Gedong Kirtya dibangun di Singaraja oleh seorang Belanda yang bernama L.J.J Caron yang datang ke Bali bertemu dengan para raja dan tokoh agama untuk berdiskusi mengenai kekayaan kesenian sastra ( lontar ) yang ada di seluruh Bali. Kekayaan seni ini sepatutnya di pelihara agar tidak rusak atau hilang sehingga memberikan kesempatan bagi generasi selanjutnya untuk mengetahui isi dari kesenian sastra (lontar) tersebut.
Museum ini bermula dari sebuah yayasan yang diberi nama "Kirtya Lefrink - Van der Tuuk" yang bertugas untuk menjaga kesenian sastra tersebut. F.A Lefrink yang merupakan Asistan Resident pemerintah Belanda di Bali pada waktu itu sangat tertarik dengan Kebudayaan Bali dan banyak tulisan yang dibuat mengenai Bali dan Lombok. Dr. H.N Van der Tuuk, seorang sejarahwan yang memberikan tanah dan bangunannya untuk digunakan sebagai museum yang sekarang dikenal sebagai Museum Gedong Kirtya. Gedung ini terletak di kompleks Sasana Budaya, yang merupakan istana tua kerajaan Buleleng tepatnya Jalan Veteran, Singaraja. Pada masa itu, Singaraja merupakan ibukota Sunda Kecil.
Yayasan Van der Tuuk
Memasuki 34 tahun kematian Van der Tuuk, diselenggarakan sebuah pertemuan sangat bersejarah. Tempatnya di Kintamani, kawasan pegunungan Batur, tanggal 2 Juni 1928. L.J.J Caron (residen/perwakilan pemerintah Belanda di Bali dan Lombok) dan para raja serta tokoh agama bertemu untuk berdiskusi mengenai kekayaan kesenian sastra dan lontar-lontar yang tersebar di seluruh Bali.
Rapat itu sepakat untuk membetuk lembaga kebudayaan Bali, dan sepakat untuk mengabadikan nama Van der Tuuk menjadi nama sebuah yayasan/lembaga yang mengurusi seni sastra di Bali; Stichting van der Tuuk.
Sebagai tindak lanjutnya, tidak lama kemudian, tanggal 14 September 1928, kelompok ini secara resmi membuka sebuah perpustakaan pertama di Bali. Perpustakaan itu bernama Kirtya Lefrink-Van der Tuuk; mengurusi lontar-lontar Bali dan Lombok. Nama Liefrink diambil dari seorang asistan resident pemerintah Belanda di Bali yang juga sangat tertarik dengan kebudayaan Bali dan Lombok.
Kata ''kirtya'' diusulkan oleh I Gusti Putu Djelantik, Raja Buleleng ketika itu; kirtya berakar kata ''kr'', menjadi ''krtya'', sebuah kata dari bahasa Sansekerta yang mengandung "usaha" atau "jerih payah". Dari hasil riset terhadap koleksi perpustakaan Kirtya ini, ratusan tesis magister dan desertasi doktoral telah lahir. Ribuan karya ilmiah mengalir. Dan yang paling monumental, telah lahir sebuah megaproyek kamus Jawa Kuna, dikerjakan puluhan tahun oleh Profesor P.J. Zoetmulder (salah satu peneliti terbesar sastra Jawa Kuna yang akrab dipanggil Romo Zoet). Setelah Romo Zoet berpulang, misi ini dilanjutkan oleh Prof. S.O. Robson. Awalnya hanya seri Jawa Kuna-English, kini sudah tersedia terjemahan Jawa Kuna-Indonesia atas jerih payah Romo Dick Hartoko.
Tujuan yayasan itu, yakni melacak semua naskah yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dan Pertengahan, berbahasa Bali dan Sasak, sejauh itu masih terdapat di Bali dan Lombok (kebanyakan dimiliki oleh perorangan) dan untuk membuat kesempatan agar naskah-naskah tersebut dengan lebih mudah dikonsultasi(diakses) oleh para peminat.
Agar tujuan itu dapat dilaksanakan maka raja-raja setempat, para pendeta dan orang-perorangan di daerah itu diminta untuk menyerahkan milik mereka untuk sementara waktu kepada Perpustakaan Kirtya. Di sana sebuah panitia terdiri atas 12 orang memutuskan, naskah-naskah mana dianggap cukup berharga untuk disimpan dalam koleksi itu. Kemudian lontar-lontar itu disalin dengan seteliti mungkin oleh sebuah kelompok penyalin yang bekerja untuk perpustakaan Kirtya dengan bentuk huruf yang sama dan di atas bahan yang sama (daun lontar), dan kemudian lontar-lontar(pinjaman) itu dikembalikan kepada pemiliknya.
Mantan Bupati Buleleng Dr. Ketut Wirata Sindhu adalah orang yang telah mengembangkan perpustakaan ini menjadi sebuah museum. Museum ini didikasikan special untuk kesenian sastra yang ditulis pada daun kelapa (lontar) yang berasal dari seluruh Bali. Di perpustakaan ini terdapat ribuan koleksi manuskrip daun lontar, prasasti, manuskrip kertas dalam bahasa Bali dan huruf Romawi termasuk dokumen-dokumen dari zaman kolonial (1901-1953).
Daftar lontar di Museum Gedung Kirtya
A. Weda (Bali)
Buka:
Senin – Jumat: jam 7am – 3pm,
Sumber:
-Sugi Lanus, Balipost Sabtu, 7 Januari 2006
-http://www.babadbali.com/
-http://wisatabenewskp.blogspot.com/
-http://id.wikipedia.org/wiki/Gedong_Kirtya
http://arkeologi.web.id
Photo : http://www.balitiratour.com
Museum ini bermula dari sebuah yayasan yang diberi nama "Kirtya Lefrink - Van der Tuuk" yang bertugas untuk menjaga kesenian sastra tersebut. F.A Lefrink yang merupakan Asistan Resident pemerintah Belanda di Bali pada waktu itu sangat tertarik dengan Kebudayaan Bali dan banyak tulisan yang dibuat mengenai Bali dan Lombok. Dr. H.N Van der Tuuk, seorang sejarahwan yang memberikan tanah dan bangunannya untuk digunakan sebagai museum yang sekarang dikenal sebagai Museum Gedong Kirtya. Gedung ini terletak di kompleks Sasana Budaya, yang merupakan istana tua kerajaan Buleleng tepatnya Jalan Veteran, Singaraja. Pada masa itu, Singaraja merupakan ibukota Sunda Kecil.
Yayasan Van der Tuuk
Memasuki 34 tahun kematian Van der Tuuk, diselenggarakan sebuah pertemuan sangat bersejarah. Tempatnya di Kintamani, kawasan pegunungan Batur, tanggal 2 Juni 1928. L.J.J Caron (residen/perwakilan pemerintah Belanda di Bali dan Lombok) dan para raja serta tokoh agama bertemu untuk berdiskusi mengenai kekayaan kesenian sastra dan lontar-lontar yang tersebar di seluruh Bali.
Rapat itu sepakat untuk membetuk lembaga kebudayaan Bali, dan sepakat untuk mengabadikan nama Van der Tuuk menjadi nama sebuah yayasan/lembaga yang mengurusi seni sastra di Bali; Stichting van der Tuuk.
Sebagai tindak lanjutnya, tidak lama kemudian, tanggal 14 September 1928, kelompok ini secara resmi membuka sebuah perpustakaan pertama di Bali. Perpustakaan itu bernama Kirtya Lefrink-Van der Tuuk; mengurusi lontar-lontar Bali dan Lombok. Nama Liefrink diambil dari seorang asistan resident pemerintah Belanda di Bali yang juga sangat tertarik dengan kebudayaan Bali dan Lombok.
Kata ''kirtya'' diusulkan oleh I Gusti Putu Djelantik, Raja Buleleng ketika itu; kirtya berakar kata ''kr'', menjadi ''krtya'', sebuah kata dari bahasa Sansekerta yang mengandung "usaha" atau "jerih payah". Dari hasil riset terhadap koleksi perpustakaan Kirtya ini, ratusan tesis magister dan desertasi doktoral telah lahir. Ribuan karya ilmiah mengalir. Dan yang paling monumental, telah lahir sebuah megaproyek kamus Jawa Kuna, dikerjakan puluhan tahun oleh Profesor P.J. Zoetmulder (salah satu peneliti terbesar sastra Jawa Kuna yang akrab dipanggil Romo Zoet). Setelah Romo Zoet berpulang, misi ini dilanjutkan oleh Prof. S.O. Robson. Awalnya hanya seri Jawa Kuna-English, kini sudah tersedia terjemahan Jawa Kuna-Indonesia atas jerih payah Romo Dick Hartoko.
Tujuan yayasan itu, yakni melacak semua naskah yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dan Pertengahan, berbahasa Bali dan Sasak, sejauh itu masih terdapat di Bali dan Lombok (kebanyakan dimiliki oleh perorangan) dan untuk membuat kesempatan agar naskah-naskah tersebut dengan lebih mudah dikonsultasi(diakses) oleh para peminat.
Agar tujuan itu dapat dilaksanakan maka raja-raja setempat, para pendeta dan orang-perorangan di daerah itu diminta untuk menyerahkan milik mereka untuk sementara waktu kepada Perpustakaan Kirtya. Di sana sebuah panitia terdiri atas 12 orang memutuskan, naskah-naskah mana dianggap cukup berharga untuk disimpan dalam koleksi itu. Kemudian lontar-lontar itu disalin dengan seteliti mungkin oleh sebuah kelompok penyalin yang bekerja untuk perpustakaan Kirtya dengan bentuk huruf yang sama dan di atas bahan yang sama (daun lontar), dan kemudian lontar-lontar(pinjaman) itu dikembalikan kepada pemiliknya.
Mantan Bupati Buleleng Dr. Ketut Wirata Sindhu adalah orang yang telah mengembangkan perpustakaan ini menjadi sebuah museum. Museum ini didikasikan special untuk kesenian sastra yang ditulis pada daun kelapa (lontar) yang berasal dari seluruh Bali. Di perpustakaan ini terdapat ribuan koleksi manuskrip daun lontar, prasasti, manuskrip kertas dalam bahasa Bali dan huruf Romawi termasuk dokumen-dokumen dari zaman kolonial (1901-1953).
Daftar lontar di Museum Gedung Kirtya
A. Weda (Bali)
- Weda: Weda Indik Maligia, Weda Pangentas, Weda Panglukatan, Weda Sawawedana.
- Mantra: Atmaraksa, Pabersihan, Pangastawa, Pujastawa, Tirta Gamana.
- Kalpasastra: Banten Pangentas, Bebantenan, Caru Suci, Indik Galungan, Manca Balikrama, Pacecaron, PangabenaN, Pawintenan, Plutuk, Sang Kulputih.
- Palakerta: Agama, Purwadigama, Awig-awig, Kerta ring Sawah, Stri Sanggraha, Pamastuning, Cor, Widi Pamincatan, Adigama, Paswara, Kutaragama.
- Sesana: Dasa Sila, Dewa Sesana, Kerta Bujangga, Mantra Sesana, Putra Sesana, Raja Sesana, Resi Sesana, Sarasamuscaya, Sila Krama, Sila Sesana Sang Prabu.
- Niti: Niti Praja, Niti Sastra, Raja Niti.
- Wewaran: Ala Ayuning Dewasa, Ala Ayuning Wuku, Palelintangan, Pangalihan Dina, Pawacakan, Sadreta, Suryamandala, Tenung Astawara, Tenung Pawetuan anut wuku, Tetenger Sasih
- Tutur Upadesa: Aji Kalepasan, Atma Tattwa, Badawang Nala, Bima Swarga, Brahmandapurana, Buanakosa, Catur Janma, Darma Bayu, Darma Putus, Kamoksan, Purwa Bumi , Rwabineda, Siwatiga, Tantu Pagelaran, Tutur Pralina.
- Kanda: Asta Kosali, Cacakan ayam, Canda (warga aksara), Dasa nama, Guru Lagu, Kanda Sastra, Kertabasa, Kruna lingga, Panerangan, Pangayam-ayam, Pangeger, Pangiwa, Pangujanan, Paramasastra, Paribasa, Pemanes Karang, Pengasih-asih, Piodalan, Siksan Kedis, Smara Kanda, Swara Wianjana, Wrettasancaya.
- Anusada: Bebayon, Buda Kecapi, Pakakas, Panawar, Tumbal Leak, Usada Buduh, Usada Rare, Usada Tuju
- Parwa: Astadasaparwa, Calon Arang, Pamuteran Ksirarnawa, Uttara Kanda
- Kekawin: Arjuna Wijaya , Arjuna Wiwaha, Barata Yuda, Boma Kawia, Gatotkacasraya, Hariwangsa, Ramayana, Smaradahana, Sumaasantaka
- Kidung: Alis Alis Ijo, Jagat Karana, Panji Malat Lasmi, Sri Tanjung, Sudamala
- Gaguritan/ Paparikan: Basur, Brayut, Bungkling, Cupak, Durma, Jayaprana, Megantaka, Pakangraras, Sampik, Salya.
- Pamancangah: Pamancangah Dalem, Prasasti- prasasti (Brahmana, Sengguhu, Dukuh,dll)
- Babad: Babad Arya Kenceng, Babad Buleleng, Babad Gianyar, Babad Mengwi , Babad Panji, Sakti Wijaya, Babad Pasek, Babad Pasek Gelgel, Babad Rangga Lawe, Babad Usana Bali, Babad Usana Jawa.
- Tantri Hindu: Kidung Tantri (Bahasa Tengahan), Ni Diah Tantri (Bahasa Bali Kepara), Tantri Kamandaka (Bahasa Kawi)
- Tantri Bali: Gunawati, Lutung Mungil
Buka:
Senin – Jumat: jam 7am – 3pm,
Sumber:
-Sugi Lanus, Balipost Sabtu, 7 Januari 2006
-http://www.babadbali.com/
-http://wisatabenewskp.blogspot.com/
-http://id.wikipedia.org/wiki/Gedong_Kirtya
http://arkeologi.web.id
Photo : http://www.balitiratour.com