“Ajari Aku Melayu”

Oleh: Naskar Wandi

Lama juga aku mencari,
di mana Melayu itu,
tidak pernah ku jumpa,
baik pada bahasanya,
landasan kehidupannya,
struktur bangunan yang dibina,
satu pun tidak,
lambang pada kemelayuan itu.
Aku berbisik kepada anakku,
“jika kau berkesempatan,
dewasa nanti carilah dimana Melayu itu
dan khabarkan kepada baba.”
(2006, Koleksi Puisi Diraja)

Kepulauan Riau (Kepri) adalah Melayu dengan semboyan Berpancang Amanah, Bersauh Marwah. Berpancang Amanah bermakna menunjukkan sikap teguh untuk mempertahankan adat bersendikan syara‘, syara‘ bersendikan kitabullah guna mencapai akhlak mulia. Bersauh Marwah bermakna menjaga adat dan budaya guna menata masa depan yang lebih baik menuju cita – cita luhur untuk mencerdaskan dan mensejahterakan masyarakat Kepulauan Riau Setahu penulis melayu telah banyak dibicarakan, melayu telah banyak diseminarkan, dilokakaryakan, difestivalkan, dan telah banyak juga berdiri organisasi melayu hingga sampai saat ini mungkin telah banyak konsep yang dilahirkan mengenai pengembangan budaya melayu.

Tetapi pada realitasnya konsep tersebut hanya dibahasakan bukan dilaksanakan, masih terlihat bangunan – bangunan pemerintah yang dibangun tidak melambangkan budaya melayu, papan nama kantor, jalan – jalan protokol tidak ada juga melambangkan kemelayuan dan mana porsi pengembangan budaya melayu yang dianggarkan di APBD?. Bahkan untuk Kota Batam sebagai kawasan industri dengan berbagai suku bangsa tidak terlihat sebagai kota dengan kemelayuan. Terus dimana tokoh – tokoh adat, lembaga – lembaga adat melayu? Dan apa komitmen kepala daerah baik dari orang melayu maupun bukan orang melayu untuk memajukan melayu ditanah melayu?. Jangan jadikan melayu sebuah seremonial belaka.

Penulis pernah baca, Kerajaan Melayu pernah begitu kuat dan jaya. Sejak abad ke – 14 , Kerajaan Melayu yang berpusat di Malaka, saat dipimpin Sultan Mansur Syah dengan Laksamana Hang Tuah, menguasai sekitar pesisir selatan Semenanjung Malaka, seperti Johor sampai Thailand bagian selatan. Sampai abad ke-18 kejayaan Kerajaan Melayu masih bertahan. Pada masa itu ada tiga federasi kekuasaan bergabung menjadi satu, yaitu Kesultanan Daek, Lingga, Raja Muda di Penyengat, dan Ketemenggungan di Bulang. Kekuasaan wilayahnya dari mulai Johor, Riau dan Lingga, sampai Singapura.

Pada masa itu perdagangan melalui jalur laut sudah berkembang sedemikian rupa. Hasil bumi, seperti rempah-rempah, lada hitam (sahang), dan kemenyan, sudah diperdagangkan antarnegara, seperti ke Timur Tengah. Dari Timur Tengah, para pedagang mengirimkan permadani atau tembikar ke Kerajaan Melayu. Kemajuan kebudayaan Melayu pada masa lalu yang memiliki arti penting adalah munculnya percetakan buku menjelang abad ke-19. Di Pulau Penyengat, misalnya, muncul percetakan atas prakarsa para intelektual Melayu yang menamakan dirinya Rusydiah Klab. Sejak itulah karya-karya intelektual, seperti Raja Ali Haji, terdokumentasikan dengan baik. Beberapa karya monumentalnya, antara lain, Gurindam XII, Bustan Al Katibin, Kitab Pengetahuan Bahasa, dan Tuhfat al-Nafis.

Dari abad ke-19 sampai tahun 1920-an, di Riau telah ditulis berbagai kitab. Hasil penelitian tahun 1982 mengenai naskah kuno Riau memberi petunjuk tidak kurang dari 127 judul telah ditulis. Ini tidak terlepas dari peran Raja Ali Haji yang begitu tekun memelihara dan membina bahasa Melayu Riau. Bagi Raja Ali Haji, bahasa itu menunjukkan bangsa.

Lepas dari masa lalu, Ellyzan Katan berkata (Batam pos, 9 Juni 2007), Generasi muda adalah pemegang regalia keberlangsungan adat Melayu. Tanpa pemuda, golongan tua akan merasa bimbang untuk menyerahkan segala macam tunjuk ajar. Kepada siapa mereka akan menyerahkannya, masih dalam tahap pencarian. Tak dapat dipungkiri lagi, keberadaan pemuda sangat meragang denyut perdebatan di tanah Melayu.

Pemuda, yang telah ditahbiskan sebagai pemegang regalia kejayaan budaya Melayu, mesti sadar. Sekarang adalah zaman pergulatan yang alot. Tak semestinya lagi segala kemungkinan-kemungkinan yang dapat melemahkan langkah ke depan, tetap direngkuh. Sebaliknya, generasi muda, dengan bermacam potensi yang ada, harus pandai-pandai bercermin pada generasi lama. Ada Hang Tuah, Raja Ali Haji, Raja Ali Kelana, Engku Putri, dan masih banyak lagi nama-nama besar Melayu yang dapat dijadikan sebagai bahan cerminan. Generasi muda Melayu memang harus bangkit.

Penulis sadar sebagai generasi muda (baca Kepri Muda) sudah saatnya ‘roh‘ kebudayaan melayu bersemayam dijiwa generasi muda. Pertanyaannya “dimana identitas melayu itu, dimana bahasa melayu yang mencirikan orang melayu, dimana adat –adat melayu, dimana budi pekerti melayu, dimana seni dan tradisi melayu, dimana melayu kepri itu?” Pertanyan tersebut akan mudah dijawab jika adanya transfer kebudayaan secara simultan dari generasi tua ke generasi muda tidak terkecuali peran pemerintah baik eksekutif maupun legislatif secara kolektif mengembangkan kemelayuan.

Jawaban lainnya adalah ajari aku melayu sehingga aku (baca kepri muda) menemukan melayu, dan aku bisa mengajarkan kepada keturunan berikutnya tentang melayu. Ajari aku Guridam Duabelas sehingga aku bisa melantunkan dan menarikan zapin bukan disko. Ajari aku adat perkawinan melayu sehingga aku bisa menikah dengan cara/adat melayu. Ajari aku bahasa melayu sehingga aku bisa bebual dengan bahasa melayu dan mengajarkan kepada suku lain tentang bahasa melayu. Ajari aku arab melayu sehingga aku bisa menulis arab melayu dimana – mana. Ajarilah Aku yang Aku Tidak Tahu tentang Melayu sehingga akan lahir Hang Tuah, Raja Ali Haji, Raja Ali Kelana lainnya dan aku bisa berkata Inilah Melayu.

Naskar Wandi, adalah Ketua ICMI Muda Provinsi Kepulauan Riau

Sumber : Batam Pos