari keterangan Al-Mas`udi dan musafir-musafir Arab lainnya kita mengetahui bahwa negeri paling utama di Asia Tenggara abad ke-10 adalah Sriwijaya.
Namun saya sependapat dengan pengarang bahwa San-fo-tsi dalam kronik Chu-fan-chi (Catatan Negeri Asing, ditulis oleh Chau Ju-kua pada 1225) bukanlah Kerajaan Sriwijaya-Palembang, melainkan Kerajaan Malayu-Jambi (hh.188-189). Chu-fan-chi mengatakan
Jadi ada dua kerajaan (Sriwijaya dan Malayu) yang disebut San-fo-tsi. Patut diingat, kronik Cina sering menyebut suatu negeri atau kerajaan dengan nama pulaunya. Sebelum abad ke-15 Pulau Sumatra bernama Swarnadwipa atau Swarnabhumi, artinya "Pulau Emas". Kiranya Prof. Slamet benar ketika mengidentifikasi nama San-fo-tsi dengan Swarnabhumi. Tapi beliau lupa bahwa itu nama pulau. Wajar jika berita tentang San-fo-tsi ada yang cocok untuk Sriwijaya-Palembang dan ada yang cocok untuk Malayu-Jambi. Kedua kerajaan ini sama-sama disebut San-fo-tsi karena memang terletak di
Jadi yang disebut San-fo-tsi abad ke-13 dan ke-14 adalah Kerajaan Malayu. Kitab Nagarakretagama (1365) pupuh XIII menyebutkan seluruh daerah di
Prof. Sukmono melokasikan Sriwijaya di Jambi lantaran banyak berita San-fo-tsi yang cocok untuk Jambi (Tentang Lokalisasi Sriwijaya, 1958). Prof. George Coedes yang melokasikan Sriwijaya di Palembang masih perlu menulis: Whether it had its center at
Sejarah Dinasti Ming abad ke-14 mengatakan ‘San-fo-tsi dahulu disebut
Kepustakaan
Prof.Dr.Slametmulyana. 1981. KUNTALA, SRIWIJAYA, DAN UWARNABHUMI
Idayu, Jakarta, , 356 halaman
Sumber: http://irfananshory.blogspot.com