Kujang Menurut Berita Pantun Bogor

Anis Djatisunda

Berbicara tentang kujang, identik dengan berbicara Sunda Pajajaran masa silam. Sebab, alat ini berupa salah satu aspek identitas eksistensi budaya Sunda kala itu. Namun, dari telusuran kisah keberadaannya tadi, sampai sekarang belum ditemukan sumber sejarah yang mampu memberitakan secara jelas dan rinci. Malah bisa dikatakan tidak adanya sumber berita sejarah yang akurat.

Satu-satunya sumber berita yang dapat dijadikan pegangan (sementara) yaitu lakon-lakon pantun. Sebab dalam lakon-lakon pantun itulah kujang banyak disebut-sebut. Di antara kisah-kisah pantun yang terhitung masih lengkap memberitakan kujang, yaitu pantun (khas) Bogor sumber Gunung Kendeng sebaran Aki Uyut Baju Rambeng. Pantun Bogor ini sampai akhir abad ke-19 hanya dikenal oleh warga masyarakat Bogor marginal (pinggiran), yaitu masyarakat pedesaan. Pantun ini mulai dikenalnya oleh kalangan intelektual, setelahnya tahun 1906 C.M. Pleyte (seorang Belanda yang besar perhatiannya kepada sejarah Pajajaran) melahirkan buku berjudul Moending Laja Di Koesoemah, berupa catatan pribadinya hasil mendengar langsung dari tuturan juru pantun di daerah Bogor sebelah Barat dan sekitarnya.

Ia lebih menaruh perhatian besar kepada "Pantun Bogor", karena menurut penelitiannya "Pantun Bogor" termasuk yang paling utuh jika dibandingkan dengan pantun-pantun daerah Jawa Barat sebelah timur, baik dalam cara memainkan pantunnya, bahasa Sundanya, juga termasuk sumber sejarah yang dikisahkannya. Sedangkan pantun-pantun daerah Jawa Barat sebelah timur, kala itu katanya sudah banyak yang semrawut tidak utuh lagi.

Pemberitaan tentang kujang selalu terselip hampir dalam setiap lakon dan setiap episode kisah serial "Pantun Bogor", baik fungsi, jenis, dan bentuk, para figur pemakainya sampai kepada bagaimana cara menggunakannya. Malah ungkapan-ungkapan konotatif yang memakai kujang-pun tidak sedikit. Contoh kalimat gambaran dua orang berwajah kembar: “Badis pinang nu munggaran, rua kujang sapaneupaan” atau melukiskan seorang wanita: “Mayang lenjang badis kujang, tembong pamor tembong eluk tembong combong di ganjana”. Demikian pula bendera Pajajaran yang berwarna “hitam putih” juga diberitakan bersulamkan gambar kujang: “Umbul-umbul Pajajaran hideung sawaréh bodas sawaréh disulaman kujang jeung pakujajar nu lalayanan”.

Sejak sirnanya Kerajaan Pajajaran sampai sekarang, kujang masih banyak dimiliki oleh masyarakat Sunda, yang fungsinya hanya sebagai benda obsolete tergolong benda sejarah sebagai wahana nostalgia dan kesetiaan kepada keberadaan leluhur Sunda pada masa jayanya Pajajaran, di samping yang tersimpan di museum-museum.

Di samping itu, sebutan kujang banyak pula yang masih abadi seperti pada:

1. Nama kampung; Parungkujang, Cikujang, Gunungkujang, Parakankujang.

2. Nama Tangtu Baduy; Tangtu Kadukujang (Cikartawana), Sanghyang Kujang (Undak ke-3 pamujaan Baduy di Gunung Pamuntuan).

3. Nama perusahaan; Pupuk Kujang, Semen Kujang, dsb.

Sumber: http://www.kujangpamor.com