Sampai di mana perkembangan peradaban sebuah komunitas barangkali dapat ditelusuri lewat kebudayaanya. Dan setidaknya hal inilah yang dapat tergambarkan ketika menjelajahi Rumah Bolon di Desa Purba, Kabupaten Simalungun. Ia sekaligus menjadi bukti sejarah eksistensi Kerajaan Purba Simalungun yang sudah berdiri sejak abad ke-15.
Menjelajahi kawasan Simalungun adalah pengalaman tersendiri. Masing-masing bisa memberi kesan tentangnya. Apalagi memasuki Desa Purba, desa kecil di Kecamatan Pematang Purba Kabupaten Simalungun.
Raja terakhir yang memimpin adalah Raja Tuan Mogang, yang konon jasadnya hingga kini belum ditemukan. Disinyalir ia dibunuh ketika revolusi sosial berlangsung di Simalungun pada tahun 1947.
Jarakanya kira-kira 140 kilometer dari Kota Medan, setelah melalui Kabupaten Karo (Berastagi – Kabanjahe – Merek). Lalu melewati persimpangan menuju Haranggaol dan tibalah Anda di desa yang mayoritas dihuni etnis Simalungun itu. Tetapi, Anda juga bisa memilih akses lain, yakni dengan melalui Kota Pematang Siantar yang jarakya hanya kira-kira 54 kilometer dari sana.
Konon, dulu Desa Purba dikenal sebagai salah satu pusat pemerintahan kerajaan tertua di Simalungun, yaitu Kerajaan Purba yang hingga akhir kekuasaanya, terhitung ada 14 raja yang pernah memegang tampuk kekuasaannya. Jadi jelaslah bahwa kerajaan ini bukanlah satu-satunya kerajaan yang pernah ada di wilayah Simalungun.
Sejarah mencatat, ada lima kerajaan besar yang masing-masing menguasai wilayahnya sendiri-sendiri yang di antaranya tersebar di beberapa wilayah: Siantar, Panambean, Tanah Jawa, Pematang Raya dan Purba. Wilayah ini kemudian didiami oleh marga-marga tertentu pula, seperti Saragih, Manik, Sinaga dan Purba sendiri.
Rumah Bolon Pematang Purba sendiri merupakan kediaman Raja Purba yang pertama kali diduduki Tuan Pangultop-ultop (1624-1648), yang kemudian diteruskan secara turun-temurun dengan sebuah tradisi budaya setempat. Raja terakhir yang memimpin adalah Raja Tuan Mogang, yang konon jasadnya hingga kini belum ditemukan. Disinyalir ia dibunuh ketika revolusi sosial berlangsung di Simalungun pada tahun 1947.
“Tak diketahui siapa pembunuhnya dan apa pula motifnya,” ujar Wanson. penjaga sekaligus pemandu wisatawan, lokasi bangunan tua yang berdiri di atas lahan seluas 1 hektar itu.
Mengenai tradisi pengalihan kekuasaan, Wanson menjelaskan ada semacam tradisi pengalihan kekuasaan yang wajib dilakukan. Ketika raja hendak mewariskan kekuasaannya, diwajibkan untuk menyembelih seekor kerbau, yang lalu tanduknya disimpan agar kelak menjadi bukti untuk raja yang akan berkuasa kemudian. Setidaknya bukti sejarah itu masih dapat terlihat di mana ada 14 tanduk kerbau yang tergantung di dinding ruangan Rumah Bolon.
Lalu, apa dasar pengalihan kekuasaan itu? Seperti lazimnya dalam tradisi kerajaan yang meneruskan kekuasaan pada anak sulung, maka prinsip itu tidaklah mutlak dalam tradisi Kerajaan Purba. “Bukan harus anak sulung, tetapi siapa keturunan yang bagi raja memiliki talenta untuk menjadi pemimpin, maka ialah yang diangkat sebagai penerus kerajaan,” ujar Wanson.
Politik kekuasaan
Sebenarnya, raja yang mula-mula berkuasa di Kerajaan Purba bukanlah Tuan Pangultop-ultop, melainkan Raja Purba Dasuha. Tuan Pangultop-ultop sendiri pada awalnya hanyalah pendatang yang datang dari wilayah Dolok Sanggul yang konon disinyalir berdekatan dengan wilayah Pakpak Bharat sekarang.
Lantas, mengapa ia kemudian menjadi raja? Ini masih berdasarkan penuturan Wanson Purba, yang juga merupakan pegawai dinas pariwisata Kabupaten Simalungun yang dihunjuk untuk mengawasi bangunan tua itu. Ia menjelaskan, kedatangan Tuan Pangultop-ultop ke wilayah Purba awalnya dikarenakan kegemarannya menangkap burung yang kemudian mengantarkannya ke kawasan Purba.
Konon, suatu ketika di wilayah hutan belantara Purba, ia berhasil menangkap seekor burung Nanggordaha yang kemudian dari tembolok burung itu (terdapat biji padi dan jagung), ia mendapatkan makanannya sendiri. Ketika ia melihat bahwa Purba adalah negeri yang subur, maka ia pun memohon kepada Raja Purba Dasuha untuk diberikan sebidang tanah. Tanah itu kelak ia tanami dengan biji padi dan jagung yang ia dapat dari tembolok burung itu.
Ini jugalah yang menghantarkan Pangultop-ultop kepada kejayaan. Hasil panen yang melimpah dari sebidang tanah atas kebaikan raja itu, ia simpan di sebuah lumbung besar.
Suatu waktu muncullah masa paceklik yang mengakibatkan penduduk kewalahan mencari makanan. Mengetahui Pangultop-ultop memiliki banyak menyimpan padi dan jagung di lumbungnya, mereka pun lalu memintanya agar memberikan padi dan jagung yang selama itu ia kumpulkan.
Hanya saja, ia tak mau memberi jika mereka hanya memanggilnya dengan sebutan “oppung” (kakek atau orang yang dihormati), melainkan panggilan raja. “Jangan panggil aku oppung jika ingin mendapatkan padi dan jagung dari saya, tapi panggillah saya raja,” katanya.
Mereka pun memanggilnya demikian, yang lantas diketahui oleh Purba Dasuha. Merasa pengakuan terhadap dirinya terancam tidak diakui lagi, maka Purba Dasuha pun mengadakan pertemuan dengan Pangultop-ultop. “Jika kamu memang raja, maka buktikanlah,” katanya, seperti yang ditirukan Wanson.
Hal ini kemudian dituruti Pangultop-ultop dengan mematuhi peraturan yang ditetapkan Purba Dasuha. “Marbijah” (disumpahi) adalah prosesi yang menjadi langkah pembuktian itu. Segenggam tanah, air dan “appang-appang” (kulit kerbau) adalah medianya. Maka, Pangultop-ultop kembali ke tanah asalnya untuk mendapatkan ketiganya.
Segenggam tanah lalu ditabur, dilapisi appang-appang dan di sampingnya ditaruh air yang tertuang dalam tatabu (sejenis tempayan air yang terbuat dari kulit labu). Disaksikan oleh rakyat, lalu Pangultop-ultop bersumpah di hadapan Purba Dasuha dan para ulubalang, katanya, “jika tanah dan air yang aku duduki ini bukanlah milikku, maka sekarang juga aku matilah.” Pangultop-ultop pun kemudian meminun air itu.
Waktulah yang kemudian menjawab sumpah itu. Meski sudah melewati hari, minggu, bulan hingga tahun, namun Pangultop-ultop tidak mati—seperti lazimnya sebuah sumpah yang mengandung kebohongan maka maut adalah imbalannya. Dan waktu jugalah yang menentukan peralihan kekuasaan itu. “Kuakui, sekarang kamulah raja yang pantas memimpin Kerajaan Purba, sebab sumpahmu tak berbala,” kata Purba Dasuha kemudian.
Sejak saat itu Pangultop-ultop resmi diangkat menjadi raja, tepatnya pada 1624, yang lalu memimpin hingga 1648. Sedang raja terdahulu—Purba Dasuha—masih dianggap sebagai raja, hanya saja ia tidak lagi memerintah.
Lalu setelah membalik kembali kisah itu, benarkah ada unsur politis di sana? Sekali lagi ini adalah pengungkapan fakta dari seorang Wanson Purba, yang juga merupakan keturunan Raja Kuraha (panglima raja) Tuan Pangultop-ultop semasa kepemimpinannya. Ia sendiri mengetahui kisah itu dari ayahnya, P Purba yang selama 43 tahun telah menjaga Rumah Bolon.
Wanson pun tak menepis hal itu. “Sebenarnya jika ditelaah, Pangultop-ultop dengan demikian sudah mempraktekkan politik kekuasaan,” katanya. “Pasalnya, tanah dan air serta appang-appang yang digunakan sebagai media sumpah dibawa sendiri olehnya dari tanah asalnya, sehingga memungkinkan ia selamat dari mautSumber : http://tonggo.wordpress.com
Photo : http://sumbayakcs.co.cc