Kekayaan budaya adalah salah satu keagungan dari Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur. Masyarakat Kukar yang terdiri dari banyak suku dan sub suku, memiliki agama dan bahasa yang beragam. Juga memiliki bermacam-macam alat musik, baik berupa alat musik petik, pukul dan tiup. Kaya dengan seni drama dan seni tari juga seni pahat patung dan arsitektur.
Secara umum, masyarakat Kukar memiliki sifat yang ramah tamah, jujur dan semangat gotong-royong yang tinggi. Mereka sangat menghormati tamu atau pendatang dari luar. Masyarakatnya juga sangat religius dan memiliki rasa toleransi antarumat beragama yang tinggi.
Sebagian besar penduduk Kukar terutama yang yang berdiam di daerah pantai dan tepian sungai memeluk agama Islam. Penganut agama ini terutama adalah suku Kutai dan suku-suku pendatang seperti Banjar, Bugis dan Jawa. Suku Dayak ada juga yang memeluk agama Islam, namun jumlahnya tidak terlalu banyak. Sebagian lagi memeluk agama Kristen dan Katholik. Penganut kepercayaan animisme juga masih ada, terutama penduduk yang tinggal di pedalaman.
Bupati Kukar Prof. Dr. H. Syaukani HR, MM, menjelaskan bahwa agama Islam mulai dianut di Kerajaan Kutai Kartanegara pada awal abad ke-16 dan berkembang pada awal abad ke-17, yakni pada masa pemerintahan Sultan Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa (sekitar tahun 1635). Hal ini terbukti dari Undang-undang Dasar Kerajaan yang disebut Panji Selaten dan Kitab Peraturan yang disebut Undang-undang Beraja Nanti yang bersumber kepada hukum Islam. Sejak saat itu penganut agama Islam berkembang lebih banyak di daerah ini.
Penganut agama Kristen menempati kedudukan kedua dalam hal jumlahnya. Pada mulanya penyiaran agama ini dilakukan para penginjil dari Jerman dan Swiss. Badan yang mengirimkan perutusan Injil dari Jerman adalah Rheinische
Selain penganut agama Islam, Kristen dan Katolik, sampai saat ini masih ada sebagian penduduk yang menganut kepercayaan asli setempat. Mereka terutama adalah kelompok suku Dayak yang masih sedikit mendapat pengaruh dari luar.
Kepercayaan asli berpusat pada penyembahan roh-roh lain (animisme) serta percaya pada kekuatan yang tersembunyi di balik benda-benda alam (dinamisme). Penganut kepercayaan ini memiliki berbagai macam upacara baik yang berhubungan dengan siklus hidup dan kehidupan manusia (kelahiran, kematian, perkawinan, sakit, dsb) dan upacara yang berkaitan dengan siklus pertanian. Dalam menyelenggarakan upacara-upacara ini, masing-masing suku memiliki variasinya sendiri-sendiri.
Penduduk asli di pedalaman dahulunya hidup berpindah-pindah (nomaden). Karena mata pencaharian utama mereka adalah berladang dengan berpindah-pindah serta berburu. Sedangkan penduduk yang tinggal di daerah pantai dan tepi sungai, sudah sejak lama hidup dengan bercocok tanam secara menetap. Sebagian mereka juga ada yang hidup sebagai nelayan, pedagang, pegawai negeri dan karyawan swasta.
Selain menganut berbagai agama, masyarakat kabupaten ini juga terdiri dari banyak suku dan sub suku yang memiliki bahasa yang beragam. Namun sebagian bahasa sub suku sudah tidak dipergunakan lagi atau sudah punah. Di antaranya bahasa yang dulunya digunakan oleh masyarakat Dayak di hulu maupun hilir Mahakam seperti bahasa Umaa Wak, Umaa Palaa, Umaa Luhaat, Umaa Palog, Baang Kelo, dan Umaa Sam.
Sesuai perkembangan zaman, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional telah dikenal hampir di seluruh pelosok Kutai. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa yang lazim dipergunakan dalam acara-acara resmi serta untuk berkomunikasi dengan orang luar daerah. Sedangkan bahasa suku hanya dipergunakan untuk berkomunikasi antarsuku sendiri.
Penduduk Kukar terdiri dari beberapa suku yang secara garis besar dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok suku Melayu dan kelompok suku Dayak.
Kelompok Suku Melayu, menurut kepercayaan penduduk setempat, dulunya terdiri dari lima puak, yaitu: (1) Puak Pantun, tinggal di sekitar Muara Ancalong dan Muara Kaman; (2) Puak Punang, tinggal di sekitar Muara Muntai dan Kota Bangun; (3) Puak Pahu, mendiami daerah sekitar Muara Pahu; (4) Puak Tulur Dijangkat, mendiami daerah sekitar Barong Tongkok dan Melak; dan (5) Puak Melani, mendiami daerah sekitar Kutai Lama dan Tenggarong.
Kemudian dalam perkembangan komunitas selanjutnya, Puak Pantun, Punang dan Melani tumbuh dan berkembang menjadi suku Kutai yang memiliki bahasa sama namun beda dialek. Suku Kutai adalah suku asli daerah ini. Selanjutnya secara bergelombang berdatangan suku Banjar dan Bugis, sehingga kelompok suku Melayu yang mendiami daerah Kutai terdiri atas suku Kutai, Banjar dan Bugis.
Sementara, keturunan Puak Tulur Dijangkat tumbuh dan berkembang menjadi suku Dayak. Mereka berpencar meninggalkan tanah aslinya dan membentuk kelompok suku masing-masing yang sekarang dikenal sebagai suku Dayak Tunjung, Bahau, Benuaq, Modang, Penihing, Busang, Bukat, Ohong dan Bentian.
Suku Tunjung mendiami daerah kecamatan Melak, Barong Tongkok dan Muara Pahu. Suku Bahau mendiami daerah kecamatan Long Iram dan Long Bagun. Suku Benuaq mendiami daerah kecamatan Jempang, Muara Lawa, Damai dan Muara Pahu. Suku Modang mendiami daerah kecamatan Muara Ancalong dan Muara Wahau. Suku Penihing, suku Bukat dan suku Ohong mendiami daerah kecamatan Long Apari. Suku Busang mendiami daerah kecamatan Long Pahangai. Dan, Suku Bentian mendiami daerah kecamatan Bentian Besar dan Muara Lawa.
Selain suku-suku tersebut, terdapat pula suku-suku lain yaitu suku Dayak Kenyah, Punan, Basap, dan Kayan. Suku Kenyah merupakan pendatang dari Apo Kayan, Kab. Bulungan. Kini suku ini mendiami wilayah kecamatan Muara Ancalong, Muara Wahau, Tabang, Long Bagun, Long Pahangai, Long Iram dan Samarinda Ilir.
Suku Punan merupakan suku Dayak yang mendiami hutan belantara di seluruh Kalimantan Timur mulai dari daerah Bulungan, Berau hingga Kutai. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil di gua-gua batu dan pohon-pohon. Sebagian mereka dibina oleh Departemen Sosial melalui Proyek Pemasyarakatan Suku Terasing.
Sementara, Suku Basap menurut cerita merupakan keturunan orang-orang Cina yang kawin dengan suku Punan. Mereka mendiami wilayah kecamatan Bontang dan Sangkulirang. Sedangkan suku Kayan berasal dari Kalimantan Tengah. Suku ini sering juga disebut dengan suku Biaju. Mereka mendiami daerah kecamatan Long Iram, Long Bagun dan Muara Wahau.
Kesenian Suku Dayak
Suku Dayak memiliki bermacam-macam alat musik, baik berupa alat musik petik, pukul dan tiup. Dalam kehidupan sehari-hari suku di pedalaman ini, musik juga merupakan sarana yang tidak kalah pentingnya untuk penyampaian maksud-maksud serta puja dan puji kepada yang berkuasa, baik terhadap roh-roh maupun manusia biasa.
Selain itu, alat-alat musik ini digunakan untuk mengiringi bermacam-macam tarian. Seperti halnya dalam seni tari, pada seni musik pun mereka memiliki beberapa bentuk ritme, serta lagu-lagu tertentu untuk mengiringi suatu tarian dan upacara-upacara tertentu. Masing-masing suku memiliki kekhasannya sendiri-sendiri.
Alat musik Suku Dayak ini terdiri dari beberapa jenis, di antaranya gendang, genikng, gong, glunikng, jatung tutup, jatung utang, kadire, klentangan, sampe, suliikng, taraai, dan uding (uring).
Gendang juga terdiri dari beberapa jenis (suku Dayak Tunjung) yakni prahi, gimar, tuukng tuat dan pampong. Genikng berupa sebuah gong besar yang juga digantungkan pada sebuah standar (tempat gantungan) seperti halnya gong di Jawa. Sedangkan alat musik Gong sama seperti halnya gong di Jawa, berdiameter 50-60 cm.
Glunikng adalah sejenis alat musik pukul yang bilah-bilahnya terbuat dari kayu ulin. Mirip alat musik saron di Jawa. Jatung Tutup berupa gendang besar dengan ukuran panjang 3 m dan diameter 50 cm. Jatung Utang adalah sejenis alat musik pukul dari kayu yang berbentuk gambang. Memiliki 12 kunci, tergantung dari atas sampai bawah dan dimainkan dengan kedua belah tangan.
Kadire adalah alat musik tiup yang terbuat dari pelepah batang pisang dan memiliki
Klentangan, alat musik pukul yang terdiri dari enam buah gong kecil yang tersusun menurut nada-nada tertentu pada sebuah tempat dudukan berbentuk semacam kotak persegi panjang (rancak). Bentuk alat musik ini mirip dengan bonang di Jawa. Gong-gong kecil terbuat dari logam sedangkan tempat dudukannya terbuat dari kayu.
Sampe, sejenis gitar atau alat musik petik dengan dawai berjumlah tiga atau empat. Biasanya diberi hiasan atau ukiran khas suku Dayak. Sedangkan Suliikng adalah alat musik tiup yang terbuat dari bambu. Suliikng terdiri beberapa jenis yakni bangsi/serunai, suliikng dewa, kelaii dan tompong.
Alat musik Taraai berupa sebuah gong kecil yang digantungkan pada sebuah standar (tempat gantungan). Alat pemukul terbuat dari kayu yang agak lunak. Sedangkan Uding (uring) adalah sebuah kecapi yang terbuat dari bambu atau batang kelapa. Alat musik ini dikenal juga sebagai Genggong (
Kesenian Suku Kutai
Seni suara dan musik Kutai banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan Islam. Di antaranya musik Tingkilan dan Hadrah. Selain seni musik (kesenian) suku Kutai juga memiliki seni drama tradisional yang disebut Mamanda.
Musik Tingkilan adalah seni musik khas suku Kutai. Kesenian ini memiliki kesamaan dengan kesenian rumpun Melayu. Alat musik yang digunakan adalah Gambus (sejenis gitar berdawai enam), Ketipung (semacam kendang kecil), Kendang (sejenis rebana yang berkulit sebidang dan besar) dan Biola.
Musik Tingkilan disertai pula dengan nyanyian yang disebut betingkilan. Betingkilan sendiri berarti bertingkah-tingkahan atau bersahut-sahutan. Dahulu sering dibawakan oleh dua orang penyanyi pria dan wanita sambil bersahut-sahutan. Isi lagu berupa nasihat-nasihat, percintaan, saling memuji, atau bahkan saling menyindir atau saling mengejek dengan kata-kata yang lucu. Musik Tingkilan ini sering digunakan untuk mengiringi tari pergaulan rakyat Kutai, yakni Tari Jepen.
Sedangkan Hadrah adalah kesenian yang mempergunakan alat musik Terbang atau rebana. Kesenian ini dibawakan sambil menabuh Terbang tersebut disertai nyanyian dalam bahasa Arab yang diambil dari kitab Barzanji. Kesenian ini umumnya ditampilkan untuk mengarak pengantin pria menuju ke rumah mempelai wanita, selain itu juga sering ditampilkan pada perayaan hari-hari besar Islam.
Drama Tradisional Mamanda
Seni drama tradisional masyarakat Kutai disebut Mamanda. Istilah mamanda diduga berasal dari istilah pamanda atau paman. Kata tersebut dalam suatu lakon merupakan panggilan raja yang ditujukan kepada menteri, wazir atau mangkubuminya dengan sebutan pamanda menteri, pamanda wazir dan pamanda mangkubumi. Karena seringnya kata pamanda diucapkan dalam setiap pementasan, maka istilah tersebut menjadi julukan bagi seni pertunjukan itu sendiri.
Seni drama tradisional Mamanda merupakan salah satu seni pertunjukan yang populer di Kutai masa silam. Kesenian ini selalu dipertunjukkan pada setiap perayaan nasional, pada acara perkawinan, khitanan dan sebagainya. Mamanda merupakan salah satu jenis hiburan yang disenangi masyarakat.
Mamanda dapat disejajarkan dengan seni Kethoprak dan Ludruk di Jawa. Jika jalan cerita yang disajikan dalam Mamanda adalah tentang sebuah kerajaan, maka pementasan Mamanda tersebut mirip dengan Kethoprak. Namun jika yang dilakonkan adalah cerita rakyat biasa, maka pementasan Mamanda tersebut mirip dengan Ludruk. Dalam pementasannya, Mamanda selalu menggunakan dua jenis alat musik yakni Gendang dan Biola.
Kesenian ini sudah jarang dipentaskan secara terbuka. Namun pada Festival Erau di kota Tenggarong, kesenian Mamanda sering dipertunjukkan secara terbuka untuk mengisi salah satu mata acara hiburan rakyat. Sedangkan melalui media televisi lokal, kesenian Mamanda ditampilkan seminggu sekali.
Tarian Suku Dayak
Dayak memiliki berbagai jenis tari. Paling tidak ada 14 tari yang menonjol, yakni Tari Gantar, Tari Kancet Papatai (Tari Perang), Tari Kancet Ledo (Tari Gong), Tari Kancet Lasan, Tari Leleng, Tari Hudoq, Tari Hudoq Kita, Tari Serumpai, Tari Belian Bawo, Tari Kuyang, Tari Pecuk Kina, Tari Datun, Tari Ngerangkau, dan Tari Baraga` Bagantar.
Tari Gantar adalah tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk. Sedangkan bambu serta biji-bijian di dalamnya menggambarkan benih padi dan wadahnya. Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya.Tari ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini terdiri dari tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.
Tari Kancet Papatai/Tari Perang adalah tarian yang menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari. Dalam tari Kancet Pepatay, penari menggunakan pakaian tradisional suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan perlatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tari ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.
Tari Kancet Ledo/Tari Gong, adalah tarian yang menggambarkan kelemah-lembutan seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin. Tari ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai pakaian tradisional suku Dayak Kenyah dan pada kedua belah tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang. Biasanya tari ini ditarikan di atas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.
Tari Kancet Lasan sebuah tarian yang menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo.
Namun si penari Kancet Lasan tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang. Dalam tari ini si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.
Tari Leleng, menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri ke dalam hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian lagu Leleng.
Tari Hudoq, dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang menyerupai binatang buas serta menggunakan daun pisang atau daun kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini erat hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak.
Tari Hudoq Kita` adalah tarian dari suku Dayak Kenyah yang pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik.
Perbedaan yang mencolok anatara Tari Hudoq Kita` dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tari dan iringan musiknya. Kostum penari Hudoq Kita` menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita`, yakni yang terbuat dari kayu dan berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak Kenyah.
Tari Serumpai adalah tarian suku Dayak Benuaq yang dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan mengobati orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian diiringi alat musik Serumpai (sejenis seruling bambu).
Tari Belian Bawo sebuah tarian dalam upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku Dayak Benuaq.
Tari Kuyang, sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut.
Tari Pecuk Kina, tarian yang menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah dari daerah Apo Kayan (Kabupaten Bulungan) ke daerah Long Segar (Kabupaten Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.
Tari Datun, merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah penari tak pasti, boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah.
Tari Ngerangkau adalah tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu.
Tari Baraga` Bagantar, pada awalnya merupakan tarian upacara belian untuk merawat bayi dengan memohon bantuan dari Nayun Gantar. Namun belakangan upacara ini sudah diubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq.
Tarian Suku Kutai
Tidak kalah kaya dan agung, seni tari suku Kutai juga memiliki nilai seni tinggi dan beragam. Pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni seni tari rakyat dan seni tari klasik.
Seni tari rakyat, merupakan kreasi artistik yang timbul di tengah-tengah masyarakat umum. Gerakan tarian rakyat ini menggabungkan unsur-unsur tarian yang ada pada tarian suku yang mendiami daerah pantai.
Ada beberapa ragam tari yang termasuk dalam seni tari rakyat ini di antaranya Tari Jepen. Tari Jepen adalah kesenian rakyat Kutai yang dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan Islam. Kesenian ini sangat populer di kalangan rakyat yang menetap di pesisir sungai Mahakam maupun di daerah pantai.
Tarian pergaulan ini biasanya ditarikan berpasang-pasangan, tetapi dapat pula ditarikan secara tunggal. Tari Jepen ini diiringi oleh sebuah nyanyian dan irama musik khas Kutai yang disebut dengan Tingkilan. Alat musiknya terdiri dari gambus dan ketipung.
Karena populernya kesenian ini, hampir di setiap kecamatan terdapat grup-grup Jepen sekaligus Tingkilan yang masing-masing memiliki gayanya sendiri-sendiri, sehingga tari ini berkembang pesat dengan munculnya kreasi-kreasi baru seperti Tari Jepen Tungku, Tari Jepen Gelombang, Tari Jepen 29, Tari Jepen Sidabil dan Tari Jepen Tali.
Seni tari klasik merupakan tarian yang tumbuh dan berkembang di kalangan Kraton Kutai Kartanegara pada masa lampau. Termasuk dalam seni tari klasik Kutai adalah Tari Persembahan, Tari Ganjur, Tari Kanjar, Tari Topeng Kutai, dan Tari Dewa Memanah.
Tari Persembahan, pada mulanya (dahulu) berupa tarian wanita kraton Kutai Kartanegara, namun akhirnya tarian ini boleh ditarikan siapa saja. Tarian yang diiringi musik gamelan ini khusus dipersembahkan kepada tamu-tamu yang datang berkunjung ke Kutai dalam suatu upacara resmi. Penari tidak terbatas jumlahnya, makin banyak penarinya dianggap semakin bagus.
Tari Ganjur, merupakan tarian pria istana yang ditarikan secara berpasangan dengan menggunakan alat yang bernama Ganjur (gada yang terbuat dari kain dan memiliki tangkai untuk memegang). Tarian ini diiringi oleh musik gamelan dan ditarikan pada upacara penobatan raja, pesta perkawinan, penyambutan tamu kerajaan, kelahiran dan khitanan keluarga kerajaan. Tarian ini banyak mendapat pengaruh dari unsur-unsur gerak tari Jawa (gaya Yogya dan Solo).
Tari Kanjar, tidak jauh berbeda dengan tari Ganjur, hanya saja tarian ini ditarikan oleh pria dan wanita dengan gerakan lebih lincah. Komposisi tariannya agak lebih bebas dan tidak terlalu ketat dengan suatu pola, sehingga tarian ini dapat disamakan seperti tari pergaulan. Tari Kanjar dalam penyajiannya biasanya didahului oleh Tari Persembahan, karena tarian ini juga untuk menghormati tamu dan termasuk sebagai tari pergaulan.
Tari Topeng Kutai, asal mulanya memiliki hubungan dengan seni tari dalam Kerajaan Singosari dan Kediri, namun gerak tari dan irama gamelan yang mengiringinya sedikit berbeda. Sedangkan cerita yang dibawakan dalam tarian ini tidak begitu banyak perbedaannya, demikian pula dengan kostum penarinya.
Tari Topeng Kutai ini disajikan untuk kalangan kraton saja, sebagai hiburan keluarga dengan penari-penari tertentu. Tarian ini juga biasanya dipersembahkan pada acara penobatan raja, perkawinan, kelahiran dan penyambutan tamu kraton. Tari ini terdiri beberapa (12) jenis yakni Penembe, Kemindhu, Patih, Temenggung, Kelana, Wirun, Gunung Sari, Panji, Rangga, Togoq, Bota dan Tembam.
Tari Dewa Memanah adalah tari yang dilakukan oleh kepala Punggawa dengan mempergunakan sebuah busur dan anak panah yang berujung lima. Punggawa mengelilingi tempat upacara diadakan sambil mengayunkan panah dan busurnya ke atas dan ke bawah, disertai pula dengan bememang (membaca mantra) yang isinya meminta pada dewa agar dewa-dewa mengusir roh-roh jahat, dan meminta ketentraman, kesuburan, kesejahteraan untuk rakyat.
Seni Pahat Patung dan Arsitektur
Suku Dayak mengenal seni pahat patung yang berfungsi sebagai azimat, kelengkapan upacara atau sebagai alat upacara. Patung azimat ini terbuat dari berbagai jenis kayu yang dianggap berkhasiat untuk menolak penyakit atau mengembalikan semangat orang yang sakit.
Ada juga patung yang berfungsi sebagai kelengkapan upacara. Terdiri dari patung-patung kecil yang biasanya digunakan saat pelaksanaan upacara adat seperti pelas tahun, kuangkai, dan pesta adat lainnya. Patung kecil ini terbuat dari berbagai bahan, seperti kayu, bambu hingga tepung ketan.
Selain itu ada juga patung alat upacara. Patung sebagai alat upacara ini berupa patung blontang yang terbuat dari kayu ulin. Tinggi patung antara dua sampai empat meter dan dasarnya ditancapkan ke dalam tanah sedalam satu meter.
Pahatan suku Dayak memiliki pola-pola atau motif-motif yang unik. Umumnya polanya diambil dari bentuk-bentuk alam seperti tumbuhan, binatang serta bentuk-bentuk yang mereka percaya sebagai roh dari dewa-dewa, misalnya Naang Brang, Pen Lih, Deing Wung Loh, dan sebagainya.
Seni Arsitektur Dayak terlihat menarik pada rumah tradisional suku Dayak yang dikenal dengan sebutan Lamin. Bentuk rumah adat Lamin dari tiap suku Dayak umumnya tidak jauh berbeda. Lamin biasanya didirikan menghadap ke arah sungai. Dengan bentuk dasar bangunan berupa empat persegi panjang. Panjang Lamin ada yang mencapai 200 meter dengan lebar antara 20 hingga 25 meter.
Di halaman sekitar Lamin terdapat patung-patung kayu berukuran besar yang merupakan patung persembahan nenek moyang (blang).
Lamin berbentuk rumah panggung (memiliki kolong) dengan menggunakan atap bentuk pelana. Tinggi kolong ada yang mencapai empat meter. Untuk naik ke atas Lamin, digunakan tangga yang terbuat dari batang pohon yang ditakik-takik membentuk undakan dan tangga ini bisa dipindah-pindah atau dinaik-turunkan. Kesemua ini adalah sebagai upaya untuk mengantisipasi ancaman serangan musuh ataupun binatang buas.
Pada awalnya, Lamin dihuni oleh banyak keluarga yang mendiami bilik-bilik di dalam Lamin, namun belakangan kebiasaan itu sudah semakin memudar. Bagian depan Lamin merupakan sebuah serambi panjang yang berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan upacara perkawinan, melahirkan, kematian, pesta panen, dan lain-lain. Di belakang serambi inilah terdapat deretan bilik-bilik besar. Setiap kamar dihuni oleh
Lamin kediaman bangsawan dan kepala adat biasanya penuh dengan hiasan-hiasan atau ukiran-ukiran yang indah mulai dari tiang, dinding hingga puncak atap. Ornamen pada puncak atap ada yang mencuat hingga 3 atau 4 meter. Dinding Lamin milik bangsawan atau kepala adat terbuat dari papan, sedangkan Lamin milik masyarakat biasa hanya terbuat dari kulit kayu.
Seni Kriya/Kerajinan Tangan
Seni Kriya atau kerajinan tangan di daerah ini juga beragam. Di antaranya, Perisai/Kelembit, Ulap Doyo, Anjat, Bening Aban, Sumpitan, Seraung, Mandau, dan Manik.
Seni kriya Perisai (Kelembit) adalah berupa alat penangkis dalam peperangan melawan musuh. Perisai terbuat dari kayu yang ringan tapi tidak mudah pecah. Bagian depan perisai dihiasi dengan ukiran, namun sekarang ini kebanyakan dihiasi dengan lukisan yang menggunakan warna hitam putih atau merah putih. Ada tiga motif yang digunakan untuk menghias perisai, yakni motif burung Enggang (Kalung Tebengaang), motif naga/anjing (Kalung Aso`) dan motif topeng (Kalung Udo`).
Selain sebagai alat pelindung diri dari serangan musuh, perisai juga berfungsi sebagai alat penolong sewaktu kebakaran (melindungi diri dari nyala api), perlengkapan menari dalam tari perang, alat untuk melerai perkelahian, dan perlengkapan untuk upacara Belian. Kini perisai banyak dijual sebagai souvenir dan penghias dekorasi rumah tangga.
Ulap Doyo, berupa kain dari serat daun doyo hasil kerajinan yang hanya dibuat oleh wanita-wanita suku Dayak Benuaq yang tinggal di Tanjung Isuy. Tanaman doyo yang menyerupai pandan tumbuh dengan subur di Tanjung Isuy. Serat daunnya kuat dan dapat dijadikan benang untuk ditenun. Tenunan doyo ini kemudian sering diolah menjadi pakaian, kopiah atau hiasan dinding.
Anjat, berupa alat berbentuk tas yang terbuat dari anyaman rotan dan memiliki dua atau tiga sangkutan. Anjat biasanya digunakan untuk menaruh barang-barang bawaan ketika bepergian.
Bening Aban, adalah alat untuk memanggul anak yang hanya terdapat pada masyarakat suku Dayak Kenyah. Alat ini terbuat dari kayu yang biasanya dihiasi dengan ukiran atau dilapisi dengan sulaman manik-manik serta uang logam.
Sumpitan adalah alat yang biasa digunakan untuk berburu atau berperang yang dikenal oleh hampir seluruh suku Dayak di Kalimantan. Alat ini terbuat dari kayu ulin atau sejenisnya yang berbentuk tongkat panjang yang diberi lubang kecil untuk memasukkan anak sumpitan. Sumpitan dilengkapi dengan sebuah mata tombak yang diikat erat pada ujungnya dan juga dilengkapi dengan anak sumpitan beserta wadahnya (selup).
Seraung adalah topi berbentuk lebar yang biasa digunakan untuk bekerja di ladang atau untuk menahan sinar matahari dan hujan. Kini banyak diolah seraung-seraung ukuran kecil untuk hiasan rumah tangga.
Mandau, adalah senjata tradisional khas suku Dayak yang menyerupai pedang. Mandau terbuat dari besi dengan gagang terbuat dari kayu atau tulang. Sebelum pembuatan dimulai, terlebih dahulu dilakukan upacara adat sesuai dengan tradisi dari masing-masing suku Dayak.
Terakhir, Manik adalah kerajinan manik-manik khas suku Dayak. Biasanya dibuat menjadi pakaian, menghias topi atau seraung maupun bening aban. Kini banyak hasil kerajinan manik-manik yang diolah menjadi tas, kalung, gelang, gantungan kunci dan aneka macam hiasan lainnya.
Sumber : www.kutaikartanegara.com